Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Pengaruh Persia Pada Sastra dan
Seni Islam Nusantara
Oleh: Agus Sunyoto

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010
129

Penyebaran Islam di Kalangan Pedagang dan Alawiyin
Pemeluk Islam sudah masuk ke Indonesia sejak
pertengahan abad ke-7 Masehi, sejaman dengan era kekuasaan
Khalifah Utsman bin Affan. Yang paling awal membawa seruan
Islam ke Nusantara adalah
para saudagar Arab, Persia dan India
yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan
Nusantara jauh sebelum Islam (Wheatley, 1961). Sebuah cerita
kehadiran saudagar Persia (tazhi) pada masa kekuasaan Ratu
Simha di Kerajaan Kalingga, diberitakan sumber-sumber Cina
Dinasti Tang (Groeneveldt, 1960).
Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara
130
S.Q. Fatimi (1963) mencatat bahwa pada abad ke-10
Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu
suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan
pemukiman-pemukiman di pantai utara Pulau Jawa yang disebut
Loram dan Leran. Terdapatnyamakam Fatimah bintiMaimun bin
Hibatallah di Leran, Gresik, yang kronogram di batu nisannya
menunjuk angka tahun 475 H/ 1082 M adalah petunjuk yang
mengarah kepada kebenaran berita kehadiran suku Lor tersebut.
Dalam Kitab Musarar Babon Saka ing Rum yang terdapat
dalam Primbon Ramal Jayabaya susunan R Tanoyo (1956),
diungkapkan bahwa dalam usaha mengisi Pulau Jawa yang
masih dihuni jin, siluman, brekasakan, dan berjenis-jenismakhluk
halus yang lain, Sultan al-Gabah, penguasa negeri Rum (istilah
orang Jawa untuk menyebut Persia-pen) mengirim 20.000
keluarga muslim Rum ke Pulau Jawa di bawah pimpinan Patih
Amirul Syamsu dan Jaka Sengkala. Mereka tinggal di Gunung
Kendheng di pantai utara Jawa. Dikisahkan bahwa ke-20.000
keluarga muslim itu diserang makhluk-makhluk halus, banyak
yang mati dan yang tersisa hanya 200 keluarga. Mendapat
laporan itu, Sultan al-Gabah marah dan mengirim ulama, orang
sakti dan syuhada ke Jawa untuk memasang “tumbal” guna
mengusir makhluk-makhluk halus. Akibat keampuhan “tumbal”
para ulama, orang sakti dan syuhada itu, terjadi pralaya di Jawa.
Catatan yang tergolong historiografi ini, adalah rekaman sejarah
masyarakat Jawa yang terkait dengan kehadiran suku Lor asal
Persia, yang tinggal di tempat bernama Loram (nama tempat
kuno di Kudus, Jawa Tengah – pen) dan Leran (nama tempat
kuno di Tuban dan Gresik, Jawa Timur –pen), yang secara historis
dapat dihubungkan dengan peristiwa “pralaya” di Jawa pada
tahun 928 Saka (1006M).
Menurut Syihabuddin Akhmad Abdulwahab dalam
Nihayah al-Arab (dalam Atjeh, 1985) “Di sebelah timur Tiongkok
ada enam pulau yang dinamakan kepulauan Sila. Penduduknya
adalah golongan Alawiyin yang datang ke tempat itu karena
melarikan diri dari golongan Bani Umayah”. Penjelasan ini
mengindikasikan bahwa Islam tersebar di sekitar Tiongkok
semenjak dinasti Umayyah memburu golongan Alawiyyin pada
akhir abad ke-7 Masehi. Dalam Taiping Yulan juga disebutkan
kehadiran 500 keluarga Hu (Persia) di kerajaan Dun-sun di
Semenanjung Malaysia (Wheatley, 1961).

