Oleh: Isma Farikha Latifatun Nuzulia*)
Biografi Charles de Montesquieu
Montesqiueau yang memiliki nama lengkap Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu, lahir pada 16 Januari 1686 di sebuah puri yang terletak di dekat perkebunan anggur di Bordeaux di daerah barat daya Prancis. Montesquieu lahir pada zaman Raja Louis XIV (1638-1715) di mana pada masa pemerintahan ini merupakan pemerintahan yang tidak nyaman bagi warga Prancis karena terjadi peperangan mengenai agama dan budaya yang merugikan warga Prancis. Keadaan inilah yang nantinya menimbulkan keingintahuan Montesquieu dalam bidang sosial dan hukum.
Ayah Montesquieu bernama Jacques de Secondat adalah perwira militer yang merupakan keturunan bangsawan. Sedangkan ibunya, Marie Françoise de Pesnel yang merupakan wanita kaya raya, namun sudah meninggal ketika Montesquieu berusia 7 tahun. Seperti kebiasaan yan berlaku dewasa itu, Montesquieu diasuh oleh gelandangan (pengemis) yang berasal dari desa La Brede. Bahkan tiga tahun pertamanya Montesquieu dirawat dan dibesarkan oleh petani di penggilingan La Brede. Lingkungan inilah yang menyebabkan Mostenquien memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap orang-orang miskin. Bahkan Mostesquieu berbicara layaknya orang kelas bawah yang menggunakan logat Goscan yaitu logat yang kasar dan keras.
Pada tahun 1700 Montesquieu dikirim untuk belajar ke College de Juilly Seine-et-Marne di Meaux, sebuah lembaga Oratorium di dekat Paris yang mengajarkan ilmu-ilmu klasik dan pokok bahasan modern dan ilmiah. Di sini mulai tumbuh keingintahuan Montesquieu terutama di bidang choses Romanies, yang terlihat dari tulisan-tulisan Montesquieu yang mengungkapkan sejarah pada periode Prancis. Kemudian pada tahun 1705 Montesquieu melanjutkan pendidikannya di Universitas Bardeaux pada bidang ilmu Hukum. Ia mengambil hukum karena ia sadar kelak akan menggantikan kedudukan pamannya sebagai president a mortier di Parlemen Bordeaux, karena pamannya tidak memiliki anak. Pada 29 Juli 1708 Montesquieu lulus sebagai wisudawan termuda di bidang hukum di Universitas Bardeaux.
Pada 12 Agustus 1708, Montesqueiu mendapat izin menjalankan praktek hukum, dan pada 14 Agustus 1708 dia diterima sebagai advokat dalam Parlemen Bordeaux. Pada tahun yang sama juga, dia mulai menggunakan gelar “Seigneur de Montesquieu, Baron de La Brede”. Kemudian mulai tahun 1709 sampai 1713 ia menetap di Paris untuk meneruskan studi ilmu hukum dan pelajaran lainnya. Di sinilah dia mulai berkenalan dan bersahabat dengan seorang Pendeta Oratorian, Nicolas Desmolets, yang kemudian berperan besar karena dari pendeta inilah, Montesquieu banyak meminjam buku-buku yang kemudian menjadi sumber bagi karya Spicilige, yang ibaratnya menjadi gudang intelektual tempat Montesquieu menyimpan berbagai pemikirannya mengenai persoalan ilmiah dan sejarah. Montesquieu juga sangat tertarik mengkaji tentang persoalan-persoalan agama dan keyakinan.
Montesquieu menikah dengan Jeanne de Lartigue, yang merupakan seorang protestan yang membawa mahar besar. Mereka dikaruniai tiga orang anak Jean-Baptise (1716), Marie-Chaterine (1717), dan Denise (1727). Garis keturunannya tergolong istimewa, gabungan antara nobless d’eppe dan nobless de robe. Pada tahun 1714 Montesquieu terpilih untuk Academy of Bordeaux. Tahun berikutnya, pada kematian pamannya Jean Baptiste, ia mewarisi jabatan baron penasehat untuk Bordeaux Parlement.
