Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Sayyid Husein Thabathaba'i - Menangkap Makna Al-Qur'an Dengan Filsafat

                                                 Oleh: Muhammad Suluh Jati

       Perkembangan filsafat Islam sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu, ketika bangsa Romawi memulai ekspansi wilayahnya ke jazirah arab. Perjuangan bangsa arab dan para Nabi pun dimulai. Namun, dibalik semua itu, bangsa Romawi sebenarnya mengincar ilmu pengetahuan murni  yang tersimpan dalam tanah arab. Popularitas ilmu pengetahuan bangsa arab sudah tersohor hingga ke pelosok dunia melalui para pedagang-pedagang yang singgah di suatu tempat dan menyebarkan ajarannya. Sayangnya, masyarakat arab kurang memperhatikan celah ini, celah dimana tanah mereka yang menyimpan beragam sumber daya ilmu pengetahuan dari para filsuf-filsuf sedang di ekspansi untuk merebut kekayaan mereka.
       Salah satu filsuf terkenal adalah Muhammad Husain Thabathaba’i. Beliau adalah salah satu cendekiawan muslim yang tersohor dengan terobosan pengetahuan barunya yakni, mengungkap arti yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pandangannya tentang dunia Islam sungguh di luar batas manusia saat itu. Beliau telah menjelajahi dunia yang sebelumnya tak terjamah oleh akal pikiran manusia modern. Beliau juga melahirkan bentuk pemikiran modern baru yang nantinya menjadi bumerang dari pemikiran Marxisme masyarakat barat.

Sekilas Thabathaba’i
   Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dilahirkan di Azerbaijani, sebutan dari kota Tabriz, sebuah kawasan di sebelah barat laut Iran pada tahun 1321 H /1903. Thabathaba’i dilahirkan dari lingkungan keluarga religius dan pecinta ilmu. Ia salah satu ahli tafsir, filsuf, dan ulama terkemuka dunia Islam pada tiga abad terakhir. Ia amat berperan penting dalam menghidupkan filsafat dan tafsir. Ia tak hanya mengajar dan mengomentari filsafat Mulla Shadra, tapi juga membentuk epistemologi dalam aliran Hikmah Muta`aliyah.  Dengan menulis banyak kitab dan mendidik murid-murid berkualitas semacam Syahid Muthahhari di era perlawanan terhadap pemikiran Barat seperti Marxisme, ia menyuntikkan darah segar kepada pemikiran religius, bahkan ia juga berupaya menyebarkan pemikiran Islam di kalangan Barat. Banyak dari muridnya yang diantaranya menjadi penggagas ideologi di Republik Islam Iran, seperti Morteza Motahhari, Dr. Beheshti, dan Dr. Muhammad Mofatteh. Sementara yang lainnya, seperti Nasr dan Hasanzadeh Amuli masih tetap meneruskan studinya pada lingkup intelektual non-politik. Selain itu ia adalah seorang penyair mahir. Ia telah menyusun sebagian besar syair-syairnya dalam bahasa Persia, namun adakalanya pula dalam bahasa arab yang indah. Di samping itu ia juga seorang penulis di berbagai rubrik artikel dan essai.

Periode Kanak-kanak dan Remaja
    Beliau adalah seorang Sayid/Habib (keturunan Rasul saw dari marga Thabathaba’i) dari Azerbaijan. Beliau lahir pada tahun 1281 HS (Hijriah Syamsiyah) di Tabriz. Beliau ditinggal ibunya saat berusia lima tahun dan ayahnya saat berumur sembilan tahun. Wakil ayah dan satu-satunya saudara beliau mengirim beliau untuk belajar di maktab (semacam madrasah diniyah). Beliau mempelajari pendidikan dasar yang meliputi Al-Quran dan buku-buku sastra Parsi dari tahun 1290 HS hingga 1296 HS. Setelah itu, sejak tahun 1297 HS hingga 1304 HS, beliau mulai belajar ilmu-ilmu agama dan meminjam ungkapan beliau sendiri, ‘menamatkan literatur selain filsafat dan irfan’.
            Pada masa-masa studinya, beliau menulis, ”Pada permulaan masa belajar, ketika masih mempelajari Nahwu dan Sharaf, saya tidak begitu berminat meneruskan studi. Sebab itu, apa pun yang saya baca, tidak bisa saya pahami. Kondisi ini terus berjalan selama empat tahun. Setelah itu, seolah saya mendapat pancaran inayah dari Allah, yang membuat saya berubah. Saya merasakan suatu dorongan dan desakan dalam diri untuk memperoleh kesempurnaan, sehingga semenjak itu hingga akhir studi yang kurang lebih berlangsung selama tujuh belas tahun, saya tak pernah jemu mengajar dan berpikir. Saya melupakan keindahan dan keburukan dunia serta memandang sama peristiwa menyenangkan atau menyedihkan. Saya menghindar duduk bersama dengan orang-orang bukan ahli ilmu. Saya makan, tidur, dan menjalankan kehidupan secara normal dan sangat sederhana serta menghabiskan waktu untuk belajar. Khususnya di musim semi dan panas, saya sering belajar dari malam hingga matahari terbit. Pelajaran esok hari selalu saya pelajari pada malam sebelumnya. Tiap kali muncul suatu persoalan ilmiah, saya berusaha semaksimal mungkin untuk memecahkannya. Saat hadir di kelas, saya telah memahami apa pun yang diterangkan guru dan tak pernah menyampaikan kesalahpahaman dalam menangkap pelajaran kepada guru.”

Periode Studi di Najaf
     Ketika usia dua puluh tahun berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajarannya. Disana ia mempelajari Syariat dan ushul al-fiqh dari dua di antara syaikh-syaikh terkemuka masa itu yaitu di bawah pengajaran para guru besarnya seperti Mirza ‘Ali Qadi (dalam bidang Gnosis), Mirza Muhammad Husain Na’ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang fikh dan syari’ah), Sayyed Abu’l Qasim Khawansari (dalam ilmu matematik), sebagaimana ia juga belajar standar teks pada buku as-Shifa karya Ibn Sina, The Asfar milik Sadr al-Din Shirazi, dan kitab Tamhid al-Qawa’id milik ibn Turkah, dengan Sayyid Husain Badkuba’i, dan ia sendiri adalah murid dari dua guru kondang pada masa itu, Sayyid Abu’l-Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zinuni.
