Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Siklus Pawukon Dalam Kalender Nusantara

 Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
            Setelah para murid memahami satuan wewaran dan tanggal – panglong sebagai dasar paradigmatik sistem kalender Nusantara, Rakean Jambri mengajarkan satuan wuku yang disebut pawukuan atau pawukon sebagai bagian dasar paradigmatik sistem kalender Nusantara. Menurut Rakean Jambri, sistem pawukon ini dijadikan bagian dari sistem kalender Nusantara oleh Raka i Mataram Ratu Sanjaya sekitar tahun 654 Saka atau 732 Masehi, sewaktu Raka i Mataram Ratu Sanjaya menduduki tahta Mataram karena pernikahannya dengan Dewi Sudiwara puteri Narapati Dewasimaha.  
         
            Satuan Wuku yang ditetapkan Raka i Mataram Ratu Sanjaya adalah  suatu sistem mingguan yang jumlahnya dalam satu siklus ada 30 wuku.  Satu satuan  wuku memiliki umur tujuh hari, dimulai dengan  Wuku Sinta (wuku pertama) dan diakhiri dengan Wuku Watugunung (wuku ke-30). Perhitungan wuku dimulai pada hari Raditya (Ahad) saat matahari tergelincir. Sistem wuku ini berdasar perhitungan bumi pramana, yaitu perhitungan di atas kertas. Karena satu siklus wuku ada 30 dan wuku merupakan sistem mingguan,  maka satu tahun wuku  usianya adalah  30 x 7 hari = 210 hari. “Nah nama-nama wuku yang 30 itu bisa kalian lihat pada tabel ini,” kata Rakean Jambri menyodorkan sebuah tabel berisi  daftar nama wuku yang berjumlah 30 itu.
             Para murid bergantian melihat tabel berisi nama-nama wuku, yang urutannya sebagai berikut: 1.Sita, 2.Landhep, 3.Wukir, 4.Kurantil, 5.Tolu, 6.Gumbreg, 7.Warigalit, 8.Warigagung, 9.Julungwangi, 10. Sungsang, 11.Galungan, 12.Kuningan, 13.Langkir, 14.Mandasia, 15.Julungpujut, 16.Pahang, 17.Kuruwelut, 18.Marakeh, 19.Tambir, 20.Medangkungan, 21.Maktal, 22.Wuye, 23.Manahil, 24.Prangbakat, 25.Bala, 26.Wugu, 27.Wayang, 28.Kulawu, 29.Dhukut,  30. Watugunung.
               Setelah para murid mencatat tabel nama-nama wuku, Rakean Jambri menjelaskan bahwa  satu siklus wuku dalam satu tahun yang berjumlah 210 hari  itu disebut siklus kecil. Sedang satu siklus besar dari wuku usianya adalah delapan (8) tahun  yang disebut  Windu. Dalam satu siklus windu yang delapan  itu masing-masing tahunnya diberi nama, yaitu: 1.Alip, 2.Ehe, 3.Jimawal, 4.Je,  5.Dal, 6. Be, 7. Wawu, 8.Jimakir. Sedangkan satu satuan windu dalam kalender Nusantara  jumlahnya ada empat, yang  masing-masing windu diberi nama: 1.Adi, 2.Kunthara, 3.Sangara, 4.Sancaya.  Siklus dari empat  windu akan terjadi  pada  windu keempat, yaitu 32  tahun. Sedang 1 (satu) windu Candra Pramana hitungannya ketemu 96 bulan yang  sama dengan 13,5 siklus wuku, yaitu  2835 hari. Angka 2835 dapat dibagi dengan kelipatan 3 x 5 x 7 = 105 hari. Berarti dalam satu windu akan berulang satuan tanggal, bulan, pasaran, dan harinya. Satu windu (2835 hari)  habis dibagi 35 (siklus selapan). Dua windu (5670 hari) habis dibagi 210 hari (siklus wuku). Demikianlah, dalam hitungan 8 windu (64 tahun) yang disebut siklus besar Tumbuk Agung,   semua unsur  hari, pasaran, paringkelan, astawara, sangawara, dan wuku akan kembali seperti 8 windu sebelumnya.
             “Mohon maaf, romo guru,” kata Ki Bhramanta ingin tahu,”Apakah ada riwayat bagaimana Raka i Mataram Ratu Sanjaya menetapkan nama-nama dari wuku? Saya merasa, semua nama dalam 30 wuku di kalender Nusantara itu pasti memiliki latar riwayat sendiri-sendiri.”
            “Itu benar demikian,” kata Rakean Jambri,”Semua nama wuku berhubungan dengan nama-nama isteri, putera-puteri, menantu, dan cucu dari Raka i  Mataram Ratu Sanjaya. Bahkan sebagian nama wewaran juga dimasuki oleh nama-nama orang yang beliau kasihi. Itu sebabnya, baik wewaran maupun pawukon, memiliki kaitan dengan perwatakan manusia.”
            “Mohon petunjuk romo  guru,” kata Ki Bhramanta semakin ingin tahu.
