Oleh: Reni F Khairina
Abdurrahman Badawi adalah penulis yang kreatif, penerjemah dan peneliti budaya. Dalam setiap karyanya, beliau sering mempromosikan modernisasi, rasionalisme, dan pencerahan pemikiran. Oleh Thaha Husain, beliau digambarkan sebagai “filosof eksistensialis Mesir dan dunia Arab pertama di era modern” setelah menyelesaikan desertasinya yang berjudul “al-Zaman al-Wujud” eksistensialist time. Ia mendapat gelar tersebut di samping kerja kerasnya dalam berkarnya, disertasi dan pemikirnya merupakan inspirasi bagi generasi pemikir Mesir sesudahnya.Sebagai pengakuan atas prestasi yang telah dicapai, pada tahun 1999 Dr. Badawi mendapatkan anugrah dari (Mubarok’s Prize For Latters) sebuah anugerah bergengsi yang diselenggarakan untuk menghargai para penulis kreatif, seniman dan cendekiawan. Selain beliau Naguib Mahfouz dan Salah Taher (seniman plastik) juga mendapatkan anugerah yang sama. Beliau lahir pada hari minggu, 4 Februari 1917 di desa Sharabas, propinsi Dimyat (sekitar 95 mil dari Kairo). Beliau adalah anak ke-15 dari 21 bersaudara.
Setelah menamatkan pendidikan menengah di Madrasah al-Sa’idiyyah (sebuah sekolah elit bergaya Eropa) tahun 1932, beliau melanjutkan pendidikanya di Universitas King Fu’ad (sekarang Universitas Cairo) fakultas sastra, jurusan filsafat. Kemudian di tengah-tengah studinya pada tahun 1937, ia di utus ke Italia dan Jerman.
Pada bulan Mei 1938, beliau telah mendapatkan gelar BA. Dan untuk memperoleh gelar Magister, ia menulis tesisnya pada 11-1041 dengan menggunakan bahasa Perancis yang berjudul Le Probleme de la mort dans la philosophie exxistentielle (problem kematian dalam perspektif filsafat eksistensialisme) di bawah asuhan Alexandre Koyre (profesor asal Perancis), sebagai hasil riset terhadap pemikiran Martin Heidegger. Dalam risalah tersebut, ia membagi kematian menjadi beberapa bagian, ontologi kematian, etika kematian dan aksiologi kematian.
Pada Tahun 1944 (masih dalam universitas yang sama), beliau mendapatkan gelar doktoral dengan desertasinya yang berjudul “al-Zaman AL-Wujud” yang juga masih berkesinambungan dengan eksistensialisme-nya Heidegger, dan menyempurnakan mazhabnya dalam mempresentasikan fenomena-fenomena alam yang berdasarkan pada waktu atau masa. Dalam filsafat ia memang banyak terpengaruh oleh pengikut filsafat Jerman, terutama Heidegger. Hal ini ia ungkapkan secara blak-blakan dalam jilid pertama autobiografinya, “tesis saya adalah menghubungkan secara langsung eksistensialisme-Heidegger dan melengkapi karya-karyanya dalam beberapa hal.
Kemudian, pada tahun 1950 bulan September, beliau pindah ke universitas Ibrahim Basya (sekarang universitas ‘Ain Syams) untuk mengajar filsafat, setelah menjabat sebagai asisten dosen di universitas Kairo pada tahun 1945.
Pada saat Gamal Abdul Nasser tampil sebagai presiden bersama Ghadaffi di Iran, kehidupan Dr. Badawi lebi banyak di habiskan di luar negri sebagai dosen terbang hingga akhir hayatnya.hal itu di karenakan pemikir sepertinya setelah terjadi coup-militer pada tahun 1952- dikawatirkan akan mengurangi semangat nasionalisme bangsa arab, terkhusus Mesir. Akibatnya banyak karya Badawi yang di bakar sehingga brujung pada penangkapan terhadap beliau pada April 1973 oleh kolonel Muallar Ghadaffi ketika menjadi dosen universitas Beni-Gazi, Libya, karena di tuduh menyebarkan isu-isu berbau kontra-revolusi namun pada hari ke-17, Anwar Sadat membebaskanya dan menganjurkan beliau untuk tinggal di Mesir . Akhirnya pada bulan mei 1973, beliau kembali ke Mesir setelah tanah kelahirnya ia tinggalkan sejak tahun 1967. Tetapi dalam kesempatan ini, beliau hanya tinggal selama 2 bulan, karena terlanjur menganggap Mesir sebagai “mimpi buruk” baginya.
Sebagai pecinta filsafat Jerman, terutama Heidegger, Badawi telah menerbitkan buku sebanyak 150 buah, yang mencakup 75 buku ensiklopedis, terjemah dan analisis filsafat Yunani Jerman dan Islam. Ia juga menulis dalam bahasa Inggris, Spanyol, Jerman dan Arab, di samping mneguasai bahasa Yunani, Latin dan Persia.
