Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Dalam pengajian bertema ‘manusia dan bencana’, Guru Sufi menguraikan tentang bencana besar yang dihadapi umat Islam akibat mewabahnya penyakit berbahaya yang disebut Al-Wahan. Menurut Guru Sufi, penyakit Al-Wahan itu sangat misterius karena belum ada satu pun alat teknologi bikinan manusia yang paling modern pun yang dapat memantau penyakit berbahaya itu.
“Virus Al-Wahan sangatlah berbahaya,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Sebab hati (Al-Qalbu) manusia yang terkena virus itu, berangsur-angsur menjadi rusak dan mengeras seperti batu. Manusia yang hatinya sudah membatu, hidup seperti mayat hidup alias Zoombie. Mereka itu tidak kenal lagi Tuhan Yang Mahagaib sebagai sesembahannya. Mereka hanya mengenal benda-benda. Mereka memuja dan menyembah benda-benda dan semua penguasa benda.”
“Seperti itulah gambarannya, seperti juga Bani Israil yang mengikuti Qarun dan Samiri, menyembah lembu emas yang dibikin sendiri,” sahut Guru Sufi.
“Tapi Mbah Kyai,” sahut Dullah ingin tahu,”Apakah sekarang ini kejadian seperti Bani Israil menyembah lembu emas itu bakal terulang? Bukankah umat Islam sudah tahu itu amaliah terkutuk?”
“Esensi peristiwanya sama, tetapi bentuknya yang berbeda, seibarat penguasa-penguasa zaman sekarang yang menggunakan sebutan presiden, perdana menteri, raja, tetapi esensinya mereka itu adalah fir’aun-fir’aun zhalim yang diberi identitas lain,” sahut Guru Sufi.
“Maaf, Mbah Kyai,” tukas Sukiran menyela,”Adakah peristiwa zaman sekarang ini yang kira-kira sama dengan kisah Qarun dan Samiri beserta pengikut-pengikutnya?”
“Hmm,” Guru Sufi diam sejenak lalu berkata dengan nada tanya,”Kalian pernah tahu baca berita Menteri Agama dipenjara, Guru Besar Ketua KPU dibui, Gayus masuk hotel prodeo, Nazaruddin masuk rutan, wakil-wakil rakyat antri masuk bui, pejabat Diknas dipenjara, Kasek-kasek, Kadiknas-kadiknas korup, aparatur hokum terpusar dalam jaringan Mafia Hukum, dan hakim-hakim pengkhianat Tuhan yang menjadi bagian dari Mafia Hukum?”
“Ya mesti sudah tahu beritanya, Mbah Kyai,” sahut Sukiran.
“Kasus pemerasan Guru TK-PAUD oleh pemilik sekolah?” kata Guru Sufi,”Pemerasan luar biasa biadab melebihi kepantasan exploitation de l’homme par l’homme, sebuah L’exploitation capitaliste.”
“Wah serius ini, Mbah Kyai?” sahut Sukiran dan Dullah bersamaan,”Bagaimana ceritanya?”.
“Tadi siang, Bu Yuli yang guru TK-PAUD As-Sakinah Mawadah Wa Rahmah ke sini. Ia melaporkan nasibnya yang buruk karena dizhalimi kasek sekaligus pemilik sekolah. Sebulan menjadi guru TK-PAUD, dia hanya dibayar Rp 200.000 yang sudah terpotong uang transport Rp 150.000 sebulan. Jadi upah bersih hanya Rp 150.000.”
“Tapi Mbah Kyai, setahu saya upah guru TK-PAUD memang segitu,” sahut Sukiran.
“Kalau sekedar jadi guru tidak masalah,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Bu Yuli selain mengajar juga disuruh mengurusi masalah administrasi sekolah dan menjaga kebersihan serta perbaikan sekolah, sehingga tiap hari harus berangkat ke sekolah jam 06.00 dan baru pulang dari sekolah jam 21.00.”
“Masya Allah, itu melebihi kerja romusha zaman Jepang,” sahut Sukiran kaget.
