Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Saturday 10 May 2014

Haramkan Wanita Sekolah, Boko Haram Culik Ratusan Siswi SLTP


Aksi Kekerasan Boko Haram
Aksi kelompok Wahhabi Nigeria yang dikenal dengan sebutan Boko Haram untuk kali ke sekian telah mengguncang dunia, yaitu dengan menculik lebih dari 300 orang siswi di sekolah puteri Chibok di mana setelah sebagian berhasil meloloskan diri sisanya yang berjumlah sekitar 276 orang digiring lasykar Boko Haram ke hutan. Peristiwa penculikan siswi sekolah puteri itu terkait dengan keyakinan faham Wahhabi yang mengharamkan perempuan mendapat pendidikan formal maupun non formal, dengan dalih isteri-isteri dan puteri-puteri Nabi Muhammad Saw semua buta huruf dan tidak mendapat pendidikan apa pun dari siapa pun kecuali dari Nabi Muhammad Saw

            Sebelum itu, seorang pria bersenjata diyakini dari kelompok Boko Haram menembak mati seorang ulama terkemuka Ibrahim Birkuti di Nigeria utara. Ibrahim Birkuti selain diketahui sebagai ulama yang membolehkan perempuan belajar di sekolah di samping mengkritik Boko Haram karena membunuh puluhan agen keamanan dan politisi dalam beberapa bulan terakhir di dekat kota Maiduguri.
         Bagi masyarakat umum, aksi penculikan terhadap ratusan orang gadis berpendidikan setingkat SLTP itu dianggap aksi kekerasan pertama yang dilakukan pemeluk Wahhabi terhadap umat Islam dan masyarakat bukan Islam. Namun bagi mereka yang faham dengan sejarah gerakan Wahhabi, sangat faham bagaimana sejak awal gerakan Wahhabi disulut pada perempat akhir abad ke-18 berbagai macam aksi kekerasan yang berujung kepada pembantaian massal sudah menjadi goresan tinta darah sejarah Wahhabi.
Abu Bakar Shekau Pimpinan Boko Haram
       Sejarah kelam kekejaman Wahhabi terhadap perempuan tercatat sejak para penganut Wahhabi memulai penaklukan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara pada awal abad ke-19. Mangaradja Onggang Parlindungan, cucu buyut dari seorang panglima Paderi bernama Idris Nasution gelar Tuanku Lelo, dengan menggunakan catatan-catatan kakek-kakek dan kerabat kakeknya yang menjadi pelaku aksi gerakan Wahhabi itu menyusunnya sebagai kesaksian sejarah yang diterbitkan dalam sebuah buku yang diprotes oleh kalangan Islam Modernis, sehingga atas kesadaran sendiri buku itu ditarik dari peredaran. Lepas dari pro dan kontra, data dari catatan para pelaku gerakan Wahhabi antara 1803-1821 yng dilanjut hingga tahun 1837 itu melukiskan kekejaman, kebiadaban, kebrutalan, keganasan, dan kebrengsekan penganut Wahhabi dewasa itu.
Kembalikan dan Jangan Jual puteri-2 kami

          Aksi-aksi kebiadaban Wahhabi terhadap perempuan, dilukiskan oleh Parlindungan berupa penangkapan beribu-ribu wanita selama penaklukan desa-desa yang ditandai oleh kegiatan Sexual Orgies (Pesta Seks) yang dilakukan lasykar Wahhabi terhadap para perempuan yang diperkosa rame-rame di tempat terbuka. Tuanku Lelo, kakek buyut Parlindungan itu pun jadi pemimpin Sexual Orgies bahkan memperkosa perempuan yang baru melahirkan sehingga Parlindungan dengan segala hormat menyebut kakeknya itu dengan ‘gelar’ : Tuanku Lelo The Big Scoundrel!
          Tidak diketahui pasti berapa jumlah perempuian yang menjadi korban kejahatan seksual lasykar Wahhabi, namun Parlindungan mencatat dalam tempo 2 hari 2 malam sudah terkumpul di kawasan Red Light District Sigumpar, lebih dari 12.000 orang perempuan Toba yang ditawan dan dibawa ke daerah selatan. Setiap perempuan Toba yang dibawa itu jika menunjukkan tanda-tanda sakit, seketika dipancung supaya tidak menulari yang lain. Saking kejamnya Wahhabi terhadap perempuan, sampai Parlindungan menyatakan bahwa eksekusi terhadap para perempuan yang ditawan para Wahhabi itu tidak mungkin dilukiskan dengan kata-kata yang bagaimana pun superlative-nya. Bahkan untuk melukiskan kekejaman Wahhabi, Parlindungan melukiskan bagaimana kakek buyutnya yang disebutnya Tuanku Lelo The Big Scoundrel memelihara ketajaman pedang pusaka pemberian Haji Piabang (pembawa Wahhabi ke Sumatera Barat) dengan mengasah sampai tajam  untuk diuji ketajamannya dengan menebas leher salah satu isterinya yang berjumlah ribuan orang. Begitulah, pedang hadiah Haji Piabang itu selalu terpelihara ketajamannya untuk sekali tebas memenggal leher orang, dengan diujikan kepada leher para perempuan terutama isteri-isteri Tuanku Lelo.
Wanita Sekolah? Culik dan Jual Sebagai Budak Belian
           Penculikan terhadap siswi sekolah di Chibok di Nigeria yang rencananya siswi-siswi itu akan dijual sebagai budak belian ke luar negeri, pada dasarnya hanya sebagian saja dari  salah  satu  aksi kebiadaban para penganut Wahhabi. Yang terpenting dari hikmah atas kasus di Nigeria itu bagi  umat Islam Indonesia adalah timbulnya kesadaran akan wajibnya  mewaspadai dan mengantisipasi atas kemungkinan buruk dari terulangnya kembali kasus-kasus tak bermoral itu di negeri tercinta ini. Ingat pesan Father Founding Indonesia, Bung Karno:: JASMERAH – Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah! Sejarah! Sejarah! Sejarah!
Posted by Agus Sunyoto




You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/haramkan-wanita-sekolah-boko-haram_10.html. Thanks!
Tuesday 6 May 2014

Bangsa Indonesia Memasuki Penjajahan Babak II

 Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Tuan Bule di tengah inlander rendah
Ketika kabar Sekretaris Jendral Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Erlinda mengaku sering diancam akan dibunuh, baik lewat telepon maupun SMS bahkan didatangi langsung ke kantornya bule-bule karena menangani kasus sodomi di Jakarta Internasional School (JIS), Sufi tua yang duduk di teras mushola misuh-misuh sambil meninju telapak tangannya sendiri. Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Dullah, Marholi, Daitya, dan Azumi yang duduk di depannya memandang heransesepuh pesantren sufi itu. “Ada apa pakde, sampeyan kok tiba-tiba  marah-marah?” tanya Dullah ingin tahu.
“Jengkel aja sama  orang-orang sebangsaku yang semakin lama bodohnya tidak sembuh malah semakin lama tolol, pandir, longor, goblok, dan dungunya semakin parah,” sahut Sufi tua dengan suara ditekan  tinggi.