              “Pertama-tama,” kata Rakean Jambri memberi penjelasan,”Nama wuku pertama: Sinta, dipungut dari nama Dewi Sinta, isteri Raka i Mataram Ratu Sanjaya yang melahirkan seorang putera bernama Raden Radite. Namun Dewi Sinta itu kemudian dianugerahkan sebagai garwa triman kepada puteranya, Raden Watugunung yang bergelar Raka i Panangkaran.  Dewi Sinta dikenal sebagai perempuan yang  memiliki sifat keras dan kuat hasratnya, pintar bicara, lembut hati tetapi pencemburu, perintahnya keras di  awal tetapi lembut di akhir, sering mendapat halangan yang tak tersangka-sangka, menjadi curahan hati bagi mereka yang sengsara dan merana, memiliki cita-cita tinggi yang agung dan mulia. Sangat cakap di dalam melakukan semua pekerjaan. Tangkas. Cerdas. Murah hati. Adil. Suka pamer. Gampang lupa. Dewi Sinta bersinar cemerlang laksana Sang Surya. Bertolak dari keberadaan Dewi Sinta, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Sinta akan cenderung memiliki watak seperti Dewi Sinta.”
            “Wuku kedua: Landhep, dipungut dari nama Dewi Landhep, isteri Raka i Mataram Ratu Sanjaya. Wajah Dewi Landhep digambarkan  bercahaya mempesona. Suasana hatinya selalu terang. Dicintai oleh orang agung. Suka memuji. Perintahnya keras tetapi menyejukkan. Menjadi naungan bagi orang-orang yang mencari perlindungan. Cakap. Murah hati. Baik budinya. Suka dipelihara oleh orang agung. Dapat menjadi penerang bagi orang yang kegelapan. Tajam pikiran. Dicintai oleh kawan-kawannya. Tetapi satu kekurangannya: kurang bisa berterima kasih jika mendapat kebaikan. Bertolak dari keberadaan Dewi Landhep, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Landhep  akan cenderung memiliki watak seperti Dewi Landhep.”
            “Wuku Ketiga: Wukir, dipungut dari nama Dewi Wukir alias  Dewi Tejakancana, permaisuri Raka i Mataram Ratu Sanjaya di Kerajaan Sunda. Wajahnya rupawan. Sifatnya sulit diterka.  Murah hati. Dermawan. Harum bicaranya. Suka merendah. Kebaikan hatinya tak bisa diingkari. Tidak mau ditandingi. Pandai. Cakap dalam semua pekerjaan. Lembut budinya tetapi kuat kemauan. Cenderung menimbang sesuatu dengan perasaan. Suka memamerkan kekayaan. Hampir setiap tahun selalu dihadang oleh  kesulitan-kesulitan yang menjerat.   Bertolak dari keberadaan Dewi Wukir, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Wukir  akan cenderung memiliki watak seperti Dewi Wukir.”
            “Wuku keempat: Kuranthil, dipungut dari nama Dewi Kuranthil alias Dewi Sekar Kurantha, isteri Raka i Mataram Ratu Sanjaya. Wajahnya rupawan. Teguh pendirian. Meski mudah marah tapi mudah disenangi orang. Wataknya boros. Tidak bisa menyimpan harta benda, ibarat orang menuangkan air. Angan-angannya selalu berbeda dengan kenyataan yang dihadapinya. Sebagai pemimpin tidak bisa menjadi pelindung bagi bawahan dan tidak bisa memberi pengarahan yang baik. Rajin dalam bekerja dan disenangi atasan. Bertolak dari keberadaan Dewi Kuranthil, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Kulanthir  akan cenderung memiliki watak seperti Dewi Kuranthil alias Dewi Sekar Kurantha.”
            “Wuku kelima: Tolu, dipungut dari nama Rake  Tolu alias Rakryan Bayu, putera Raka i Mataram Ratu Sanjaya, leluhur orang-orang Bayu. Teguh dalam pendirian namun sabar hatinya. Ulet dalam bekerja sampai membuat bahagia hidupnya. Serius dalam berbicara namun kalau sudah marah sulit redah. Sedikit sombong dan kadang-kadang mau berbohong. Senang bepergian dan membelanjakan uangnya. Senang berniaga.   Bertolak dari keberadaan  Rake Tolu, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Tolu   akan cenderung memiliki watak seperti Rake Tolu alias Rakryan Bayu.”
            “Wuku keenam: Gumbreg, dipungut dari nama  Dewi Gumbreg, isteri Rakai Mataram Ratu Sanjaya. Wajahnya  rupawan. Sabar. Tajam penglihatan. Pikirannya kritis. Menjadi tempat bernaung orang-orang yang mencari perlindungan. Suka berderma tetapi suka menghitung-hitung dermanya.  Kurang kuat semangatnya. Sering gentar dalam menghadapi masalah. Dalam keadaan tenang manis budi bahasanya tetapi  jika marah tidak ada yang ditakutinya. Sifat buruknya, kadang-kadang budinya menjadi liar. Bertolak dari keberadaan Dewi Gumbreg, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Gumbreg   akan cenderung memiliki watak seperti Dewi Gumbreg.”