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010
131

pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Digambarkan pula tentang banyaknya kapal Persia
pada abad tersebut yang berdagang ke Cina, dan salah satu kapal
tersebut dinaiki peziarah Buddhis Yijing yang akan ke India, di
mana Yijing bertemu dengan orang bernama Persia (Hu) di
Kedah (Wolters, 1967).
Tersebarnya Islam yang dibawa golongan Alawiyin di
sekitar Tiongkok sejak abad ke-7, kita ketahui dari catatan
Mas’udi tentang keberadaan saudagar-saudagar muslim dari
Basrah, Siraf, Oman, dan kota-kota India yang berniaga dengan
saudagar-saudagar beragama lain di kota Kanton, Tiongkok pada
abad ke-9. Namun akibat serangan tentara pemberontak Huang
Chao pada tahun 879 Masehi, sekitar 200.000 orang muslim,
Nasrani, Yahudi, dan Majusi tewas oleh senjata atau tenggelam
dalam air ketikamereka berlarian dikejar-kejar (Meynard, 1962).
Hancurnya masyarakat dagang muslim di Kanton tidak
bermakna hilangnya pengaruh Islam di Kanton. Meski lambat,
Islam terus berkembang di Kanton,Yangchouw dan Chanchou.
Pada tahun 1386 M, terjadi pengungsian besar-besaran
penduduk muslim Cina dari Kanton, Yangchou dan Chanchou ke
selatan dan menghuni pantai utara Jawa dan pantai Timur
Sumatera. Ketika tahun 1405 M Cheng Ho datang ke Jawa,
diketahui bahwa di Tuban, Gresik dan Surabaya terdapat
masing-masing 1000 orang keluarga Cina muslim (Groeneveldt,
1960). Menurut Parlindungan (2007) muslim Cina di Indonesia
menganut mazhab Hanafi, di mana Imam Abu Hanifah pendiri
mazhab Hanafi itu diketahui menerima semua pendapat Imam
Ja’far Shadiq kecuali tiga perkara (Aceh, 1988).

Pengaruh Pada Bahasa Nusantara
Persinggungan antara para pedagang dan golongan
Alawiyin yang kebanyakan dari Persia dengan penduduk
Nusantara semenjak abad ke-7, dapat diasumsikan
mengakibatkan terjadinya proses saling pengaruh dalam aspek
ekonomi, sosial, budaya, religi, dan terutama bahasa di antara
keduanya. Dalam konteks bahasa, pengaruh Persia di Nusantara
cukup signifikan karena tidak saja sejumlah kata Persia diserap
menjadi kosa kata Nusantara, melainkan pola peminjaman kata
Arab pun dicapai melalui bahasa Persia, yang kadang-kadang
lewat bahasa India pengaruh Persia. Menurut Robert N. Bellah
Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara


Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010132
Islam datang ke Indonesia setelah melewati proses
akulturasi dengan warisan Budaya Persia, atau lebih luas lagi, Iran
(orang-orang Arya), sebagaimana tampak dalam gaya arsitektur
bangunan, kesenian, sastra, ilmu pengetahuan yang menunjuk
pada suatu kombinasi berbagai unsur peradaban yang berintikan
warisan-warisan budaya Irano-Semitis.
Para penyelidik kesusasteraan Indonesia pengaruh Islam,
khususnya sarjana-sarjana Barat apabila membahas sumber
kesusasteraan Indonesia lama pengaruh Islam kebanyakan
merujuk kepada sumber-sumber Parsi dan India (Hamid, 1989).
Pengaruh Persia dan India ini memang kelihatan sekali jejakjejaknya,
baik dalam penggunaan kosa kata maupun karya-karya
sastra. Beg (1982) yang meneliti sejumlah kamus bahasa Melayu
menemukan sedikitnya terdapat 77 kosa kata Persia yang
beredar dan digunakan di Nusantara. Beberapa contoh yang
paling dikenal, menurut Beg, adalah kata kanduri (kenduri),
astana (istana), bandar (pelabuhan), bedebah, biadab, bius, diwan
(dewan), gandum, jadah (anak haram), lasykar, nakhoda,
tamasya, saudagar, pasar, syahbandar, pahlawan, kismis, anggur,
takhta, medan, firman, dsb. Pengaruh Persia yang kuat dalam
kebahasaan di Nusantara, yang berhubungan dengan Islamisasi
adalah sistem pengajaran membaca Al-Qur’an yang
menggunakan istilah-istilah berbahasa Persia untuk menyebut
harokat (vokal) dalam bahasa Arab seperti istilah Jabar untuk
fatkhah, Jer (Zher) untuk kasroh dan Pes (Fyes) untuk dlomma.
Menurut Nurcholis Madjid (1987), bahasa Indonesia
banyak sekali mengandung kata-kata pinjaman dari bahasa
Persia. Hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia
dipinjam dari dan melalui bahasa Persia. Ini bisa dibuktikan dari
kasus ta’ marbuthah (huruf “t”, yang kalau berhenti, berubah
bacaannya menjadi seperti “h”, dan kalau disambung dengan
huruf hidup tetap berbunyi “t” – ta’ maftuhah). Hampir semua
kata Arab dalam bahasa Indonesia dengan akhiran ta’ marbuthah
dibaca (dalam waqaf) sebagai “t” seperti: adat, berkat, dawat,
hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, sifat, tobat,
warkat, zakat, dsb.
Masuknya kosa kata Persia dalam bahasa Nusantara itu
secara berangsur-angsur diikuti masuknya karya sastra – karya
sastra terjemahan dari bahasa Persia dan India seperti Qissah
Insyiqaq al-Qamar (Hikayat Bulan Terbelah, yang mengisahkan

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010
133

mukjizat Nabi Muhammad Saw), Rawdat al-Ahbab (Hikayat Nur
Muhammad, yang mengisahkan cahaya kenabian yang mulamula
dicipta Allah dari cahaya-Nya), Wafat Nameh (Hikayat Nabi
Wafat), Qissah Wassiyah al-Mustafa li Imam Ali (Hikayat Nabi
Mengajar Imam Ali), Qissah Amir al-Mu’minin Hasan wa Husain
(Hikayat Amir al-Mukminin Hasan dan Husain), Qissah i Ali
Hanafiah (Hikayat Muhammad Hanafiah, mengisahkan
kepahlawanan putra Ali bin Abi Thalib dengan perempuan dari
kabilah Hanafiyah), Qissa i Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah,
mengisahkan kepahlawanan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman
Nabi Muhammad Saw), Qissas al-Anbiya (Hikayat Nabi-nabi),
Qissa i Bakhtiar (Hikayat Bakhtiar), Tutinameh (Hikayat Bayan
Budiman), Keratako wa Damanakala (Hikayat Kalilah dan
Daminah), dan sebagainya (Harrison, 1955; Winstedt, 1920 &
1968; Ronkel, 1895 & 1932; Brakel, 1975; Dunia, 1969).


Pengaruh Pada Sastra Islam Nusantara
Di tengah arus masuknya karya sastra terjemahan Persia,
terjadi perkembangan dalam karya sastra Islam berbahasa
Melayu yang terpengaruh sastra Persia yang ditulis alim ulama
seperti Nuruddin ar-Raniri dengan karyanya Bustan al-Salatin,
Bukhari al-Jauhari dengan karyanya Taj al-Salatin, Abdul Rauf
Singkel dengan karyanya Syair Ma’rifah, dan Hamzah Fanzuri
dengan karyanya Syair Perahu yang termasyhur yang
menjadikannya dianggap sebagai bapak kesusasteraan Melayu
modern (Fang, 1975; Dipodjojo, 1975; Al-Attas, 1972).
Sementara itu, sedikit berbeda dengan di Sumatera dan
Semenanjung Malaya, karya sastra bernafaskan Islam yang
menyebar di kawasan pesisir utara Jawa biasanya berbentuk
tembang atau gancaran, di antaranya: Serat Anbiya, Serat Pepali,
Serat Menak, Suluk, Serat Raja Pirngon (Sedyawati, 2001).
Berbeda pula dengan sastra Melayu pengaruh Islam yang
ditandai munculnya naskah-naskah terjemahan dari bahasa
Persia dan India, sastra Jawa pengaruh Islam hanya sebagian
kecil mengambil naskah-naskah terjemahan. Bagian terbesar
sastra Jawa pengaruh Islam berisi kisah-kisah lokal yang
berkaitan dengan tokoh-tokoh muslim dan latar kehidupan
setempat seperti Serat Jayalengkara, Serat Jatiswara, Serat
Sastra Gending, Serat Jenggalamanik, Serat Kramaleya, Serat
Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni IslamNusantara