“Lho apa benar bangsa kita semakin lama semakin bodoh, pakde?” sahut Dullah heran.
“Bangsa ini belum sadar dan tidak pernah sadar jika Nation State yang mereka banggakan sudah ‘hancur’ dan bangsa ini sudah  memasuki era baru penjajahan oleh bangsa kulit putih,” kata Sufi tua dengan nada pilu.
“Lho apa iya toh pakde, bangsa kita dijajah kembali oleh bangsa kulit putih? Indikasinya apa pakde?” tanya Dullah penasaran.
“Apa yang terjadi kalau kasus kekerasan sodomi terhadap anak itu dilakukan di sekolah swasta yang dikelola pribumi negeri ini?” tanya Sufi tua mendesak.
 “Rasanya akan ditutup oleh pemerintah, pakde,” sahut Dullah merendah.
“Bukan hanya ditutup Dul,” sahut Sufi Sudrun menyela,”Pengelolanya juga akan diseret ke pengadilan untuk dimasukkan penjara.”
“Hlah, kok bisa kang?” tanya Dullah heran,”Bukankah pengelola JIS tidak ikut melakukan tindak kejahatan sodomi? Kenapa dia harus dipenjara?”
“He Dul, tahu tidak kamu kalau JIS itu tidak memiliki ijin operasional dari pemerintah Indonesia?” tanya Sufi Sudrun memburu.
“Ya sudah tahu kang, tapi kenapa harus dihukum penjara?” Dullah belum faham.
“Ketahuilah Dul, Yayasan JIS sejatinya telah melanggar Pasal 71 dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena tidak memiliki izin pendirian sekolah Taman Kanak-kanak,” kata Sufi Sudrun.
            “Lhadalah kang,” sergah Dullah terkejut bukan alang kepalang,”Apa mendirikan sekolah tanp ijin itu melanggar hukum, yaitu UU Sisdiknas Pasal 71 dan Pasal 62 ayat (1)?”
           “Ketahuilah Dul, Pasal 71 UU Sisdiknas menyatakan "Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar. Nah karena Timothy Carr telah bertahun-tahun mendirikan TK JIS dengan harga mahal yang mengeruk keuntungan ratusan miliar, maka sudah sewajibnya dia diseret ke pengadilan atas pelanggarannya itu,” kata Sufi Sudrun menjelaskan
         “Woo begitu ya?” sahut Dullah manggut-manggut.
        “Maaf paklik,’ sahut Daitya menyela,”Komnas Perlindungan Anak (PA) sudah melaporkan Timothy Carr selaku Kepala Sekolah TK Jakarta International School (JIS) ke Polda Metro Jaya  dengan tuduhan telah melakukan pembiaran atas kekerasan seksual terhadap murid-murid  yang terjadi berulang-ulang,”
           “Hmm KPAI  melaporkan bule bernama Timothy Carr itu?” sahut Sufi Sudrun.
           “Apakah melakukan pembiaran atas kekerasan seksual terhadap murid sekolah itu bias membuat Timothy Carr masuk penjara?” tanya Azumi menyela.

              “Aku tidak yakin Timothy Carr bisa dijebloskan ke penjatra sekali pun dia pantas dituduh melanggar Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 71 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” jawab Sufi Sudrun.
                “Bagaimana bunyi undang-undang itu paklik?” tanya Azumi.
                “Menurut Pasal 54 UU Perlindungan Anak bahwa lingkungan sekolah wajib dijadikan zona anti kekerasan baik oleh guru maupun murid. Nah kejadian kekerasan sodomi itu dibiarkan berulang-ulang kan?"
    “Wah iya paklik,” sahut Marholi menyela,”Bahkan kampiun pedofilia kelas dunia, William Vahey, pernah mengajar selama 10 tahun di JIS. Pasti sepanjang waktu 10 tahun itu dubur murid-murid JIS pada mekar dan bolong bahkan dobol paklik.”
            “Tapi laporan itu akan sia-sia,” sahut Sufi tua dengan suara keras.
    “Kenapa mbah?” sahut Daitya ingin tahu.
    “Pengacara JIS pasti akan menyatakan bahwa klien yang dibelanya tidak bisa dituduh melanggar Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 71 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Karena JIS kan tidak memiliki ijin, jadi unsur lingkungan sekolah wajib dijadikan zona anti kekerasan baik oleh guru maupun murid tidak terpenuhi karena TK JIS bukan sekolah karena secara hukum tidak memiliki ijin,” kata Sufi tua dengan suara mendongkol,”Selain itu Timothy Carr adalah bule kulit  putih. Mana bisa orang kulit putih dihukum di negeri ini?” kata Sufi tua dengan nada geram.
           “Apa memang begitu pakde, orang bule tidak bisa dihukum di negeri kita?” sahut Dullah menyela.
          “Jangankan masalah sodomi anak,” sahut Sufi tua dengan nada tinggi,”Yang terbukti membawa narkoba 6,8 kilo seperti Schapelle Leigh Corby yang sudah dijatuhi vonis 20 tahun penjara saja dibebaskan dengan grasi. Itu bukti kulit putih tidak bisa diadili di Indonesia yang KUHP-nya adalah terjemahan dari HIR (Hersien Inlandsch Reglement – Hukum untuk Pribumi) bikinan Kolonial Belanda kulit putih.”
    “Oo iya ya,” sahut Dullah garuk-garuk kepala.
    “Kamu tahu tidak, kenapa Sekjen KPAI yang bernama Erlinda tidak melaporkan orang-orang yang menteror dan mengancamnya?” kata Sufi tua dengan nada tanya.
    “Apa karena yang menteror dan mengancam itu bule kulit putih, pakde?”
    “Tepat sekali, semua makhluk berkulit putih boleh melakukan kejahatan apa pun di negeri ini termasuk mensodomi murid-murid TK dan SD. Bukankah fakta menunjuk, pelaku kekerasan sodomi yang ditangkap cuma cleaning service dan guru kulit gelap. Tidak satu pun guru kulit putih yang diperiksa apalagi ditangkap polisi,” sahut Sufi tua menegaskan.
    “Kasihan sekali nasib sebangsa kita ya pakde, hidup jadi warga kelas bawah yang tertindas dan tidak berdaya di bawah penindasan sistematik orang-orang kulit putih. Rasanya lebih buruk dari kolonialisme jaman dulu,” kata Dullah menarik nafas berat.    
     “Ya itu yang disebut penjajahan babak II bagi bangsa kita yang makin bodoh dan tolol ini,” kata Sufi tua sambil menyandarkan punggung di dinding mushola.


