Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Wild Wild Indonesia

    Sudah sepekan ini Dullah kepikiran soal Dulatif, anak bungsunya yang baru kelas satu Madrasah Ibtidaiyyah. Pasalnya, sepekan lalu Dulatif tanya soal apa itu “mutilasi” yang disiarkan di televisi. Sewaktu dijawab jujur bahwa “mutilasi” adalah membunuh dan memotong-motong tubuh korban, Dulatif yang suka tanya ini dan itu mendadak berkata,”Paklik Roben kemarin memutilasi ayam, pak. Katanya, ayamnya nakal.” Dan sehari sesudah itu, Dulatif beserta teman-temannya  “memutilasi” Si Cemeng, kucing yang suka mencuri ikan. Sungguh, Dullah khawatir kalau tindakan Dulatif memutilasi kucing nakal itu akan dilanjutkan dengan memutilasi kawan-kawannya yang dianggap nakal.
    Seingat Dullah,  sebelum bertanya “mutilasi”, Dulatif  sudah sering menanyakan berbagai hal aneh yang dilihatnya di televisi seperti apa itu  “koruptor”, “jomblo”, “sosialita”, “dugem”, “gigolo”, “host”, “kumpul kebo”, “kawin kontrak”, “kudeta”, “spekulan”, “goyangan erotis”,  “pemerkosaan”, dan berbagai istilah yang sebenarnya tidak pantas dikonsumsi anak-anak usia sekolah dasar.  Tak kuasa menahan kekhawatiran, Dullah menghadap Guru Sufi yang sedang membincang tentang Ilusi Negara dengan Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Senewen, dan Sufi Kenthir di teras mushola.