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010134

Syekh Jangkung, dan Serat Cabolek. Bahkan selama periode
Mataram pada abad ke-16 yang dilanjutkan periode Surakarta
pada abad ke-18, kesusasteraan yang ditulis pujangga-pujangga
muslim mengambil latar dan tokoh lokal yang bukan muslim
seperti Nawaruci, Serat Rama, Serat Arjunasasrabahu, Serat
Anglingdarma, Serat Mintaraga, Serat Bima Swarga, Dahyang
Saloka, Serat Panji yang diinterpolasi dengan ajaran Islam. Meski
cenderung pada kisah-kisah lokal, pengaruh sejumlah naskah
terjemahan Persia dan India juga berkembang dan digemari
masyarakat Jawa.
Serat Menak – yang merupakan naskah terjemahan  di
Jawa berkembang dengan berbagai jenis lakon-lakonnya seperti
Menak Sarehas, Menak Lare, Menak Sulub, Menak Serandhil,
Menak Kuristan, Menak Kanjun, Menak Kandhabumi, Menak Jobin,
Menak Ngambarkustup, Menak Kalakodrat, Menak Kuwari, Menak
Cina, Menak Malebari, Menak Purwakandha, Menak Sorangan,
Menak Jaminambar, Menak Lakat, dsb. Meski berbeda-beda
judul, namun intisari cerita Menak berpijak pada kisah tokoh
utama bernama Amir Ambyah putera Abdul Mutalib, seorang
bangsawan di Makkah. Amir Ambyah ditampilkan sebagai
pahlawan Islam yang berperang dari satu negeri ke negeri lain
untuk menyebarkan Islam. Cerita Menak Amir Ambyah
bersumber dari Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu, di
mana Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu sendiri
merupakan naskah terjemahan sastera Persia berjudul Qissa i
Emir Hamza, sebuah epos Persia yang meriwayatkan tokoh Amir
Hamzah (van Ronkel, 1895).
Tokoh Amir Ambyah dalam Serat Menak sebenarnya
merupakan penggambaran tokoh sejarah Hamzah bin Abdul
Muthalib (paman Nabi Muhammad yang gugur dalam Perang
Uhud-pen) sebagai pahlawan gagah perkasa tanpa tanding.
Menurut Resowidjojo (1941) tokoh Amir Ambyah dalam cerita
Menak diberi banyak nama antara lain Wong Agung
Jayengrana, Wong Agung Menak, Jayeng Jurit, Jayeng Laga,
Jayeng Satru, Amir Mukminin, Menak Amir, Jayadimurti,
Wiradimurti, Jayeng Resmi, Palugon, Palugangsa, Retnaning
Jurit, Kamidil Ngalam, Karabul Maunun. Amir Ambyah
dikisahkan memiliki banyak isteri dan anak, hasil perkawinan
denganputeri-puteri raja dari berbagai negeri. Dari pernikahan
dengan Retna Muninggar (Mihrnigar) puteri Prabu Nusirwan

