Oleh : K Ng H. Agus Sunyoto
Wali dapat berbentuk fa’il dengan makna maf’ul, sebagaimana firman Allah: “Dan Dia melindungi (yatawala) orang-orang shaleh” (Q.S. Al-A’raf: 196). Wali juga bisa berbentuk fa’il dengan makna setara fa’il, dengan tekanan bahwa manusia menjaga diri (tawalli) untuk taat kepada Allah dan tetap memenuhi kewajiban-kewajiban kepada-Nya. Sementara Wali dalam makna pasif menunjuk kepada “orang yang diinginkan Tuhan” (murad), sebaliknya dalam makna aktif wali bermakna “orang yang menginginkan Tuhan” (murid). Semua makna itu, baik yang bermakna hubungan Tuhan dengan manusia maupun hubungan manusia dengan Tuhan, adalah benar sebagaimana firman Allah : “Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya” (Q.S.Al-Maidah :54), sehingga Allah adalah sahabat (Wali) mereka dan mereka adalah sahabat-sahabat Allah (awliya’), di mana mereka itu adalah orang-orang beriman yang dilindungi Allah (Q.S.Al-Baqarah: 257).
Di dalam hadits yang ditakhrijkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Bad’ul Khalqi – Bab Menyebut Malaikat Jilid IV, hal.111 – disebutkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda: ”Apabila Allah mencintai hamba, maka Jibril menyeru: “Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia”. Jibril mencintainya dan Jibril berseru kepada penghuni langit: ”Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia.” Maka penghuni langit mencintainya dan kemudian di bumi dia menjadi orang yang diterima oleh penduduk bumi.”
Nabi Saw bersabda: ”Di antara hamba-hambaTuhan ada sebagian yang dipandang para Nabi dan para syahid berbahagia.” Lalu sahabat bertanya: “Siapakah mereka? Jelaskan tentang mereka, barangkali kami bisa mencintai mereka.” Nabi Saw menjawab: “Mereka orang yang mencintai satu sama lain melalui kasih Ilahi, tanpa punya kekayaan harta benda dan tanpa mencari nafkah kehidupan; wajah-wajah mereka bercahaya, dan mereka duduk di atas singgasana cahaya; mereka tidak takut ketika orang-orang merasa takut, mereka tidak merasa bersedih ketika orang-orang lain bersedih hati.” Kemudian Nabi Saw membaca ayat: “Sesungguhnya bagi wali-wali Allah tidak ada rasa takut dan tidak ada pula rasa bersedih hati“ (Q.S.Yunus: 62).
Selanjutnya Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia dan Mahabesar berfirman: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku sukai daripada sesuatu yang fardlukan atasnya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri .+kepada-Ku dengan sunnah-sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengaran yang untuk mendengarnya, penglihatan yang untuk melihatnya, tangan yang untuk memukulnya, dan kaki yang untuk berjalannya. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan, jika ia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya.” (Al-Bukhari – Bab Tawadlu’ – Jilid VIII, hal. 105).
Hakim at-Tirmidzi sufi asal kota Tirmidz di Uzbekistan, Asia Tengah sekitar tahun 205 H/820 M yang memiliki nama lengkap Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Hasan al-Hakim at-Tirmidzi, mendefinisikan Wali Allah sebagai orang yang sangat kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang berat seperti bersikap shidiq (jujur dan benar) dalam bersikap dan berperilaku, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi kedekatan (al-qurb) kepada Allah. Dalam keadaan ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.