You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/bangsa-indonesia-memasuki-penjajahan.html. Thanks!
Friday 25 April 2014

Peneliti LIPI: Minoritas Terancam Jika Prabowo Presiden

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Pusat Litbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Ahmad Najib Burhani, menegaskan negara akan semakin terlibat menjadi hakim dalam penentuan keyakinan/kelompok jika Prabowo Subianto nanti terpilih jadi Presiden RI. "Kita harapkan ke depan kaum minoritas mendapatkan harapan yang lebih cerah. Kecuali presidennya berasal dari yang saya sebut tadi (Prabowo) maka akan bahaya terhadap komunitas minoritas yang akan datang," kata Najib dalam Talk Show DPD RI bertopik "Peta Politik di Senayan PascaPemilu" di gedung DPD/MPR RI Jakarta, Jumat (25/4/2014).

            Najib mengutip "Manifesto Perjuangan Partai Gerindra" dalam bidang agama "Pemerintah/ negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama".
            Lalu apa konsekuensi manifesto ini jika Prabowo terpilih jadi Presiden? Menurut Najib maka peran negara akan semakin terlibat dan menjadi hakim dalam penentuan keyakinan/ kelompok keagamaan yang ortodok (benar) dan heterodok (sesat) di Indonesia. Yang ortodoks adalah keyakinan agama yang dijalankan sesuai aturan agama sedang yang heterodoks adalah keyakinan agama yang penuh bid’ah dan amaliah yang bukan dari agama yang menyesatkan.
         "Dia bisa bergerak melampaui SBY dalam intervensi keyakinan keagamaan," kata Najib.
          Menurut Najib kelompok yang senang dengan ini adalah kelompok sekarang yang menjadi mainstream atau sering mengklaim mewakili suara mayoritas seperti MUI, FPI, dan FUI. "Jika mengikuti logika ini maka partai berideologi Islam seperti PPP, PKS, dan PBB akan bergabung dengan Gerindra," kata Najib.


You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/peneliti-lipi-minoritas-terancam-jika_25.html. Thanks!
Monday 14 April 2014

Dapat Suara Sedikit, Banyak Caleg Sress, Dirawat Paranormal, Melakukan Aksi Gila


        Sedikitnya 40 calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai pelosok Nusantara yang gagal memperoleh suara terbanyak di beberapa daerah pemilihan, menjalani terapi psikologi di Pondok Pesantren Dzikrusyifa Asma Brojomusti, Desa Sendangagung, Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
            Pengasuh Pondok Pesantren Dzikrusyifa Asma Brojomusti, Kyai Muzakkin, Minggu, mengatakan puluhan caleg yang datang itu berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Bali dan daerah sekitarnya.
           "Mereka datang ke tempat kami itu sejak Kamis (10/4) malam secara bergantian. Jumlah caleg gagal yang datang pada tahun ini lebih banyak, yakni mencapai 40 orang, sementara pada pelaksanaan Pileg tahun 2009 hanya 23 orang," kata Kyai Muzakkin seperti dikutip dari Antara, Minggu (13/4).
            Tahun ini, ada sekitar 40 orang yang datang menjalani terapi di Pusat Rehabilitas dan Narkoba Pondok Pesantren Dzikrusyifa Asma Brojomusti, dan terdiri dari 13 perempuan serta 27 lainnya laki-laki.
            "Jumlah itu akan terus bertambah, mengingat saat ini belum ada keputusan resmi hasil rekapitulasi suara," katanya.


            Dia mengaku pondok pesantrennya yang terletak di Jalan Raya Sekanor atau lebih dikenal dengan 'Ponpes Jin' telah mempunyai pusat rehabilitasi dan narkoba sejak dulu, dan menangani beberapa pasien yang mengalami penyakit psikologi seperti stres.
             "Beberapa pasien caleg yang datang kondisinya mengalami depresi berat karena gagal memperoleh dukungan dari rakyat, dan beberapa anggota keluarganya yang mengantar ke sini juga bercerita jika saudaranya itu sering bertingkah aneh dan berbicara sendiri," katanya.
            Muzakkin mengaku pihaknya sampai menyiapkan beberapa ruangan khusus untuk isolasi sejumlah pasien, sebab pasien tersebut sering berontak dan marah kepada setiap orang yang dijumpainya.
              Dia berharap dengan banyaknya caleg gagal yang datang ke pondoknya bisa diambil pelajaran bagi semua orang bahwa untuk maju dalam pesta demokrasi diperlukan mental yang kuat, serta spiritual yang bagus, sehingga tidak mengalami depresi.
Belum ada data resmi berapa jumlah caleg gila pasca-pilihan legislatif  9 April 2014 pekan lalu. Namun dari pemberitaan-pemberitaan di media, jumlahnya bisa dibilang banyak. Misalnya di Cirebon, Jawa Barat, yang dilaporkan ada banyak caleg mendatangi paranormal.
         Caleg gila akibat gagal lolos menjadi anggota dewan ini memang sudah menjadi fenomena saban pemilu legislatif. Pada Pileg 2009 lalu misalnya, setidaknya Kementerian Kesehatan mencatat ada 7.736 caleg gila di seluruh Indonesia. Perinciannya, caleg gila untuk DPR RI ada 49 orang, DPRD provinsi 496 orang, DPD 4 orang dan DPRD kabupaten dan kota 6.827 orang.