     Pada tahun-tahun selanjutnya, ia lebih konsen untuk belajar dengan Henry Corbin dan Nasr. Mereka bukan hanya telah mendiskusikan teks-teks klasik dari wakyu ketuhanan dan gnosis, namun juga keseluruhan disiplin yang di sebut oleh Nasr sebagai gnosis komparatif, yang mana pada setiap satu sesi teks sakral dari agama-agama utama mengandung ajaran mistik dan pengetahuan spiritual; seperti Tao Te Ching, Upanishads (salah satu seri teks sakral Hindu), Gospel of John, yang telah didiskusikan dan di komparasikan dengan sufisme dan doktrin-doktrin pengetahuan islam secara umum.
           Di Najaf, Thabathaba’i mengembangkan kontribusi utamanya dalam bidang tafsir (interpretation), filsafat, dan sejarah madzhab Syi’ah. Dalam bidang filsafat, ia mempunyai sebuah karya penting, Usul-i falsafeh va ravesh-e-realism (The Principles of Philosophy and The method of Realism), yang mana telah diterbitkan dalam 5 jilid dengan catatan penjelas dan komentar oleh Morteza Motahhari. Deal-deal penerbitan tersebut dengan disertakannya “islamic outlook” dunia, tidak hanya dihadapkan pada idealisme yang mengingkari realitas wujud dunia, namun juga dihadapkan pada konsep materialisme dunia, dengan mereduksi semua realitas menuju ambiguitas konsep mitos-mitos materialisme serta pemalsuannya. Poin tersebut menjadi mapan ketika sudut pandang dunia islam adalah realitas, sementara keduanya (pandangan idealistis dan materialistis) adalah tidak realistis.
         Thabathaba’i juga mempelajari ‘ilm Hudhuri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Allah SWT), atau ma’rifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakekat-hakekat supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam perjalananan menuju kesempurnaan spiritual. Sebelum berjumpa dengan Syaikh ini, Thabathaba’i mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibnu Arabi. Namun ketika bertemu dengan Syaikh besar ini, ia baru sadar bahwa sebenarnya ia belum tahu apa-apa. Berkat sang Syaikh ini, tahun-tahun di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan praktik-praktik spiritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spiritual.
          Ia juga dipercaya oleh Professor Kenneth Morgan (Sejarawan Inggris) untuk menulis pandangan-pandangan syi’ah agar bisa diketahui dan dipelajari oleh masyarakat intelektual barat. Ia dipercaya karena ianggap orang yang telah banyak mempelajari kajian agama sehingga ia didapuk sebagai orang yang pantas untuk menuliskan buku tersebut.
           Karya utama lainnya dalam bidang filsafat adalah ulasan luasnya terhadap Asfar al-Arba’ah, magnum opus karya Mulla Sadra, yang merupakan seorang pemikir muslim besar Persia terakhir pada abad pertengahan. Di samping itu ia juga menulis secara ekstensif seputar tema-tema dalam filsafat. Pendekatannya secara humanis dapat terlihat dari ketiga karyanya; “the nature of man – before the world”, “the nature of man – in this world”, “the nature of man – and after this world”. Filsafatnya terfokus pada pendekatan sosiologis guna menemukan solusi atas problem-problem kemanusiaan. Dua hasil karyanya yang lain adalah kitab Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-Hikmah, yang terhitung sebagai karya besar dalam bidang filsafat islam.
Beberapa pernyataan serta risalahnya seputar doktrin-doktrin dan sejarah Syi’ah masih tetap tersimpan secara rapi. Satu dari beberapa risalahnya tersebut meliputi klarifikasi serta eksposisinya tentang madzhab Syi’ah dalam jawabannya atas pertanyaan yang dilemparkan oleh orientalis Perancis terkenal, Henry Cobin. Bukunya yang lain dalam tema ini adalah Syi’ah dar Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sayyed Husain Nasr dalam judul “Shi’ite Islam”, yang dibantu oleh William Chittick sebagai sebuah proyek dari Colgate University, Hamilton, New York, Amerika. Buku tersebut disajikan sebagai ikhtiar baik untuk meluruskan miskonsepsi populer seputar Syi’ah yang juga dapat membuka jalan untuk memperbaiki pemahaman intersektarian antar sekolah-sekolah islam di Amerika.
          Di antara karya Thabathaba’i yang paling terkemuka adalah “al-Mizan fi Tafsiri al-Qur’an” yang lebih dikenal dengan “Tafsir al-Mizan”, yang merupakan hasil dari kerja kerasnya yang cukup lama dalam ruang lingkup studi Qur’an. Metode, gaya, serta pendekatannya yang unik sangat berbeda dengan para mufassif besar lainnya. Tafsir al-Mizan pertama kali dicetak dalam bahasa arab sebanyak 20 jilid. Edisi pertama al-Mizan dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan selanjutnya dicetak pula di Bairut, Lebanon. Hingga sekarang, lebih dari tiga edisinya dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan Beirut dalam bentuk besar. Dalam kitab tafsir tersebut, untuk pertama kalinya dunia tafsir dikenalkan dengan metodologi tafsir baru yaitu penafsiran ayat dengan ayat. Secara keseluruhan, buku-buku hasil karya tulisnya berkisar 44 judul. Tiga iantaranya adalah hasil kumpulan dari koleksi makalah-makalahnya dalam berbagai aspek keislaman dan al-Qur’an.
              Kejadian-kejadian mengerikan Perang Dunia Kedua dan pendudukan Rusia atas Persialah yang membawa Allamah Thabathaba'i hijrah dari Tabriz ke Qum (1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Dalam sikapnya yang pendiam dan sederhana, Allamah Thabathaba'i mulai mengajar di kota suci ini, memusatkan diri pada tafsir-Quran serta filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak diajarkan di Qum.             Kepribadiannya yang penuh daya tarik dan kehadiran spiritualnya segera saja menarik sebagian besar murid yang paling inteligen dan kompeten, dan secara ber¬tahap ia menjadikan ajaran-ajaran Mulla Sadra sekali lagi sebagai pokok kurikulum tradisional.

