SEKOLAH TANPA ARAH TANPA TUJUAN, MASYARAKAT JADI KORBAN
Sejak SMP Belajar Tawuran |
Bertolak dari percakapan di atas, ungkap Abdul Azis melanjutkan, dapat disimpulkan akar permasalahan pendidikan di Indonesia hari ini bermula dari kebijakan-kebijakan elit pendidikan yang cenderung semena-mena dan tanpa pertimbangan matang. Padahal, membincang pendidikan merupakan satu proses untuk menghapuskan kebodohan dan membentuk insan-insan yang cerdas, pandai, dan berbudi luhur.
Sebagai salah satu contoh betapa ruwetnya pendidikan di Indonesia hari ini, ungkap Abdul Azi, terlihat dari peraturan UNAS yang menekankan kejujuran, kedisiplinan dan yang tak kalah penting tingkat kelulusan harus tinggi. Maka demi untuk mencapai tingkat kelulusan yang tinggi itu, lanjut Abdul Azis, pihak kementerian pendidikan menekan gubernur, kemudian gubernur menekan pemerintah kota, demikian seterusnya terjadi penekanan demi penekanan berantai sampai guru pun menekan murid-muridnya. Salah satu akibatnya, tingkat kelulusan justru menurun. “Tidak jarang anak-anak yang dalam keseharian terlihat pandai, selalu mengikuti proses belajar-mengajar dengan baik, bernasib naas ketika mengikuti UNAS karena nilainya anjlok drastis. Hal ini dikarenakan kondisi psikis yang tertekan,” ujar Abdul Azis
Di lain sisi, ungkap Abdul Azis, penyamarataan soal UNAS tanpa memandang kondisi pendidikan siswa yang sangat beragam, berakibat lebih fatal. Fakta menunjuk masih banyak sekolah-sekolah gurem yang berada di pelosok-pelosok desa di luar Jawa yang belum terjangkau akses informasi dengan dunia luar, sehingga penyama-rataan ini menjadi tidak adil bagi mereka untuk mengerjakan soal dengan kualitas yang sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan di kota-kota besar dengan segala fasilitasnya.
Menuntut Ilmu Malah Jadi Korban Kekerasan |
Pandangan Abdul Azis ditanggapi oleh Makmun, salah seorang mantri Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin yang menyatakan bahwa ketidak-sesuaian antara kompetensi dengan jabatan yang dipegang ‘koki-koki’ pendidikan tidak terlepas dari proses pemilihan lembaga legislatif dan eksekutif yang sarat akan politik deal-dealan dalam power sharing kekuasaan, di mana para elit pemerintah yang berkuasa hanya memikirkan egoisme diri dan golongan, maka tidak terelakkan bahwa rakyat adalah korban utama dari politik ‘dagang sapi’ itu.
Sementara jika ditinjau dari aspek guru, lanjut Makmun Pembina Mahasiswa Bidik Misi itu, berapa banyak guru hari ini yang mengajar dengan penuh keikhlasan? Rasa-rasanya, gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang dulu pernah disematkan untuk para guru, kini tak lagi pantas untuk disandang. “Saya pernah mengisi seminar guru-guru,” papar Abdul Aziz berkisah seputar pengalamannya, “Waktu itu saya tanya, apa kesulitan utama yang dihadapi oleh Bapak dan Ibu Guru? Tiba-tiba mereka serentak menjawab, “Anak-anak didik sekarang nakal-nakal semua Pak.”
Jawaban itu sungguh menyedihkan, ungkap Abduil Azis, karena sesungguhnya dari jawaban itu kita sejatinya sudah tahu bahwa alasan itu hanya alibi belaka. “Saat itu saya katakan kepada para guru itu bahwa tidak ada anak yang tidak bisa diajari, dibina dan dididik. Yang ada adalah gurunya yang tidak bisa mengajar, malas, kurang serius dalam membina, dan tidak ikhlas dalam mendidik,” ungkap Abdul Azis.
Belajar Jadi Preman Diamankan Polisi |
Tentang buruknya kualitas mengajar guru, ungkap Abdul Azis, masih lumayan guru tidak kompeten mau mengajar.”Saya pernah melakukan riset, ada seorang guru, yang tidak pernah sekolah, tiba-tiba dapat ijazah, lalu secara ajaib menjadi guru, dan dapat gaji rutin setiap bulan padahal dia tidak pernah ngajar. Usut punya usut, ternyata dia masih memiliki relasi kekerabatan dengan pejabat pemerintah setempat. Ini adalah fakta! Apa ini tidak kurang ajar?” ucap Abdul Aziz geram.
Nanang, mahasiswa lulusan S-2 Pendidikan Agama Islam yang resah dengan kondisi pendidikan nasional mengajukan pertanyaan seputar kelayakan lembaga pendidikan yang pantas untuk diberi kepercayaan mendidik. “Melihat kondisi pendidikan kita yang jelas-jelas tak memiliki arah dan tujuan ini, lembaga pendidikan yang mana dan yang bagaimana yang masih bisa dipercaya untuk mendidik anak Pak?”
“Benar Pak,” sahut Yudi mengungkapkan kekhawatiran para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya bukan saja akibat bullying namun juga akibat semakin maraknya kasus-kasus amoral di dunia pendidikan seperti aksi para pedofilia menyodomi anak-anak sebagaimana yang terjadi di Jakarta International School, Santa Monica, SD di Bogor, SD di Bandung, SDI di Malang, yang mana sekolah-sekolah itu bisa dikatakan sekolah unggulan.”
Guru Bisa Jadi Predator Anak |
Kedua, orang tua memiliki tanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak di luar sekolah. Mereka tidak bisa memasrahkan anak sepenuhnya kepada pihak sekolah. Pendidikan di rumah harus menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti kepada anak. Bahkan jika perlu ada semacam punish and reward, tentu yang tidak menekan psikis anak. Dari sini, ungkap Abdul Azis, untuk menjadi orang tua, para kaum muda harus mencerdaskan dirinya terlebih dahulu, karena menjadi orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap keberlangsungan hidup putra-putrinya.
Ketiga, kita harus pula mengubah mindset berpikir orang tua terhadap definisi sekolah yang baik. Banyak orang tua yang mengalami demam Full Day School, demam Sekolah bertaraf Internasional, Sekolah Plus, dan sekolah-sekolah sejenis di mana sekolah yang baik versi mereka adalah sekolah yang gedungnya megah, biayanya mahal, berangkat pagi pulang sore sehingga orang tua bisa bekerja penuh, dan sebagian diantar jemput pihak sekolah.
William J Vahey Hewan Predator Anak |
Posted by Tina Siska Hardiansyah
You have read this article Budaya
with the title Sekolah Tanpa Arah Tanpa Tujuan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/sekolah-tanpa-arah-tanpa-tujuan_23.html. Thanks!
No comment for "Sekolah Tanpa Arah Tanpa Tujuan"
Post a Comment