Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Gus Dur - Sang Pluralis Pengawal Kebhinnekaan Bangsa

Oleh: Dwi Esty Januari Ningtyas
                KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur memanglah bukan sosok pemimpin biasa. Ia merupakan pemimpin informal, tepatnya pemimpin kultural yang kharismatik. Gus Dur adalah Putra KH.Wahid Hasyim, menteri Agama RI pertama dan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama Hadlrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Gus Dur  lahir ditengah-tengah kaum sarungan yang notabene kaum santri yang representative mewakili golongan muslim tradisional. Gus Dur  lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940 dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil. Gus Dur menikah dengan Shinta Nuriyah, dan dikaruniai empat orang putri,  yaitu pertama,  Alisa Qotrunnada, ,Zannuba Arifa Chafsoh yang akrab dipanggil Yenny, putri kedua, Anisa Hayatunnufus, putri ketiga, dan Inayah Wulandari putri Bungsu.
                Daya tarik Gus Dur sebagai manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan memang tidak mudah pudar. Gus Dur sepertinya ditakdirkan lahir  dari ummat oleh ummat untuk ummat, yang meniti pendidikannya dimulai dari Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang(1959-1963), yaitu pesantren milik kakeknya dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri. Setelah selesai mondok beliau melanjutkan ke Departemen Study Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar kairo Mesir (1964-1966) dan kemudian melanjutkan studi ke Baghdad pada  Fakultas Sastra Universitas Baghdad (1966-1970). Gus Dur  dikenal akrab dan ramah dengan lingkungan pesantren, masyarakat Indonesia, hingga masyarakat Internasional. Gus Dur juga dikenal sebagai Penggagas di kalangan Nahdliyin sebagai tokoh Islam “Rahmatan lil ‘alamin” di mana beliau tidak memandang ras, suku dan agama. Gus Dur  lahir seolah ditakdirkan sebagai seorang pemimpin multifungsi dan pantas  dijuluki sebagai guru bangsa dan tokoh Pluralisme.


PLURALISME PERSPEKTIF GUS DUR
                Kemajemukan adalah fenomena yang tidak bisa dihindari. Keragaman adalah ada pada berbagai bidang dan ruang kehidupan, termasuk di dalamnya adalah keberagamaan dalam beragama. Pluralitas bukan hanya terjadi dalam ruang lingkup kelompok sosial yang besar, seperti masyarakat, tapi juga terjadi dalam ruang lingkup yang kecil, seperti rumah tangga, ketetanggaan, perkumpulan, klub. Bisa jadi, individu-individu dalam sebuah rumah tangga menganut agama yang berbeda begitu juga di dalam klub, ketetanggaan, perkumpulan. Bahkan Pluralitas bisa saja terjadi pada level penafsiran atas ajaran agama sehingga melahirkan firqah-firqah, mazhab-mazhab dan sekte-sekte.
              Sebelum  membahas lebih jauh tentang makna Pluralisme, terlebih dahulu penting diketahui apa sebenarnya makna dari kata Pluralisme? Pluralisme dipungut dari kata Plural yang maknanya keberagaman. Dan mendapatkan Akhiran Isme yang bermakna Faham. Istilah Pluralisme muncul pertama kali di Barat sekitar abad ke 12 pada MasaYohanes Damasyki, di mana pada waktu itu kurang begitu populer kemudian kira-kira pada  tahun 1854 Pusat gereja Katholik mengeluarkan statemen yang isinya, bahwa selain agama Kristen, hanya Islam yang tidak meyakini ketuhanan Isa Al-Masihi yang diyakini memiliki muatan kenenaran. Maka kemudian John Hick mengeluarkan protes atas keputusan Gereja yang isinya, ”kenapa hanya satu agama saja?”, bukankah agama lainnya juga  memiliki hak yang sama? Bukankah  setiap penganut agama mengikuti apa kata hati nurani (fitrah) apakah mereka tidak termasuk Pendosa? Kemudian John Hick memandang  perlu adanya pengakuan gereja atas agama-agama semuanya, tanpa terkecuali. Kritik John Hick inilah yang akhirnya melahirkan  konsep baru, pemikiran baru, tentang konsep Pluralisme Agama yang kemudian dalam istilah Teologi dikenal dengan sebutan”Revolusi  Copernicus”. Kemudian bagi John Hick Pluralisme Agama adalah sesuatu yang rasional karena mampu memberikan penegasan tentang realitas alam. Yang secara subtansial benar,berkembang tepat dan memperluas jalan bagi masa depan. John Hick memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut:
         “Pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking place ¬ and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent (John Hick in Problems of Religious Pluralism).”
             Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua–keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran, melainkan pluralisme itu sikap keterbukaan. Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandang perbedaan sebatas pilihan.
                      Ihwal keragaman agama, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur menghargai pluralisme non indifferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya. Pemikiran-pemikiran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengenai nilai-nilai pluralisme harus dilanjutkan dalam upaya memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
              Satu hal yang paling konsisten dilaksanakan oleh Gus Dur sejak ia masih menjadi mahasiswa hingga akhir hayatnya, adalah mengenai pemikiran dan tindakannya tentang pluralisme atau keberagaman serta membela kaum minoritas. Perjuangan yang dilakukan Gus Dur dalam menanamkan demokrasi selama ini di antaranya mengandung unsur-unsur pengakuan hak-hak dasar warga negara dan pengakuan pluralisme yang ada di Indonesia. Pengakuan pluralisme di Indonesia ini tentunya sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika sebagai motto bangsa Indonesia yang memberikan tempat terhormat terhadap keanekaragaman yang merupakan fenomena khas Indonesia. Sebagai pemikir Islam terpandang, Gus Dur memang seringkali menyuarakan pentingnya menjadikan Islam sebagai landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ideal Islam seperti keadilan, egalitarian, keterbukaan, demokrasi dan penghargaan pada pluralisme harus menjiwai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang disebut prinsip Islam yang ‘rahmatan lil ‘alamiin’.
                   Bagi pemikir Islam seperti Gus Dur, perubahan dinamis dalam kehidupan masyarakat, menuntut umat Islam untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif sebagai respon terhadap fenomena modernisme yang sarat membawa nilai-nilai sekulerisme, materialism, rasionalisme, pragmatisme yang formalis-positivistik. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, Islam tak perlu ditampilkan secara formal sebagai agama negara yang ikut campur  mengatur kehidupan warganegara. Sebagai bangsa majemuk, umat Islam harus lebih mengutamakan penegakan keadilan, pembangunan demokrasi, dan pengembangan watak inklusivisme. Pandangan Gus Dur tentang Pluralisme, bahwa ia menggambarkan tentang Pluralime seperti yang dialaminya, di mana ada tiga orang mahasiswa yang dujuluki punya kemampuan intelektual yang sangat tinggi dalam  memahami persamaan nasib di Negara orang lain. Intelektual pertama adalah penganut pandangan Pluralistik dalam soal-soal Agama, ia mengakui tentang pentingnya perbedaan pandangan antar kelompok yang begitu beragam. Lalu Sarjana yang kedua, penganut Ortodoksi agama dalam artian yang tulen di mana ia tidak keberatan, jika ada orang menyatakan tentang pendapat berbeda, tetapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan pada ajaran- ajaran formal agamanya, sehingga ia dikatakan sebagai seorang intelektual baik-baik. Dan yang ketiga adalah orang yang dulunya penganjur pembaruan  dan kini berubah identitas, oleh kebutuhan politik.  Lebih tepat ia dinamai Pluralistik kultural dan monolotik Politik. Selama perjalanan puluhan jam ke Negeri asing itu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi di antara mereka. Mungkin mereka berdebat mempertahankan kecenderungan mereka masing-masing. Atau bermanis-manis membicarakan hal-hal yang disepakati, yang jelas sewaktu turun dari pesawat terbang  masing-masing berpegang teguh pada pendirian masing-masing, akan tetapi pengalaman di Negeri orang itu ternyata menyamakan sikap mereka. Ketiga orang itu menolak mengikuti konferensi dan seminar, ketika seorang tokoh separatis dari Negerinya sendiri diterima sebagai peserta. Tokoh separatis itu jelas akan dihukum mati kalau tertangkap, dan dibawa ke pengadilan Negerinya -- yang juga negeri mereka bertiga --Indonesia tercinta. Separatis itu  bisa selamat dari hukuman mati karena menghilang dan muncul di luar Negeri antara lain di forum-forum ilmiyah seperti di atas. Yang menarik dari pernyataan tiga mahasiswa di atas adalah kenyataan tentang ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan. Maksudnya, mereka bukan membentuk  persekutuan baru tetapi  untuk memperluas kesadaran mereka sebagai bangsa yang majemuk.