    Sewaktu Dullah mengemukakan kasus pertanyaan-pertanyaan anak bungsunya, Dulatif, Guru Sufi menjelaskan bahwa ia dan para sufi justru sedang membincang masalah berlangsungnya proses liberalisasi yang menjadikan Negara Indonesia dewasa ini sebagai sekedar ilusi hegemonic yang dalam fakta telah berubah menjadi Wild Wild Indonesia, di mana segala sesuatu berlangsung tanpa kendali seolah-olah tidak ada pemerintah dan tidak ada hukum. Salah satu bukti sederhana, adalah terjadinya banjir  istilah-istilah orang dewasa yang melanda dunia anak-anak, baik lewat televisi, media massa sampai buku LKS. “Sekalipun secara formal kita hidup di sebuah negara yang disebut Nation State yang berdasar Rechtstaat, tapi dalam realita kita sejatinya seperti  hidup di sebuah terra incognita yang menyerupai suasana Amerika abad 17-18 yang disebut  Wild Wild West,” kata Guru Sufi menjelaskan.
    “Benarkah kita hidup di dalam suasana wild wild, Mbah Kyai?”sergah Dullah kaget.
    “Menurut penilaianku memang sudah seperti itu keadaan Negara tercinta sekarang ini,” kata Guru Sufi menarik nafas berat,”Semua orang yang merasa memiliki kekuatan, kekayaan dan kekuasaan bisa melakukan apa saja tanpa ada yang bisa menghalangi. Masyarakat satu menyerang masyarakat lain; lembaga negara satu menyerang lembaga negara yang lain; pejabat Negara satu menyalahkan pejabat Negara yang lain; bahkan, aparatur yang mengawal Negara sudah saling terlibat adu fisik satu sama lain; pejabat Negara menggarong kekayaan Negara. Semua berlangsung bebas dalam berkompetisi seolah mendasarkan pikiran, ucapan dan tindakannya pada prinsip hukum rimba: Homo Homini Lupus!”
    “Apakah penanda wild wild itu seperti kasus penyerangan Polres OKU oleh TNI, Mbah Kyai?”
    “Salah satu contohnya, ya seperti itu,” kata Guru Sufi sedih,”Bagaimana aparat Negara bisa saling serang seolah-olah gang-gang anak muda yang suka tawuran.”
    “Tawuran suporter Mbah Kyai,” sahut Dullah,”Suasana seperti perang waktu Bonek tawuran dengan Arema yang melibatkan polisi. Di televisi terlihat bagaimana Bonek menembaki polisi dengan kembang api dan melempari polisi dengan batu. Tawuran antar pemain bola juga terjadi, Mbah Kyai, waktu PSIS lawan Persiku Kudus.”
    “Tawuran mahasiswa antar fakultas, antar jurusan, antar kampus pun terjadi sebagai fenomena yang sangat memalukan,” Sufi Sudrun tiba-tiba menyela.
    “Tawuran antar kampung juga pecah untuk berebut lahan garapan, batas desa, persinggungan antar warga sampai dukung-mendukung cakades. Tawuran antar kampung di Lampung, 27 orang luka-luka. Tawuran di Makassar, Jakarta, Sumut, Sumsel, NTB, Bali berlangsung ganas seolah semua anak bangsa ingin memutuskan tali persatuan anak bangsa,” kata Sufi Kenthir menimpali.
    “Itu belum menyangkut aksi kelompok-kelompok berbendera agama yang melakukan tindakan kekerasan terhadap warga dengan alasan amar ma’ruf nahi munkar seperti Front Pembela Allah, Jam’iyyah Islam Jihad, Brigade Islamiyyah. Mereka bebas melakukan tindak kekerasan seolah di Negara ini tidak ada aparat kepolisian,” kata Sufi Sudrun.
    “Orang melakukan korupsi semau-maunya, seolah tidak takut dengan ancaman penjara karena hukum bisa dinegoisasi,” sahut Sufi tua menyela,”Kasus korupsi yang ditangani hanya yang kelas gurem. Yang kelas kakap dan paus, tidak pernah tersentuh. Dengan contoh ini, korupsi makin merajalela.”
    “TVRI waktu menyiarkan berita Pilwali di Gorontalo, diserang calon walikota beserta pendukungnya. Dengan sewenang-wenang para karyawan TVRI dipukuli. Kepala TVRI dimaki-maki dipaksa meminta maaf. TVRI diduduki seolah massa memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja terhadap institusi yang dinilai merugikan orang yang membayarnya,” kata Sufi Kenthir.
    “Yang lebih dahsyat,” sahut Sufi tua lantang,”Kawanan orang bersenjata yang sangat terlatih dengan bebas menerobos masuk Penjara Cebongan di Sleman Jogja. Dalam tempo 15 menit, mereka menganiaya dan melumpuhkan sipir penjara dan kemudian mengeksekusi empat orang tahanan. Itu semua adalah bukti bahwa siapa saja yang punya kuasa, dana dan  massa bisa bebas melakukan apa saja tanpa perlu takut berhadapan dengan hukum dan aparatur Negara. Homo Homini Lupus.”
    “Apakah mereka itu tentara, pakde?” tanya Dullah.
    “Menurut Pangdam, para penyerang itu bukan tentara. BIN juga menyatakan bahwa senjata yang digunakan penyerang penjara Cebongan bukan senjata standar TNI,” kata Sufi Kenthir.
    “Walah, itu sungguh lebih mengerikan dibanding jika pelaku penyerangan itu tentara,” sahut Sufi Sudrun mengomentari.
    “Kenapa lebih mengerikan, kang?” gumam Dullah ingin tahu.
    “Karena kalau para penyerang itu bukan tentara,” sahut Sufi Sudrun,”Berarti di negeri ini sudah terdapat kelompok bersenjata yang sangat terlatih dan profesional dengan kemampuan melebihi teroris-teroris sebagaimana terbukti, dalam tempo 15 menit sudah dapat menyelesaikan tugas dengan baik.” 
    “Sungguh, kita seperti hidup di sebuah belantara liar penuh binatang buas tanpa lindungan hukum, perlindungan keamanan, pengayoman, dan keadilan di mana kekerasan, ancaman, teror, bahkan kematian setiap saat dapat menyergap siapa pun yang hidup di sini. Keselamatan hidup warganegara seperti tidak lagi ada yang menjamin,” kata Sufi Sudrun.
    “Warganegara seperti anak-anak ayam kehilangan induk,” sahut Sufi Senewen menyela, ”Nyawanya selalu diintai bahaya. Perempuan naik angkot diperkosa sopir angkot; orang punya utang bank telat bayar dipermak dan bahkan dibunuh debt collector; orang duduk-duduk di teras rumah bisa tewas kena peluru nyasar; orang naik motor di perempatan jalan dijambret; orang berdiri di pinggir jalan bisa tewas dikeroyok gang motor; aktivis yang vokal bisa hilang diculik siluman; perampok merampok di dekat kantor polisi...”
    “Itulah Wild Wild Indonesia,” sahut Guru Sufi singkat.
    “Apakah itu berarti sudah saatnya kita butuh sheriff?” tanya Dullah.
    “Di sini Sheriff seperti di Amerika masa wild wild west tentu belum perlu bagi rakyat,” sahut Guru Sufi, ”Karena orang-orang berduit sudah menyewa tenaga pengaman untuk mengamankan diri sekaligus menakuti pihak-pihak yang ingin mengganggu. Bahkan yang mengerikan, para pemilik duit itu memelihara kelompok-kelompok berlatar agama, etnik, kepemudaan untuk melakukan tindakan-tindakan kontra produktif terhadap pihak yang berseberangan dengan kepentingan mereka.”
    “Wah, kalau begitu, yang babak belur tetap rakyat kecil tak berduit, Mbah Kyai.”
    Guru Sufi menarik nafas berat. Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, dan Sufi Senewen juga menarik nafas berat, prihatin dengan keadaan Negara mereka yang makin tak terurus dan makin terabaikan keberadaannya sebagai Nation State yang berfungsi utama melindungi, mengayomi, memberi rasa aman,  memberi kemakmuran dan keadilan bagi warganegara.   
posted by Agus Sunyoto

 
You have read this article Sejarah with the title Wild Wild Indonesia. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/03/wild-wild-indonesia.html. Thanks!

No comment for "Wild Wild Indonesia"

Post a Comment