Oleh: Ishardhini Widyaningtyas*)
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari |
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari bin Idris bin Husien, demikianlah nama lengkapnya, lahir di kota Martapura, sekarang ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat dipastikan, namun merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun, maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada tahun 1122 H/1710 M maka beberapa ahli berasumsi bahwa usia beliau tentu tidak jauh berbeda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun kelahiran Muhammad Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad. Muhammad Nafis al-Banjari berasal dari kalangan bubuhan keluarga bangsawan kerajaan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.). Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia popular adalah ilmu tasawuf. Tidak ada catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Mekkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pada usia yang sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya, Martapura. Selain itu, juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Mekkah dan Madinah belajar bersama Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan lainnya. Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi. Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid”, yaitu seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasawuf. Gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama.
Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan (Belanda waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar) , ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji. Sementara daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis mengenalkan Islam di sana. Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan.
Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang umumnya diposisikan secara diametral. Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Sehingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.
Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib. Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.
HAKIKAT PERBUATAN
Pergulatan batin manusia dalam menghadapi berbagai persoalan, hakikatnya sesuai dengan alur cerita yang tertulis di buku skenario hidupnya. Tak ada satu pun peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Gerakan sekecil apapun, adalah atas kehendak Allah.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ?arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Al Hadiid: 4).
Tak ada seorang pun yang dapat menghindar dari berbagai malapetaka lahir maupun batin, melainkan Allah telah menetapkan sesuai dengan yang tertulis di skenario kitab Allah.
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (Al Hadiid: 22).
Jika orang yang berjalan menuju Allah (salik) tidak melihat dan memaknai kehidupan sesuai dengan alur kehendak Allah, maka tidak menutup kemungkinan terjadi malapetaka yang dapat menjerumuskan ke dalam jurang kenistaan lahir dan batin, seperti akidah yang syirik dan amal perbuatan yang jauh dari ikhlas.
Jalan untuk meraih keselamatan dunia akhirat adalah dengan memegang erat akidah tauhid dan syuhud (penyaksian) terhadap semua kejadian yang berlaku di alam semesta.
Rangkaian kejadian dan perbuatan yang terbit pada mahluk, wajib dikembalikan kepada Allah, karena Dia-lah yang menjadi sumber semua kejadian, termasuk perbuatan yang mengalir pada diri manusia. Perbuatan dimaksud, tidak sebatas pada perbuatan baik, tetapi lebih luas lagi pada perbuatan yang tampak tidak baik.
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Al Anfaal: 17).
Jika sudah memahami perbuatan baik itu hakikatnya baik, berarti harus pula mampu memaknai perbuatan yang tampak tidak baik, seperti perbuatan kufur dan maksiat, pada hakikatnya juga baik. Karena hakikat semua perbuatan itu bersumber dari Yang Baik, yaitu Allah. ” Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah” (An Nisaa’: 78). Namun setelah Syara’ (hukum) datang, setiap perbuatan yang terlihat tidak baik itu, kemudian dianggap sebagai perbuatan tercela, dalam arti dilarang oleh syari’at. Ini karena menegakkan perintah Allah dan menjalankan sunnah Rasul (Syari’at Islam). “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi” (An Nisaa’: 70).
KAIFIAT SYUHUD
Tata cara (kaifiat) memandang setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta ialah dengan pandangan dan syuhud (penyaksian). Memandang bisa dilakukan dengan pandangan mata kepala, adapun syuhud dapat dilakukan dengan mata hati. Jika pandangan dan syuhud telah mewarnai semua aspek kehidupan, maka terciptalah suatu keyakinan tauhid, bahwa segala perbuatan itu bersumber dari Allah.
Untuk menempuh keyakinan terkadang harus melalui proses berbagai metafor yang bersifat majazi dan kinayah, bukan pada kejadian yang sesungguhnya (haqiqi). Sebagai misal dalam memahami perbuatan yang muncul dari makhluk dan dikembalikan pada Allah, harus dibuat kiasan-kiasan yang dapat mendekatkan pemahaman secara ilmiah, seperti wayang dengan dalang dan lain sebagainya.
Perumpamaan perbuatan makhluk yang disamakan dengan perbuatan khalik, hanya bersifat kiasan belaka. Karena penyamaan itu bukan dalam pengertian yang sesungguhnya, sebab semua perbuatan yang dilakukan oleh makhluk pada hakikatnya bersumber dari Allah, baik perbuatan itu bersifat langsung (mubasyarah) maupun tidak langsung (tawallud).
Yang dimaksud dengan mubasyarah (baca: mubasyaroh) ialah perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan yang ada pada makhluk, semisal gerak pena di tangan orang yang menulis. Sedangkan pengertian tawallud ialah terjadinya perbuatan itu akibat dari perbuatan yang dilakukan secara langsung (mubasyarah), seperti jatuh batu dari tangan orang yang melempar. Kedua macam perbuatan ini bersumber dari Allah. “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat itu” (Ash Shaaffaat: 96).
