Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Ketika Sarkub Menjalani Laku Suluk

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
            Hajib Zhulmi, Sarjana Agama yang sudah tiga tahun berkeliling dari makam ke makam hingga digelari Sarkub oleh teman-temannya, telah sepekan ini menjalani suluk di Pesulukan Tarikat Akbar di Gunung Jabal Qaf. Berbeda dengan para salik yang berlomba  menjalankan ibadah wajib dengan tambahan-tambahan ibadah sunnah yang ketat, Hajib Zhulmi lebih suka membaca kitab-kitab tasawuf, tidur-tiduran, duduk tafakkur, mendengarkan Guru Sufi memberi wejangan kepada para salik yang bermasalah dalam menjalankan suluk, dan tiada lupa iktikaf di makam keramat yang terletak di lereng gunung Jabal Qaf.
            Malam ketujuh, sewaktu Hajib Zhulmi akan iktikaf imakam keramat, ia tiba-tiba diminta untuk menghadap Guru Sufi di mushola yang lampu-lampunya dipadamkan. Dengan merangkak dan meraba-raba lantai, Hajib Zhulmi masuk ke mushola dan duduk bersila menghadap ke arah mihrab sambil mengucapkan salam. Ternyata, Guru Sufi membalas salam tidak dari arah depannya melainkan dari arah samping kirinya. Hajib Zhulmi buru-buru beringsut menghadap ke kiri. Namun Guru Sufi terbatuk-batuk dengan suara berasal dari arah mihrab. Hajib Zhulmi buru-buru menghadap lagi ke arah mihrab.
            “Kenapa arah kiblatmu selalu berubah-ubah, wahai Hajib,” sahut Guru Sufi dengan suara berasal dari sebelah kanan Hajib Zhulmi.
            Sadar ada sesuatu yang kurang benar dari laku suluknya, Hajib Zhulmi membungkukkan badan dalam-dalam  ke arah mihrab sampai seperti bersujud. Dengan suara bergetar ia berkata,”Murid mohon petunjuk romo kyai. Murid dalam kegelapan. Murid tidak tahu arah.”
            Guru Sufi terbatuk-batuk, suaranya terdengar  dari arah belakang. Setelah itu suasana hening. Beberapa bentar kemudian, Guru Sufi berkata dengan suara berasal dari arah mihrab,”Malam-malam begini, engkau hendak ke mana Hajib?”
            “Mohon maaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi dengan suara gemetar,”Murid akan iktikaf ke makam Sayyid Rahmat di Puthuk Telu.”
            “Darimana engkau tahu ahli kubur yang dimakamkan di Puthuk Telu itu bernama Sayyid Rahmat?” tanya Guru Sufi.
            “Katanya orang-orang begitu  romo kyai,” kata Hajib Zhulmi gelagapan.
            “Bagaimana mungkin orang sudah menjalankan suluk memaknai kebenaran berdasar kata orang,” kata Guru Sufi menyindir.
            “Mohon petunjuk  romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi menunduk makin dalam.
            “Untuk apa engkau malam-malam ke makam?”
            “Mau iktikaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi sekenanya.
            “Iktikaf di kuburan?” sergah Guru Sufi dengan suara tinggi.
            “Apakah engkau pernah mendengar orang berniat iktikaf dengan berkata – nawaitu iktikafi fi maqbara lillahi ta’ala?”
            “Belum pernah romo  kyai,” jawab Hajib Zhulmi sekenanya.
            “Apa yang engkau lakukan dengan iktikaf di kuburan?”
            “Tafakkur dan wiridan  agar mendapat barokah dari keramat ahli kubur, romo kyai,” kata Hajib Zhulmi ragu-ragu.
            “Menurutmu apakah tafakkur dan wiridan di kuburan itu amaliah wajib atau sunnah? Apakah menurutmu bersuluk itu tujuannya memperoleh barokah dari orang mati?” tanya Guru Sufi memburu.
            “Mohon petunjuk romo kyai,” kata Hajib Zhulmi salah tingkah.
            “Selama bersuluk di sini,” kata Guru Sufi minta penjelasan,”Apakah engkau pernah melihat amaliah yang dilakukan saudara-saudaramu selama bersuluk?”
            “Ya, saya melihatnya romo kyai,” kata Hajib Zhulmi gundah.
            “Apa kira-kira yang dilakukan saudara-saudaramu?”