Dalam bukunya yang ia tulis pada tahun 1940 dengan judul “warisan yunani terhadap peradaban Islam” beliau berani memprediksikan beberapa tragedi yang menjadi akibat dari benturan peradaban yang tak terelakan -diantaranya adalah peristiwa 11 september- jauh (57tahun) sebelum sosiolog Amerika, Samuel Huntington, mencapai konklusi yang sama.
Beliau percaya bahwasanya alam peradaban islam “hanya bisa di definisikan oleh tindakanya terhadap peradaban Yunani ” yang mana sesuatu yang lahir terlebih dahulu aka menciptakan semangat memehami yang lahir kemudian. Badawi yakin bahwa memahami peradapan antara dasar filsafat Islam dan Barat merupakan sebuah kunci riil antara keduanya.
Penghujung dari perjuangan pemikiran beliau adalah pagi hari kamis 25 juli 2002 di rumah sakit Ma’had Nashir. Beliau di panggil oleh Yang Maha Tahu ketika umurnya mendekati 85 tahun saat tinggal di Prancis. Sekitar 4 bulan sebelum kematianya, beliau terjatuh dan pingsan di salah satu sudut kota Paris dikarenakan kondisi badan Badawi yang kian melemah. Ketika itu penanggung jawab hotel Luticia menghubungi kedutaan besar Mesir bahwa mereka mendapati seseorang yang jatuh sakit seraya berkata “DIA ADALAH FILOSOFIS MESIR”. Sebuah persematan yang adil dan mumpuni.
Karya Ardurrahman Badawi
Istilah mulhid sebenarnya tidak cocok untuk diartikan sebagai ateis, tetapi mungkin bisa dibilang sebagai “Penyimpang” yang beda-beda tipis artiannya dengan istilahbid’ah atau heretic. Dalam sejarah Islam, terdapat sejumlah orang dan kelompok yang digolongkan sebagai para penyimpang. Katalog mulhid ini terus dipelajari dan ditransmisikan dari generasi ke generasi agar umat Islam selalu mengingat bahwa mereka-mereka yang disebut dalam katalog heresiografi itu adalah sebagai penyimpang agama. Akan tetapi, ada sejumlah orang yang mau mengkaji tentang mereka dan mengangkat pemikiran mereka, di antaranya dua penulis yang satunya berasal dari Timur Tengah dan satunya dari Barat. Buku pertama ditulis oleh Abdurrahman Badawi. Judul asli Min Tarikh al-ilhad fi al-Islam.
Pada buku pertama karya Badawi disuguhkan mengenai sejarah generasi paramulhid yang sudah ada sejak abad ke-3 dan ke-4 Hijriah seperti gerakan Ibn al-Muqaffa’ dan Abu Isa al-Warraq. Badawi membedakan antara ateisme Barat yang diekspresikan oleh Nietzsche dengan “Tuhan telah mati”-nya dan Ateisme Yunani klasik bahwa “Dewa-dewa yang bersemayam di tempat keramat telah mati” dengan istilah mulhid, atau jika mau dibilang ateisme Arab, yang berangkat dari “Pemikiran tentang kenabian dan para Nabi telah mati”. Mengapa demikian? karena para nabilah yang memainkan peran mediator dalam kehidupan beragama masyarakat Arab.
Beberapa agama telah melewati dan melintasi peradaban Arab seperti Manawi(Manicheism), Yahudi, Zoroaster, dan termasuk Islam. Semuanya bertumpu dan berpusat pada ide tentang kenabian atau para Nabi. Di dalam Islam, keberadaan Tuhan dan agama akan menjadi ada karena faktor penting agen kenabian. Oleh karena itu, yang mereka kritisi adalah mengenai persoalan kenabian dan para Nabi. Tidak seperti ateisme Barat yang muncul belakangan yang mengkritisi langsung persoalan ketuhanan. Badawi merinci beberapa prinsip yang dibawa para mulhiddalam sejarah Islam; Pertama, kecenderungan penggunaan akal (rasionalisme) sebagai penguasa serta penentu pertama dan terakhir di mana tidak ada yang berhak menolak serta menganulir keputusannya terhadap segala sesuatu.
Kedua, ide yang mengatakan bahwa manusia berkembang secara progresif dan berjalan terus menerus. Pemikiran ini ditegaskan khususnya oleh Jabir Ibn Hayyan yang berseberangan dengan pemikiran umum kaum Sunni bahwa segala ilmu berasal dari Nabi (Hadis dan wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi seperti al-Qur’an). Semakin jauh suatu masa dari Nabi maka ilmu pengetahuan akan semakin merosot. Tentunya Jabir Ibn Hayyan menentang hal tersebut karena prinsip progresifitas manusia.
Ketiga, adalah kecenderungan manusia yang mengarahkan pada perbaikan nilai-nilai kemanusiaan murni (humanisme) dalam hubungannya dengan nilai-nilai ketuhanan dan kenabian. Seperti kelompok para penyair yang dikenal dengan nama Ishabah al-Mujjan (Paguyuban Manusia Jenaka) yang dikenal salah satunya yaitu Abu Nuwas dan Basysyar bin Burd.
