Al-Fuad Dalam Pandangan Kaum Sufi
Oleh: K. Ng. H. Agus Sunyoto
Al-Fuad adalah maqam ketiga yang tersembunyi di balik hati manusia. Kedudukan Al-Fuad di dalam hati ibarat Masjid Al-Haram di dalam kota Makkah.Al-Fuad adalah tempat ma’rifat dan rahasia-rahasia. Al-Fuad adalah tempat ru’yah (melihat) nsedang Al-Qalbu adalah tempat ilmu. Itu sebabnya, apa yang dilihat Al-Fuad adalah benar dan tidak ada kesilapan sedikit pun sebagaimana firman Allah : “Tidaklah Al-Fuad itu dusta ketika melihat apa yang dilihatnya” (Q.S.An-Najm:11).
Perbedaan antara Al-Qalbu dengan Al-Fuad bagi kebanyakan orang memang kurang jelas. Namun sejatinya Al-Fuad lebih dalam makna namanya dibanding Al-Qalbu. Untuk melihat sesuatu, misal, Al-Qalbu masih seperti mata inderawi yang membutuhkan cahaya untuk menangkap obyek. Sementara Al-Fuad melihat (ru’yah) dengan sebenarnya dan dengan kepastian menetapkan kebenaran dari yang dilihatnya. Itu artinya, dalam melihat kebenaran Al-Fuad tidak membutuhkan prasyarat apa pun kecuali pertolongan Tuhan melalui hidayah-Nya.
Sekalipun Al-Fuad lebih dalam dari Al-Qalbu, namun kedekatan keduanya cenderung membuat orang sulit membedakan satu sama lain. Perbedaan Al-Fuad dengan Al-Qalbu adalah seperti perbedaan Ar-Rahman dengan Ar-Rahiim, di mana yang menjaga dan meliputi Al-Qalbu adalah Ar-Rahman, sedang yang menjaga dan meliputi Al-Fuad adalah Ar-Rahiim. Oleh karena Al-Qalbu tempat iman, maka seorang mu’min harus mengarahkan kebenaran imannya kepada Ar-Rahman sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah, Dia adalah Ar-Rahman dan kami beriman kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya kami bertawakkal,” (Q.S.Al-Mulk: 29).
Sementara karena Al-Fuad adalah tempat ru’yat, maka seorang ‘arif harus mengarahkan keluasan ma’rifatnya kepada Ar-Rahiim sebagaimana firman-Nya: “Rahmat-Ku lebih luas dari segala sesuatu, dan akan Aku tuliskan kepada orang-orang yang bertaqwa,” (Q.S.Al-‘Araf: 156).
Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali r.a. pernah ditanya seorang A’rabi,”Apakah engkau melihat Rabbmu?”
Abu Ja’far menjawab,”Sungguh, aku tidak menyembah sesuatu yang tidak aku lihat.”
Orang A’rabi bertanya lagi,”Bagaimanakah engkau melihat Rabbmu?”
Abu Ja’far menjawab,”Rabbku tidak dapat dilihat dengan mata inderawi seperti kita menyaksikan suatu benda, tetapi dapat dilihat oleh hati (Al-Fuad) dengan sarana hakikat iman.”
Dasar-dasar Al-Bashirah – penglihatan dengan Al-Fuad (ru’yat) – sebagaimana disampaikan Abu Ja’far, sangat kuat dipengaruhi syahwat. Maksudnya, tingkat keterang-jernihan ru’yat tergantung pada tingkat kejernihan Al-Qalbu dari pengaruh syahwat, naluri rendah dan macam-macam urusan duniawi. Jika nafsu sudah naik dari perut ke dada, maka mendung kegelapan akan menyelimuti mata hati (Al-Fuad). Al-Fuad yang terselimuti mendung kegelapan, penglihatan hatinya menjadi tertutup dan buta.Selain syahwat, naluri rendah, macam-macam urusan duniawi, kecamuk pikiran, gejolak perasaan pun memberi pengaruh kuat bagi terselimutinya mata hati (Al-Fuad).
Pada saat Al-Fuad menyatu dengan Al-Qalbu – sama dengan Ar-Ru’yat menyatu dengan ilmu-- maka penglihatan seseorang akan menembus ke dalam obyek, sehingga semua yang gaib terlihat menjadi nyata. Melalui keterpaduan antara Al-Fuad dengan Al-Qalbu , seseorang akan menjadi yakin dengan ilmu dan musyahadah, serta yakin pula dengan hakikat penglihatan iman. Demikianlah orang-orang yang Al-Qalbunya sudah bersih dari kesyahwatan, naluri-naluri rendah, macam-macam urusan duniawi, kecamuk pikiran, dan gejolak perasaannya, maka pandangan bashirahnya akan terang benderang dan membuatnya mampu melihat hakikat di balik yang tampak oleh penglihatan indera.