Periode Hijrah ke Qum dan Bertani
     Alhasil, setelah menetap beberapa lama di Tabriz, beliau memutuskan untuk pergi ke Qum dan melaksanakan niat ini di tahun 1325 HS. Terkait hal ini, putra Allamah mengisahkan, “Kami tiba di kota Qum pada tahun 1325 HS. Mulanya, kami ke rumah salah satu kerabat yang tinggal dan menuntut ilmu di sana. Tapi tak lama berselang, kami lalu menyewa sebuah ruangan di gang Yakhcal Sozi, milik salah seorang ruhaniawan yang hingga kini masih hidup. Ruangan itu kami bagi menjadi dua dengan cara memasang tirai di bagian tengahnya. Luas dua ruangan ini kurang lebih dua puluh meter persegi. Di bawah ruangan ini terdapat gudang tempat penyimpanan air. Jika membutuhkan air, kami mesti membungkuk masuk melalui pintunya dan mengisi wadah air di situ. Karena rumah itu tak memiliki dapur, maka kami memasak di dalam ruangan. Padahal, ibu kami biasa menggunakan dua dapur yang masing-masing berukuran empat puluh lima meter dan tiga puluh lima meter persegi, hingga tidak kesulitan saat mengundang banyak orang. Ayah kami memiliki beberapa kenalan di Qum. Salah satunya adalah mendiang Ayatullah Hojjat. Allamah pertama kali melakukan kunjungan ke rumah Ayatullah Hojjat dan sedikit demi sedikit beliau mulai berkenalan dengan orang-orang sekeliling beliau dan berkunjung ke rumah-rumah mereka”.
             Kegiatan-kegiatan Allamah Thabathaba’i sejak kedatangannya di Qum juga meliputi banyak kunjungan ke Teheran. Setelah Perang Dunia Kedua, ketika Marxisme sedang jadi mode di kalangan sementara pemuda di Qum, dialah satu-satunya ulama yang bersusah payah mempelajari dasar filosofis komunisme dan memberi tanggapan terhadap materialisme dialektika dari sudut pandang tradisional. Hasil usahanya inilah yang kemudian dibukukan dengan judul Ushul-i Falsafah wa Rawisyy-i Ri'alism (Prinsip¬Prinsip Falsafah dan Metode Realisme). Di dalamnya ia membela realisme dalam pertentangannya dengan filsafat-filsafat dialektis. Dia juga me¬ngajar sejumlah murid yang termasuk dalam kelompok masyarakat Persia yang berpendidikan modern.
            Sejak kedatangannya di Qum, Allamah Thabathaba'i dengan tak kenal lelah terus berupaya untuk menyampaikan hikmah dan pesan intelektual Islam kepada tiga kelompok murid: kepada sejumlah besar murid-murid tradisional di Qum yang sekarang tersebar di seantero Persia dan sampai ke daerah-daerah lain; kepada sekelompok murid terpilih yang diajamya ma'rifat dan tasawuf dalam suatu lingkaran yang lebih akrab, dan yang biasa bertemu pada hari Kamis malam di rumahnya atau di rumah-rumah privat lainnya; dan juga. kepada sekelompok orang Persia yang mem¬punyai latar belakang pendidikan modern dan kadang-kadang juga orang-orang non-Persia yang dittemuinya di Teheran. Selama sepuluh tahun terakhir diadakan suatu rangkaian pertemuan secara teratur yang dihadiri oleh sekelompok orang Persia terpilih termasuk, pada musim-musim gugur, Henry Corbin. Dalam pertemuan-pertemuan itu masalah-masalah spiritual dan intelektual yang paling besar dan mendesak diperbincangkan, yang di dalamnya saya biasa bertindak sebagai penerjemah. Selama tahun-tahun itu kami telah mempelajari dari Allamah Thabathaba'i tidak hanya naskah-naskah klasik tentang Hikmah Ilahi dan ma'rifat, melainkan juga seluruh daur yang bisa disebut sebagai ma'rifat komparatif. Di dalamnya naskah-naskah suci agama-agama besar, yang mengandung ajaran-ajaran tasawuf dan ma'rifat, seperti Tao Te Ching, Upanisyad dan Injil Johannes, diperbincangkan dan di¬bandingkan dengan tasawuf dan doktrin-doktrin ma'rifat Islam pada umumnya.
               Dengan demikian Allamah Thabathaba'i telah memberikan pengaruh yang amat besar, baik di dalam daur tradisional maupun modern, di Persia. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite intelektual baru di kalangan kelompok masyarakat berpendidikan modern yang ingin menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di samping dengan dunia modem. Banyak murid tradisionalnya yang termasuk dalam kelompok ulama telah mencoba untuk mengikuti teladannya dalam upaya yang amat penting ini. Beberapa muridnya, seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas Masyhad dan Murtadha Mutahhari dari Universitas Teheran, juga dikenal sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa. Allamah Thabathaba'i juga sering berbicara tentang beberapa muridnya yang lain yang memiliki kualitas-kualitas spiritual tinggi tetapi tidak mau menampilkan diri mereka.
               Perlu disebutkan bahwa pada permulaan kedatangan Allamah ke Qum, beliau dikenal dengan sebutan Qazhi. Namun karena beliau berasal dari marga Thabathaba’i, beliau memilih lebih dikenal dengan nama ini.
                 Beliau memakai serban amat kecil berwarna kebiruan dan mengenakan pakaian khas ulama di Iran (abaah) yang kancingnya terbuka. Beliau berjalan di gang-gang Qum tanpa kaus kaki, dan hanya memakai pakaian yang lebih sedikit dari yang lazim dipakai orang-orang.”