Keempat, tuntutan terhadapa kebebasan dengan segala harganya tanpa menghiraukan konsekuensi apa saja yang mungkin ditimbulkannya. Maka, kaummulhid pun maju mengumumkan pandangan-pandangan konstruktif mereka dengan terus terang dan penuh keberanian meskipun harus berhadapan dengan ancaman penguasa khalifah. Kebanyakan mereka memilih sebagai martir sebagai tebusan bagi kebebasan berpikir sebagaimana dialami Ibn al-Muqaffa’, Salih bin Abd al-Quddus, dan tokoh lainnya.
Kalau Badawi menyandingkan mulhid dengan ateisme Barat dan Yunani yang seolah ingin menyetarakan (walau sesungguhnya berbeda) posisi mereka dengan kelompok ateis, maka Stroumsa menjuluki mereka sebagai para pemikir bebas atau apa yang disebut as-Syahrastani dalam buku Milal wa Nihal sebagai al-Istibdad bi ar-Ra’yi yang diterjemahkan oleh Daniel Gimaret sebagai Libre Pensee atau pemikiran liberal. Sebenarnya ada penulis lain yang juga membuat katalog heresiografi selain as-Syahrastani yang mana buku Milal wa Nihal-nya sangat populer bahkan sampai sekarang, antara lain yaitu az-Zamakhsyari yang menulis al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Tanzil. Az-Zamakhsyari yang wafat sekitar 539 Hijriah itu berpendapat bahwa secara umum pelaku bid’ah disebut sebagai Zanadiq atau bentuk tunggalnya Zindiq. Akan tetapi, Zindiq merupakan istilah yang merujuk kepada penganut dualisme Manichean. Adapun seseorang dijuluki sebagai mulhid bukan karena ia meninggalkan satu agama untuk agama yang lainya, melainkan karena ia mengadopsi sistem yang menyimpang dari semua agama, atau menyimpangkan mazhabnya dari semua agama, tidak beralih dari satu agama ke agama lain.
Daur al-‘Arab fî Takwîn al-Fikr al-‘Ûrûbî
Buku ini ditulis oleh Abdurrahman Badawi, salah seorang pakar filsafat Arab pada abad 20. Dia sukses menghasilkan berbagai karya monumental. Bilangan karya yang dihasilkannya berkisar 150 buku. Kesemuanya merupakan hasil dari proses riset, translasi, dan karya tulis. Beberapa kalangan menobatkannya sebagai filosof pertama Mesir yang menekuni bidang Eksistensialisme.
Apabila kita telisik, karya Badawi banyak menitikberatkan pada diskursus filsafat dan sosial. Karya Badawi kerap menjadi referensi utama para pemikir Arab Islam. Hasil-hasil riset literatur klasiknya kian mengukuhkan Badawî dalam ajang riset akademi. Tak pelak, Badawî pun dijuluki sebagai pakar riset literatur klasik.
Misalnya pada buku ini, Badawi banyak mencantumkan fakta sejarah kegemilangan Islam Abad Pertengahan. Lantas, ia mengkomparasikan dengan pengaruh Islam Abad Pertengahan terhadap pemikiran Eropa. Baik dalam segi sastra, pemikiran ilmiah, tasawuf, filsafat, ilmu pengetahuan, musik, maupun arsitektur.
Berbekal wawasan yang luas dalam penguasaan pelbagai literatur kuno, Badawî menerangkan dengan jelas pengaruh Islam terhadap Barat. Buku yang berkisah tentang Komedi Tuhan karya Dante merupakan salah satunya. Buku tersebut terinspirasi kisah dari beberapa literatur Islam era klasik.
Bila dikomparasikan dengan buku sejenisnya, yaitu buku Baina al-Madaniyah al-‘Arabiyah wa al-Ûrûbiyah karangan Muhammad Kurdî Alî, niscaya kita akan menemukan keterkaitan keduanya. Kalaulah Kurdî Alî menceritakan fakta historis kegemilangan Islam Abad Pertengahan, Badawî memperkuatnya dengan bukti ilmiah kegelimangan Islam melalui kemahirannya dalam mendalami literatur klasik.
Badawî menjabarkan setiap bagian bukunya dengan rapi. Dia menceritakan setiap detil kemenangan Islam Abad Pertengahan dalam beberapa aspek. Badawî mengawalinya dari aspek sastra dan berhenti pada aspek arsitektur Arab. Sedangkan Kurdi Ali –dalam bukunya- lebih menitikberatkan pengaruh Islam terhadap Barat atau sebaliknya.
Beberapa teori tentang keterpurukan Islam pasca Abad Pertengahan dituliskan Kurdî Alî dalam bukunya. Sedang Badawî tak muluk-muluk mengais faktor tumbangnya peradaban Islam tersebut. Dia tak lebih hanyalah pemacu semangat keilmuan Islam terkini. Melalui spirit literatur klasik yang sudah lama ditekuni, dia berharap pada setiap pembaca untuk menyelami peradaban Islam yang sarat akan nilai imani.
Eka Dwi Chikita, mahasiswi Prodi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya
You have read this article with the title Abdurrahman Badawi dan Ateisme Islam. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/10/abdurrahman-badawi-dan-ateisme-islam.html. Thanks!
No comment for "Abdurrahman Badawi dan Ateisme Islam"
Post a Comment