Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Pendidikan Watak di Pesantren, Berorientasi Mengendalikan Nafsu

              Logika pemikiran dalam pendidikan di pesantren adalah logika berpikir kaum sufi, yang   berbanding terbalik dengan logika berpikir yang diterapkan dalam pendidikan disekolah. Jika di sekolah seorang siswa dididik dan dilatih agar terbiasa mencapai kenyamanan dan kenikmatan hidup bersifat jasmaniah seperti  memakan makanan yang lezat, sehat dan bergizi, pakaian bagus yang nyaman dipakai, tidur di  ranjang empuk minimal 8 jam sehari semalam, dan hal-hal bersifat mapan  dengan konsep ideal lainnya. Sementara di pesantren, sejak awal para santri diajari untuk terbiasa tidur di atas lantai dengan alas keras dan kasar, makan bersama-sama dengan lauk seadanya,  antri bergiliran saat mandi, berwudlu, mengisi bak mandi,  dan mencuci pakaian sendiri dengan air secukupnya. “Di balik fasilitas seadanya di pesantren dan pembiasaan hidup sederhana, pada dasarnya adalah pendidikan watak yang berpijak pada konsep pendidikan sufisme,” ujar K Ng H Agus Sunyoto dalam kajian Selasa malam di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin (1/4). 

             Seperti salik menjal;ani suluk, ungkap Agus Sunyoto, para santri dididik untuk tidak berlebih-lebihan dalam hidup apalagi mencari kenyamanan dalam segala aspek kehidupan. Di sepertiga malam terakhir misalnya, saat enak-enaknya tubuh terbalut kehangatan selimut dalam mimpi, tiba-tiba  pengurus pondok memukul lonceng yang memekakkan telinga dan mengusik nyenyaknya tidur. Lonceng tak akan berhenti hingga semua santri beranjak dari tempat tidur menuju pancuran air wudlu dan berkumpul di mushola untuk sembahyang tahajjud berjama’ah. Jika ada yang tidak mengikuti jama’ah, baik itu disengaja maupun tidak akan mendapat ganjaran keesokan harinya. Ganjaran dapat berupa kerja bakti membersihkan aula, mengisi bak mandi, menggantikan teman piket, menghapal surat-surat penting dalam al-Qur’an, atau digundul kepalanya bagi santri putra. Beragam ganjaran bersifat mendidik agar santri disiplin dan bertanggungjawab telah menanti santri yang malas ibadah.
               Sembahyang tahajjud yang dilanjut dengan wirid dan tafakkur tak akan berhenti hingga adzan shubuh berkumandang diikuti dengan  sederet aktivitas lainnya sampai  siang datang yang dilanjut sampai malam kembali datang di mana para santri  dapat beristirahat memejamkan mata. Dari sekian banyak aktivitas santri di pondok pesantren, dapat dikatakan 80%nya merupakan aktivitas olah ruhani. Selebihnya barulah olah pikir alias olah akal. Hal ini berpedoman bahwa  ilmu itu bersifat intuitif yang tersembunyi di dalam dada; shodrun. Ketika hati seorang hamba telah tersingkap, maka secara otomatis ilmu Tuhan akan dengan mudah merasuk dalam diri orang tersebut. Semua kecenderungan buruk dari nafsu seperti ingin nyaman, malas, gampang marah, iri hati, suka membual, kikir, hasut harus dihindari.  Para santri harus membiasakan berakhlak kariimah seperti jujur, suka bershodaqoh, saling menolong, tidak menyakiti, menghindari  berbagai tindak laku yang tergolong maksiat, dan  ta’dzim kepada guru, “Karena “al-ilmu nuurun wa nuurullahi laa yuhdaa lil ‘aashi; ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diturunkan kepada ahli maksiat,” kata Agus menegaskan.
                 Menurut Agus Sunyoto, salah satu akhlak dasar yang harus dipatuhi dan diamalkan oleh santri adalah ta’dzim kepada guru. Akhlak kiai-guru-murid di pesantren ditandai kesopanan dan kesantunan. Ketika guru datang, seluruh santri berebut untuk mencium tangan guru. Ketika kiai lewat, maka semua kegiatan santri dihentikan, yang berjalan berhenti sejenak, yang belajar menghentikan belajarnya dan yang naik sepeda turun seketika, mereka berdiri sembari membungkukkan badan menanti sang kiai berjalan terlebih dahulu barulah seluruh aktivitas berjalan sebagaimana sebelumnya.
                Perilaku di atas bukan lantas bertujuan mengkultuskan guru atau kiai. Lebih dari itu, tradisi ini sebagaimana disampaikan  Agus Sunyoto,  sudah dikenal dalam pendidikan Dukuh dan Padhepokan yang merupakan pendidikan Syiwa-Buddha dan Kapitayan, di mana menurut tatakrama belajar  seorang siswa (seseorang yang sudah disucikan dengan diksha) haruslah hormat-ta’dzim  kepada tiga  orang guru (Bapa-babu, guru, ratu) yang dalam wedharan kitab Silakramaning Wiku dikenal dengan istilah triguru, yakni (1) Guru Rupaka; orang tua yang melahirkan ke dunia, ayah-ibu, (2) Guru Pangajyan; guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani, (3) Guru Wisesa; raja yang sedang berkuasa. Dari ketiga guru tersebut, siswa dianjurkan untuk memberikan penghormatan paling utama kepada Guru Pangajyan karena guru inilah yang akan menuntun siswa membuka kesadaran dirinya hingga sampai pada tahap moksha atau dapat disebut maqom ma’rifat dalam ajaran Islam.
                Untuk mencapai tahap wiku, para siswa di dukuh harus melakukan pengendalian terhadap nafsu diri. Mereka dididik untuk menganut beberapa prinsip hidup seperti ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjauhi sifat krodha (marah), moha (gelap pikiran), mana (angkara murka), mada (takabbur), matsarya (iri dan dengki) dan raga (mengumbar nafsu). Di samping itu, mereka dituntut pula untuk bersifat satya; jujur, tidak berbicara kotor, ucapannya tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu, tidak menyumpahi dan tidak berdusta. Jika siswa ingin sukses dalam memperoleh ilmu pengetahuan di padukuhan, maka wajib baginya untuk mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan Sang Wiku, termasuk larangan menyantap makanan lezat, makan berlebihan, minum arak, berjudi, mencuri, melakukan riba, berbohong, dan perilaku buruk yang lain.
               Aturan tatakrama dalam belajar yang wajib dipatuhi siswa di dukuh, ungkap Agus Sunyoto, dilanjutkan oleh pendidikan Islam yang disebut pesantren, yang memadukan tatakrama Silakramaning Wiku dengan kitab Ta’limul Muta’alim di mana kepatuhan santri kepada sang kiai merupakan sebuah kemutlakan agar mereka  memperoleh ilmu pengetahuan yang barokah dan manfaat  sehingga menjadi insan yang ‘arofa nasfah ’arofa robbah, karena hakikat dari tarbiyyah adalah pendidikan yang berorientasi kepada ke-Tuhan-an dan sekali-kali bukan money atau job oriented.(Tina Siska Hardiansyah)

You have read this article Padhepokan with the title Pendidikan Watak di Pesantren, Berorientasi Mengendalikan Nafsu. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/pendidikan-watak-di-pesantren_2.html. Thanks!

No comment for "Pendidikan Watak di Pesantren, Berorientasi Mengendalikan Nafsu"

Post a Comment