Akhir Hayat
     Pada tanggal 15 November 1982 Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i meninggal dunia dalam usianya yang ke-80. Demikianlah Allamah Thabathaba’i dikenal sebagai ulama yang memberikan warna kesegaran dalam dunia pengajaran keagamaan di hauzah ilmiah Iran.

Thabathaba’i dan Al- Mizan:
      Al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabataba'i adalah salah satu filsuf terbesar dan pemikir paling orisinal dari dunia Muslim kontemporer. Ia adalah seorang penulis yang produktif dan seorang guru inspiratif, yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk studi Islam. Nya kepentingan bervariasi dan ruang lingkup pembelajaran itu sangat luas. Nya buku berjumlah sekitar empat puluh empat, tiga di antaranya adalah koleksi artikel tentang berbagai aspek Islam dan Alquran.

Kontribusi besar dalam bidang tafsir, filsafat dan sejarah iman Syiah.
             Dalam filsafat yang paling penting dari karya-karyanya adalah Usul-e falsafah wa rawish-e-riyalism (Prinsip Filsafat dan metode realisme), yang telah diterbitkan dalam lima jilid dengan penjelasan dan komentar dari Martir Murtadā Muthahhari. Ini berkaitan dengan pandangan dunia Islam, yang tidak hanya bertentangan dengan idealisme yang meniadakan realitas dunia korporeal, tetapi juga bertentangan dengan konsepsi materialistik dunia, yang mengurangi semua realitas ke mitos materialistik ambigu dan rekayasa. Intinya adalah menetapkan bahwa sementara dunia Islam-pandangan yang realistis, baik pandangan idealistis dan materialistis tidak realistis. Pekerjaan lain filosofis utama adalah sebuah komentar tebal al-Asfar al-'arba'ah, yang magnum opus Mulla Sadra, yang terakhir dari para pemikir Muslim besar abad pertengahan. Selain itu, ia menulis secara ekstensif pada isu-isu filosofis. 
             Pendekatan humanis digarisbawahi oleh tiga buku tentang orang - sebelum dunia, di dunia ini dan setelah dunia ini. Filosofinya kelebihan beban dengan pengobatan sosiologis masalah manusia. Dua karya lainnya, Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-Hikmah, ia anggap di antara karya urutan tinggi dalam filsafat Islam.  Ia menulis beberapa risalah pada doktrin dan sejarah Syiah.     Salah satu buku-buku ini terdiri dari klarifikasi dan eksposisi tentang iman Syiah di saat menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh orientalis Perancis terkenal Henry Corbin. Terangkum pada buku-bukunya dengan topik dar Syiah Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sayyid Husain Nasr dengan judul “The Islam Syiah”. Buku-buku ini berfungsi sebagai sarana yang baik untuk menghilangkan kesalahpahaman populer tentang Syiah dan dapat membuka jalan bagi pemahaman antar-sektarian yang lebih baik antara sekolah-sekolah Islam.
      Jika sebuah karya tunggal disebut sebagai masterpiece-nya, al-Mizan dapat disebutkan tanpa ragu-ragu, yang merupakan hasil kerja seumur hidup 'Allamah di lingkup studi Qur'an. Metode, gaya dan pendekatan yang unik berbeda dari semua penafsir lain Al Qur'an. Artikel ini merupakan pengantar untuk tafsir ini unik dan cemerlang asli. Meskipun sangat samar, artikel ini dipilih untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari berbagai artikel yang ditulis antara pada karya-karyanya dan kehidupan, untuk itu secara eksklusif berhubungan dengan isi al-Mizan.Sejarah Al-Mizan
    'Allamah Thabathaba’i, yang datang ke Hawzah dari Qum pada tahun 1325 AH, menulis dan berceramah secara luas pada berbagai cabang ilmu Islam. Komentar dan penafsiran Al-Qur'an adalah salah satu topik diskusinya yang diselenggarakan dengan para ulama dan mahasiswa dari Howzeh-anda 'Ilmiyyah dari Qum. Motif penulisan al-Mizan sendiri dikatakan oleh 'Allamah Thabathaba’i bahwa dirinya ketika datang ke Qum dari Tabriz, beliau mencoba untuk mengevaluasi kebutuhan masyarakat Islam serta kondisi yang berlaku di Howzeh-anda' Ilmiyyah dari Qum dan setelah pertimbangan materi beliau sampai pada kesimpulan bahwa sekolah itu sangat membutuhkan sebuah komentar dari Al-Qur'an untuk lebih memahami dan pengajaran yang lebih efektif. Di sisi lain, karena gagasan materialistik yang mendapatkan prevalensi, ada kebutuhan besar untuk wacana rasional dan filosofis untuk memungkinkan Howzah untuk naik ke kesempatan untuk mengelaborasi prinsip-prinsip intelektual dan doktrin Islam dengan bantuan argumen rasional dalam rangka unt uk mempertahankan posisi Islam. Dengan demikian ia menganggap tugasnya untuk melakukan upaya-upaya dalam memenuhi kebutuhan mendesak kedua dengan bantuan Allah.
    Pada ceramah tentang tafsir Al-Qur'an direncanakan sesuai dengan skema ini. Mungkin 'Allamah Thabathaba’i ingin menyampaikan kuliah pada seluruh murid-muridnya untuk beberapa kali, dan sementara itu beliau mungkin telah menulis beberapa komentar. Para murid-murid inilah yang akhirnya merangkum semua kuliah yang diajarkan oleh Thabathaba’i lalu mengumpulkankanya dan menerbitkannya dalam jumlah volume.
Edisi pertama al-Mizan dalam bahasa Arab telah dicetak di Iran dan kemudian dicetak di Beirut. Sampai sekarang lebih dari tiga edisi yang telah dicetak di Iran dan di Beirut dalam jumlah besar, dan sangat sedikit dari perpustakaan publik dan swasta yang tidak memiliki satu set lengkap edisi buku itu. Semua perpustakaan lainnya, juga, setidaknya memiliki beberapa volume  dan telah dikomentari di rak-rak mereka.
