Seperti salik menjal;ani suluk, ungkap Agus Sunyoto, para santri dididik untuk tidak berlebih-lebihan dalam hidup apalagi mencari kenyamanan dalam segala aspek kehidupan. Di sepertiga malam terakhir misalnya, saat enak-enaknya tubuh terbalut kehangatan selimut dalam mimpi, tiba-tiba pengurus pondok memukul lonceng yang memekakkan telinga dan mengusik nyenyaknya tidur. Lonceng tak akan berhenti hingga semua santri beranjak dari tempat tidur menuju pancuran air wudlu dan berkumpul di mushola untuk sembahyang tahajjud berjama’ah. Jika ada yang tidak mengikuti jama’ah, baik itu disengaja maupun tidak akan mendapat ganjaran keesokan harinya. Ganjaran dapat berupa kerja bakti membersihkan aula, mengisi bak mandi, menggantikan teman piket, menghapal surat-surat penting dalam al-Qur’an, atau digundul kepalanya bagi santri putra. Beragam ganjaran bersifat mendidik agar santri disiplin dan bertanggungjawab telah menanti santri yang malas ibadah.
Sembahyang tahajjud yang dilanjut dengan wirid dan tafakkur tak akan berhenti hingga adzan shubuh berkumandang diikuti dengan sederet aktivitas lainnya sampai siang datang yang dilanjut sampai malam kembali datang di mana para santri dapat beristirahat memejamkan mata. Dari sekian banyak aktivitas santri di pondok pesantren, dapat dikatakan 80%nya merupakan aktivitas olah ruhani. Selebihnya barulah olah pikir alias olah akal. Hal ini berpedoman bahwa ilmu itu bersifat intuitif yang tersembunyi di dalam dada; shodrun. Ketika hati seorang hamba telah tersingkap, maka secara otomatis ilmu Tuhan akan dengan mudah merasuk dalam diri orang tersebut. Semua kecenderungan buruk dari nafsu seperti ingin nyaman, malas, gampang marah, iri hati, suka membual, kikir, hasut harus dihindari. Para santri harus membiasakan berakhlak kariimah seperti jujur, suka bershodaqoh, saling menolong, tidak menyakiti, menghindari berbagai tindak laku yang tergolong maksiat, dan ta’dzim kepada guru, “Karena “al-ilmu nuurun wa nuurullahi laa yuhdaa lil ‘aashi; ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diturunkan kepada ahli maksiat,” kata Agus menegaskan.
Menurut Agus Sunyoto, salah satu akhlak dasar yang harus dipatuhi dan diamalkan oleh santri adalah ta’dzim kepada guru. Akhlak kiai-guru-murid di pesantren ditandai kesopanan dan kesantunan. Ketika guru datang, seluruh santri berebut untuk mencium tangan guru. Ketika kiai lewat, maka semua kegiatan santri dihentikan, yang berjalan berhenti sejenak, yang belajar menghentikan belajarnya dan yang naik sepeda turun seketika, mereka berdiri sembari membungkukkan badan menanti sang kiai berjalan terlebih dahulu barulah seluruh aktivitas berjalan sebagaimana sebelumnya.
Perilaku di atas bukan lantas bertujuan mengkultuskan guru atau kiai. Lebih dari itu, tradisi ini sebagaimana disampaikan Agus Sunyoto, sudah dikenal dalam pendidikan Dukuh dan Padhepokan yang merupakan pendidikan Syiwa-Buddha dan Kapitayan, di mana menurut tatakrama belajar seorang siswa (seseorang yang sudah disucikan dengan diksha) haruslah hormat-ta’dzim kepada tiga orang guru (Bapa-babu, guru, ratu) yang dalam wedharan kitab Silakramaning Wiku dikenal dengan istilah triguru, yakni (1) Guru Rupaka; orang tua yang melahirkan ke dunia, ayah-ibu, (2) Guru Pangajyan; guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani, (3) Guru Wisesa; raja yang sedang berkuasa. Dari ketiga guru tersebut, siswa dianjurkan untuk memberikan penghormatan paling utama kepada Guru Pangajyan karena guru inilah yang akan menuntun siswa membuka kesadaran dirinya hingga sampai pada tahap moksha atau dapat disebut maqom ma’rifat dalam ajaran Islam.
Untuk mencapai tahap wiku, para siswa di dukuh harus melakukan pengendalian terhadap nafsu diri. Mereka dididik untuk menganut beberapa prinsip hidup seperti ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjauhi sifat krodha (marah), moha (gelap pikiran), mana (angkara murka), mada (takabbur), matsarya (iri dan dengki) dan raga (mengumbar nafsu). Di samping itu, mereka dituntut pula untuk bersifat satya; jujur, tidak berbicara kotor, ucapannya tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu, tidak menyumpahi dan tidak berdusta. Jika siswa ingin sukses dalam memperoleh ilmu pengetahuan di padukuhan, maka wajib baginya untuk mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan Sang Wiku, termasuk larangan menyantap makanan lezat, makan berlebihan, minum arak, berjudi, mencuri, melakukan riba, berbohong, dan perilaku buruk yang lain.
Aturan tatakrama dalam belajar yang wajib dipatuhi siswa di dukuh, ungkap Agus Sunyoto, dilanjutkan oleh pendidikan Islam yang disebut pesantren, yang memadukan tatakrama Silakramaning Wiku dengan kitab Ta’limul Muta’alim di mana kepatuhan santri kepada sang kiai merupakan sebuah kemutlakan agar mereka memperoleh ilmu pengetahuan yang barokah dan manfaat sehingga menjadi insan yang ‘arofa nasfah ’arofa robbah, karena hakikat dari tarbiyyah adalah pendidikan yang berorientasi kepada ke-Tuhan-an dan sekali-kali bukan money atau job oriented.(Tina Siska Hardiansyah)
You have read this article Padhepokan
with the title Pendidikan Watak di Pesantren, Berorientasi Mengendalikan Nafsu. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/pendidikan-watak-di-pesantren_2.html. Thanks!
No comment for "Pendidikan Watak di Pesantren, Berorientasi Mengendalikan Nafsu"
Post a Comment