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010
135

(Anushirwan) dari negeri Medayin lahir putera bernama Kobat
Sarehas (Qobat Shehriar); dengan Dewi Marpinjun adik Retna
Muninggar diperoleh putera bernama Rustamaji; dengan Dewi
Ismayawati puteri Prabu Tamimasar (Tamim Azhar) dari negeri
Ngajrak lahir Dewi Kuraisin (Quraisyin); dengan Dewi Kelaswara
puteri Prabu Kelan Jajali raja Kaelani lahir Iman Suwangsa
(Badi’uz Zaman); dengan Dewi Sudarawreti puteri Prabu Perid
(Farizh) raja Parang Akik adik Prabu Kanjun lahir putera bernama
Jayusman; dengan Dewi Sekar Kedhaton puteri Prabu Asan Asir
(Hasan al-Misri) raja Mesir lahir putera bernama Umar Mesir atau
Maryunani; dengan Dewi Retna Kisbandi anak Prabu Kemar Raja
Kuwari lahir putera bernama Hasim Kuwari (Hasyim al-Quwairy);
dengan puteri raja Burudaging di negeri Rum lahir putera
bernama Hasim Katamsi; dengan Dewi Robingu Sirtupelaeli dari
negeri Karsinah, Amir Ambyah tidakmemiliki putera.

Pengaruh Pada Seni Pertunjukan
Serat Menak Amir Ambyah di Jawa meski ditulis dalam
naskah-naskah tulisan, tetapi sering divisualisasi dalam bentuk
pertunjukan wayang krucil atau wayang tengul. Melalui seni
pertunjukan itu, Serat Menak Amir Ambyah yang bersumber
pada sastra Persia berjudul Qissa i Emir Hamza yang sarat
memuat pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan yang
berpihak kepada keluarga Nabi Muhammad Saw, dikenal dan
diterima oleh hampir seluruh masyarakat Jawa di pesisir dan
pedalaman, bahkan berkembang sampai ke Nusa Tenggara
Barat.
Dalam sejumlah lakon, tokoh Amir Ambyah dikisahkan
sering terlibat perselisihan dengan mertuanya; Raja Nusirwan
yang masih kafir. Ia sering pula dikisahkan berselisih dengan
tokoh Jemblung Marmaya (Omar Umayah) yang digambarkan
sebagai tokoh berperut buncit (jemblung) berwajah jelek. Tokoh
Amir Ambyah angat dikagumi masyarakat. Popularitas Serat
Menak di kalangan masyarakat Jawa pada abad ke-19 dan ke-20
sedikitnya terlihat dengan digunakannya nama-nama tokoh
Menak seperti Amir, Ambyah, Maktal, Jumiril, Lukman,
Tamtanus, Jayusman, Kuraisin, Sulasikin, Sudarawerti,
Muninggar, Kadarwati (Yosodipuro, 2002) untuk menamai anakanak
mereka. Akibat populernya tokoh Amir Ambyah, tidak satu
Sunyoto, A. Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni IslamNusantara