Ketika penduduk Makkah dan Madinah mengenal Rasulullah Saw sebagai seorang laki-laki pembawa risalah Kenabian, sahabat seperti Abu Bakar ra dengan pandangan Al-Fuad yang menyatu dengan Al-Qalbunya, menangkap makna yang gaib di balik wujud fisik laki-laki yang menjadi menantunya itu. Itu sebabnya, apa pun yang disampaikan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra – yang bagi sahabat lain masih dipertanyakan – dengan keyakinan penuh selalu dibenarkan dan diterimanya sebagai keniscayaan. Bahkan saat Abu Bakar ra menyerahkan seluruh hartanya untuk perjuangan dan Rasulullah Saw bertanya “jika semua diserahkan, lalu untuk Abu Bakar dan keluarganya apa?” dengan penuh yakin Abu Bakar ra menyatakan,”Untuk Abu Bakar dan keluarganya, cukup Allah dan Rasul-Nya!” Pernyataan Abu Bakar ra itu hanya mungkin bisa difahami oleh mereka yang sudah terbuka mata hati Al-Fuad-nya, yang menyaksikan kebenaran sebagai kebenaran meski bertentangan dengan akal.
Ketika para sahabat diguncang peristiwa yang sangat membingungkan – wafatnya Rasulullah Saw – yang membuat Umar bin Khaththab ra panik sampai menghunus pedang dan mengeluarkan ancaman “siapa yang mengatakan Muhammad Saw telah wafat, dia akan berhadapan dengan pedangku”, Abu Bakar ra yang menyaksikan peristiwa mengguncangkan itu dengan Al-Ru’yat yang menyatu dengan ilmu, segera menyadarkan semua dengan ucapan penegak Tauhid yang legendaris,”Siapa yang menyembah Muhammad Saw, maka Muhammad Saw sekarang telah wafat. Tetapi siapa yang menyembah Allah SWT, sungguh Dia Mahahidup dan kekal selamanya.”
Pernyataan-pernyataan Abu Bakar yang didasari oleh penyaksian Al-Ru’yat (Al-Fuad) yang menyatu dengan ilmu (Al-Qalbu) itu, tentu berbeda dengan keadaannya sewaktu berada di dalam gua di Bukit Tsur bersama Rasulullah Saw dalam kejaran orang-orang Quraisy. Saat itu, Abu Bakar ra merasa ketakutan sampai tubuhnya menggigil saat melihat orang-orang Quraisy mendekati tempat persembunyiannya, di mana hal itu terjadi karena Abu Bakar ra melihat orang-orang Quraisy dengan penglihatan ilmu (Al-Qalbu). Menurut para sufi, saat itulah Rasulullah Saw ‘membuka’ penglihatan Al-Fuad (Ru’yat) Abu Bakar ra untuk menangkap Kebenaran haqqiqi dari sabda Tuhan “Innallaha ma’ana” (sejatinya Allah bersama kita), yang dijadikan dasar dari praktek baiat sebagian tarikat yang dinisbatkan kepada Abu Bakar ra. Oleh karena sudah mengetahui bahwa Abu Bakar ra termasuk sahabat yang sudah terbuka penglihatan mata hati (Al-Ru’yat), yaitu mata hati Al-Fuad yang lebih dalam daripada mata hati Al-Qalbu, maka menurut para sufi, Rasulullah Saw menganugerahi Abu Bakar ra dengan gelar As-Shiddiq, yang bermakna: orang yang waskita.
Sungguh, di tengah zaman yang serba materialistik di era global ini – saat dunia kebanjiran benda-benda komoditi yang menyedot fokus perhatian akal dan jiwa yang didorong nafsu kebendaan – usaha membersihkan Al-Qalbu sebersih-bersihnya bukanlah pekerjaan ringan dan gampang. Sebab manusia yang hidup di jaman serba material ini, ada kecenderungan untuk gampang hanyut terseret gelombang komoditi yang menerjang laksana tsunami, di mana manusia benar-benar telah terbawa arus ke tengah lautan komodifikasi yang menjadikannya timbul-tenggelam dalam kesadaran semu di tengah gelombang lautan benda-benda fana. Dan sebuah kesadaran semu, biasanya lahir dari ‘ hati (Al-Qalbu) yang keras dan tidak mengingat Tuhan (Q.S. Az-Zumar:22)’; hati yang tertutup sehingga tidak memahami (kebenaran) (Q.S.Al-Kahfi:57); hati yang selalu bimbang dan berada dalam keragu-raguan (Q.S.At-Taubah:45); hati yang disempitkan (Q.S.Al-Hijr:97); hati yang dikunci mati (Q.S.Al-Munafiqun:3); Naudzubillah!
Lepas dari betapa sulit dan rumitnya upaya membersihkan Al-Qalbu dari dorongan kesyahwatan dan naluri-naluri rendah, godaan macam-macam urusan duniawi, kecamuk pikiran, dan gejolak perasaan, suatu harapan di tengah perjuangan keras harus tetap dilakukan jika kita tidak ingin menjadi golongan orang yang berputus asa dari rahmat-Nya. Hanya saja, kita harus selalu ingat terhadap sebuah fakta, di mana untuk membuka mata hati (Al-Qalbu) saja kita sudah sedemikian rupa menghadapi kesulitan dan kerumitan yang membingungkan, masih pantaskan kita membincang usaha yang jauh lebih sulit dan rumit, yaitu perjuangan membuka mata hari Al-Fuad yang lebih dalam dan lebih rahasia daripada mata hati Al-Qalbu?
You have read this article Agama
with the title Al-Fuad Dalam Pandangan Kaum Sufi. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/al-fuad-dalam-pandangan-kaum-sufi.html. Thanks!
No comment for "Al-Fuad Dalam Pandangan Kaum Sufi"
Post a Comment