Montesquieu tidak begitu tertarik bekerja pada bidang hukum, namun ia lebih tertarik belajar menulis. Hal itu terlihat dari dijualnya kantornya sebagai presiden Bordeaux Parlement di tahun 1721, dengan begitu Montesquieu bisa menulis dengan leluasa kembali. Suksesnya publikasi buku Lettres Persianes (Persian Letters, 1721). Surat Persia adalah pandangan sengit dan menggigit sangat kritis peradaban Eropa dan sopan santun. Dalam buku yang ditulisnya itu Montesquieu menceritakan orang Persia yang pergi ke Eropa kemudian mengkritik Eropa (Prancis) adat dan lembaga. Pesannya adalah bahwa masyarakat berlangsung hanya atas dasar kebajikan dan keadilan, yang berakar pada kebutuhan kerjasama manusia dan penerimaan. Di dalam surat tersebut juga menggambarkan korespondensi antara Usbek dan Rica dengan orang-orang Persia lain di negeri asal mereka yang memuaskan hasrat orang-orang abad kedelapan belas untuk mengetahui Timur dengan adanya penyajian sekilas mengenai kehidupan Poligami di harem-harem Turki. Banyak benih ide dalam Persian Latters ini yang kemudian dikembangkan lebih penuh dalam The Spirit Of Laws, dan pandangan Montesquieu mengenai sifat-sifat les choses humaines juga muncul dengan kekuatan penuh. Meskipun Surat diterbitkan tanpa namanya, itu cepat diakui sebagai karya Montesquieu dan memenangkan persetujuan dari masyarakat dan ketidaksenangan gubernur, Kardinal André Fleury, yang mengangkat keterkenalan Montesquieu ke dalam Akademi Perancis sampai tahun 1728.
Kritik satiris atas politik dan agama Prancis yang menjadi ciri khas pemikiran kaum philosophe pun lebih sering dilakukan oleh Montesquieu, terutama dengan minatnya yang suka membandingkan tipe-tipe kepribadian bangsa dan ketertarikannya yang kuat pada hal-hal yang bersifat asing dan eksotik. Montesquieu juga mengungkapkan dalam karya-karya awalnya, bahwa kebijakan yang muncul dari dalam diri sendiri lebih unggul daripada paksaan pemerintah. Setelah kesuksesan karya Persian Letters, Montesquieu mulai menghabiskan banyak waktunya di Paris. Ia kerap terlibat di Entresol Club, di Salon-Salon Madame de Lambert, Mme Geoffrin, dan Mme de Trencin dan turut serta dalam kelompok Duc de Bourbon, orang nomor dua setelah sang Regent, Duc d’Orleans. Dan di bawah pengaruh masyarakat Paris yang penuh dengan tatakrama, Montesquieu mencoba menulis beberapa karya dengan gaya tinggi, seperti misalnya Temple of Cnibus (1725) yang agak porno, berisi kisah cinta yang lebih dimaksudkan untuk memberikan kesenangan dan bukan untuk mencerahkan akal pikiran.
Montesquieu hanya sedikit merasakan kepuasan dalam menjalankan tugas parlemennya. Ia lebih tertarik dengan gambaran besar ”semangat” hukum daripada transaksi-transaksi harian sidang pengadilan. Kehidupan sebagai magistrat bordelais jelas tidak menarik hatinya. Kutipan terkenal berikut ini dalam karyanya Pensee menunjukkan rasa tidak sukanya pada jabatan yang diwarisinya: ”Tekait dengan profesiku sebagai presiden”. Yang juga menyingkapkan kurangnya antusiasme Montesquieu terhadap tugas-tugas parlemennya adalah usulnya pada 1723 bahwa presidents a mortier tidak harus menghadiri pertemuan-pertemuan parlemen pada waktu sore hari. Pada tahun 1726 Montequieu menjual kursi jabatannya dengan syarat bahwa kedudukan itu akan dikembalikan lagi kepada keluarga Secondat bila pembelinya meninggal dunia. Penjualan itu terlaksana pada Juli 1726, dan pada awal tahun baru Montequieu telah meninggalkan La Brede ke Paris. Pada April 1728, dengan ditemani oleh Waldegrave, keponakan Duke Berwick, Montequieu meninggalkan Prancis menuju kekaisaran Romawi melalui jalur Wina dan kemudian ke Hongaria, Venesia, Milan, Turin, Genoa, Pisa, Florence, Roma, dan Napoli. Pengalaman-pengalamannya di Italia mengembangkan hasratnya akan seni murni, hatinya tergerak oleh karya-karya Raphael.