            “Sembahyang tahajjud, sembahyang tasbih, sembahyang awwabin, sembahyang isyraq, sembahyang hajat, sembahyang dhuha, sembahyang wajib lima waktu, wiridan, puasa, membaca sholawat, membaca al-Qur’an, mujahadah, muraqabah, dan ibadah yang lain,” kata Hajib Zhulmi menjelaskan.
           “Kenapa engkau tidak melakukan amaliah ibadah seperti saudara-saudaramu?”
            “Maaf romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi menguatkan diri,”Bukankah amaliah ibadah yang dilakukan saudara-saudara saya itu amaliah syariat? Padahal, suluk adalah laku tarikat.”
            Guru Sufi tertawa diikuti hiruk tawa belasan orang di dalam mushola. Hajib Zhulmi terkejut. Ia tidak menduga di dalam mushola ternyata banyak orang. Itu sebabnya, sambil menunduk ia berkata dengan suara merendah,”Mohon petunjuk romo kyai.”
            “Kamu benar-benar sudah keliru memahami tarikat sebagai tingkatan di atas syariat yang berkedudukan lebih tinggi, sehingga menjalani tarikat sama maknanya dengan meninggalkan syariat,” kata Guru Sufi datar.
            “Mohon petunjuk romo  kyai,” kata Hajib Zhulmi gemetar.  
            “Ketahuilah, wahai Hajib,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa dasar segala amalan ibadah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, amaliah di dalam suluk juga didasari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tarikat tidak mengajarkan untuk menjalankan suluk seorang salik harus meninggalkan syariat seolah-olah tarikat itu tingkatan  level tertentu. Syariat bahkan sampai hakikat dengan dasar  tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah  wajib dilaksanakan oleh seorang salik sampai kapan pun.”
            “Mohon bimbingan romo kyai,” kata Hajib Zhulmi memohon.
            “Bersuluk pada dasarnya  adalah mengamalkan Islam dengan sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya, baik di  dalam sikap lahir maupun batin, termasuk memahami darimana ia berasal dan ke mana hendak menuju yang disebut ‘sangkan paraning dumadi’, di mana ia  akan memahami untuk apa ia dicipta sebagai khalifah-Nya.   Dengan memahami keberadannya sebagai khalifah Sang Pencipta, maka ia akan melaksanakan ibadah  dengan sebenar-benarnya sebagai khalifah. Ia akan sadar betapa setiap ciptaan-Nya memiliki cara berbeda dalam beribadah sesuai fitrahnya masing-masing. Burung-burung dan gunung-gunung, misal, semua bertasbih kepada Sang Pencipta.(Q.S.al-Anbiya’:79). Masing-masing ciptaan memiliki cara beribadah yang khas. Dan manusia sebagai khalifah Allah, memiliki keberbedaan disbanding makhluk lain di mana pada  puncak pengabdiannya kepada Sang Pencipta  ia akan mengenal Penciptanya – man arafa nafsahu faqad arafa robbahu.”
            “Mohon bimbingan agar murid beroleh kemudahan  jalan dalam menunju-Nya,” kata Hajib Zhulmi berharap.
            “Bagaimana engkau bisa beroleh kemudahan jalan menuju-Nya jika engkau tidak menjalankan ibadah-ibadah wajib dan ibadah-ibadah sunnah selama bersuluk?” kata Guru Sufi dengan suara tinggi.
            “Dengan menjalankan ibadah syariat seperti sembahyang, puasa, dzikir,  romo kyai?” tanya Hajib Zhulmi ragu-ragu.

             Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Hajib Zhulmi. Sebaliknya, ia mensitir sebuah Hadits Qudsy yang diriwayatkan Bukhari,“Tidak ada cara untuk  ber-taqarrub dari seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah  nawafil (sunnah), sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia  memukul, dan (Aku menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya  akan Aku beri dia, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan melindunginya.”


You have read this article Pesulukan with the title Ketika Sarkub Menjalani Laku Suluk. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/ketika-sarkub-menjalani-laku-suluk.html. Thanks!

No comment for "Ketika Sarkub Menjalani Laku Suluk"

Post a Comment