Berdasar uraian di atas ini ada petunjuk bahwa Allah mempunyai hamba-hamba yang secara khusus dilindungi (awliya’) yang dicirikan dengan persahabatan-Nya, yang dicirikan dengan anugerah-Nya berupa keajaiban (karamah) bersifat supra-natural. Kaum sufi berpendapat bahwa karamah dianugerahkan kepada seorang wali selama ia tidak melanggar kewajiban-kewajiban hukum agama. Karamah adalah tanda kelurusan seorang wali. Karamah untuk wali dan tidak pernah melampaui derajat mu’jizat seperti anugerah adikodrati yang diperuntukkan nabi. Wali-wali tidak terpelihara dari dosa (ma’shum) seperti nabi-nabi, tetapi wali-wali terjaga (mahfudz) dari kejahatan yang melibatkan penolakan akan kewalian mereka; dan penolakan kewalian, sesudah ia terwujud, bergantung pada sesuatu yang bertentangan dengan iman, yakni murtad (riddat); kewalian melibatkan ketaatan yang tiada henti-hentinya, dan bilamana dosa besar (kabira) terlintas pada pikiran seorang wali, maka ia tidak wali lagi.
Lebih lanjut perbedaan antara mu’jizat dan karamah terletak pada peranan, fungsi, dan faktualitas masing-masing. Seorang Rasul mempertahankan nubuatnya dengan mengukuhkan kebenaran riil mu’jizat, sedangkan wali dengan realitas karamah yang ditampilkan, berfungsi mengukuhkan kebenaran kenabian rasul dan sekaligus kewaliannya. Oleh sebab itu, mu’jizat berkaitan dengan publisitas, sedangkan karamah melibatkan kerahasiaan. Contoh antara mu’jizat dan karamah dapat ditunjuk pada kisah Khubayb saat akan digantung oleh kaum kafir Quraisy di Makkah. Rasulullah Saw yang saat itu berada di Madinah melihat Khubayb dan menceritakan kepada para sahabat tentang apa yang terjadi pada Khubayb. Allah pada saat yang sama juga menyingkap tabir dari penglihatan Khubayb, yang menyebabkannya dapat melihat Rasulullah Saw dan berseru,”Assalamualaikum!” dan Allah menjadi Rasulullah Saw mendengar salam Khubayb dan menjawabnya, di mana Khubayb pun mendengar jawaban salam dari Rasul Saw. Fakta bahwa Rasulullah Saw di Madinah dapat melihat dan mendengar Khubayb di Makkah adalah mu’jizat, dan fakta bahwa Khubayb yang berada di Makkah bisa melihat dan mendengar Rasulullah Saw yang berada di Madinah adalah karamah. Karamah Khubayb ditampilkan ketika ia tidak berada di tempat yang sama dengan Rasulullah. Sedang karamah pada masa terkemudian, ditampilkan oleh orang-orang taqwa yang hidup tidak sejaman dengan Rasulullah Saw.
Berdasar uraian di muka, jelaslah bahwa karamah selalu mengukuhkan kebenaran kenabian rasul. Tidak mungkin (mustahil) karamah bertentangan dengan i’jaz (mu’jizat keajaiban yang ditampakkan seorang nabi). Karamah tidak dikukuhkan kecuali karamah itu bersaksi atas kebenaran nabi dan rasul yang telah memperlihatkan mu’jizat, di mana karamah tidak dianugerahkan Allah kecuali kepada seorang mu’min sejati yang membawa kesaksian bagi kebenaran nabi dan rasul. Wali-wali – orang yang dianugerahi karamah – adalah saksi-saksi kebenaran misi Rasul. Atas dasar itu, maka tugas utama wali-wali adalah menyampaikan kebenaran dakwah Rasul kepada umat manusia. Demikianlah, sepanjang sejarah dakwah Islam di dunia tercatat sederetan nama besar juru dakwah yang dikenal sebagai wali-wali yang dalam proses dakwahnya telah menampilkan karamah-karamah yang ajaib dalam rangka mengukuhkan kebenaran Islam yang disampaikan Rasulullah Saw.
