Oleh: Izzulfikri M. Anshorullah
Kapitan Ahmad Lussy Patimura |
Berbeda dengan pandangan M.Sapija, sejarawan Mansyur Suryanegara mengatakan dalam bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Sebutran Kapitan
. Dari buku sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, disebutkan bahwa gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal itu tidak benar. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran Abdul Ghafur, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Benteng Duurstede tempat Patimura digantung |
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC Ahmad Lussy pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi).
Rakyat Memperingati Hari Patimura |
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Reebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.
Nunu oli/ Nunu seli/ Nunu karipatu/ Patue karinunu
(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy yang dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan asal Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah dililitkan di lehernya. Dari kata-kata yang diucapkannya, tampak bahwa Ahmad Lussy adalah seorang patriot berjiwa besar yang pantang menyerah. Sebagaimana pejuang muslim yang digetari semangat jihad, ia tidak takut terhadap ancaman maut. Wataknya teguh, berkepribadian dan menjaga harga diri di hadapan musuh. Dalam keadaan apa pun, Ahmad Lussy tampak selalu optimis.
Namun keberanian dan patriotisme Ahmad Lussy Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah. M. Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan "Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit". Namun menurut M. Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya pada zaman itu.
Di bagian lain, Sapija menafsirkan, "Selamat tinggal saudara-saudara", atau "Selamat tinggal tuang-tuang". Inipun disanggah oleh Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis.
Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi nama seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.
Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama atau keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku.
Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best seller) ini mengatakan, "Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja."
Sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, dari sudut pandang antropologi juga kurang meyakinkan. Misalnya dalam melukiskan proses terjadi atau timbulnya seorang kapitan. Menurut Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy
Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua, Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan rempah-rempah dan menjalankan kebijakan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.
Duurstede Fort-Collectie Tropenmuseum |
Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan pepatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara pepatah-petitih itu adalah sebagai berikut:
Yami Patasiwa/ Yami Patalima/ Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy/ Matulu lalau hato Saparuambuine/ Ma Parang kua Kompania// Yami yama'a Kapitan Mat Lussy/ Isa Nusa messe/ Hario/ Hario// Manu rusi'a yare uleu uleu `o/ Manu yasamma yare uleu-uleu `o/ Talano utala yare uleu-uleu `o/ Melano lette tuttua murine/ Yami malawan sua mena miyo/ Yami malawan sua muri neyo//
(Kami Patasiwa/ Kami Patalima/ Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy/ Semua turun ke kota Saparua/ Berperang dengan Kompeni Belanda// Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy/ Menjaga dan mempertahankan/ Semua pulau-pulau ini// Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap/ Mari pulang semua/ Ke kampung halaman masing-masing/ Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)/ Sudah pulang-sudah pulang// Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)/ Sudah pulang-sudah pulang/ Ke kampung halaman mereka// Di balik Nunusaku/ Kami sudah perang dengan Belanda/ Mengepung mereka dari depan/ Mengepung mereka dari belakang/ Kami sudah perang dengan Belanda/ Memukul mereka dari depan/ Memukul mereka dari belakang//)
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat. Dalam film Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini diperankan aktor ternama Jet Li dan sedikit pun tidak ditampakkan keislamannya.
Dalam sejarah Indonesia, Sisingamangaraja yang raja orang Batak, sebenarnya juga seorang Muslim karena selain selalu mengibarkan bendera merah putih cap/stempel kebesaran Sisingamangaraja juga menunjukkan identitas Keislaman. Begitu pula kasus yang menimpa Pattimura.
Ada apa dengan bendera merah putih? Mansyur Suryanegara merujuk pada hadits Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan Jilid X, halaman 340 dari Hamisy Qastalani. Di situ tertulis, Imam Muslim berkata: Zuhair bin Harb bercerita kepadaku, demikian juga Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna dan Ibnu Basyyar. Ishaq bercerita kepada kami. Orang-orang lain berkata: Mu'adz bin Hisyam bercerita kepada kami, ayah saya bercerita kepadaku, dari Qatadah dari Abu Qalabah, dari Abu Asma' Ar-Rahabiy, dari Tsauban, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya. Dan Allah melimpahkan dua perbendaharaan kepadaku, yaitu merah dan putih".
Kepustakaan:
Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah, Salamadani Pustaka Semesta, 2009
Pahlawan Nasional dari Maluku dalam www.tokohindonesia.com
id.wikipedia.org
www.pesantrenglobal.com
J B Soedarmanta, Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia, Grasindo, 2007
You have read this article Sejarah
with the title Meluruskan Sejarah Ahmad Lussy Patimura. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/09/meluruskan-sejarah-ahmad-lussy-patimura.html. Thanks!
No comment for "Meluruskan Sejarah Ahmad Lussy Patimura"
Post a Comment