Mantan Caleg ?
      Jumlah itu bisa jadi meningkat usai pileg kali ini. Terbukti ada beberapa cerita sejumlah caleg gagal kemudian berbuat 'gila' di beberapa daerah. Misalnya caleg Partai Gerindra yang gagal di Solo nekat mencakar rekan partai sendiri.
Dua pengurus Partai Gerindra Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kota Solo, Jawa Tengah, terlibat pertengkaran hebat. Cekcok sesama pengurus partai tersebut melibatkan Wakil Ketua DPC Nanang Sapto Nugroho dan Kurnia Sari, sekretaris partai.
          Informasi yang dihimpun di kantor DPC Gerindra Solo, Sabtu (12/4), menyebutkan Kurnia yang juga calon legislatif (caleg) Dapil Laweyan tersebut datang ke kantor DPC di wilayah Pasar Kembang sekitar pukul 22.00 WIB.
              Pada saat bersamaan, di lantai 2 sedang berlangsung rapat antara Nanang bersama pengurus lainnya. Kurnia yang ikut bergabung, langsung terlibat adu mulut dengan Nanang, hingga terjadi pertengkaran hebat.
          "Mbak Kurnia tiba-tiba marah-marah ke Pak Nanang. Sempat adu mulut, dan saya lihat Mbak Kurnia berkali-kali memarahi Pak Nanang. Tak hanya itu, Mbak Kurnia juga menampar dan mencakar muka dan tangan Pak Sapto. Tapi Pak Sapto tidak melawan," ujar Wahyu, saksi mata, yang juga pengurus Gerindra Solo.
             Mengenai motif pertengkaran, Wahyu mengaku tak mengetahui pasti. Namun saat datang, Kurnia yang dalam kondisi emosi, menanyakan kepada Nanang perihal surat mandat untuk saksi saat pencoblosan.
            Surat mandat dimaksud tanpa sepengetahuan Kurnia sebagai sekretaris partai. Namun Nanang beralasan hanya menjalankan tugas dari ketua DPC. "Kata Pak Nanang surat mandat sudah sepengetahuan ketua DPC. Tapi Mbak Kurnia tetap tidak terima dan marah-marah," paparnya
            Kemarahan Kurnia, lanjut Wahyu, kemungkinan juga dipicu perolehan suara Kurnia saat pileg, yang tak signifikan. Hal tersebut menyebabkan Kurnia kecewa karena kemungkinan terpilih menjadi caleg sangat kecil.
              Cerita gila lain adalah aksi caleg Partai Hanura, Haji Miftahul Huda. Dia menarik kembali bantuannya untuk musala di RT 2 RW 2, Desa Majan, Kecamatan Kedang Waru, Tulungagung, Jawa Timur.
          Haji Huda marah begitu tahu di kampung itu dia cuma dipilih 29 orang. Miftahul kecewa karena perolehan suaranya pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 di luar harapan. Demikian diberitakan Antara.
               Walhasil, sebanyak 2.000 batu bata, 10 sak semen dan satu truk pasir yang diberikan Miftahul Huda untuk pembangunan musala melalui salah satu tim suksesnya diminta kembali.
Kisah tragis caleg gagal lainnya ada di Maluku. Seorang calon anggota legislatif bersama sejumlah pendukungnya melakukan aksi demonstrasi ke beberapa desa di Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku, setelah tidak mendapat dukungan suara dari masyarakat setempat.
          "Caleg asal salah satu parpol terbesar berinisial BB itu melakukan aksi demo bersama sejumlah pendukungnya di dataran Waeapo karena merasa tidak puas dengan perolehan suara pileg kemarin," kata warga setempat, Baim Wael, seperti yang dikutip dari Antara, Jumat, (11/4).
         Mereka melakukan demonstrasi dengan cara berorasi sambil mengelilingi beberapa lokasi permukiman penduduk di unit 17 dan 18 serta beberapa desa lainnya di dataran Waeapo.
        Menurut Baim, caleg tersebut masuk Daerah Pemilihan (Dapil) II Kecamatan Waepo dan sangat berkeinginan menjadi anggota DPRD Kabupaten Buru untuk periode lima tahun mendatang.
         Sayangnya warga di dapil tersebut tidak memberikan dukungan suara mengakibatkan yang bersangkutan merasa dikhianati dan tidak puas sampai melakukan aksi demonstrasi.
          Caleg berinisial BB ini merupakan putera Hinolong Baman, seorang warga Buru yang selama ini dikenal menjual karcis masuk ilegal ke lokasi penambangan emas di Gunung Botak dan sekitarnya.
Aksi gila lainnya dilakukan caleg gagal di Kabupaten Klungkung, Bali, yang gagal meraih dukungan mayoritas masyarakat. Dia memblokade akses jalan warga di sekitar rumahnya di Nusa Penida.
          Blokade itu dilakukan I Ketut Rai, caleg Partai Golkar nomor urut 5, kepada warga di sekitar tempat tinggalnya di Desa Suana, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
           Penutupan jalan itu dilakukan dengan memasang batako di tiga tempat berbeda di sekitar rumah Ketut Rai. Akibatnya, warga, terutama tetangga Ketut Rai, kesulitan melakukan kegiatan di luar rumah.
          "Dia kecewa karena tidak mendapatkan suara yang diinginkan dan merasa tidak didukung oleh masyarakat desa ini," kata seorang pria yang rumahnya berjarak beberapa meter dari rumah Ketut Rai, Sabtu (12/4). Demikian dikutip antara.
            Sementara itu, Kepala Desa Suana I Putu Rai Sudarta menyayangkan sikap Ketut Rai. Dia menilai hal itu sebagai sikap kurang dewasa Ketut Rai dalam berpolitik.
           "Kami berharap permasalahan ini cepat terselesaikan dengan baik agar warga dapat melakukan aktivitas seperti sedia kala," katanya.


Sumber: MERDEKA.COM.






You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/dapat-suara-sedikit-banyak-caleg-sress_14.html. Thanks!
Wednesday 9 April 2014

Dapat Suara Sedikit, Caleg PKS Minta Uang “Serangan Fajar” Dikembalikan

KahaKaharuddin perlihatkan kuitansi pengembalian uang kepada Muhammad Jafar
KOMPAS.com/SUKOCO
Kamis, 10 April 2014 | 17:04 WIB
        NUNUKAN, KOMPAS.com — Muhammad Jafar, calon anggota legislatif nomor 7 dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, meminta kembali uang “Sedekah” yang disebarnya saat masa tenang.
               Tuntutan itu disampaikannya setelah mengetahui perolehan suaranya di TPS 7, Kampung Nelayan Mansapa, Nunukan, hanya dua suara.

                 Kaharuddin, warga Kampung Nelayan Mansapa, yang ditugasi menyebarkan dana politik uang mengaku terpaksa mengganti uang yang telah diberikan kepada sejumlah warga karena malu menagih kepada warga.
                  “Dia memberikan saya 23 amplop masing-masing berisi Rp 150.000. Jadi jumlahnya semua Rp 3,45 juta. Dia ngomong minta bantu dicarikan suara di TPS 07 Perumahan Nelayan, Desa Mansapa," kata Kaharuddin, Kamis (10/4/2014).
                  "Setelah menerima uang, saya serahkan kepada warga sejumlah 27 orang. Saya terpaksa nombok Rp 600.000 karena ada empat warga lagi minta kepada saya,” sambungnya.
                   Sehari pasca pelaksanaan Pemilu 2014, Kaharuddin mengaku mendapat pesan singkat seluler dari Muhammad Jafar yang meminta pengembalian uang karena Jafar hanya mendapat dua suara di TPS itu.
                 “Saya telepon dia, dia minta kembali uangnya. Tadi pagi ada suruhan dia mau ngambil uang, tapi tidak saya kasih karena saya mau mengembalikan sendiri,” ujar Kaharuddin.
             "Saya enggak mau harga diri saya hilang. Saya tidak mau malu dengan menagih masyarakat. Lebih baik saya bertanggung jawab mengembalikan uang," kata dia lagi.
              Menurut Kaharuddin, sebenarnya tidak ada perjanjian bahwa uang harus kembali jika prediksi perolehan suara meleset. "Dia seorang pengusaha rumput laut, saya cuma nelayan rumput laut. Saya takut,” ungkap Kaharuddin.