         Teks asli dari al-Mizan ditulis dalam bahasa Arab, yang terdiri dari dua puluh volume, dan volume masing-masing memiliki sekitar empat ratus halaman ukuran besar. Hal ini dimaksudkan bahwa semua mereka yang tertarik dalam membaca tafsir Al-Qur'an dapat benar manfaat dari harta dari ajaran-ajaran Al-Qur'an. Beberapa murid dari 'Allamah Thabathaba’i telah menerjemahkan ke dalam bahasa Persia buku ini di bawah pengarahan dan pengawasan para ahli, dan masing-masing dari volume Arab diterjemahkan dalam dua jilid dari Persia, sehingga semuanya sejumlah total empat puluh halaman. Bagian dari tanggung jawab ini dipikul oleh Aqa Muhammad Baqir Sayyid Musawi Hamadani. Dengan pandangan bahwa terjemahan Persia seluruh al-Mizan seharusnya tidak muncul dalam gaya yang berbeda, yang akan mempengaruhi keterbacaan buku, 'Allamah Thabathaba’i memberikan kepadanya volume awal Al-Mizan juga untuk retranslation. Mereka berharap bahwa ini adalah eksegesis halus dari kata-kata Ilahi Al-Qur'an yang akan diterjemahkan ke dalam bahasa lain di seluruh dunia dan akan dapat diakses oleh semua orang yang ingin memuaskan dahaga mereka akan pengetahuan ilahi dan yang ingin menjadi akrab dengan kehidupan serta prinsip-prinsip Islam. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran telah ditempatkan di tangan individu-individu berkomitmen dan cendekiawan yang akrab dengan bahasa Al Qur'an juga. Hal ini juga akan menjadi layanan besar jika pesan universal Alquran diproyeksikan sedemikian rupa dalam segi kemanusiaan yang disampaikan dari cengkeraman suci budaya pagan. Budaya monoteistik Alquran sendiri mampu membebaskan manusia dari segala macam perbudakan dan penghinaan. Dalam Al-Mizan terdapat tiga poin penting dari keseluruhan volume Al-Mizan, berikut penjelasannya.

Tiga Fitur Al-Mizan:
     Al-Mizan memiliki beragam aspek: ilmiah, teknis, estetis, filosofis, sastra, sejarah, spiritual, sosiologis dan tradisional (berurusan dengan hadist). Tapi tiga aspek ini lebih mencolok sementara yang lain agak subordinasi kepada mereka.
1. Interpretasi dari Al Qur'an oleh Al-Qur'an:
    Dalam komentarnya tentang Al-Qur'an, 'Allamah Thabathaba’i menunjukkan orisinalitas besar dalam menunjukkan, pertama, keterkaitan ayat-ayat Al-Qur'an dengan satu sama lain, dan kemudian beliau membuktikan bahwa adanya koordinasi yang melekat tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang selalu menjelaskan dan menafsirkan satu sama lain. Dengan kata lain, 'Allamah Thabathaba’i membawa fakta bahwa: beberapa bagian Al Qur'an menafsirkan beberapa bagian lain.
          Untuk memahami ayat-ayat dan penafsiran mereka, kita harus mencari bantuan dari Al-Qur'an itu sendiri. Beliau telah membahas masalah penafsiran Al-Qur'an dalam bukunya Al-Qur'an dar Islam (“Alquran dalam Islam”). Allamah Thabathaba’i berpikiran bahwa penafsiran yang benar dari Al Qur'an mungkin hanya melalui kontemplasi mendalam dari ayat-ayat dan referensi untuk bimbingan dalam semua ayat-ayat Al-Qur'an lainnya yang terkait.
           Beliau menggunakan  metode yang sama yang digunakan oleh Nabi dan para imam, seperti kita belajar dari ajaran-ajaran mereka. Hadist mengatakan: “beberapa ayat-ayat tersebut diturunkan untuk memverifikasi beberapa ayat lain”. Amirul Mu'minin 'Ali  juga mengatakan: “beberapa ayat berbicara tentang beberapa ayat lain dan beberapa dari mereka bersaksi beberapa orang lain”.
       Pada akhirnya, Allamah 'mengingatkan kita akan suatu hal penting, yaitu, menurut metode ini Al Qur'an dijelaskan oleh Al Qur'an, bukan berdasarkan pendapat pribadi metode penerjemah. Setelah itu, 'Allamah Thabathaba’i menjelaskan dan membandingkan tiga metode eksposisi secara rinci, dan berpendapat bahwa atas dasar argumen Al-Qur'an dan bukti dari tradisi, metode ketiga adalah yang terbaik untuk memahami Al Qur'an.
       Al-Mizan dapat dianggap sebagai langkah signifikan yang diambil dalam arah pemahaman yang lebih baik dari kualitas Al-Qur'an mengenai koherensi dan keterkaitan ayat-ayat.
2. Aspek Sosiologi:
       Lebih atau kurang semua tafsir Al-Qur'an telah membayar perhatian pada aspek sosiologis dan telah membahas isu yang relevan, namun al-Mizan tak tertandingi dengan komentar-komentar lain dalam hal ini. Diskusi sosiologis disajikan dalam Al-Mizan yang secara kualitatif maupun kuantitatif standar yang jauh lebih unggul.
        Dengan pendekatan multidimensi dan pandangan luas di bidang masalah sosial, 'Allamah Thabathaba’i telah berhasil memproyeksikan isu-isu ini dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Ia telah melemparkan cahaya baru pada masalah sosiologis tertentu dari sudut pandang Al-Qur'an yang iabaikan sampai sekarang, dan telah membuka pandangan baru bagi pembaca yang pernah terinspirasi bersemangat untuk menemukan dan menjelajahi beberapa dimensi baru dari antara berbagai mengagumkan dimensi Al-Qur'an.
