Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Pada saat Guru Sufi memimpin dzikir berjamaah pada tengah malam di mushola Pesulukan Tarikat Akbar, Mas Wardi Bashari, salik yang menjalani khalwat tujuh hari di ruangan Al-Fath, diam-diam keluar dan ikut berdzikir di saf ketiga. Baru dalam hitungan menit, Mas Wardi Bashari mendadak merasakan kilasan-kilasan Nama Tuhan melimpah ke dalam dirinya dengan sangat mencengangkan. Seperti berada di sebuah ruang gelap Al-Fath yang tirainya tiba-tiba disingkap sehingga benderang cahaya masuk ke dalam ruangan, begitulah Mas Wardi Bashari merasakan kesadarannya terbuka mengalirkan limpahan cahaya pengetahuan Ilahiyyah ke dalam dirinya. Lalu seperti seekor ikan dari jaring nelayan dilempar ke dalam laut, begitulah Mas Wardi Bashari merasakan dirinya berada di dalam liputan ‘lautan’ luas yang diliputi ‘air’ segar dan membebaskan. Ia merasakan atmosfir kosong yang meliputinya tiba-tiba seperti liputan “air” yang meliputi ikan.
Sekilas, ia ingin bertanya keadaan apakah yang sedang dialaminya ini? Namun secepat kilat ia singkirkan kilasan pertanyaan itu. Ia mengarahkan kembali focus konsentrasi dengan merasakan “air” yang meliputinya dan “arus” lembut dari alunan suara dzikir yang menghanyutkan. Ia biarkan dirinya larut dalam “air” dan hanyut diseret “arus” dzikir. Dan sepanjang menghanyutkan diri dalam ‘lautan’ dzikir yang menghanyutkan itu, ia mengalami detik-detik aneh diliputi keghayban-keghayban yang menakjubkan, Mas Wardi Bashari merasakan seolah-olah ‘timbul-tenggelam’, ‘hanyut-terpusar’ dan ‘hilang diri’ terseret pusaran gelombang Nama-nama Tuhan yang terus melimpah tanpa batas.
Sampai saat dzikir berjamaah selesai, Mas Wardi Bashari masih merasa berada di sebuah tempat asing yang tidak diketahui dan tidak pernah dikenalnya, yaitu ‘lautan’ luas tanpa batas yang meliputinya. . Ia merasa seperti seekor ikan yang hanyut diseret arus lautan yang membawanya ke sebuah pengalaman menakjubkan yang tak terungkapkan kata-kata. Bahkan tanpa sadar, setelah melakukan shalat Subuh sendiri, ia meninggalkan pesulukan dengan hati diliputi kegirangan raya. Ia merasa seperti terbang, bagaikan kupu-kupu keluar dari kepompong. Ia merasakan seperti ikan berenang di lautan luas. Semua yang tergelar di sekitarnya terpampang indah mempesona. Kesadarannya pun berubah menjadi sangat tajam dalam menangkap realitas di balik realitas yang menakjubkan.
Ketika tengah hari usai sembahyang dhuhur di mushola kampung, tiba-tiba Mas Wardi Bashari dijemput Dullah dengan motor untuk diajak kembali ke pesulukan atas perintah Guru Sufi. Seperti kerbau dicocok hidungnya, Mas Wardi Bashari mengikuti ajakan Dullah untuk kembali ke pesulukan menghadap Guru Sufi. Sementara itu di hadapan Guru Sufi yang duduk di depan mihrab mushola, tampak Mas Grangsang Mahjubun, Hajib Zhulmi, Sukiran, Sufi tua, dan Sufi Sudrun duduk melingkar. Mas Wardi Bashari sendiri dibimbing masuk ke mushola seperti belum sadar dengan keadaan sekitarnya. Bahkan ketika Dullah menekan bahunya ke bawah, ia baru duduk bersila tetapi dengan tersenyum bahagia seolah tidak perduli dengan Guru Sufi yang berada di depannya.
Seperti tidak perduli dengan keadaan Mas Wardi Bashari, Guru Sufi memberikan penjelasan kepada para salik yang hadir tentang apa yang dialami Mas Wardi Bashari. “Wardi ini, yang menjalani khalwat tujuh hari, sedang menerima limpahan karunia warid dari Allah yang menjadi ahwal baginya. Dari aspek ilmunya, ia memperoleh pantulan ilmu ma’arif al-rabbaniyyah sedang dari aspek bashirahnya ia memperoleh limpahan asrar al-ruhaniyyah,” kata Guru Sufi menjelaskan.
Hajib Zhulmi yang penasaran ingin tahu akan apa yang dialami Mas Wardi Bashari,”Mohon maaf, romo kyai, apakah pengertian warid bagi para salik?”