              “Wuku ketujuh: Warigalit, dipungut dari nama Sang Warigalit alias  Wariga Alit alias Rahyang Panaraban,  putera Raka i Mataram Ratu Sanjaya.  Wajah rupawan. Berwibawa. Dipatuhi perintahnya. Manis budinya. Pandai bicara bahkan cenderung cerewet.  Keputusan-keputusan yang diambil selalu didasari sikap kasih sayang. Kuat kemauan. Bersemangat tinggi. Tidak suka merendahkan hati. Agak lemah budinya. Suka berniaga. Pekerja keras. Semangat mencari kemakmuran tinggi. Bertolak dari keberadaan Sang Wariga Alit, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Warigalit  akan cenderung memiliki watak seperti Sang Warigalit.”
               “Wuku kedelapan: Warigagung, dipungut dari nama Warigagung alias Wariga Agung alias Rahyang Tamperan,  putera Raka i Mataram Ratu Sanjaya  yang bernama Tamperan alias Sang Wariga Agung  yang menjadi Maharaja Sunda dengan gelar Tamperan Barmawijaya. Wajahnya rupawan. Menjadi pusat perhatian dalam pergaulan.  Disukai banyak orang. Besar kemauannya. Suka menikmati perempuan. Banyak isteri. Pencemburu. Panas keinginannya. Gampang lupa. Sifat buruknya, adalah hatinya yang dengki. Sering mengalami penderitaan dan hidup dalam kesedihan karena tak kuasa menahan nafsu keinginan rendah. Suka menyendiri. Bertolak dari keberadaan Sang Wariga Agung, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Warigagung  akan cenderung memiliki watak seperti Sang Wariga Agung.”
           “Wuku kesembilan: Julungwangi, dipungut dari nama  putera Raka i Mataram Ratu Sanjaya  yang bernama Raka i Julungwangi. Rupawan wajahnya. Besar perawakannya. Lincah tindak-tanduknya. Manis bicaranya. Selalu berpandangan baik.  Cakap.  Murah hati. Dermawan. Dicintai banyak orang. Suka berhias. Dipercaya kata-katanya. Suka memberi jika keinginannya dipenuhi. Hasratnya yang besar sering tidak sepadan dengan kekuatan yang dimilikinya. Suka mengkhayal. Bertolak dari keberadaan Raka i  Julungwangi, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Julungwangi  akan cenderung memiliki watak seperti Raka i  Julungwangi.”
            “Wuku kesepuluh: Sungsang, dipungut dari nama putera Raka i Mataram Ratu Sanjaya  yang bernama Rakean  Sungsang. Keras budinya. Menyukai ilmu. Kuat bekerja. Cerdas  jika suasana tenang tetapi bingung dalam menghadapi persoalan.  Menjadi dermawan jika  dipuji. Cenderung boros tanpa terasa. Suka bepergian. Suka lari dari persoalan. Hatinya diliputi kecurigaan. Seringkali menginginkan milik orang lain. Cenderung melakukan tindakan-tindakan yang tidak layak.  Bertolak dari keberadaan Rakean Sungsang, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Sungsang  akan cenderung memiliki watak seperti Rakean Sungsang.”
            “Wuku kesebelas: Galungan, dipungut dari  nama  putera Raka i Mataram Ratu Sanjaya yang  bernama Galungan alias Rakean Dhungkul. Wajahnya rupawan. Ramah. Sabar. Suka bekerja keras. Anehnya pekerjaan yang  gampang sangat sulit diselesaikan karena kurang cermat. Suka berbicara bahkan cenderung cerewet.  Suka berderma. Ringan tangan. Suka menolong.  Sopan. Banyak perempuan terpikat oleh rayuannya.   Suka pada milik orang lain. Gampang marah. Bertolak dari keberadaan Rakean Dhungkul, maka ditetapkan aturan dogmatika dalam sistem kalender Nusantara yang menyatakan bahwa siapa pun di antara manusia yang lahir bertepatan  pada wuku Galungan  akan cenderung memiliki watak seperti Rakean Dhungkul.”
            “Maaf romo  guru,” sahut Ki  Bhramanta,”Berarti wuku-wuku itu adalah nama keluarga Ratu Sanjaya? Itu berarti, yang menyusun siklus pawukon itu Ratu Sanjaya sendiri, begitukah romo  guru?”
            “Tentu saja begitu,” sahut Rakean Jambri.
            “Mohon maaf  romo guru, penjelasan ini sangat penting untuk mengetahui periodisasi penyusunan kalender Nusantara terutama tokoh-tokoh yang terlibat aktif di dalam penyusunannya,” kata Ki Bhramanta.
            “Hmm,” gumam Rakean Jambri,”Bisa aku lanjutkan penjelasanku?”
            “Monggo, romo  guru,” sahut para murid serentak.
You have read this article Budaya with the title Siklus Pawukon Dalam Kalender Nusantara. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/siklus-pawukon-dalam-kalender-nusantara.html. Thanks!

No comment for "Siklus Pawukon Dalam Kalender Nusantara"

Post a Comment