Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Sekolah Tanpa Arah Tanpa Tujuan

SEKOLAH TANPA ARAH TANPA TUJUAN, MASYARAKAT JADI KORBAN



Sejak SMP Belajar Tawuran
    Anda kan sudah mau lengser, pak,  kenapa kok justru membuat kebijakan banyak sekali? Padahal kebiasaan buruk pendidikan kita ini kan ganti menteri ganti kebijakan Pak,” tanya Abdul Aziz, ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkar Studi Wacana mengawali Ngaji Rutin Selasa Malam  (20/05) di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, menyampaikan ulang percakapannya bersama Prof. Dr M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu. Saat itu, lanjut Abdul Azis, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjawab ringan,”Yang penting hari ini saya sudah berbuat baik.”
           Bertolak dari percakapan di atas, ungkap Abdul Azis melanjutkan, dapat disimpulkan  akar permasalahan pendidikan di Indonesia hari ini bermula dari kebijakan-kebijakan elit pendidikan yang cenderung semena-mena dan tanpa pertimbangan matang. Padahal, membincang pendidikan merupakan satu proses untuk menghapuskan kebodohan dan membentuk insan-insan yang cerdas, pandai, dan berbudi luhur.
                  Sebagai salah satu contoh betapa ruwetnya pendidikan di Indonesia hari ini, ungkap Abdul Azi, terlihat dari  peraturan UNAS yang menekankan kejujuran, kedisiplinan dan yang tak kalah penting tingkat kelulusan harus tinggi. Maka demi untuk mencapai tingkat kelulusan yang tinggi itu, lanjut Abdul Azis, pihak kementerian pendidikan menekan gubernur, kemudian gubernur menekan pemerintah kota, demikian seterusnya terjadi penekanan demi penekanan berantai sampai  guru pun menekan murid-muridnya. Salah satu akibatnya, tingkat kelulusan justru menurun. “Tidak jarang anak-anak yang dalam keseharian terlihat pandai, selalu mengikuti proses belajar-mengajar dengan baik, bernasib naas ketika mengikuti UNAS karena nilainya anjlok drastis. Hal ini dikarenakan kondisi psikis yang tertekan,” ujar Abdul Azis
             Di lain sisi, ungkap Abdul Azis, penyamarataan soal UNAS tanpa memandang kondisi pendidikan siswa yang sangat beragam, berakibat lebih fatal. Fakta menunjuk  masih banyak sekolah-sekolah gurem yang berada di pelosok-pelosok desa di luar Jawa yang  belum terjangkau akses informasi dengan dunia luar, sehingga penyama-rataan ini menjadi tidak adil bagi mereka untuk mengerjakan soal dengan kualitas yang sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan di kota-kota besar dengan segala fasilitasnya.