Penulis: Kontributor Nunukan:Sukoco
Editor: Glori K. Wadrianto
2nd Hand: Ibnu

You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/dapat-suara-sedikit-caleg-pks-minta_9.html. Thanks!
Tuesday 8 April 2014

Bapakku bukan Perekayasa Konflik


Bapakku bukan Perekayasa Konflik

                                                              Oleh : Alissa Wahid

           Senin malam, 25 Pebruari 2012, saya membaca mention di twitter tentang berita Cak Imin yang akan mendirikan monumen GusDur di Singkawang, Kalimantan. Kota yang banyak dihuni saudara sebangsa berdarah Tionghoa, yang tentu saja sangat menghormati Gus Dur. Walau saya mempertanyakan apakah kiranya sebagai orang yang substantif dan tidak suka seremoni, Bapak suka dibuatkan monumen; bukan soal itu yang mengganggu batin saya. Sudah beberapa waktu terakhir ini, saya ingin menulis tentang Bapak dan konflik PKB cak Imin dari kacamata saya sebagai anak. Tulisan ini adalah kegelisahan saya atas narasi yang semakin sering saya dengar dari mulut dan tulisan orang-orang PKB Cak Imin.
            Pertama kali, saya mendengarnya langsung dari seorang politisi PKB Cak Imin, saat ia meminta saya untuk menjembatani PKB Cak Imin dengan keluarga Ciganjur. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali didekati untuk menjadi jembatan ishlah, tetapi narasi ini belum pernah saya dengar. Sejak itu, saya mulai banyak mendengarnya dari orang-orang lain dari berbagai penjuru, baik langsung dari mulut mereka maupun via social-media, baik dari kawan-kawan Nahdliyin maupun dari aktivis PKB Cak Imin.


          Narasinya sederhana: Konflik antara GusDur dan cak Imin adalah konflik yang sengaja didesain oleh Gus Dur, sebagai strategi politik; bukan sebuah konflik sungguhan dan karenanya sejatinya tidak ada persoalan antara Gus Dur dan Cak Imin. Bahkan ada beberapa orang yang menyebutkan dengan gagah berani langsung kepada saya, bahwa Cak Imin sampai saat ini hanya menjalankan perintah Gus Dur.
              Karena saya bukan politisi, tentu saja saya tidak bisa menjawabnya secara politis juga. Saya hanya menjadi amat gelisah sebagai seorang anak, yang mendampingi Bapak secara intensif selama tiga tahun terakhir kehidupan Beliau. Hari-hari bersama yang membuat saya memahami beban nurani Bapak soal konflik PKB.
            Saya melihat sendiri, bagaimana sikap Bapak ketika Cak Imin datang ke rumah bersama mbak Rustini, istrinya. Bapak hanya menjawab pertanyaan mbak Rustini dan mendiamkan Cak Imin. Ini terulang di banyak ketika lain. Bapak, misalnya, enggan menemui Lukman Eddy yang sudah sampai di Ciganjur. Tidak mau menemui. Sebagai orang yang blak-blakan dan mengingat bagaimana Gus Dur bersikap bahkan kepada “musuh-musuh” politiknya, respons Bapak saat itu, amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka.
            Tahun 2008, saat proses hukum PKB Gus Dur versus PKB Cak Imin, Bapak pernah mengalami stroke ringan, entah ke berapa sejak stroke hebat tahun ‘98. Bapak terjatuh saat dituntun ke kamar mandi oleh Sulaiman di kantor Gus Dur di pojok PBNU. Saat saya tanya apa yang terjadi persis sebelumnya, Sulaiman bercerita bahwa Bapak sedang mendengarkan berita di TV tentang sidang di PTUN. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang diinterview oleh media, dan mereka blak-blakan bicara lebih senang Gus Dur tidak di PKB. Mendengar jawabannya, Bapak berkomentar “orang-orang ini saya yang bawa masuk politik. Kok tega ya mereka ngomongnya begitu tentang saya, Man?” Lalu Bapak minta diantar ke kamar mandi, dan jatuh pingsan di depan pintu kamar mandi. Kata dokter, stroke ringan akibat stres.
           Puncaknya tentu saja ketika MA memutuskan gugatan PKB GusDur ditolak, dan MA menyatakan PKB yang sah adalah PKB hasil Muktamar Semarang di mana Ketum adalah Cak Imin dan Ketua Dewan Syuro adalah Bapak. Setelah keputusan itu, nyatanya PKB Cak Imin tetap berkantor di Menteng, tidak di kantor asli PKB yaitu di Kalibata tempat Gus Dur selalu datang. Setiap keputusan juga diambil sendiri, tidak melibatkan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro. Puncaknya di pendaftaran DCS Pemilu 2009 yang dibuat sendiri oleh cak Imin dan pengurusnya. Drastis menurunnya kesehatan Bapak setelah itu, sangat kami rasakan di Ciganjur. Sehebat apapun fisik Beliau sepanjang hidupnya, seperti kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan psikologis yang hebat ini. Dokter dari berbagai penjuru dunia memberikan respons yang sama atas catatan medis Bapak, “Ini pasien ajaib: dengan kondisi fungsi tubuh seperti ini, masih bisa bertahan begini.” Kami tahu, hanyalah keajaiban itu yang sanggup menopang tekanan psikis, dan entah berapa lama. Itu sebabnya, Ibu sangat sulit untuk menerima perlakuan PKB Cak Imin kepada Bapak, sampai saat ini.
             Mei 2009, Bapak berkunjung ke Jogja. Bapak bilang, “Lis, kamu punya uang yang bisa Bapak pinjam?” Berapa dan untuk apa, tanya saya. “Ya untuk pegangan saja, 5 juta cukup.Bapak nggak punya uang sama sekali.” Bapak saya adalah orang yang mandiri, kalau sampai minta uang kepada saya, berarti sudah berat sekali bagi Bapak. Saya telpon Yenny sambil menangis. Kok bisa, Bapak sampai tak punya uang, bahkan sesedikit itu. Kok bisa, mereka-mereka yang khianat kepada Bapak hidup bergelimang kemewahan sedangkan Bapak tak punya uang di kantungnya.
             Bahkan menulis paragraf di atas ini pun, saya tak mampu menahan air mata. Menyakitkan sungguh, walau juga semakin membuat saya sadar betapa Bapak jauh dari godaan harta dan kekuasaan.
                Pertengahan 2009 itu kondisi Bapak memburuk. Banyak orang menjenguk Beliau di RS, dan lazimnya orang Indonesia, menitipkan belarasa urunan biaya perawatan. Bapak mengumpulkan amplop-amplop ini di dalam laci kantor di PBNU. Lebaran 2009, saya tanya ke Bapak apakah Beliau akan memberikan THR khusus ke staf Ciganjur. Jawabannya tidak dan agar saya yang memastikan mereka mendapatkan THRnya. “Bapak sedang mengumpulkan uang untuk Muktamar PKB, nak. Imin sudah nggak bisa dibiarkan terus-terusan begini.” Demikian kata Beliau saat itu. Beberapa kali Bapak bercerita soal bagaimana PKB harus diperbaiki dan tidak boleh dipegang oleh cak Imin. Saat itulah definitif saya memahami bahwa Bapak masih berupaya keras untuk memperjuangkan PKB dari cengkeraman orang-orang yang tak amanah, walau secara de facto Beliau sudah tidak berdaya. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang masih diterima saat menjenguk, tetapi tidak dengan kelompok terdekat Imin.
              Setelah Bapak wafat pun, ada seorang teman Bapak (sekarang seorang tokoh nasional) yang mengatakan ke saya bahwa ia sedang diminta Gus Dur mencari donasi untuk persiapan Muktamar PKB Gus Dur di tahun 2010. Ia menyerahkan uang yang sudah berhasil dikumpulkannya kepada Ibu. Memang, niat Gus Dur untuk Muktamar sangat kuat, sebagai respons terhadap keputusan MA tentang legalitas PKB yang jatuh ke tangan Cak Imin.
             Semua pengalaman inilah yang membuat saya ngenes dengan ‘tawaran narasi’ dari entah siapa di kubu PKB Cak Imin yang menyatakan bahwa konflik antara PKB Cak Imin dengan Gus Dur adalah rekayasa, bagi saya sama saja dengan menghina Bapak dengan amat sangat.
           Seorang Gus Dur, sekuat apapun seajaib apapun, tak akan mampu merekayasa kondisi fisiknya. Menyatakan bahwa konflik ini adalah rekayasa Gus Dur, adalah sama dengan menyatakan bahwa Gus Dur gila. Itu berarti menyatakan bahwa Bapak merekayasa konflik untuk strategi politik, lalu terkena sendiri dampak fisik dari permainannya, sehingga bahkan harus tinggal di Rumah Sakit.
            Seorang Gus Dur tak mungkin mempermainkan mekanisme hukum sampai di Mahkamah Agung untuk mendapatkan kejelasan hukum mengenai partainya, hanya demi rekayasa. Gus Dur adalah pejuang demokrasi, yang setia dengan prinsip keadilan dan pembebasan. Mereka yang percaya bahwa Bapak merekayasa konflik sampai memanfaatkan proses demokrasi hukum, sama saja percaya bahwa Gus Dur bukan pejuang demokrasi sejati. Ia dianggap sama dengan mereka-mereka yang memanfaatkan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Bagi saya, ini adalah penghinaan besar bagi perjuangan dan karakter Gus Dur.
Rekayasa macam mana yang membuat rombongan Cak Imin melakukan sujud syukur di Mahkamah Agung setelah pengumuman keputusan MA itu? Menyelenggarakan tumpengan di kantornya? Sedemikian pentingnya bagi Gus Dur bersama Cak Imin membohongi rakyat dengan melakukan hal-hal itu, agar rakyat percaya ini konflik betulan padahal rekayasa? Sekali lagi, itu sama saja dengan menyatakan Gus Dur bukan pemimpin rakyat.
            Bagi saya, Bapak bukan itu semua. Dalam hal konflik dengan PKB Cak Imin, acuan saya hanya apa yang saya lihat dan saya dengar dari Bapak langsung. Bukan apa kata dan analisis orang. Apalagi orang-orang yang punya track-record dan karakter yang tak bisa saya percayai.
           Hanya karena ingin mendapatkan dukungan dari pecinta Gus Dur, tega sekali orang-orang ini menyebarkan narasi yang justru menghina karakter Gus Dur, tega sekali menjual nama Gus Dur sedemikian rupa hanya untuk kepentingan kekuasaan sesaat yang tentu saja tak bisa dibawa mati. Padahal, sejatinya mudah mendapatkan dukungan pecinta Gus Dur. Kalau memang mengaku sebagai penerus Gus Dur, jalani saja apa yang selama ini diteladankan Gus Dur: integritas terhadap nilai-nilai dasar Gus Dur, demi umat. Tunjukkan bahwa mereka berjuang berlandaskan prinsip Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan. Tunjukkan bahwa mereka punya karakter Sederhana, Sikap Ksatrya, dan bertumpu pada Kearifan Tradisi. Tunjukkan saja bahwa mereka memang tidak terlibat korupsi, bertindak demi rakyat. Tunjukkan saja pembelaan kepada semua kaum minoritas yang akhir-akhir ini makin muram nasibnya di Indonesia. Itu cukup untuk mengambil hati rakyat.
            Tak perlu klaim ini-itu, apalagi klaim yang justru menghina Bapak saya. Sebagai seorang anak, saya sungguh-sungguh kecewa pada mereka, yang tega melakukannya dan tega untuk percaya bahwa masih banyak rakyat yang masih bodoh dan bisa dibohongi. Sesuatu yang jauh dari apa yang diajarkan Bapak saya sepanjang hidupnya.

