Oleh: Isma Farikha Latifatul Nuzulia*)
Pemikiran-Pemikiran yang Dihasilkan Montesquieu
Trias Politica
Sejarah Awal Trias Politica
Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di masa Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah pada keduanya. Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kala itu kerap kali Eropa dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Pengertian Trias Politica
Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
Dalam bukunya tersebut, dijelaskan bahwa Trias Politika merupakan teori yang mengindikasikan adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak dalam pemerintahan untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pemerintah sehingga hak masyarakat dapat terjamin. Kelly (2011) menyebutkan pula bahwa di antara ketiga lembaga yang memiliki kekuasaan yang berbeda harus ada saling melakukan check and balances, sehingga tidak ada satu lembaga yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari pada lembaga yang lain. Pembagian kekuasaan yang disebutkan Montesquieu antara lain:
Lembaga legislatif, yang terdiri dari orang-orang tertentu yang dipilih untuk membuat undang-undang, sebagai refleksi dari kedaulatan rakyat, mediator dan komunikator di antara rakyat dan penguasa, dan agretor aspirasi,
Lembaga eksekutif, yakni raja atau di era modern dikenal sebagai presiden yang menjalankan undang-undang, dan
Lembaga yudikatif, yakni lembaga peradilan yang bertugas untuk menegakkan keadilan.
Asumsi dasar yang menjadi penopang lahirnya ide separation of power adalah adanya pemikiran mengenai bahwa kebebasan akan hilang ketika orang yang sama berada dalam satu badan pemerintahan/kerajaan atau satu orang menjalankan tiga kekuasaan dan pemikiran bahwa pelaksanaan lembaga eksekutif dan legislatif yang sama pada satu orang atau satu badan akan mengurangi kebebasan. Oleh karenanya, lahirlah pemikiran mengenai Trias Politika yang berimplikasi pada:
Terjaminnya kebebasan politik bagi rakyat,
Mendeklarasikan kekuatan ilihayah bangsawan dan raja meskipun tetap diakuinya hak istimewa para bangsawan lewat kabinet dua kamar yang saling mengontrol dan mengawasi check and balance, dan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya
Metode terbaik menghindari penyimpangan otoritas.
Dalam pemikiran Montesquieu ini, tidak ada lembaga federatif yang menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain seperti yang diungkapkan Locke sebelumnya. Pasalnya, fungsi lembaga federatif sudah termasuk dalam fungsi lembaga eksekutif. Teori yang diungkapkan Montesquieu ini juga merupakan bentuk penyempurnaan dari teori pemisahan kekuasaan yang sebelumnya telah dijelaskan oleh John Locke. Trias Politika dianggap lebih menjamin hak kebebasan individual, sehingga, di era modern, teorinya dipraktikan oleh negara-negara demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, seperti Amerika Serikat.
Konsep Trias Politica
Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya
Karya Montesqiueu ini hampir diterapkan di seluruh Negara di dunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoritarian karena tidak adanya pembagian kekuasaan.
Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.
Konsep-konsep Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, Undang-undang Migas, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indonesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan.
Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya kasus suap, gratifikasi, korupsi yang dilakukan anggota DPR dan maraknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di tengah aneka isu politik.
Fungsi-Fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Gouvernment, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris dan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri, demikian pula di Jepang. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian
Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer
Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
Fungsi-Fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Filosofi
Gagasan mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan di dunia modern. Ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, antara lain George Washington dan Thomas Jefferson karena pemikirannya mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII. Gagasannya mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan (separation of powers) Negara ke dalam tiga bentuk kekusaan (eksekutif, legislative, dan yudikatif) di terapkan di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat maupun Negara berkembang seperti Indonesia. Digunakan Teoris Politica oleh para pendiri republik (founding fathers) sebagai sendi konseptual ketatanegaraan kita menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh Montesquieu terhadap mereka.
Esensi dari gagasannya mengenai 3 (tiga), pilar pembagian kekuasaan, atau tiga pilar Supra Struktur Politik dari suatu pemerintahan Negara berkaitan erat dengan kemerdekaan, yakni untuk menjamin adanya kemerdekaan. Kemerdekaan itu bukanlah kemerdekaan sesuka hati yang memberikan hak pada seseorang untuk mengangkat senjata, memaksakan kehendaknya dengan segala kekerasan terhadap yang lain. Masyarakat pada dasarnya harus memiliki hukum, kemerdekaan adalah hak untuk berbuat apa yang dibenarkan dan diizinkan oleh hukum. Makna kemerdekaan bagi Montesquieu adalah bentuk ketentraman hati yang ditimbulkan dari rasa keamanan diri, dimana seseorang tidak merasa takut dihadapan orang lain, pemerintah mengadakan suasana yang demikian. Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya, aspirasi, keinginan, dan gagasan batas tidak keluar dari aturan hukum yang berlaku. Keadaan pemerintah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Rasa aman, ketentraman dan kedamaian itu.