Menuntut Ilmu Malah Jadi Korban Kekerasan
         Nampaknya ada sesuatu yang salah, tutur Abdul Aziz, di mana dapur pendidikan kita hari ini banyak dihuni oleh ‘koki-koki’ peramu kurikulum dengan gelar insinyur, sarjana peternakan, sarjana perikanan, sarjana perairan dan bukan sarjana pendidikan. Oleh karenanya, sangat dimaklumi jika konsep yang disusun melenceng jauh dari kebutuhan pendidikan yang sesungguhnya.  “Karena kokinya sudah salah menu sejak awal,” ungkap Aziz menekankan, diiringi tatapan heran para mantri (mahasiswa santri).
   Pandangan Abdul Azis ditanggapi oleh Makmun,  salah seorang  mantri Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin yang  menyatakan bahwa ketidak-sesuaian antara kompetensi dengan jabatan yang dipegang ‘koki-koki’ pendidikan  tidak terlepas dari proses pemilihan lembaga legislatif dan eksekutif yang sarat akan politik deal-dealan dalam power sharing kekuasaan, di mana para elit pemerintah yang berkuasa hanya memikirkan egoisme diri dan golongan, maka tidak terelakkan bahwa rakyat adalah korban utama dari politik ‘dagang sapi’ itu.
               Sementara  jika ditinjau dari aspek guru, lanjut Makmun Pembina Mahasiswa Bidik Misi itu, berapa banyak guru hari ini yang mengajar dengan penuh keikhlasan? Rasa-rasanya, gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang dulu pernah disematkan untuk para guru, kini tak lagi pantas untuk disandang. “Saya pernah mengisi seminar guru-guru,” papar Abdul Aziz berkisah seputar pengalamannya, “Waktu itu saya tanya, apa kesulitan utama yang dihadapi oleh Bapak dan Ibu Guru? Tiba-tiba mereka serentak menjawab, “Anak-anak didik sekarang nakal-nakal semua Pak.”
              Jawaban itu sungguh menyedihkan, ungkap Abduil Azis, karena  sesungguhnya dari jawaban itu kita sejatinya sudah tahu bahwa alasan itu hanya alibi belaka. “Saat itu saya katakan kepada para guru itu bahwa tidak ada anak yang tidak bisa diajari, dibina dan dididik. Yang ada adalah  gurunya yang tidak bisa mengajar, malas, kurang serius dalam membina,  dan tidak ikhlas dalam mendidik,” ungkap Abdul Azis.
Belajar Jadi Preman Diamankan Polisi
          Guru, menurut Abdul Azis,  bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa melainkan profesi yang oleh undang-undang telah disetarakan dengan profesi-profesi lainnya. Ada semacam profesi pendidikan guru (PPG), sertifikasi dan hal-hal lainnya yang itu justru menjebak guru pada formalitas belaka. Mengajar anak didik sekenanya, yang penting sudah masuk golongan PNS mengajar atau tidak, mengajar serius atau sekedarnya tidak menjadi masalah, karena semuanya tidak penghambat gaji yang mengalir tiap bulan.
Tentang buruknya kualitas mengajar guru, ungkap Abdul Azis, masih lumayan guru tidak kompeten mau mengajar.”Saya pernah melakukan riset, ada seorang guru, yang tidak pernah sekolah, tiba-tiba dapat ijazah, lalu secara ajaib menjadi guru, dan dapat gaji rutin setiap bulan padahal dia tidak pernah ngajar. Usut punya usut, ternyata dia masih memiliki relasi kekerabatan dengan pejabat pemerintah setempat. Ini adalah fakta! Apa ini tidak kurang ajar?” ucap Abdul Aziz geram.
        Nanang, mahasiswa lulusan S-2 Pendidikan Agama Islam yang resah dengan kondisi pendidikan nasional mengajukan pertanyaan seputar kelayakan lembaga pendidikan yang pantas untuk diberi kepercayaan mendidik. “Melihat kondisi pendidikan kita yang jelas-jelas tak memiliki arah dan  tujuan ini, lembaga pendidikan yang mana dan yang bagaimana yang masih bisa dipercaya untuk mendidik anak Pak?”
“Benar Pak,” sahut Yudi mengungkapkan  kekhawatiran para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya bukan saja akibat bullying namun juga akibat  semakin maraknya kasus-kasus amoral di dunia pendidikan seperti aksi para pedofilia menyodomi anak-anak sebagaimana yang terjadi di Jakarta International School, Santa Monica, SD di Bogor, SD di Bandung, SDI di Malang, yang mana sekolah-sekolah itu bisa dikatakan sekolah unggulan.”
Guru Bisa Jadi Predator Anak
          Setelah berbagai tanggapan dan pertanyaan muncul dari para mantri, Abdul Aziz kembali mengambil alih diskusi. Ia menjelaskan bahwa dalam menghadapi carut-marut dan jungkir-baliknya dunia pendidikan yang makin bobrok ada beberapa hal yang bisa dilakukan: pertama, sebagai orang tua, kaum muda, insan peduli pendidikan, sudah seharusnya memiliki optimisme yang tinggi bahwa seberapa pun merosotnya dunia pendidikan, harus yakin masih bisa diperbaiki asalkan semua pihak mengambil peran di dalamnya. Yang sering terjadi, lanjut Abdul Azis, orang sering mencaci-maki bahwa pendidikan sudah bobrok, guru tidak berkualitas, biaya mahal selangit dan seterusnya dan seterusnya, namun pada saat  yang sama, semua  lupa untuk turut serta berpartisipasi untuk membenahi pendidikan..
           Kedua, orang tua memiliki tanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak di luar sekolah. Mereka tidak bisa memasrahkan anak sepenuhnya kepada pihak sekolah. Pendidikan di rumah harus menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti kepada anak. Bahkan jika perlu ada semacam punish and reward, tentu yang tidak menekan psikis anak. Dari sini, ungkap Abdul Azis, untuk menjadi orang tua, para kaum muda harus mencerdaskan dirinya terlebih dahulu, karena menjadi orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap keberlangsungan hidup putra-putrinya.
          Ketiga, kita harus pula mengubah mindset berpikir orang tua terhadap definisi sekolah yang baik. Banyak orang tua yang mengalami demam Full Day School, demam Sekolah bertaraf Internasional, Sekolah Plus, dan sekolah-sekolah sejenis di mana sekolah yang baik versi mereka adalah sekolah yang gedungnya megah, biayanya mahal, berangkat pagi pulang sore sehingga orang tua bisa bekerja penuh, dan sebagian diantar jemput pihak sekolah.
William J Vahey Hewan Predator Anak
           Para orang tua, ungkap Abdul Azis, tidak menyadari bagaimana Full Day School merupakan proses pemiskinan sistematis; pemiskinan terhadap keuangan orang tua dan yang lebih mengerikan adalah pemiskinan kreativitas anak. Anak seolah dipasung dan dibatasi ruang geraknya. Rutinitas berangkat pagi pulang sore, di mana saat pulang sekolah yang mereka pikirkan adalah besok harus mengumpulkan PR, membuat mereka tak memiliki waktu bermain walau sebentar. Bagaimana tidak? Begitu sampai di rumah, anak-anak itu mandi, istirahat sejenak, les untuk mengerjakan PR dan  tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Tidurlah ia. Dan ketika pagi menjelang, rutinitas yang sama kembali berulang dan begitu seterusnya. Padahal di usia mereka yang masih anak-anak, bermain merupakan kebutuhan mutlak. Kita harus mulai berpikir tentang dunia anak,  karena sekolah adalah menikmati dunia sesuai usianya. Bahkan sudah menjadi kelaziman, anak-anak yang terproses dalam pembelajaran di sekolah-sekolah unggul, umumnya berkacamata tebal. “Jangan renggut waktu mereka dengan pembelajaran menurut ukuran orang tua,” pungkas Abdul Aziz mengakhiri ngaji malam itu.
Posted by Tina Siska Hardiansyah






You have read this article Budaya with the title Sekolah Tanpa Arah Tanpa Tujuan. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/sekolah-tanpa-arah-tanpa-tujuan_23.html. Thanks!

No comment for "Sekolah Tanpa Arah Tanpa Tujuan"

Post a Comment