.
You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/bapakku-bukan-perekayasa-konflik.html. Thanks!
Saturday 5 April 2014

Gus Dur Kaulah Pahlawan & Teladanku

Di akhir tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonoi orang Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat sebagai Ketua PBNU.

Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang.
Tentu saja semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis lah yang menuntun Gus Dur menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo.

“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.

“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur.

“Kok bisa Gus?”

“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur.

Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan Gus Dur.

Seorang kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?”

“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.

Semua orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka guyon.

“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata Gus Dur mantab.

“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai.

“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon.

Orang yang hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik Gus Dur yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI.

Kemudian Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”

Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”

Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.”

Seakan mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, Gus Dur pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak mudeng dan agak bingung dengan tamsil Gus Dur.

“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang dielu-elukan.”

Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”

Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”

“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”

Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”

“Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”

Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.”

“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”

“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur.

“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian.

“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”

Kemudian Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”

Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!”

“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” tutup Gus Dur.

Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya.

Menghitung peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi.

Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.

Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan Gus Dur juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu bahwa Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.

Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.

Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”

Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, Menpora yang sekarang kena kasus. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.

Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki.

Kembali ke topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa yang akan dilakukan Gus Dur untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.

Dengan resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan, beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan”. Karena bagi seluruh warga NU “Beliau adalah Pahlawan yang sesungguhnya.”

Disadur dan diedit ulang dari tulisan Gus Theler Cuek (https://www.facebook.com/theler.cuek/posts/743645182347160).

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 06 April 2014

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/04/wajib-dibaca-menjelang-pemilu-gus-dur.html#ixzz2yHGDtD2R
You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/gus-dur-kaulah-pahlawan-teladanku.html. Thanks!
Thursday 20 March 2014

Post Hegemony XXXIV: Golput Beda Dengan Pasif Tidak Memilih

 Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
             Setelah ditunggu hampir dua pekan sikap dan pandangan penghuni Pesantren Sufi tentang Pileg dan Pilpres, tiba-tiba semua mata terbelalak dan mulut terkatup rapat saat menyaksikan bendera putih dikibarkan di halaman pesantren. Entah kapan bendera putih itu dikibarkan, tidak satu pun yang tahu kecuali siang seusai Jum’atan bendera itu telah berkibar.
    Bambang Burisrowo, Kiki Lesmono dan Besut Kuciwo – tiga orang caleg yang minta dukungan para sufi – dengan wajah dikobari api kemarahan buru-buru menemui Guru Sufi. Namun karena Guru Sufi tidak ada di tempat, ketiga orang caleg itu hanya ditemui Sufi tua yang sedang menyantap pisang rebus dan kopi bersama Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Dullah, Marholi, Azumi, Roben, dan Daitya. Dengan suara ditekan tinggi Bambang Burisrowo memprotes pemasangan bendera putih di halaman pesantren, “Itu kan sama dengan kampanye Golput, pakde.”