3. Aspek Filosofis:
    'Allamah Thabathaba’i, menjadi seorang filsuf berpandangan jernih keunggulan langka dan orisinalitas, telah melakukan pelayanan besar bagi ilmu tafsir dengan mengelaborasi metafisika Al-Qur'an yang memberikan kita wawasan yang benar dan berharga ke dalam realitas kehidupan di benar rasa metafisika. Ia telah membantah semua kesalahpahaman yang tidak berdasar dikaitkan dengan Al Qur'an. Dalam pandangannya metafisika Islam berakar dalam Al-Qur'an Suci dan itu adalah apa-apa selain elaborasi gagasan Al-Qur'an tentang Allah, manusia dan alam semesta. Demikian pula, 'Allamah Thabathaba’i juga menunjukkan bahwa faktor utama yang bertanggung jawab ketidakpercayaan umum mengenai isu-isu metafisika dari kurangnya pemahaman yang tepat dan informasi yang benar tentang hal itu.
         Dalam buku berharga seperti wa Ushul-e falsafah rawish-e riyalism ("Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme"), yang berkomentar pada al-Asfar Mulla Sadra, Bidayat al-Hikmah, dan Nihayat al-Hikmah, beliau telah menjelaskan dan mengklarifikasi semua keraguan tersebut tentang metafisika. Dalam al-Mizan, beliau juga telah membahas hal-hal filosofis dalam  ayat-ayat Al-Qur'an dan disimpulkan konsepsi filosofis tertentu dari mereka, yang merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah penafsiran Al-Qur'an. Dalam perjalanan dari eksposisi tentang ayat-ayat Al-Qur'an dan relevansi mereka untuk gagasan metafisik beliau telah membuktikan keabsahan dari pandangan Alquran dan absurditas dan tidak berlandasannya dari filsafat materialisme. Ini bagian dari tafsir yang  asli dan baru di bidang studi filsafat. Diskusi ini memiliki kedalaman akurasi, langka dan perbaikan yang akan terus memikat para ulama di masa depan.

Sumber Pemikiran Filsafat Thabathaba’i
     Untuk mengetahui pemikiran seorang tokoh, apakah merupakan pemikiran orisinal atau hasil keterpengaruhan oleh tokoh sebelumnya, adalah sangat sulit. Demikian menurut Adamson Hobel dalam mengawali tulisannya tentang apakah ada keterpengaruhan seorang pemikir satu dengan yang lain. Selanjutnya, Hobel memberikan argumen bahwa inovasi dalam pemikiran berbeda dengan inovasi dalam sesuatu yang bersifat kebendaan. Dalam bidang materi, segera dapat diketahui bahwa suatu penemuan merupakan sesuatu yang baru atau lama. Misalnya, penemuan adanya jenis insektisida, vitamin, dan bakteri. Orang akan mengetahui bahwa penemuan-penemuan tersebut memang baru. Sedangkan di bidang pemikiran, sangat berbeda sekali. Pemikiran tokoh pembaharu yang datang dari zaman ke zaman, tidak lebih dari akumulasi dari pemikiran tokoh sebelumnya. Dari asumsi Hobel ini, pemikiran Thabathaba’i merupakan akumulasi dari pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Hal ini tidak berarti bahwa pemikiran Thabathaba’i terpengaruh oleh tokoh sebelumnya. Barangkali ungkapan yang tepat adalah bahwa pemikiran yang dikembangkan Thabathaba’i merupakan warisan dari pemikir sebelumnya. Bisa dikatakan, pemikiran Thabathaba’i merupakan entitas dirinya sendiri.
           Keahlian Thabathaba’i dalam pemikiran filsafat merupakan warisan dari intelektual Iran. Warisan tersebut meliputi berbagai pemikiran filsafat dan tasawuf yang telah dikembangkan oleh tokoh sebelumnya. Tradisi pemikiran filsafat dan tasawuf inilah yang memberikan inspirasi pada pola pemikiran Thabathaba’i. Dengan memperhatikan kondisi pemikiran Islam sebelum Thabathaba’i dan memperhatikan beberapa karyanya, kita dapat mengetahui sumber utama pemikiran keagamaan Thabathaba’i.
            Pertama, filsafat peripatetis Islami, khususnya dari Ibn Sina. Thabathaba’i sering menampilkan pemikiran Ibn Sina secara menonjol dalam beberapa tulisannya. Sumber pemikiran filsafat Ibn Sina dipelajari Thabathaba’i melalui buku Al-Syifa’ di bawah bimbingan Seyyed Hossein Badkubai.
           Kedua, filsafat iluminasionis dari Suhrawardi dan para pensyarahnya seperti Quthb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani. Ketiga, filsafat hikmah al-muta’aliyah dari Mulla Sadra. Pemikiran filsafat ini merupakan sumber utama pemikiran filsafat Thabathaba’i. Thabathaba’i mengakui sendiri bahwa metode berpikir Mulla Sadra banyak memberikan inspirasi dan pengaruh bagi dirinya.
              Keempat, ajaran tasawuf dari Ibn Arabi dan pensyarahnya seperti Sadr al-Din Qunyawi serta karya-karya tokoh sufi lainnya, seperti Ibn Maskawaih. Ajaran tasawuf ini dipelajari dari guru sufinya bernama Mirza Ali Agha Qadhi. Sebagai seorang guru, Mirza Ali Qadhi tidak hanya mentransfer ajaran tasawuf dari tokoh-tokoh sufi tersebut, bahkan Agha Qadhi mampu membuka pintu gnosis bagi Thabathaba’i. Menurut Thabathaba’i, Agha Qadhi merupakan penuntunnya dalam bidang pengetahuan tertinggi tentang yang transenden.
           Kelima, syariat Islam, termasuk sabda rasulullah dan Imam-Imam Syiah. Thabathaba’i memperoleh pemahaman syariat atau ajaran Islam ini melalui karya klasik ulama Syiah, seperti Nahj al-Balaghah, al-Shahifat al-Sajjadiyyat, Bihar al-Anwar dan Mafati al-Jinan. Buku berjudul Shi’ite Anthology disusun Thabathaba’i berdasarkan sumber klasik tersebut.