Ia juga mengamati Republik Venesia dan kesempatan ini konon telah melunakkan minatnya terhadap republik, seperti terlihat dalam Persian Letters. Pada 1729, Montesquieu meninggalkan Italia dan menempuh perjalanan ke utara melalui Jerman Selatan, Rhine, Belanda, dan akhirnya pada 23 Oktober 1729 sampai di Inggris. Begitu di Inggris ia dengan lincah masuk ke kalangan Istana dan kalangan ilmiah, dan lewat persahabatannya dengan Martin Folkes, ia dipilih sebagai anggota Royal Society. Ia menghadiri debat-debat parlemen, membaca buku Craftsman karya Bolingbroke, mulai menulis karya tentang sejarah Romawi, dan menekuni pemikiran-pemikiran Romawi.
Pada Agustus 1731, setelah pergi dari La Brede, Montesquieu kembali pulang melalui Paris ke Prancis baratdaya. Begitu tiba, ia langsung memulai pekerjaan besarnya. Semangat bermain-main dalam Temple of CnidusI untuk sementara ia tinggalkan, dan pekerjaan berat menyusun The Spirit o Laws dimulai. Buah pertama dari apa yang nantinya akan menjadi upaya panjang dan heroik untuk mengungkap rahasia-rahasia les choses humaines adalah karyanya berjudul Considerations on the Causes of the Grandeur of the Romas and Their Decline (1734). Dalam karya ini, Montesquieu menyajikan analisis sebab akibat yang sangat selektif atas faktor-faktor yang terutama telah membuat bangsa Romawi mengalami perkembangan kemakmuran dan kebugaran Politik pada masa Republik dan kemudian faktor-faktor yang menyebabkan kejatuhannya pada periode Kekaisaran.
Menurut Montesquieu Romawi mengalami kejayaan selama penaklukan-penaklukan wilayahnya karena mereka tidak mengabaikan semangat tunggal untuk berbakti tanpa pamrih bagi kesejahteraan umum yang telah menjadi ciri khas kehidupan politik pada masa awal Republik. Pada mulanya, menurut Montesquieu, Romawi merupakan suatu kumpulan yang terjalin erat dengan didukung oleh gambaran idaman potretnya mengenai pemerintahan demokratis dalam Buku II, Bab 4, The Spirit Of Laws. Tetapi begitu hak-hak kewarganegaraan Romawi diperluas kepada semua orang di semenanjung Italia dan begitu para Serdadu Romawi mulai menunjukkan kesetiaan mereka bukan kepada negara melainkan kepada komandan atasan mereka, maka semangat awal yang mendukung kebebasan dan kebesaran Romawi mulai memudar. Menurut Montesquieu, bukan hanya perubahan psikologis dan perubahan wilayah saja yang menyebabkan mundurnya bangsa Romawi. Mentalitas Bangsa Romawi merosot, karena mereka gagal mengubah hukum mereka begitu kejayaan tercapai.
Montesquieu, sama dengan sahabat-sahabat lainnya: Voltaire, Gascon, Montaigne adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Buku bagi mereka adalah seperti sahabat tetapnya. Baginya kesenangan belajar adalah jauh lebih indah dan tetap daripada kesenangan lainnya yang bersifat duniawi dan inderawi yang banyak dicari orang. Pada masa mudanya, ia pernah menyatakan menulis mengenai hal-hal yang mendorong adanya penelitian ilmiah: ”Kecintaan kita untuk belajar hampir merupakan satu-satunya hasrat kita yang abadi. Semua yang lain meninggalkan kita dengan begitu cepat seperti mesin yang menyeret kita pada kehancuran. Pada masa tua, seseorang akan merasakan bahwa jiwa kita adalah bagian yang terpenting, dan seperti rantai-rantai yang mengikatnya, indera-indera kita pun akhirnya rusak”.
Dalam pernyataan tersebut, kita akan merasakan bahwa baginya tidak ada kejemuan dalam membaca. Ia menemukan dunia dan juga dampak dari kegemaran ilmiahnya dengan kerja kerasnya yang berlebihan. Sementara kebanyakan Agama menawarkan sikap santai yang damai bagi para penganutnya, yang bagi Montesquieu dipandangnya sebagai suatu neraka yang sempurna. Hal itu terbuktikan dengan akibat yang dia terima dari kerja kerasnya dalam menyelesaikan The Spirit of Laws : Matanya menjadi masalah terbesar.