    “Yang kampanye Golput siapa?” sahut Sufi tua menyeruput kopi di cangkirnya.
    “Lha bendera putih itu? Apa itu bukan tanda Golput?” tukas Bambang Burisrowo berang.
    “Kamu lihat lebih jelas lagi, apakah itu bendera Golput?”
    Bambang Burisrowo memicingkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Ia kaget sewaktu mengetahui bahwa yang dikibarkan di tiang bendera itu adalah sarung warna putih. Dengan hati galau dan pikiran mendadak kacau ia bertanya,”Apa maksudnya sarung putih dikibarkan di tiang bendera? Apa itu tidak merupakan penghinaan terhadap negara?”
    “Ah kamu itu mengada-ada saja, mana ada menjemur sarung di tiang bendera dianggap menghina negara? Memangnya Undang-Undang Dasar dan undang-undang memuat pasal-pasal tentang tiang bendera beserta penggunaannya? Ngaco saja kamu ini,” kata Sufi tua menyantap pisang rebus.
    “Tapi penduduk sekitar sudah bilang kalau warga pesantren tidak ikut pemilihan, baik Pileg maupun Pilpres. Apa itu tidak Golput?” sahut Besut Kuciwo.
    “Kalau tidak ikut Pileg dan Pilpres, itu sudah jelas. Tapi jangan dimaknai Golput,” sahut Sufi Sudrun menimpali.
    “Bukankah sama saja tidak memilih dengan Golput?” sergah Kiki Lesmono menyela.
    “Tidak sama!” hardik Sufi Sudrun dengan suara tinggi,”Jangan pernah kalian memaksakan pandangan di pesantren ini. Asal kalian tahu, di pesantren ini tidak ada paksa-memaksa dalam menetapkan sudut pandang atas suatu masalah. Pesantren ini menolak pikiran dogmatis dan doktriner yang membodohkan manusia.”
    Kiki Lesmono, Bambang Burisrowo dan Besut Kuciwo diam. Sebentar kemudian dengan suara bergetar ia bertanya,”Apa beda sikap pasif untuk tidak memilih dalam Pileg dan Pilpres yang dilakukan penghuni pesantren ini dengan Golput?”
    “O banyak bro,” sahut Sufi Sudrun.
    “Apa kira-kira beda Golput dengan sikap pasif tidak memilih?”
    “Golput tidak ikut memilih karena berbagai alasan mulai tidak percaya dengan sistem yang terus-menerus diwarnai kecurangan, money politic, kualitas calon legislatif dan calon presiden yang rendah, dan yang paling mendasar sebagian besar  Golput adalah masyarakat yang sudah muak dan bahkan mual dibohongi terus-menerus dari tahun ke tahun dengan janji palsu oleh para avonturir politik yang mencari penghidupan dan kemapanan hidup lewat politik,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
    “Lalu apa bedanya Sikap Pasif Tidak Memilih dalam Pileg dan Pilpres warga pesantren ini dengan Golput? Bukankah sama-sama tidak memilih?” tukas Kiki Lesmono dan Besut Kuciwo hampir bersamaan.
    “Golput dan para caleg dan capres adalah warganegara Republik Indonesia,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Bagian terbesar Golput adalah warganegara yang sudah kecewa dan tidak lagi mempercayai para politikusnya dalam bernegara.”
    “Bedanya dengan Sikap Pasif Tidak Memilih?” sergah Bambang Burisrowo tidak sabar.
    “Sikap Pasif Tidak Memilih yang dipilih warga pesantren adalah sikap warganegara Republik Indonesia hasil proklamasi yang menolak ikut campur ‘pesta demokrasi liar’ yang diselenggarakan para avonturir politik, para kacung dan jongos kekuatan asing, para ambisius bermoral rendah yang menghalalkan secara cara untuk berkuasa, para pengangguran yang menciptakan lapangan kerja sendiri, para pemburu dan pengumbar nafsu rendah duniawi, dan diikuti oleh orang-orang goblok yang hanya berpikir memperoleh ‘sedekah’ dari para avonturir politik ambisius itu. Itu artinya, kami bersikap pasif untuk tidak memilih karena kami beranggapan bahwa kami adalah para republiken sejati yang setia kepada dasar negara idiil Pancasila dan dasar konstitusional UUD 1945, sedang para avonturir politik itu adalah pengkhianat-pengkhianat negara yang dengan cara sistematis merusak konstitusi negara beserta sistem dan mekanisme kenegaraan dari republik yang kami cintai ini,” kata Sufi Sudrun tegas.
    “Wah berarti penghuni pesantren ini menganggap kami ini, para calon legislatif sebagai pengkhianat negara ya?” sahut Bambang Burisrowo dengan nada marah,”Apa kalian punya bukti? Kalau tidak punya bukti akan kami tuntut kalian secara hukum.”
    “He bung, calon legislatif yang cerdas, cerdik, jenius, dan superior,” sahut Sufi Kenthir menimpali,”Apa kalian belum tahu bahwa sejak tanggal  23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat?”
    “Wah MK jangan dipercaya,” sahut Bambang Burisrowo,”Hakim ketuanya saja masuk penjara.”
    “Lepas ketua MK masuk tahanan karena kasus korupsi, produk hukum yang ditetapkan wajib dihormati dan dipatuhi oleh warganegara yang baik,” sahut Sufi Kenthir dengan suara tinggi,”Jadi kami memilih pasif untuk tidak ikut Pileg dan Pilpres, karena kami yakin bahwa ‘pesta demokrasi’ 2014 adalah ‘pesta demokrasi liar’ karena tidak didasarkan pada konstitusi negara. Kami yakin pemilihan yang dilaksanakan tanpa dasar konstitusi adalah pemilihan inkonstitusional dan hasilnya adalah illegal. Jadi sejak awal kami sudah tidak percaya dengan KPU, Bawaslu dan seluruh perangkat yang mendukung ‘pesta demokrasi liar’ yang tidak memiliki dasar konstitusional itu. Memangnya siapa KPU? Siapa Bawaslu? Apa dasar hukum konstitusional lembaga itu dibentuk? Apa pula kewenangan lembaga-lembaga survey dalam menetapkan kemenangan para calon legislative dan calon presiden? Apa kaitan KPU, Bawaslu dan lembaga-lembaga survey itu dalam ‘pesta demokrasi liar’ itu? Siapakah yang menjadi funding utama dari lembaga-lembaga survey itu?”