          Di samping kelima sumber tersebut di atas, kontaknya dengan pemikiran Barat melalui Henry Corbin dan filosof modern Iran, Sayyed Hossein Nasr, merupakan sumber lain yang membawa sisi modernitas dalam pemikiran Thabathaba’i. Kelima sumber pemikiran tersebut menjadikan Thabathaba’i tokoh yang mewakili ulama dan intelektual Syiah. Thabathaba’i telah menggabungkan perhatian dalam bidang fiqh dan tafsir al-Quran dengan filsafat, teosofi dan tasawuf. Oleh karena itu pemikirannya mewakili pemikiran Syiah yang universal.

Teori dan Pemikiran Thabathaba’i
     Allamah Thabathaba’i mempunyai pandangan filsafat sebagai seorang muslim modern. Namun beliau tidak lupa akan kultur Islam asli yang telah ia anut semenjak kecil. Berikut ini dijelaskan tentang teori-teori serta pandangan-pandangan Thabathaba’i.
A.Filsafat Ketuhanan
     Salah satu tema kajian dalam filsafat Islam adalah masalah ketuhanan. Dalam masalah tersebut, yang dikaji oleh para filosof Muslim biasanya berkisar pada upaya menetapkan adanya Tuhan berdasarkan argumen rasional, hubungan dzat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, hubungan perbuatan Tuhan dengan manusia, hakikat qadha’ dan qodar Tuhan, serta hakikat kejahatan dan hubunganya dengan Tuhan.
       Kajian filosofis yang dilakukan oleh para filosof Muslim terhadap masalah ketuhanan tersebut, tentunya memunculkan pertanyaan dibenak kita; mengapa para filosof Muslim itu harus melakukan kajian filosofis terhadap masalah ketuhanan? Bukankah telah jelas bahwa informasi tentang Tuhan dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya telah diuraikan dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-quran dan hadist? Tidak cukupkah uraian-uraian tentang Tuhan yang terekam dalam wahyu, sehingga diperlukan pencarian filosofis?
              Jawaban-jawaban para filosof terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas adalah sebagai berikut; para filosof Muslim bukannya tidak percaya akan kebenaran informasi tentang Tuhan yang diberikan oleh wahyu ataupun hadist, tetapi bagi mereka, kebenaran informasi tentang Tuhan yang diberikan oleh kedua sumber itu perlu ditopang dengan argumen-argumen rasional yang berpijak pada kekuatan berpikir akal, sehingga keterangan-keterangan yang diberikan oleh sumber tersebut bisa dirasionalkan dan mudah dipahami bagi para penganutnya. Disamping itu, perbincangan filosofis tentang Tuhan merupakan sebuah tuntunan tak terhindarkan dari disiplin filsafat yang mereka tekuni. Sebab filsafat, seperti ditegaskan oleh Lois Leahey, “filsafat merupakan teknik refleksif yang diterapkan kepada apa yang dihayati”.
     Berdasarkan dua alasan diatas, dapat dimengerti mengapa para filosof Muslim itu melakukan kajian filosofis tentang masalah ketuhanan. Seperti dapat dilihat dalam sejarah filsafat Islam, filosof-filosof Muslim seperti Al-Kindi (w.252H/866M), Al-Farabi (w.339H/950M), Ibnu Sina (w.428H/1031M), Ibnu Rusyd (w.598H/1198M), Suhrawardi Al-Maqtul (w.587H/1191M), Mulla Shadra (w.1050H/1641M), selalu memunculkan kajian tentang Tuhan dalam karya-karya filsafat mereka.
              Kenyataan inilah yang mendorong para filosof untuk menuangkan pandangan tentang Tuhan dalam karya-karya filsafat yang mereka tinggalkan. Kenyataan bahwa para filosof selalu tidak puas dengan apa yang telah diuraikan oleh para filosof sebelumnya tentang masalah ketuhanan, juga masih berlaku hingga saat ini, di era modern. Hal itu dapat dilihat atau ditemukan dalam karya-karya filosofis yang muncul di era modern itu sendiri. Salah satu filosofis yang muncul di era tersebut dan memiliki karya yang di dalamnya mengkaji masalah ketuhanan adalah ‘Allamah Thabathaba’i, (w.1981), seorang filosof Islam tradisional yang berpengaruh di Iran modern.
                Karya-karya filsafatnya yang memuat kajian tentang Tuhan adalah, Bidayat Al-Hikmah, Nihayat Al-Hikmah, ‘Ali wa Al-Falsafah Al-Ilahiyyah, dan Ushul Al-Falsafah wa Al- Manhaj Al-Waaqi’i. Menurut Mehdi Amin Rezavi, Bidayat Al-Hikmah dan Nihayat Al-Hikmah, merupakan karya filsafat ‘Allamah Thabathaba’i yang terakhir. Dalam kedua karya tersebut, ‘Allamah Thabathaba’i mengkaji tentang metafisika atau yang lazim dikenal dengan istilah Al-Ilahiyyat. Pada bagian akhir dari karya tersebut, ‘Allamah Thabathaba’i menguraikan masalah ketuhanan yang terangkum dalam satu judul besar “Ma Yata’allaq bi Al-Wajib Al-Wujud”.
     Dalam karya ‘Ali wa Al-Falsafah Al-Ilahiyyah, ‘Allamah Thabathaba’i juga berbicara tentang Tuhan, tapi berbeda dengan dua karya yang pertama, dalam Ali wa Al-Falsafah Al-Ilahiyyah, uraian ‘Allamah Thabathaba’i tentang Tuhan dibangun berdasarkan ucapan-ucapan Imam ‘Ali a.s. karya ini bisa disebut sebagai syarah atau komentar ‘Allamah Thabathaba’i atas hadist Imam ‘Ali.
               Adapun Ushul Al-Falsafah, merupakan karya ‘Allamah Thabathaba’i yang berasal dari karyanya yang berbahasa Persia, “Ushul  Al-Falsafi Rawish Realism”. Konon karya itu ditulis sebagai respon terhadap filsafat materialisme yang ketika itu sedang menjadi mode pemikiran kaum muda Iran. Karya ini diberi komentar oleh Murthadha Muthahhari, murid cemerlang ‘Allamah Thabathaba’i. Seperti halnya dalam ketiga karya terdahulu, dalam karya yang disebut terakhir ini pun ‘Allamah Thabathaba’i mengkaji masalah ketuhanan.