“Bahkan kalau hari minggu, Bu Yuli diwajibkan datang ke rumah pemilik sekolah untuk membantu tetek-bengek urusan rumah seperti mencuci pakaian, menyeterika, menyapu, mengepel, sampai mijitin pemilik sekolah. Jadi kerja jadi guru ditambah jadi babu, hanya diupah Rp 200.000. Padahal, ongkos transport ke rumah pemilik sekolah pulang-pergi Rp 10.000. Jadi sebulan empat kali sudah Rp 40.000. Jadi total upah bersih yang diterimanya dalam sebulan hanya Rp 10.000.”
“Hwarakadah,” sahut Dullah mendecakkan mulut,”Itu sih siksaan neraka bukan kerja dunia. Kenapa sudah tahu seperti itu Bu Yuli tidak keluar?”
“Katanya, sebelum diterima jadi guru diwajibkan menanda-tangani perjanjian di atas meterai. Isi perjanjian adalah kontrak kerja selama lima tahun. Dalam kontrak itu disebutkan, jika pihak guru akan keluar sebelum jatuh tempo lima tahun, maka pihak guru harus membayar ganti rugi kepada pemilik sekolah sebesar upah sebulan dikalikan sisa bulan yang belum dilewati. Padahal, Bu Yuli baru bekerja delapan bulan. Jadi, kalau Bu Yuli keluar harus mengganti uang kerugian sekolah sebesar Rp 200.000 x 52 = Rp 10.400.000 – sepuluh juta empat ratus ribu rupiah.”
“Wah itu sih bukan eksploitasi dan bukan pula pemerasan, tapi penipuan bajingan tengik,” sahut Sukiran marah.
“Ada lagi Bu Nur yang melamar jadi guru di TK-PAUD Sang Cendekiawan Agung. Dia juga disodori kontrak kerja selama 15 tahun dengan upah Rp 250.000. Tapi lamaran itu dibatalkan, karena ia diberitahu oleh guru-guru di TK-PAUD Sang Cendekiawan Agung untuk tidak meneruskan keinginan menjadi guru di situ. Karena eksploitasinya luar biasa. Guru-guru yang sudah bekerja tiga tahun rasanya sudah seperti di neraka. Bayangkan, dengan upah Rp 250.000 selama 15 tahun itu bagaimana? Apa nilai uang tidak merosot terus setiap tahunnya? Apa itu tidak sama dengan nilai upah Rp 10.000 sebulan pada tempo 15 tahun ke depan?” kata Guru Sufi memaparkan.
“Wah itu rupanya sudah menjadi modus pemerasan dan penipuan baru ya Mbah Kyai?” kata Sukiran dengan menahan nafas,”Apa itu tidak perlu diangkat jadi bahasan nasional, Mbah Kyai?”
“Malah ada lagi modus penipuan yang mencekik,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Para guru oleh pihak yayasan disuruh menanda-tangani kontrak, jika keluar sebelum jatuh tempo wajib membayar ganti rugi sebesar jumlah bulan yang tersisa belum dilewati dikalikan upah guru sebulan. Nah setelah guru-guru tanda tangan, bulan depan gaji semua guru diturunkan 25%. Kalau ada guru yang protes dipersilahkan keluar dengan mengikuti syarat-syarat sesuai kontrak, yaitu mengganti kerugian sekolah sebesar jumlah bulan yang belum dilewati dikalikan upah guru sebulan.”
“Naudzubillah tsumma naudzubillah,” sahut Dullah dan Sukiran bersamaan,”Bagaimana ini manusia-manusia pendidik bisa bermoral bejat melebihi binatang?”
“Padahal, pemilik sekolah dalam mendoktrin guru-guru selalu menggunakan term-term agama seperti ikhlas, lillah, billah, tawadlu, zuhud, wara’, tidak pamrih,” ujar Guru Sufi.
“Itu mulut bejat penipu berkedok agama,” sahut Sukiran,”Bagaimana bisa seperti itu? Maksud saya, bagaimana bisa ada manusia-manusia berubah jadi Iblis laknat seperti itu, Mbah Kyai?”
Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Dullah, sebaliknya menyitir Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Tsauban ra yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda; "Akan datang suatu zaman di mana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kalian bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni talam berisi hidangan untuk mereka". Seorang sahabat bertanya, "Apakah jumlah kami amat sedikit pada hari itu?" Rasulullah Saw menjawab, "Bahkan kalian pada hari itu amat banyak sekali, tetapi kalian seumpama buih di permukaan ombak lautan. Allah mencabut rasa gentar terhadap kalian dari hati musuh-musuh kalian. Bahkan Allah akan melemparkan ke dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seorang sahabat bertanya: "Apakah 'Al-Wahan' itu, wahai Rasulullah?". Rasulullah Saw menjawab,"Cinta dunia dan takut mati".
“Penyakit cinta dunia, Mbah Kyai,” kata Sukiran ingin penjelasan,”Apakah itu sama dengan faham materialisme, kapitalisme, pragmatisme, liberalisme, neo-liberalisme, hedonisme?”
“Apa pun nama yang diberikan orang,” kata Guru Sufi dengan suara ditekan tinggi,”Yang pasti ciri-ciri manusia yang sudah terjangkit virus Al-Wahan adalah hati dan pikiran manusia senantiasa dipenuhi bayangan-bayangan materi duniawi, yang membuat semua perilakunya berubah karena tercekam bayangan materi duniawi tersebut, Lidahnya bercabang seperti ular dan pintar sekali berbohong. Kakinya gampang menekuk jika berhadapan dengan harta benda dan terutama jika berhadapan dengan pemilik kekayaan duniawi. Kepalanya selalu mengangguk untuk mematuhi titah pemilik kekayaan. Tiada menit dan detik yang mereka lewati tanpa memikirkan dan mengharapkan benda-benda duniawi. Allah Yang Mahagaib, tak sedikit pun dinggah di benak dan jiwa mereka, meski mereka bicara tentang Tuhan dan agama. Bahkan saat sembahyang pun, hati mereka mencuri bayangan benda dengan macam-macam urusan duniawiah yang tak ada batas akhirnya.”
“Kalau ada orang beragama yang menderita penyakit Al-Wahan sangat parah, apakah sebutan yang tepat bagi mereka?” Tanya Dullah.
“Karena yang diserang Al-Wahan itu adalah Al-Qalbu,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Dan di dalam Al-Qalbu itu terletak Al-Iman, maka sebutan yang tepat untuk menyebut orang-orang beragama yang mengidap penyakit Al-Wahan sangat parah dengan sebutan “Kaum Beragama Tidak Beriman” karena perilaku mereka pasti sudah sangat jauh dari kaidah-kaidah kepantasan orang beriman.”
Dullah dan Sukiran sepakat dengan mengacungkan jempol ke atas. Namun beberapa orang jama’ah dari kampung sekitar dengan wajah blingsatan saling pandang satu sama lain dan tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Melihat hal itu, Guru Sufi buru-buru berkata,”Beruntunglah orang-orang yang mendengar pengajian ini kemudian merasa tersindir, sebab mereka masih memiliki peluang untuk menggosok cermin qalbunya agar bersih dari kerusakan yang ditimbulkan virus Al-Wahan. Sebaliknya, celakalah mereka yang ketawa-ketiwi mendengar pengajian ini karena hati mereka sesungguhnya telah beku dan mengeras seperti batu.”
“Waspadalah! Waspadalah! Wahai saudara-saudara yang masih memiliki Qalbu bersih! Waspadalah, karena virus Al-Wahan saat ini sedang mewabah dalam kehidupan nyata di sekitar kita.” Kata Dullah dilanjutkan Sukiran sambung-menyambung.
You have read this article Pesulukan
with the title Al-Wahan - Virus Penyebab 'MANUSIA BERAGAMA KEHILANGAN IMAN'. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/al-wahan-virus-penyebab-beragama.html. Thanks!
No comment for "Al-Wahan - Virus Penyebab 'MANUSIA BERAGAMA KEHILANGAN IMAN'"
Post a Comment