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010136

pun masyarakat Jawa yang berkenan menamai anaknya dengan
meminjam nama tokoh antagonis Jemblung Marmaya (Omar
Umayah) yang digambarkan sangat tidak simpatik, baik fisik
maupun perangainya.
Kemasyhuran cerita Amir Ambyah yang di Jawa sering
dipergelarkan melalui media wayang krucil atau wayang tengul,
berkembang pula di Nusa Tenggara Barat melalui media wayang
Sasak. Bentuk wayang Sasak hampir menyerupai wayang
gambuh, terbuat dari bahan kulit yang ditatah dan disungging.
Dasar cerita yang digunakan adalah hikayat Amir Hamzah. Kata
Sasak merupakan sebutan lain dari Pulau Lombok; jadi yang
dimaksud di sini ialah wayang dari Pulau Lombok (Haryanto,
1988). Demikianlah, sastra Islam yang terpengaruh Persia
berkembang menjadi seni pertunjukan di berbagai daerah dan
memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam proses dakwah
Islam di Nusantara.
Sementara itu penyebaran nilai-nilai Islam lewat jalur
seni dilakukan melalui pengembangan asimilatif antara seni
budaya setempat seperti wayang beber (karebet), wayang kulit
(ringgit purwa), wayang klithik, wayang gedog, wayang Demak,
banyolan (mabanyol), pelawak (mamirus), tari-tarian (nirtya),
tembang gede, kidhung, macapat dengan seni budaya Islam
yang berasal dari Persia, India, Campa, Cina, dan Arab.
Satu hal pasti dari pengaruh Islam dari Persia dan India
yang diketahui mempengaruhi lahirnya sejumlah seni tradisional
tampak pada kesenian wayang klithik (yang membawakan
cerita-cerita Menak), wayang purwa (membawakan cerita
Ramayana dan Mahabharata), kentrung (menuturkan kisah para
wali penyebar Islam), jemblung (membawakan cerita Menak),
genjring (seni sulap bernuansa mistis), debus (seni kekebalan
berasal dari tarikat Rifa’iyyah), terbang jidor (pengiring
pembacaan shalawat), dan shalawatan.
Menurut Simuh (1988) di Jawa pengaruh Islam aliran
Syi’ah terlihat sekali dalam proses Islamisasi melalui seni seperti
terlihat pada pertunjukan sandhul, yakni suatu seni yang
menggambarkan peperangan antara Imam Ali bin Abi Thalib
melawan Muawiyyah. Perayaan hari Asyura pada tanggal 10
Muharram yang dirayakan dengan sajian nasi-bubur adalah
selamatan dan peringatan bagi imam Husain (cucu Nabi
Muhammad Saw) yang terbunuh dalam perang di Karbala tahun

Jurnal Al-Qurba 1(1): 129-139, 2010
137
680 Masehi. Simpulan Simuh bahwa seni Sandhul adalah
pengaruh Islam Syi’ah, tentu berhubungan dengan Cerita Menak
lakon Amir Ambyah, yang menggambarkan tokoh Amir Hamzah
bin Abdul Munthalib yang sering berselisih dengan tokoh
Jemblung Marmaya (Omar Umayah). Itu berarti, baik seni
sandhul maupun cerita Menak, sama-sama menggambarkan
kisah perselisihan abadi antara Bani Munthalib dengan Bani
Umayyah yang direpresentasikan dalam kisah peperangan Imam
Ali melawan Mu’awiyah maupun perselisihan Hamzah bin Abdul
Muthalib melawan tokoh Umayyah, yang secara psikologis hal
tersebut mempengaruhi struktur mental (habitus) masyarakat
muslimdi Nusantara.
Dewasa ini, di tengah derasnya pengaruh sastra Barat
dengan berbagai alirannya – mulai aliran realisme sosial sampai
humanisme -- yang melanda Indonesia lewat novel, roman,
cerita pendek, naskah drama, sampai film memberi kesan
seolah-olah sastra di Indonesia sudah menjadi sastra Barat.
Namun dengan memahami bahwa Persia pernah menanamkan
pengaruh pada sastra dan seni di Nusantara, yang memiliki
peranan dalam pembentukan struktur mental (habitus), tentunya
pengaruh tersebut tidak lenyap sama sekali. Sebab setiap kali hal
baru datang, maka akan bersinggungan dengan hal-hal lama. Hal
itu setidaknya terlihat pada kemunculan buku-buku terbitan baru
yang memuat cerita-cerita Persia seperti Shahnameh atau film
Prince of Persia, yang cukup mendapat respon positif dari
masyarakat Indonesia. Itu berarti, ke depan nanti sastra Persia
lama dan modern bisa dijadikan alternatif dalam pengembangan
sastra di Indonesia, sebagai tandingan bagi sastra Barat yang
sudah terlalu hegemonis.
You have read this article Agama / Budaya with the title . You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/02/pengaruh-persia-pada-sastra-dan-seni.html. Thanks!

No comment for " "

Post a Comment