Ia menulis kepada Barbot, temannya, di tahun 1742: ”Andai aku tidak gila, aku tidak akan menulis satu barispun. Tetapi yang menghancurkan aku adalah ketika aku membayangkan hal-hal agung yang bisa kulihat seandainya aku masih punya mata”. Ketika karyanya hampir selesai setengah dasawarsa kemudian, rasa lelahnya hampir memuncak. ”Aku merasakan kelelahan yang luar biasa. Aku berniat beristirahat pada hari-hari berikutnya”, tulisnya pada Cerati, sahabatnya yang lain. Juga kepada Barbot, ia menceritakan bagaimana ia menghabiskan delapan jam setiap hari untuk mengerjakan The Spirit of Law dan memandang waktu selebihnya sebagai waktu yang terbuang percuma, dari sinilah ia mempunyai optimisme bahwa apa yang ia kerjakan tidaklah sia-sia: ”Bisa kukatakan bahwa aku tidak percaya bagaimana ada orang yang mau membuang-buang waktunya lantaran hartanya yang berlimpah.” Manuskrip The Spirit of Law yang sekarang ditempatkan di Bibliotheque Nationale mengungkapkan bahwa sebagian besar karya itu telah diselesaikan pada tahun 1743, tetapi ia masih berjuang untuk membubuhkan rincian-rincian, bentuk yang pas dan memoles sesuai dengan yang dia inginkan. Tetapi ia juga merasa takut kalau-kalau karyanya tidak disambut dengan baik.
”Karya ini merupakan buah perenungan seumur hidup, dan mungkin saja dari kerja keras ini, kerja keras dengan maksud-maksud terbaik, kerja keras yang dilakukan untuk manfaat semua orang, saya hanya akan mendapatkan kesengsaraan dan dibalas dengan sikap dungu dan iri hati”. Montesquieu tentu saja menyadari bahwa The Spirit of Law akan menjadi sumbangan utamanya yang terakhir, dan meski begitu ia menampilkan semacam kerendahan hati yang begitu menarik seperti lazim pada diri para pengarang besar. Beberapa bagian terasa begitu menggetarkan ketika Montesquieu mengungkapkan di dalamnya bahwa ia tidak merasa sebagai seorang pengarang yang secara sembrono memandang sempurna karyanya, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa tidak ada karya yang benar-benar selesai dan tidak ada karya yang hasilnya benar-benar memadai seperti yang diharapkan oleh pengarangnya.
”Saya berencana menuangkan ide dalam pembahasan yang lebih dalam dan lebih luas di beberapa bagian karya ini, tetapi saya merasa tidak sanggup melakukannya. Kegiatan membacaku telah melemahkan mataku, dan sepertinya cahaya yang sampai mataku sudah seperti cahaya senja, saat mataku akan menutup selamanya. Saya hampir mencapai saat di mana saya harus mengawali dan mengakhirinya, saat yang menyingkapkan dan menabiri segalanya, saat yang mencampuradukkan rasa getir dan bahagia, saat ketika saya akan kehilangan segala sesuatu kecuali kelemahanku. Dalam keadaan menyedihkan yang kudapati pada diriku, tidaklah mungkin bagiku untuk memberikan sentuhan akhir pada karya ini, dan beribu kali saya hendak membakarnya, jika aku tidak berpikir bahwa akan merupakan hal yang mulia bila kita membuat diri kita bermanfaat bagi manusia hingga hembusan nafas terakhir kita".
Atas semua penolakan dari kaum Jansenis dan Jesuit, Montesquieu menyerang balik dengan rasa kesal dan berapi-api, bahkan sebagian orang memandang bahwa kekuatan tulisannya mencapai titik puncaknya dalam karyanya Defense of The Spirit of Laws (1750) dan juga dalam Responses and Explanations Given to The Faculty of Theology of University of Paris (1752-1754), dua karya yang ditulis sebagai jawaban penolakan terhadap The Spirit of Laws. Kebencian pihak Gereja terus berlangsung meski ia sudah melakukan berbagai upaya untuk itu, dan akhirnya karyanya tetap dimasukkan dalam Indeks pada November 1751. Montesquieu akhirnya bisa lepas dari itu semua empat tahun kemudian, yaitu pada 10 Febuari 1755 saat ia meninggal di Paris. Saat mana kemudian seluruh Prancis mengakui kehilangan salah satu dari Philosophe besar generasi pertama yang beserta Voltaire, telah melakukan banyak hal untuk merumuskan cita-cita pencerahan.
(Bersambung)
*) Isma Farikha Latifatun Nuzulia, adalah mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya.
You have read this article Filsafat /
Pendidikan
with the title Pendidikan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/charles-de-montesquieu-penggagas-trias_15.html. Thanks!