             Gus Dur sendiri telah mencontohkan selama menjadi presiden RI dengan menetapkan Imlek sebagai  hari  libur Nasional, itu menunjuk bagaimana Gus Dur menghargai Pluralisme dan keberagaman. Imlek, hari raya etnis Tionghoa, dijadikan hari libur Nasional dan masyarakat Tionghoa diberi kesempatan berekspresi dengan bebas memainkan tari barongsai yang sebelumnya dianggap tabu untuk dimainkan pada era Orde Baru, tetapi justru diberi tempat pada Era Pemerintahan Gus Dur. Bahkan yang tegas-tegas menunjukkan bukti bahwa Gus Dur pluralis adalah sewaktu beliau menetapkan Kong Hu Cu sebagai agama keenam yang diakui selain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Buddha. Apa yang dikatakan Gus Dur tentang Pluralisme tidak harus  menjebak kita untuk  mengartikan bahwa Gus Dur adalah sosok tokoh yang  suka mencampuradukkan antara agama satu dengan yang lainnya, karena seringnya Gus Dur bekerjasama dengan orang-orang non Muslim dan mungkin para kyai dan Gus-Gus yang notabene paradigma alur pemikirannya yang cenderung kesalaf -salafan, sehingga mereka terjebak untuk menilai ‘miring’  pada gaya-gaya Gus Dur yang bekerjasama dengan Simon Peres, Gus Dur yang menerima Penghargaan Ramon Magsasay, Gus Dur yang  keluar masuk kelenteng dan gereja, Gus Dur yang punya ide-ide  nyeleneh tetapi  cerdas, bahkan terkadang cenderung seperti memojokkan Islam itu sendiri, bahkan tak jarang  para kyai  dibikin repot  ucapan-ucapannya yang tidak mudah dicerna dan difahami kalangan awam. Bahkan yang lebih keras lagi adalah pandangan kalangan fundamentalis  yang sampai menuduh Gus Dur sebagai seorang muslim yang telah murtad dan kafir.
               Apa pun tanggapan orang tentang apa yang diucapkan dan dilakukan Gus Dur  selalu menjadi menarik untuk dijadikan referensi calon ilmuwan, tetapi tidak hanya ilmuwan saja di kalangan Media pun tidak pernah ketinggalan memotret perilaku dan tindakan Gus Dur yaitu tentang pemikiran dan caranya  memandang Agama selain Islam yang diperlakukan untuk dihormati, dari memandang keberagaman bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim terbesar di dunia tidak boleh semena-mena terhadap Pemeluk Agama lain, karena itu Islam bukan hanya simbol,iIdentitas yang melekat, tetapi lebih daripada itu hakikat Islam adalah perlu menampakkan sikap dan perilaku yang Islami dan rahmatan lil ‘alamin yang lebih penting daripada sekedar  simbolik belaka. Oleh karena itu,dalam pandangan Gus Dur,toleransi kepada Agama   non Islam  adalah bagian dari akhlaq yang digambarkan oleh Rasulullah Muhammad saw. Karena itu ,Nabipun pernah dirayu oleh orang kafir tentang kerjasama dalam ritual beragama, namun saat Nabi hampir mau,  tiba-tiba turunlah surat Al-Kafirun ayat (1-6) ,yang di situ maknanya sangat jelas dan gamblang, bahwa kerjasama dalam ritual ibadah adalah sebuah perbuatan yang menyimpang, namun kerjasama dalam hubungan Mualamah  boleh-boleh saja ,dan Gus Dur sangat faham dengan ayat itu. Makanya banyak tokoh non muslim menganggap Gus Dur Sebagai bapaknya, padahal sejatinya beliau hanya menghormat dan menghargai keberagaman atau yang lebih populer disebut Pluralisme yang terjadi, baik di  Indonesia atau di luar Negeri, namun terkadang para Kyai dan Tokoh-tokoh Muslim dibuat kebakaran Jenggot atas pemikiran, sikap dan tindakan Gus Dur yang sering melampaui penafsiran orang-orang di jamannya.