Dalam perumpamaan pena dan batu bisa di artikan: Pena pada dasarnya tidak mempunyai kekuasaan apapun, termasuk gerakan membuat titik, huruf, kalimat hingga alur cerita yang terangkai di setiap alinea dan paragraf. Pena hanya sekedar pena yang menjadi benda mati. Pena bisa bergerak mengukir cerita karena digerakan oleh yang memegang pena. Begitu pula dalam misal batu, perumpamaan ini dapat dipahami bahwa hakikat batu itu tidak dapat melakukan apapun, terlebih mampu memecahkan benda yang terbentur olehnya. Batu hanya sekedar batu yang tidak dapat membawa dirinya untuk pindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Batu bisa pindah dan membentur benda lain, karena digerakkan oleh yang melempar. Jika batu membentur kaca sampai pecah misalnya, maka pada hakikatnya yang memecahkan kaca itu orang yang melempar. Secara hukum yang bertanggungjawab orang yang melempar batu, bukan batu itu sendiri.
Bila mampu memahami perumpamaan pena dan batu, maka tidak akan terlalu sulit untuk memaknai semua kejadian itu pada hakikatnya dari Allah. Inilah kandungan makna lafaz yang biasa diucapkan tatkala mendengar seruan kumandang azan Hayya ‘alas shalaah, Hayya ‘alal falaah dijawab: Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim “Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”.
Dengan demikian, tidak ada satu pun perbuatan (dengan segala akibatnya) yang dilakukan oleh makhluk, melainkan sudah diputuskan dalam catatan skenario ilmu Allah yang sudah menjadi takdir perjalanan alam semesta. Menurut Syekh Muhammad Ibn Sulaiman Al-Jazuli rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) di dalam Syarah Dala-il Al-Khairat (baca: Dalailul khoirot). “Baik perkataan maupun perbuatan, termasuk gerak dan diam yang muncul dari makhluk, pada hakikatnya sudah berada dalam ‘ilmu, qadha dan qadar-Nya“. Sebagaimana pula diperkuat dalam hadis yang menjelaskan “Tidak ada yang dapat bergerak di alam semesta ini, walau sebesar dzirrah (atom) sekalipun, kecuali dengan izin Allah“.
Akhirnya tak ada yang harus diragukan dalam menyikapi semua perbuatan yang beraneka ragam muncul dari makhluk di alam semesta, kecuali harus dikembalikan pada yang punya perbuatan, yaitu Allah. Karena hanya Dia, Dzat yang menciptakan makhluk. Semua makhluk tunduk dan patuh pada perintah dan kehendak-Nya.
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” (Al A’raaf: 54).
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seorang makhluk untuk mengingkari keberadaan Allah Dzat tempat bergantung semua makhluk, sesuai dengan fitrahnya. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar Ruum: 30).
KARYA – KARYA
Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman, ia hanya sempat mengarang sedikit kitab. Sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah kitab saja yaitu:
1.Kanzus Saadah.
Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasawuf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
2.Al-Durr al-Nafis.
Judul lengkapnya adalah Al-Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih bermukim di Mekkah, namun pada akhirnya banyak diminati dan tersebar luas ke pelosok Nusantara bahkan sampai negara-negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.
Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.
Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukkan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana pengharaman yang difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga memfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang berjalin- berkelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit difahami, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.
Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS, ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama : kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Kedua : kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya seperti Insan al-Kamil, Futuh al-Ghayb, Misykat al-Anwar, Al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah, dn lain-lain . Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, di mana setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.
Lepas dari sesat dan tidaknya kitab Al-Durr al-Nafis, yang pasti ajaran tasawuf sangat dibenci oleh pemerintah Kolonial Belanda, sebab ajaran tasawuf potensial menimbulkan kekacauan, kekisruhan, perlawanan yang berujung kepada pecahnya pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Koloniaal Archive sedikitnya mencatat, betapa sepanjang tahun 1800 sampai tahun 1900, telah pecah pemberontakan yang dipimpin guru tarikat dan haji sebanyak 112 kali, sehingga pemerintah Kolonial Belanda melarang peredaran buku-buku tasawuf. Tentu saja pemerintah Kolonial Belanda sangat bersyukur jika para ulama beramai-ramai mengharamkan semua kitab-kitab tasawuf, termasuk kitab Al-Durr al-Nafis karya Syekh Nafis al-Banjari. .
WAFAT
Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Sebuah Komplek Kuburan Muslim dengan areal kurang lebih 6 berongan, dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, yang senantiasa diziarahi oleh masyarakat dan bahkan Ulama-Ulama di Kalimantan Selatan sejak dulu jauh sebelum Indonesia Merdeka.
*) Ishardhini Widyaningtyas, Mahasiswi Prodi Sastera Inggris FIB Universitas Brawijaya
You have read this article Pesulukan
with the title Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari - Sufi Agung Nusantara. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/12/syekh-muhammad-nafis-al-banjari-sufi.html. Thanks!
No comment for "Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari - Sufi Agung Nusantara"
Post a Comment