Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

KH M.Hasyim Asy'ari - Guru, Ilmuwan, Pejuang, Pahlawan Nasional (1)

Oleh: Ahmad Murtaqi Jauhari
              Ketokohan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini  dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk  merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih  organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha  sosial dan politik.
                  Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan  pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau  bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama  di Jawa.
          Beliau lahir di KH Hasyim Asy'ari Pondok  Gedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek  moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin  Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu,  Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya V, dari galur Raja Pengging Andayaningrat yang menurunkan Ki Ageng Pengging, ayah dari Jaka Tingkir yang ketika menjadi Raja Pajang bergelar Sultan Adiwijaya (KH M Hasyim Asy'ari adalah keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).


Kelahiran Dan Masa Kecil
            Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama  Gedang Desa Tambak  Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya  Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai lima orang  anak, yaitu : 1. Halimah (Winih); 2. Muhammad ; 3. Leler;  4. Fadli; 5. Arifah
                Halimah, puteri sulung  kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy'ari,  ketika itu Halimah masih berumur  4 tahun sedangkan Asy'ari hampir berusia 25 tahun. Dari pernikahan Halimah dengan Asy’ari ini   lahir  11 orang  anak, yaitu: 1. Nafi’ah;  2. Ahmad Saleh; 3. Muhammad Hasyim;  4. Radiyah;  5. Hasan;  6. Anis;  7. Fatonah;  8. Maimunah;  9. Maksun; 10.Nahrowi; 11.Adnan.
                Muhammad Hasyim, putera ketiga lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan  tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy'ari, nampak  adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya.  Di antaranya, ketika dalam kandungan Nyai  Halimah bermimpi  melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika  melahirkan,  Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
              Di masa kecil belaiu hidup bersama kakek dan neneknya di Desa  Gedang, ini berlangsung  selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang sudah pindah ke Desa Keras, desa yang   terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut  Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang  bernama Asy’ariyah.
              Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak  disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan belaiu yang mendukung yaitu hidup di lingkungan  pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai- nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan ibundanya memberikan bimbingan kepada santri,  dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu.
              Belajar  pada  perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik  dari kakek dan neneknya.  Desa Keras telah membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, di sini  mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu adalah pendiri  dan  pengasuh Pondok Pesantren Asy'ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan  lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu  agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa  yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada  lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras   belajar  pada keluarganya, pada usia 15 tahun beliau mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren Sebagai Santri Kelana
                Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, KH. M. Hasyim Asy’ari belajar ke  pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Saking cerdasnya, beliau tidak pernah lama mondok, karena sudah lulus menyerap ilmu pengetahuan dari kitab-kitab induk. Oleh karena selalu berpindah-pindah pesantren karena faktor kecerdasa, beliau dikenal sebagai "Santri Kelana", yaitu sebutan untuk santri cerdas yang berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain untuk menyerap ilmu. Di antara pesantren besar yang pernah didatanginya  adalah  Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan  Langitan di Tuban, kemudian ke Bangkalan, Madura, di  bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
                Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH. M. Hasyim Asy'ari  "ngangsu kawruh"  dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk  bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai  Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya.  Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari  cincin tersebut di dalam WC.  Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu di dalam WC,  dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin  tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai  Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah  kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim  hendak mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama' yang dibawa KH. As'ad Syamsul Arifin (pengasuh  Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi'iyah, Sukorejo, Asembagus,  Situbondo).
                Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891  M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah  bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub  semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
               Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan  Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke  tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan  menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama  ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah  air.
                Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga  yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu,
sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.  Empat puluh hari kemudian, putra  beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu  sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau  adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya.  Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat.  Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci
                 Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah.  Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang  bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah  suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan  mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya,  dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat- tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.
                Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil  berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas  (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh  Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan). Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang  ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

               Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau  pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat  di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.  Di sinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena  berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.  Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah  tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan.  Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak  dihiraukannaya.
        Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng,  bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai  Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang  benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi. Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di  daerah tersebut ada  seekor kerbau yang terbenam di dalam Lumpur, di mana tempat itu banyak sekali lintahnya,  ketika  ditarik  ke darat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah  menjadi kehitam-hitaman karena dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan  Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
               KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu  keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan  pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong  dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf  Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang,  kemudian  bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus- alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi  negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
               Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang.  Ada tujuh  jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan.  Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir  awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada
siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu  pengetahuan Islam.
                Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu),  matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan  sejarah.  Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat
terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis  dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
            Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan  al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat. Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan  Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan
Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader  ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa  Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.
                Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu  dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat  kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid
hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan  jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya  meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau
tentang  hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu  salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik  dan lurus”.
                Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah  kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang  dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap
masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan  beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
                Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus  diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar  menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan  serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan  penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
                Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang  ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri  menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau
buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan  beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik  zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan  Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
               Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum  pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan  mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi
sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta  mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab  Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama  Syirkatul  Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
20 Prinsip Dasar Akhlaq Bagi Guru
                      Menurut KH M. Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam,  beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut  KH M. Hasyim  Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru, yaitu :

              Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan di manapun;  Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan; Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal; Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan; Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati; Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya; Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal; Kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata; Kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia; Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal; Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya; Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat; Ketiga belas, selalu menghidupkan syiar islam; Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul; Kelima belas, menjaga hal- hal yang sangat dianjurkan; Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah; Ketujuh belas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya; Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik; Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya; Dua puluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
               Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik,  pendidik yang mampu menjadi teladan bagi anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka  yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran  penting dalam mendidik akhlak anak.

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Sosial
Mendirikan Nahdlatul Ulama’

                 Disamping aktif mengajar belaiu juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal  atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlhn  Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah,
dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: "Memegang dengan teguh pada salah  satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi'i, Imam Malik Bin Anas, Imam Abu  Hanifah An-Nu'am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan  kemaslahatan agama Islam".
                 Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh  salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmizi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi.  Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh.
Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir  dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui  hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara
langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti  inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama.
Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).
                 Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan  pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal  sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).
                Nahdlatul ulama' sebagai suatu ikatan ulama' seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama' yang berbeda- beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau
melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk  mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi'ar Islam di  Indonesia, untuk mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola
pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu  beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama'ulama lain.
              Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan NU lebih
diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa  kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya  sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada
perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian  menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitthohnya.
                KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu  badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar. Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang  ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut  berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.
               Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim  terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad  Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964,  ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

Pejuang Kemerdekaan
                 Peran KH. M. Hasyim Asy'ari  tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan,  melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda. Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah Belanda dengan memberikan bintang  mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau  memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu: 1.Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan; 2. Harta benda yang berlimpah-limpah; 3. Gadis-gadis tercantik.
                   Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: "Demi Allah, jika mereka kuasa  meletakkan matahari di bahu  kananku dan bulan di bahu  kiriku dengan tujuan agar aku berhenti  dalam berjuang,niscaya  aku tidak akan mau menerimanya bahkan dengan nyawaku sebagai  taruhannya".  Begitulah  KH.M. Hasyim  Asy'ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan  dari perbuat Nabi SAW.
                  Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat  bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang karena beliau dengan tegas telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya umat Islam melakukan sikerei – semua orang tiap pagi jam 07.00 wajib keluar rumah menghadap ke utara dan menunduk 45 derajat untuk menghormati Tenno Heika, Kaisar Jepang keturunan Amaterasu Omikami, Dewa Matahari – yang dengan cepat  menyulut kegemparan.  Dengan tegas KH M. Hasyim Asy’ari menyatakan,”Bahwa siapa saja di antara umat Islam yang melakukan seikerei dan kemudian mati pada saat itu, maka kematiannya adalah sama dengan kematian orang kafir.” KH M. Hasyim Asy’ari menafsirkan seikerei sebagai sama dengan gerakan ruku’ dalam shalat. Melakukan ruku’ kepada selain Tuhan, menurut beliau, adalah musyrik. Apalagi sikerei yang sama dengan ruku’ itu ditujukan kepada anak tuhan, yaitu kaisar Jepang.