Menurut Montesquieu, hukum sebenarnya memiliki pengertian yang amat luas , bersikap komplek, berkembang, berubah, dan segala hubungannya yang mungkin ada yang dapat di bayangkan antar manusia adalah hukum. Oleh sebab itu, hukum dalam pengertian yang luas menyebabkan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, maka hukum meliputi juga adat kebiasaan. Ia juga memiliki pebedaan penjelasan secara lebih konkret antara hukum dengan adat, bahwa hukum di pergunakan dalam pengertian yang lebih sempit dekat dengan hukum yang dibuat atau dibentuk dalam masyarakat manusia. Adapun hukum atau undang-undang alam dengan melihat adanya keteraturan dan susunan yang tetap. Bedanya manusia dengan undang-undang alam adalah terletak kepada kemauan, manusia berkemauan dan dapat mengadakan perubahan, ini dalam undang-undang akan memberikan corak dari aturan yang mengatur dirinya. Maka sifat yang khas manusia itu, melalui fitrah, budi dan akalnya dapat dijumpai adanya etika politik dan sebagainya. Perbedaan tempat, masa, pengaruh lingkungan iklim, alam lingkungan sekitarnya memainkan peran yang penting untuk lahirnya kelainan kebiasaan, adat-istiadat, hukum dan sifat-sifat pemerintahan dalam setiap negeri.
Hal lain yang juga penting untuk di kemukakan dari pandangan tokoh pemikir ini adalah mengenai keadilan. Keadilan merupakan suatu pengertian yang telah ada lebih dulu sebelum adanya hukum positif. Manusia harus menyesuaikan diri dengan keadilan dan hukum positif yang sesuai dengan keadilan itu adalah hukum yang benar. Mengenai pembentukan undang-undang yang sesuai bagi negara, dari segi praktis pembentukan udang-undang itu harus mengenal semangat bangsa, yang pembentukannya melihat aspek iklim, agama, hukum yang ada, pendapat, pemikiran tentang pemerintahan serta politik pada umumnya, kebiasanan yang telah berjalan, sikap serta tindak-tanduk manusia. Semua ini akan menentukan bagaimana tipe pemerintahan itu. Pandangan lainnya adalah berkaitan dengan kebebasan, Montesquieu mengagumi semangat kebebasan.
Ia mengagumi pandangan Politik di masa Romawi di mana agama dimanipulasi untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan dan stabilitas politik. Agama itu untuk semata kejayaan, perekat, dan keberlangsungan imperium Romawi. Namun ia mengkritis agama Kristiani, menurutnya agama ini tidak membawa kebajikan moral kepada rakyatnya serta imperium Romawi. Saat Kaisar Konstantin Agung memeluk agama Kristiani dan memperlakukan sebagai agama negara, dalam kenyataannya, agama ni tidak mampu mengubah sifat-sifat kejam serta orang-orang romawi. Kejatuhan Romawi di sebabkan watak mereka yang suka berperang dan membunuh. Mereka demekian besar untuk melakukan penaklukan bangsa-bangsa yang ada di sekitar imperium, menjarah, merampok, menganeksasi wilayah, tanah serta wanita dari negeri yang ditaklukan. Ini memicu kejatuhan imperium, sebab dengan meluasnya wilayah kekuasaan yang pengolahnya di bawah para panglima militer, tampaknya mereka berhasil mengukuhkan pengaruh di wilayah yang ditaklukan dan melemahnya kontrol pemerintahan pusat. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya apa yang dikenal dengan gerakan sentrifugal; terkikisnya loyalitas para panglima dan prajurit terhadap pemerintah pusat, menguatnya pengaruh budaya local, akhirnya adanya keinginan untuk melepaskan diri dari pusat pemerintah.
Mengenai kedudukan paus, Montesquieu melakukan kritik dengan mengatakan Paus telah menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar menyindirnya sebagai “tukang sulap” yang lain. Paus menuntut orang agar percaya pada Doktrin Trinitas, Tuhan terdiri atas tiga oknum tetap satu; tiga tetapi satu. Juga doktrin bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembaptisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus.
Montesquieu juga melakukan kritikan kepada agama Islam, melalui karikatur watak Usbek, yang dilukiskan sebagai seorang Muslim ortodoks yang saleh. Islam digambarkan sebagai agama yang membolehkan pemilikan harem. Ia mengkritik praktek itu sebagai despotisme seksual yang seakan diidentikkan dengan agama yang dianut. Akibatnya perempuan tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki kaum lelaki. Despotism dalam bentuk apa pun tetap akan selalu menindas rasionalitas serta kebebasan berpikir serta menyebabkan terjadinya penindasan yang membinasakan kemanusiaan.
Montesquieu mengemukakan alasan mengapa ia membagi ketiga kekuasaaan tersebut karena bersangkut paut dengan apa yang disebut kemerdekaan. Pembagian tersebut adalah untuk menjamin adanya kemerdekaan. Seperti yang dikatakan olehnya: “Apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan. Juga, tidak akan bisa ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislative dan eksekutif. Apabila kekuasaan mengadili ini digabungkan pada kekuasaan legislative, kehidupan dan kemerdekaan kaulan-negara akan dikuasai oleh pengawasan sesuka hati, oleh sebab hakim akan menjadi orang yang membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan pada kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Akan berakhir pulalah segala-galanya apabila orang-orang yang itu juga, ataupun badan yang itu juga (apakah badan ini terdiri dari orang-orang bangsawan atau rakyat banyak) yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu.”
*) Isma Farikha Latifatul Nuzulia, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya Malang.
You have read this article Filsafat
with the title Charles de Montesquieu, Trias Politika. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/charles-de-montesquieu-trias-politika.html. Thanks!
bukannya trias politik sdh lahir di tanah air Indonesia yg dulu bernama Nusantara ...mohon di pembetulan judul 👍
ReplyDelete