Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Warlord dan Rekayasa Hasil Pemilu

              Setelah mengendap-endap dan menyelinap di tengah kegelapan malam, dengan nafas tersengal-sengal dan dada berdegup-degup seorang anggota KPU daerah bernama samaran  Tulus-Lurus menemui Guru Sufi yang sedang berbincang dengan Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Azumi, Dullah, Daitya, dan Marholy di teras musholla. Sambil celingukan takut diketahui orang, Tulus-Lurus dengan suara bergetar menceritakan pengalaman mengerikan yang membuatnya ketakutan setengah mati. Secara singkat, cerita Tulus-Lurus itu sebagai berikut:
    “Anu.. anu Mbah Kyai, saya ingin menceritakan pengalaman mengerikan yang telah saya alami dalam  kaitan dengan pekerjaan saya sebagai anggota KPU daerah. Maksud saya, saya dipaksa oleh seorang ‘penguasa daerah’ untuk  menjalankan skenario manipulasi hasil pemilu legistlatif maupun presiden. Saya dan kawan-kawan tidak saja akan dikasi uang satu orang 500 juta tapi juga akan dikasi rumah satu orang satu. Bahkan ketua saya, sudah dijanjikan dikasi tambahan mobil.”
    “Skenario yang diajukan ‘sang penguasa daerah’ sebenarnya sangat sederhana dan gampang dilaksanakan. Pertama-tama, KPU harus memasukkan suara pemilih ke dalam hitungan suara partai. Misalnya, suara pemilih untuk caleg nomor urut 5 bernama Kampret dari Partai Demokrasi Perjuangan tidak perlu dihitung sebagai suara pemilih untuk Kampret, melainkan dihitung sebagai suara untuk Partai Demokrasi Perjuangan. Jadi pada akhir penghitungan, suara terbesar terakumulasi pada partai karena masing-masing caleg mendapat suara sangat sedikit. Begitulah partai memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan siapa di antara caleg-caleg yang dipilih menjadi anggota legislatif mewakili partai.”
    “Maaf Lus,” sahut Dullah  menyela,”Siapa yang kau maksud ‘penguasa daerah’ itu? Apakah bupati dan  gubernur?”