             Hasil temuan penelitian berupa diskripsi ide-ide banyak hal dari Gus Dur tentang berbagai ide, Agama dan kebangsaan, Ideologi, demokrasi, HAM, Politik dan Pluralisme sangat bermanfaat bagi kepentingan studi Ilmiyah khususnya bagi mahasiswa, umumnya bagi masyarakat Indonesia dan dunia internasional dalam mengembangkan ide-ide cemerlang Gus Dur demi kemajuan agama, kebangsaan, dunia politik, demokrasi ,HAM, dan Pluralisme khususnya di Indonesia, umumnya masyarakat Dunia Internasional yang mengambil manfaat dari ide tersebut. Dari poin kesimpulan pertama ini yang kita fokuskan adalah Pemikiran Gus Dur tentang Pluralisme,sesungguhnya makna Pluralisme perspektif Gus Dur adalah mempunyai makna keberagaman dari berbagai agama khususnya Negara Indonesia, sebagai Negara yang mengakui Keberagaman Agama bukan kita dipaksa untuk meyakini sudut pandang plural Agama untuk kita yakini, namun kita dibukakan cakrawala mata kita untuk lebih memahamkan diri kita pada sudut pandang kita, bahwa kita yakin kalau  sudut pandang kita hanya Islamlah yang diakui oleh Allah SWT, maksudnya kita banyak harus toleran terhadap  agama lain dalam bingkai Muamalah, bukan dalam aqidah atau Idiologi dan teologi.
          Kita sama-sama tahu makna surat Al-Kafirun,dari ayat satu sampai dengan ayat enam secara konperhensip, di situ terpetik harapan-harapan orang-orang non Muslim dalam merayu Nabi tentang  masalah aqidah atau Idiologi untuk bisa bekerjasama, namun setelah turunnya ayat itu, orang-orang non muslim  harapannya sangat tipis untuk meng-gol-kan kepentingannya dalam masalah aqidah dan Idiologi. Ini sebetulnya menggambarkan Orang-orang non muslim secara tidak langsung ada rasa ketakutan terhadap Agama yang dibawa oleh Nabi, karena mereka sangat khawatir pengaruh mereka akan habis. Namun meskipun jalinan untuk kerjasama dalam Aqidah dan Idiologi tidak menemukan titik temu, harapan untuk bisa bekerjasama dengan non Muslim bisa diwujudkan dalam bidang  ekonomi, social, budaya atau bidang muamalah, atau bidang keilmuan. Gus Dur rupanya membuka cakrawala tentang  pemikiran itu.
             Hasil temuan  dan pelacakan yang berupa deskripsi atau gambaran tentang Pluralisme ternyata diwadahi pula dalam Piagam Madinah yang mempunyai empat pokok asas. Sedang Gagasan Gus Dur tentang Islam yang Rahmatal Lil alamin, sejatinya penganut Islam harus mampu melindungi keyakinan dan keberagaman kepada siapapun, tanpa membedakan asal usul agama dan ras, dari ide – ide segar Gus Dur akan menambah wawasan qaum nahdliyin dan lainnya yang harus bangkit, untuk mengembangkan ide-ide segar tanpa mengorbankan ide-ide yang kontrovesial untuk kepentingan sesaat khususnya kaum santri sarungan, dan umumnya kaum intelektual Muslim yang haus akan ide-ide cemerlang. Sehingga ide-ide Gus Dur yang kreatif tidak mati dan stagnan, akan tetapi malah berkembang dengan pesat di kalangan  kaum Nahdliyin, selain Nahdliyin, kaum Intelektual Muslim dan atau  intelektual non muslim.