   “Kami tidak tahu-menahu tentang keputusan MK itu. Rakyat yang akan memilih kami juga tidak tahu-menahu tentang keputusan MK itu. Jadi kami akan jalan terus,” sahut Kiki Lesmono.
    “Itu artinya, sudah semakin jelas bagi kami bagaimana kualitas caleg-caleg yang akan mewakili aspirasi rakyat dalam Negara Republik Indonesia ini. Jika dalam pemilihan umum saja kalian sudah tidak faham dan kemudian  mengabaikan peraturan dan undang-undang, kami bisa pastikan dalam memaknai Abdi Negara, Pemerintah, Kekayaan Negara, Manajemen Aset Negara, Pengelolaan sumber daya alam milik Negara, dan lain-lain terkait mekanisme bernegara akan kacau dan rancu. Kalian pasti mengira kekayaan Negara adalah identik dengan kekayaan warisan kakek moyang kalian sehingga kalian berhak menjarah dan merampoknya untuk memapankan diri.”
    “Sudah..sudah,” Sufi tua tiba-tiba menyela,”Kalian bertiga itu tidak tahu apa-apa tentang Negara. Kamu Burisrowo, sejatinya tidak layak orang semacam kamu menjadi wakil rakyat. Karena tiga-empat tahun lalu, kamu pernah dirawat dr Adi Pramono, SpKJ. Bagaimana orang yang pernah sakit jiwa bisa diloloskan jadi calon wakil rakyat? Kamu juga Kiki Lesmono, tidak layak kamu jadi wakil rakyat. Kebiasaanmu selingkuh dengan isteri orang akan semakin menguat jika kamu jadi wakil rakyat yang terhormat, di mana kerjamu sehari-hari tidak menjalankan tugas sebagai wakil rakyat tetapi sibuk berselingkuh dengan isteri teman-temanmu sesame anggota wakil rakyat. Dan kamu Besut Kuciwo, kamu telah berjudi dengan nasibmu. Kamu menggadaikan sertifikat rumah dan BPKB motor, menumpuk utang untuk bisa menjadi anggota legislative. Apa yang akan kamu lakukan jika lolos menjadi wakil rakyat? Apakah kamu menjalankan tugas dan kewajibanmu ataukah melunasi hutan-hutangmu yang segunung itu? Dengan cara apa kamu melunasi utang-utangmu?”
    “Maaf Mbang,” kata Sufi Sudrun menyela,”Bukan kami meremehkan kamu. Sekali-kali tidak. Tapi kami tahu bahwa kamu dan kawan-kawanmu tidak mengetahui dan tidak pernah menduga dampak negative dari pileg dan pilpres yang inkonstitusional karena tidak didasari undang-undang dan bahkan bertentangan dengan konstitusi Negara.”
    “Memangnya ada resiko?” tanya Besut Kuciwo ingin tahu.
    “Pasti Chaos,” kata Sufi Sudrun.
    “Chaos?” sahut Besut Kuciwo,”Kok bisa?”

   “Menurut Pak   Soleman B. Ponto,  (Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2012-2013), akibat inkonstitusional ,    pihak-pihak yang menang dalam Pemilu, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya dianggap tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan anggapan bahwa Pemilu 2014 inkonstitusional itulah, sangat mungkin pihak terkait, baik para pemenang Pemilu maupun pihak yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling klaim kemenangan dan kebenaran. Jika dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan politik yang hampir seimbang, maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaos bisa terjadi karena alamiah atau bisa pula akibat rekayasa oleh pihak yang mau mengambil atau mendapat keuntungan oleh kondisi ini,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
    “Wah sampai bisa ke arah chaos ya?” Kiki Lesmono menggaruk-garuk kepalanya.
    “Itu artinya, sangat mungkin tentara akan mengambil alih kekuasaan Negara jika keadaan sudah chaos,” kata Sufi Sudrun.
    “Lha kok bisa? Apa alasan dan dasar hukumnya?”

    “Wooo dasar caleg semprul,” tukas Sufi tua dengan suara rendah,”UU Nomor 34/2004 pasal 7 ayat 2  tentang TNI menyebutkan, bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Jadi kalau kondisi Negara sudah chaos, apalagi sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata, TNI berhak untuk melakukan penyelamatan Negara.”
    “Waa itu kan sama dengan kudeta,” sahut Besut Kuciwo bergetar.
    “Tidak bisa disebut kudeta, karena TNI menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku,” kata Sufi tua menegaskan,”Asal kalian tahu setiap anggota TNI dituntut untuk  setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Nah kalau ada pemerintah illegal karena tidak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan akibat chaos yang membahayakan Negara, TNI wajib melakukan tindak penyelamatan.”


Wajah Abstrak Caleg
“Maaf pakde,” sahut Kiki Lesmono,”Apakah orang-orang pesantren yakin kalau pileg dan pilpres 2014 nanti akan bermuara chaos?”
    “Sangat yakin,” sahut Sufi tua tegas.
    “Atas dasar logika apa orang-orang pesantren yakin pileg dan pilpres 2014 berujung chaos, sehingga orang-orang pesantren bersikap pasif tidak ikut memilih?” Tanya Besut Kuciwo.
     “Keputusan MK tertanggal  23 Januari 2014, menurut analasis kami potensial chaos.”
    “Apakah MK tidak menyadari akibat dari keputusannya itu?”
    “Tentu saja sadar dan tahu.”
    “Kalau tahu, kenapa keputusan itu tetap dilanjutkan?”
    “Ya, itu namanya scenario politis di balik produk hokum.”
    “Maksudnya?”
    “Jika Negara chaos, semua perangkat Negara beserta aparaturnya akan lumpuh dan kehilangan fungsi vitalnya,” kata Sufi tua memaparkan kerangka pemikirannya,”KPK tidak berfungsi, BPK, PPATK, Kejaksaan, Polisi, Kementerian PAN, dan seluruh kementerian yang ada tidak akan bias menjalankan tugas dan kewajibannya. Itu sebabnya, jika keadaan chaos itu dibiarkan TNI bisa dianggap melanggar HAM. Jadi chaos harus diakhiri.”
    “Mmm apa ya maksud MK mengeluarkan ketetapan itu?” Kiki Lesmono garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal,”Misterius banget.”
    “Semprul kamu Ki,” sahut Sufi Sudrun,”Mikir begitu saja tidak becus mau jadi wakil rakyat.”
    “Lha iya kang, apa maksud itu semua.”
    “Dalam keadaan chaos, kasus century gate, hambalang, kasus Akil Mochtar and his gang, dan kasus-kasus menyangkut anggota-anggota wakil rakyat yang korup akan menguap dengan sendirinya,” kata Sufi Sudrun menyimpulkan.
    “Woo begitu ya..?” gumam Besut Kuciwo dan Kiki Lesmono bersamaan dengan pikiran kacau.








You have read this article Sejarah with the title Sejarah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/post-hegemony-xxxiv-golput-beda-dengan.html. Thanks!