Ketika Islam disiarkan di India lewat penaklukan-penaklukan yang dilakukan Mahmud Ghazna, Dinasti Khijlia, Tughlaq, Lodia, Aurangzeb, Haydar Ali, Tipu Sultan yang ditandai pembunuhan masal, kekerasan, khitan paksa, dan tindakan-tindakan kejam yang ternyata tidak cukup kuat mendorong dakwah Islam secara masif di tengah penduduk pribumi India, karena tidak sedikit kasus menunjuk bahwa setelah kelompok-kelompok penduduk diislamkan lewat kekerasan, pada saat terdapat kesempatan akibat melemahnya politik kekuasaan Islam, penduduk kembali kepada agamanya semula. Sementara dakwah Islam yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sufi – yang dikenal sebagai wali-wali – yang menggunakan pendekatan dakwah lewat keteladanan moral, kasih sayang, kedermawanan, toleransi, pendekatan persuasif, dan penampilan karamah-karamah ternyata telah menjadikan Islam tertanam sangat dalam di dalam perikehidupan penduduk India yang dengan sukarela memeluk Islam. Atas ikhtiar dakwah Syekh Syaraf bin Malik dan saudaranya Malik Bin Dinar serta kemenakannya Malik bin Habib, Raja Cranangore di Malabar berkenan masuk Islam dan kemudian atas surat wasiat yang ditulis Raja Cranangore, para sufi tersebut berhasil mengembangkan Islam di antara penduduk Malabar (Arnold, 1977). Karamah-karamah luar biasa yang terkait tokoh Malik bin Dinar, telah menjadi khazanah abadi dalam kisah-kisah wali sufi di kalangan ulama tasawuf yang sejajar dengan nama Abu Nuwas, Syihabuddin Suhrawardi, Fariduddin Attar, dsb.
Pengembangan Islam di daerah Bengali cenderung dikaitkan dengan keberadaan tokoh-tokoh sufi yang dianggap wali oleh penduduk. Salah seorang di antara juru dakwah itu adalah Syekh Jalaluddin At-Tabrizi, murid ulama sufi besar Syihabuddin Suhrawardi. Dalam perjalanan dakwahnya, dikisahkan Syekh Jalaluddin At-Tabrizi singgah di Bengali dan menampilkan karamah-karamah luar biasa yang membuat takjub banyak penduduk. Salah satu kisah yang termasyhur menuturkan, bagaimana Syekh Jalaluddin At-Tabrizi dengan hanya memandang seorang tukang susu beragama Hindu, telah menjadikan tukang susu tersebut memeluk Islam. Lalu masyarakat pun dengan swadaya membangun masjid untuk menghormati Syekh Jalaluddin At-Tabrizi. Tokoh sufi yang dianggap berhasil mendakwahkan Islam di Lahore adalah Syekh Ismail, salah seorang Sayid Bukhara yang dikenal alim dan memiliki pengetahuan agama dan umum sangat luas. Pribadinya sangat menarik sehingga saat ia khutbah, orang-orang selalu datang berkerumun. Dan setiap kali orang melakukan kontak pribadi dengannya, pastilah orang tersebut akan memeluk Islam.
Nusantara yang selama masa pra-sejarah sampai awal abad Masehi sudah mengalami proses Indianisasi, dalam proses dakwah Islam ternyata memiliki kemiripan-kemiripan dengan proses Islamisasi penduduk India. Kisah-kisah fantastis terkait keberadaan tokoh-tokoh wali suci penyebar Islam yang menunjukkan berbagai kekeramatan menakjubkan, menjadi penanda utama dari usaha-usaha pengislaman penduduk Nusantara. Demikianlah, kisah Wali Songo – sekumpulan juru dakwah yang terdiri dari wali-wali keramat – sebagai penyebar Islam yang selalu dikaitkan dengan kesaktian-kesaktian dan peristiwa-peristiwa adikodrati yang hanya dimungkinkan dilakukan oleh orang-orang yang dilimpahi anugerah kekeramatan dari Sang Pencipta. Sehingga dalam banyak aspek, sebagaimana terjadi di India, makam penyebar Islam di Nusantara sampai dewasa ini dikeramatkan dan diziarahi masyarakat sebagai makam wali-wali keramat yang sejarah hidupnya diliputi kisah-kisah menakjubkan penuh karamah.
You have read this article Agama
with the title Sekilas Tentang Wali Allah. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/sekilas-tentang-wali-allah.html. Thanks!
No comment for "Sekilas Tentang Wali Allah"
Post a Comment