                 Tidak menunggu lama, KH M. Hasyim Asy’ari ditangkap Kenpetai dan dijebloskan ke dalam tahanan.  Di dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik karena tetap bersikukuh menolak untuk mencabut fatwanya. Setelah bersikukuh tidak menyerah, beliau dibawa ke penjara militer Koblen di Surabaya. Di sana beliau menerima siksaan lebih keras  sehingga  jari-jari  tangan kanan beliau menjadi  cacat. Solidaritas para kyai dari berbagai tempat di Indonesia  tersulut. Beramai-ramai mereka silih-berganti mendatangi penjara militer Jepang dan meminta agar dipenjara bersama dengan KH M. Hasyim Asy’ari. Karena tekanan dari kyai-kyai dan santri-santri makin lama makin meluas, maka KH M Hasyim Asy’ari pun dilepaskan oleh Jepang bahkan beliau diangkat sebagai Sumubhu (Jawatan Kementerian Agama), tetapi jabatan itu beliau tolak dan diberikan kepada putera beliau, KH Wahid Hasyim.
              Ketika Jepang kalah dan Kemerdekaan Bangsa Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta, KH M. Hasyim Asy’ari  seketika mengeluarkan fatwa agar seluruh umat Islam mendukung kemerdekaan tersebut  dan mendukung negara yang dibentuk Bangsa Indonesia yang merdeka itu. Sebagai konsekuensi dari tekad beliau dalam mendukung negara bangsa yang dibentuk bangsa Indonesia yang merdeka, sewaktu Belanda akan kembali menanamkan cengkeraman penjajahannya atas bangsa Indonesia dengan membonceng tentara sekutu, pada pertemuan para konsul Nahdlatul Ulama di kantor GP Ansor Bubutan Surabaya pada 21 Oktober 1945, KH M. Hasyim Asy’ari menyampaikan fatwa tentang kewajiban berjihad bagi umat Islam yang negerinya akan dijajah orang-orang kafir.  Fatwa KH M Hasyim Asy’ari itulah yang dirumuskan dalam rapat konsul-konsul Nahdlatul Ulama yang dipimpin KH Wahab Chasbullah pada tanggal 22 Oktober 1945 sebagai Resolusi Jihad, yang intinya:
           “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak).”
         Akibat Resolusi Jihad itu, suasana di Jawa Timur khususnya di Surabaya memanas ketika balatentara sekutu yang diwakili tentara Inggris dari Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby akan mendaratkan pasukan di Surabaya. Para pimpinan Jawa Timur menolak pendaratan pasukan Inggris yang ditengarai diboncengi pasukan Belanda. Menteri Pertahanan RI Drg Moestopo bersikukuh menolak pendaratan pasukan Inggris. Hanya setelah ditelpon langsung Presiden Soekarno, tentara Inggris mendarat pada 25 – 26 Oktober 1945. Dengan strategi penguasaan kota, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby membentuk pos-pos pertahanan yang tersebar di berbagai penjuru kota.