            Agama lain dipandang bukan merupakan jalan keselamatan sehingga mereka menginginkan agar orang-orang yang tidak seagama dengan mereka berubah menjadi seagama supaya mendapatkan keselamatan, mereka mendasarkan pada firman Al-Quran yang berbunyi”Barangsiapa  mencari satu Agama selain Islam,maka tidak akan diterima sedang ia diakherat termasuk orang-orang yang rugi.,”Sesungguhnya Agama yang diridlai oleh Allah hanyalah “Islam”,Sedangkan kelompok kedua menerima Pluralitas Agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan  bahwa Agama semua Nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersamakan seluruh ketentuan doctrinal yang dibawa setiap Nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas,bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis operasional seperti tentang mekanisme atau cara ritus peribadatan dan sebagainya bukan yang subtansial –esensial. Ayat-ayat yang menjustifikasi pada kelompok kedua ini adalah “La ikraha Fiddini (tidak ada paksaan dalam Agama) ,”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Sya’biin, dan orang-orang Nashrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Karena itulah terjadi kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lain. Satu sisi ada ayat yang mendukung Pluralisme dan ayat yang lain dengan tegas menolaknya, seperti surat Al-Kafirun,Surat Ali Imran (3) :19. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan itu tidak mudah, karena itu Pluralisme merupakan suatu kajian yang belum kukuh, masih membutuhkan tafsir dari kaum cendekiawan Muslim, yang memandang secara sudut akademis –Ilmiyah dan membutuhkan kajian tafsir baru secara mendalam dan membutuhkan ijtihad yang tinggi. Dengan demikian akan terasa sangat berarti, jika kajian itu benar-benar ditafsirkan oleh mufassir Modern sebagai kontribusi Islam yang hidup di Abad modern ini.

Penghargaan Untuk Gus Dur
               Karena konsep pluralisme-nya itu, Gus Dur banyak mendapat penghargaan, dari tingkat nasional sampai internasional. Sebagai  contoh penghargaan-penghargaan itu  adalah berikut :
•Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.
•Dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.
•Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.
•Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.
•Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
•Pada 21 Juli 2010, meskipun telah meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010. Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
•Pada 11 Agustus 2006, Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.
           Pada titik ini, Gus Dur memang pejuang pluralisme sebagai bagian dari perjuangan demokrasi. Artinya, demokrasi yang mensyaratkan tergeraknya politik kewargaan melampaui sekat agama dan kelompok, telah menjadi perjuangan demokrasi Gus Dur. Jadi konsep pluralisme Gus Dur menjadi penting dalam konteks politik kewargaan. Demokrasi pastilah mensyaratkan pluralisme agama, karena dengannya, masyarakat warga yang berkumpul untuk merumuskan kebaikan bersama (res publica) bisa terwujud. Terkumpulnya masyarakat warga dalam terang res publica tidak akan terwujud, jika ia masih disekat dalam benturan keagamaan. Sementara itu, hubungan agama dan negara yang oleh Gus Dur ditempatkan secara substansial (bukan formal), menjadi prasyarat bagi demokrasi. Karena dalam demokrasi, nilai primordial seperti agama haruslah diletakkan dalam kerangka konsensus rasional. Hal ini tidak akan terjadi jika agama disatukan secara formal, menjadi negara. Hanya saja, wacana pluralisme dan hubungan agama-negara menjadi “kondisi pemungkin” bagi sifat dasar pemikiran demokrasi Gus Dur yang telah memperjuangan demokrasi substantif-konstitusional.
           Dalam terang akar pemikiran ini, perjuangan demokrasi Gus Dur mengena pada jantung keberpihakannya, yakni perwujudan kehidupan sosial manusiawi. Pluralisme agama dan hubungan substantif Islam-negara menjadi conditio sine qua non bagi cita humanisasi tersebut. Karena Nabi Muhammad Saw sendiri telah bersabda,”perbedaan di antara umatku  adalah rahmat”, maka Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah belah  bangsa.
Dwi Esti Januari Ningtyas, Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya  
You have read this article Sejarah with the title Gus Dur - Sang Pluralis Pengawal Kebhinnekaan Bangsa. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/gus-dur-sang-pluralis-pengawal.html. Thanks!

No comment for "Gus Dur - Sang Pluralis Pengawal Kebhinnekaan Bangsa"

Post a Comment