“Warid bagi para salik,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Adalah karunia Allah dalam bentuk ketajaman niat dan dorongan himmah bersifat ruhaniah. Salik yang dikaruniai warid merasakan dirinya diliputi sentuhan-sentuhan ruhaniah yang membawanya untuk senantiasa mengarahkan kesadarannya kepada Allah, sehingga ia tanpa sadar akan terpacu untuk menjalankan amaliah ibadah dalam makna luas, baik ritual maupun sosial. Semua gerak hidupnya ditandai amaliah-amaliah saleh yang terpuji. Keadaan itulah yang disebut ahwal,yaitu keadaan ruhani yang sangat banyak ragamnya yang masing-masing mengandung banyak sekali kiasan-kiasan halus yang mengandung makna-makna sangat banyak pula. Nah pancaran warid dan ahwal itulah yang memancar dalam bentuk ilmu ma’arif al-rabbaniyyah dan asrar al-ruhaniyyah yang terefleksi dalam amal-amal saleh yang memancarkan sifat-sifat terpuji.”
“Mohon maaf sekali lagi, romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi masih penasaran,”Soal warid dan ahwal, saya sudah faham. Tapia pa pula yang dimaksud ilmu ma’arif al-rabbaniyyah dan asrar al-ruhaniyyah?”
“Yang dimaksud ma’arif al-rabbaniyyah adalah ilmu mengenal Allah. Seorang salik dalam status murid (orang yang menginginkan Al-Murid) ketika berjuang menuju Al-Murid dengan melakukan berbagai amal ibadah seperti muhasabah, mujahadah, muraqabah akan beroleh limpahan pengetahuan ilmu mengenal Al-Murid. Pengetahuan mengenal Al-Murid itulah yang disebut ma’arif al-rabbaniyyah, yaitu pengetahuan yang memancar dari warid dan ahwal. Sedangkan yang dimaksud asrar al-ruhaniyyah adalah pengalaman batin yang dialami seorang murid yang sedang menuju kepada Al-Murid,” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Mohon maaf sekali lagi, romo kyai,” kata Hajib Zhulmi belum utuh memahami uraian Guru Sufi,”Bagaimana gambaran warid dan ahwal dalam hubungan dengan ma’arif al-rabbaniyyah dan asrar al-ruhaniyyah?”
“Engkau pernah melihat pohon mangga?” tanya Guru Sufi tiba-tiba.
“Tentu pernah, romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi.
“Pernah lihat benih mangga?” tanya Guru Sufi lagi.
“Ya pernah, romo kyai,” sahut Hajib Zhulmi lagi.
“Pernah melihat buah mangga?” tanya Guru Sufi lagi.
“Sudah pasti, bahkan pernah memakannya, romo kyai?” tukas Hajib Zhulmi.
“Seperti benih, pohon dan buah mangga itulah hakikat hubungan warid, ahwal dan sifat terpuji (mahmudah) yang melahirkan ma’arif al-rabbaniyyah dan asrar al-ruhaniyyah. Sifat-sifat terpuji (mahmudah) itulah buah. Sedang benih dan pohon, itu ibarat ahwal. Sedang daya tumbuh dari pohon yang tergantung pemeliharaan atas benih dan pohon yang berujung pada munculnya buah, itulah yang disebut warid,” kata Guru Sufi.
“Tapi romo kyai,” kata Hajib Zhulmi,”Kalau ibaratnya pohon mangga, bukankah buah mangga tidak selalu bagus?”
“Begitu juga manusia,” sahut Guru Sufi,”Jika jiwanya tidak baik dan amaliahnya tidak baik, maka buah amaliahnya pun pasti tidak baik. Amaliahnya tidak disebut mahmudah melainkan mazhmumah. Karena itu dalam laku ruhani dikenal sebutan takhalli, tahalli dan tajalli.”
“Woo, jadi warid, ahwal dan sifat mahmudah yang melahirkan ma’arif al-rabbaniyyah dan asrar al-ruhaniyyah itu penjelasan lain tentang takhalli, tahalli dan tajalli toh?” gumam Hajib Zhulmi.
Guru Sufi tersenyum,”Ya seperti itulah. Tetapi, itu menyangkut keadaan jiwa, bukan penjelasan sistematika akal.”
“Mohon maaf, Mbah Kyai,” sahut Mas Wardi Bashari tiba-tiba menyela,”Apakah yang harus dilakukan seekor ikan yang berada di dalam ‘lautan’ menakjubkan?”
“Jadilah ikan yang senantiasa sadar bahwa di mana pun ia berada, selalu dalam liputan ‘air laut’ yang luas tanpa batas dan meliputi segala sesuatu yang ada di dalamnya,” sahut Guru Sufi.
Mas Wardi Bashari termangu-mangu dalam takjub. Sejenak kemudian, tubuhnya terguling dengan mulut terus menerus melafazkan Nama Tuhan. Guru Sufi member isyarat kepada para salik untuk mengangkat tubuh Mas Wardi Bashari agar dibawa ke ruang khalwat yang disebut al-Jihad, yaitu tempat berkhalwat selama duapuluh satu hari.
You have read this article Pesulukan
with the title Warid dan Ahwal. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/warid-dan-ahwal.html. Thanks!
No comment for "Warid dan Ahwal"
Post a Comment