            Tanggal 27 Oktober 1945 – setelah pasukan Inggris melakukan pemeriksaan kepada warga kota yang membawa kendaraan -- penduduk Surabaya yang sudah tersulut semangat jihad dengan amarah berkobar-kobar  keluar dari rumah masing-masing untuk menyerang pos-pos pasukan Inggris dengan menggunakan senjata apa saja. Selama tanggal 27 – 28- 29 Oktober 1945, pecah ‘tawuran massal’ di mana penduduk Surabaya yang terkenal BONEK (Bondo Nekad) dan sudah tersulut semangat jihad itu tanpa pimpinan siapa pun mengepung dan menyerang pos-pos pertahanan tentara Inggris. Tidak menduga bakal menghadapi perang kota menghadapi penduduk yang dengan beringas menyerang dari berbagai penjuru, pasukan Inggris panik. Banyak yang lari dan bersembunyi tetapi diburu massa yang dengan teriakan-teriakan takbir “Allahu Akbar!” tidak mengampuni tentara-tentara bernasib sial itu.
              Untuk melerai “tawuran massal” itu, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mochammad Hatta dan menteri Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Dicapai kesepakatan  untuk menghentikan pertempuran – cease fire—antara pasukan Inggris dengan arek-arek Surabaya. Saat dihitung, hampir 2000 orang pasukan Brigade ke-49 Mahratta tewas dibunuh penduduk Surabaya. Namun dalam usaha sosialisasi perdamaian antara pasukan Inggris dengan penduduk Surabaya itu, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang berusaha mendamaikan pertempuran di Hotel Internatio di daerah Jembatan Merah, mobilnya terkena lemparan granat. Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby tewas.
              Pimpinan pasukan Inggris di Jakarta Letnan Jenderal Mansergh marah mendengar kematian anak buahnya dalam kerusuhan melawan penduduk bersenjata. Itu sebabnya, ia mengeluarkan ultimatum agar pembunuh Bragadir Jenderal A.W.S.Mallaby diserahkan dan seluruh penduduk sipil Surabaya harus menyerahkan senjata yang tanpa hak mereka miliki. Jika ultimatum itu tidak diindahkan, maka kota Surabaya akan dibombardir dari darat, laut dan udara. Ultimatum itu disebarkan lewat pamflet-pamflet dari pesawat terbang.
               Terhina oleh sikap arogan pimpinan tentara Inggris, Resolusi Jihad pun dikumandangkan lewat radio perjuangan dan pengumuman-pengumuman dari masjid ke masjid dengan redaksi lebih kongkrit sesuai konteks, yaitu:
            “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalaoe  dikerdjakan sebagian sadja).”
                 Demikianlah, atas dasar Resolusi Jihad itu, warga muslim yang berada pada jarak 94 km dari kota Surabaya berduyun-duyun datang ke Surabaya untuk menghadapi pasukan Inggris. Sejarah mencatat, beribu-ribu pasukan gabungan TNI, Hizbullah dan Sabilillah asal Malang masuk ke Surabaya. Pasukan gabungan serupa datang dari  Mojokerto, Pasuruan, Jombang,  sedang pasukan-pasukan Sabilillah dan santri-santri bersenjata didikan Hizbullah di bawah pimpinan kyainya masing-masing bergerak dari  Kediri, Blitar, Tulungagung, Jombang, Lamongan, Tuban, bahkan dari Rembang dan Cirebon. Demikianlah, dalam menghadapi perlawanan kaum santri dan penduduk muslim yang sudah tersulut semangat jihad itu, pasukan Inggris menghadapi mimpi buruk yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan. Kota Surabaya yang menurut hitungan akan jatuh dalam tempo tiga hari karena dibombardir dari darat, laut dan udara, ternyata mampu bertahan sampai 100 hari, yaitu tiga bulan lebih dengan korban yang tak pernah mereka bayangkan.
                Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim ditahan di penjara Jombang  dan  dipindahkan ke penjara Mojokerto dan kemudian ditawan di penjara militer  Surabaya, beliau menunjukkan sikap pantang menyerah.  Beliau dianggap sebagai penghalang  pergerakan Jepang. Bahkan saat menghadapi rencana Belanda untuk menjajah kembali Indonesia, beliau mengeluarkan fatwa yang menjadi resolusi jihad yang menjadi penyebab pecahnya Perang Surabaya pada 10 November 1945. Dan setelah peristiwa pertempuran besar itu,  pada tahun 1945 itu juga KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Ketua Umum  Dewan Partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Namun meski  jabatan itu dipangkunya,  beliau tetap  tinggal di pesantren dan mengajar  para santri  hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Ahmad Murtaqi jauhari, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya
Sumber: Intelektualisme Pesantren – A.Mujib, www.pesantrentebuireng.net, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam – Van Hoeve, riwayat.wordpress.com, habibah-kolis.blogspot.com, id.wikipedia.org
You have read this article Sejarah with the title KH M.Hasyim Asy'ari - Guru, Ilmuwan, Pejuang, Pahlawan Nasional (1). You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/kh-mhasyim-asy-guru-ilmuwan-pejuang_9.html. Thanks!

No comment for "KH M.Hasyim Asy'ari - Guru, Ilmuwan, Pejuang, Pahlawan Nasional (1)"

Post a Comment