    “Wan Ji Hong, kang,” sahut Tulus-Lurus gemetar,”Konglomerat daerah kita.”
     “Lha dia kan pengusaha?” sergah Sufi Sudrun mengerutkan kening,”Untuk apa dia ikut ngatur kemenangan partai di daerah? Apa keuntungan dia ikut ngatur kemenangan partai?”
    “Kalau suara terbanyak terakumulasi pada partai, maka yang menentukan siapa yang akan jadi wakil partai di daerah adalah ketua partai,” sahut Tulus-Lurus.
    “Lha iya,” tukas Dullah penasaran,”Apa keuntungan dia kalau yang menentukan para caleg menjadi legislatif terpilih adalah ketua partai?”
    “Wan Ji Hong sudah punya kaki-tangan, begundal, jongos, kacung, dan babu yang menjadi caleg di berbagai partai. Nah, kalau yang menentukan caleg  menjadi anggota DPRD adalah ketua partai karena partai menang dalam pemilu, maka yang akan dijadikan  anggota legislatif adalah caleg-caleg yang merupakan kaki-tangan, jongos, kacung, centeng, begundal, dan babunya Wan Ji Hong,” kata Tulus-Lurus menjelaskan.
    “Berarti ketua-ketua partai sudah ‘dibeli’ Wan Ji Hong?” sahut Dullah tercekat,”Berarti ketua-ketua partai sudah jadi kaki-tangannya, begitukah?”
    Tulus-Lurus mengangguk. “Tapi tolong jangan bilang dari saya, kang,” katanya tak bersemangat.
    “Berarti DPRD kita nanti semuanya merupakan kaki-tangan Wan Ji Hong yaa?” Dullah menarik nafas panjang sambil geleng-geleng.
    “Itu artinya,” sahut Sufi tua menyela,”Seperti pemilu yang sudah-sudah, kebijakan legislatif di daerah akan diatur dan dikendalikan Wan Ji Hong, termasuk eksekutifnya. Itu artinya pula, semua proyek vital di kabupaten dan provinsi akan dimonopoli Wan Ji Hong.”
    “Itu berarti, pemilu hanya jadi ajang sandiwara saja oleh para konglomerat dalam proses memperkaya diri dan meraksasakan perusahaan multi-nasional dan trans-nasionalnya,” sahut Sufi Sudrun.
    “Itu artinya,” tukas Sufi kenthir menyela,”Pemenang pemilu bukanlah individu-individu yang menang dengan memperoleh suara terbanyak, melainkan ‘penguasa’ di balik layar yang membuat aturan dan mengendalikan para pemenang itulah sejatinya pemenang.”
    “Maaf kang,” kata Azumi menyela,”Kedudukan Wan Ji Hong itu kan sama dengan Warlord-warlord jaman dulu?”
     “Ya seperti itulah faktanya.”
    “Kalau dulu kaisar hanya berkuasa di ibukota, bahkan hanya di sekitar istana karena seluruh negeri sudah dibagi-bagi dalam kekuasaan para warlord, kayaknya sekarang ini keadaannya sama di mana presiden kekuasaannya sangat lemah di daerah karena daerah-daerah dikuasai warlord-warlord yang tidak saja dijadikan ‘yang mahakuasa’ di daerah oleh penduduk melainkan sudah menjadi sesembahan baru yang menjadi gantungan harapan penduduk yang sudah kehilangan iman. Naudzubillah tsumma naudzubillah,” kata Sufi Sudrun mengomentari.
    “Ya jelas itu kang,” sahut Azumi,”Lhawong koruptor yang sudah disidik kejaksaan bisa lolos karena keikut-sertaan Wan Ji Hong dalam meloby perkara.”
    “Maaf paklik,” sahut Marholy menyela,”Kalau keadaannya seperti itu, untuk apa ikut pemilu?”
    “Hmm, ternyata sebagian kekuatan yang menentukan keberhasilan caleg menjadi anggota DPRD di daerah bukanlah rakyat melainkan warlord-warlod seperti Wan Ji Hong.”
    “Maaf-maaf Mbah Kyai,” sahut Tulus-Lurus gemetaran.
    “Ya ada apa?” sahut Guru Sufi sabar.
    “Saya sudah dikasi rumah dan uang, Mbah Kyai,” kata Tulus-Lurus,”Apakah itu boleh saya kembalikan? Karena saya tidak mau dilempar ke dalam jahannam di akhirat nanti.”
    “Tidak!” sahut Guru Sufi,”Jangan dikembalikan. Kau diam saja. Biar saja semua berlalu sampai semua kelihatan yang haqq maupun yang bathin. Setelah itu, baru kau ambil keputusan.”
    “Tapi ini barang haram, Mbah Kyai. Ini suap. Yang menyuap dan disuap sama-sama masuk neraka,” kata Tulus-Lurus.
    “Dengan berpegang pada kaidah ushul fiqh – dar al mafasid muqaddamu ‘ala jalabil masholih – mendahulukan menghindari hal-hal yang mudlarat harus didahulukan daripada berbuat kebaikan,” kata Guru Sufi menjelaskan.
    “Tapi apa yang saya terima adalah sesuatu yang haram. Bukankah saya harus mengutamakan mengembalikan pemberian yang haram ini?” tanya Tulus-Lurus.
    “Mana yang lebih utama, engkau mengambalikan uang dan rumah pemberian Wan Ji Hong dengan akibat mendapat pujian atau engkau menyelamatkan nyawamu dan nyawa keluargamu? Mana yang lebih utama bagimu?” sergah Guru Sufi mendesak,”Kau jangan main-main dengan warlord.”
    “Baik Mbah Kyai, saya faham,” kata Tulus-Lurus dengan mata berkaca-kaca dan dada sesak.

Posted by Agus Sunyoto.



You have read this article Budaya with the title Warlord dan Rekayasa Hasil Pemilu. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/warlord-dan-rekayasa-hasil-pemilu_5.html. Thanks!

No comment for "Warlord dan Rekayasa Hasil Pemilu"

Post a Comment