     Dalam memahami permasalahan filsafat Thabathaba’i berawal dari asumsi berfilsafat bukan filsafat. Berfilsafat merupakan usaha pemahaman akan bentuk yang universal dengan memakai alat rasio sebagai pola kemahiran berfikir. Bagaimana cara dan permulaan dalam berfilsafat dan apa yang harus di bahas oleh rasio. Perbedaan rasio yang di terapkan dalam filsafat dengan berfilsafat, kalau filsafat hanya sebatas tahu akan eksistensi benda tetapi berfilsafat melampaui pemahaman akan eksistensi benda. Eksistensi sebagai titik awal Thabathaba’i dalam berfilsafat yang memiliki usaha membuka realitas. Sebab semua yang kita lihat adalah realitas tetapi belum tentu dalam pemahamannya kita menyakini adanya sebuah realitas. Nah ini yang Thabathaba’i berusaha untuk membuka realitas dengan berfilasat. Dalam hal ini logika pun hanya di pahami sebagai alat atau cara menilai sesuatu dan filsafat yang berusaha menetapkan keberadaan sesuatu itu sehingga semua yang kita lihat bisa yakin akan keberadaannya.
              Dari sini sangat jelas bahwa Thabathaba’i memahami filsafat sebagai ilmu yang sangat universal (a’amma al-‘ulum) karena subject metternya pun lebih umum yakni maujud yang meliputi segala hal yang berada di dalamnya bukan di luar. Dalam logika, ilmu memiliki beberapa kriteria yakni subject metter, objectivitas, dan mabadi. Subject metter filsafat adalah maujud (keberadaan) dan keberadaannya pun bersifat badihi. Hal ini yang membedakan ilmu filsafat dengan ilmu lainnya seperti ilmu hitung subject metternya angka, ilmu physic subject metternya materi, akan tetapi permasalahan dalam filsafat melampaui hal ini. Sebab filsafat hanya mengeksplore keberadaan dari subject metter ilmu lainnya yang berada dalam wilayah universal misal keberadaan angka, materi sebatas itu saja. Jadi epistemologi dalam filsafat bersifat universal, akan tetapi bagaimana kita mengetahui bahwa epistemologi filsafat adalah badihi dan bagaimana membuktikannya?.        Pemahaman kedua akan filsafat adalah maujud atau keberadaan yang tidak bisa di pahami dari luar subjek metternya tetapi dari dalam dirinya atau sesuatu yang spesifik akan maujud itu sendiri seperti Marx berjalan.  Kata ‘Marx’ merupakan maujud yang di relasikan dengan berjalan, dengan melihat relasi ini ada dua kemungkinan bisa dari bentuk internal atau eksternal yang menurut Thabathaba’i di istilahkan dengan ‘Muraddatu al mahmul’ atau mengembalikan predikat pada subjeknya. Hal ini merupakan salah satu problem dalam filsafat yang harus ada pembagian-pembagian seperti taqsim atau pembagian atas keberadaan ada yang wajib dan mungkin, yang mungkin di bagi menjadi jauhar (subtansi) dan ‘arad (eksiden), subtansi juga di bagi menjadi mujarrad dan maddy dan ini menjadi pembahasan ketiga Thabathaba’i dalam filsafat. Yang keempat adalah filsafat sebagai pengetahuan yang bisa memahami sesuatu dari akarnya baik di lihat dari dalam dirinya maupun melalui mekanisme lain.
               Kelima adalah untuk menyakini adanya realitas yang objektif, Thabathaba’i menggunakan logical method yang terbagai menjadi tiga yakni, tamsil (analogy), istiqra’ (induction/ experience) dan qiyas (syllogism). Metode yang terakhir ini yang di ambil oleh Thabathaba’i. Hal ini di karenakan metodologi ini mencoba melihat kebenaran realitas dengan kebenaran proposisi, sehingga hanya eksistensi yang terlihat dan subject matter yang jelas. Dan Burhan ini sebagai pembuktian relasi antara subjek dan predikat, sehingga Thabathaba’i membagi metode Burhan menjadi dua yakni Burhan Inni (sebab- akibat) dan Limmi (akibat- sebab). Misalnya, realitas pohon, dalam analisanya, pohon sebagai pemahaman universal yang memiliki eksistensi di dalamnya, tinggi, berdaun, warna coklat misalnya. Artinya eksistensi ini merupakan karakter-karakter equivalent (yang sama) dari pohon yang mampu di pahami oleh indra untuk melihat pohon. Tetapi dalam pembuktiannya Thabathaba’i meragukan keduanya dengan alasan bahwa Burhan Limmi yang tidak bisa membuktikan keberadaan pohon dari luar dirinya, sebab kenyataannya subjek membutuhkan hal-hal yang lebih umum dan karena tidak memiliki ma’lul di luar dirinya maka tidak ada ‘illat (sebab). Dan Burhan Inni pun tidak bisa meyakinkan proses keberadaannya, akan tetapi burhan Inni akan kuat jika di sandarkan pada mulazamatil ‘ammah .
              Kajian terhadap pemikiran filosofis ‘Allamah Thabathaba’i dibatasi pada satu karya terakhirnya, yakni Nihayat Al-Hikmah, dengan pertimbangan bahwa sebagai karya terakhir dari ‘Allamah Thabathaba’i, di bidang filsafat, karya tersebut dapat dinilai sebagai yang mewakili keseluruhan perenungan filosofis ‘Allamah Thabathaba’i, dan memang jika dibandingkan dengan Bidayat Al-Hikmah, karya Nihayat Al-Hikmah tampak lebih lengkap dan sempurna. Seperti telah disebut diatas, Nihayat Al-Hikmah secara khusus mengkaji masalah-masalah metafisika.  Karena luasnya lingkup bahasan metafisika, kajian ini dibatasi pada suatu bab kajian ‘Allamah Thabathaba’i dalam Nihayat Al-Hikmah yang berbicara tentang Tuhan.
      Beragam persoalan yang bisa muncul dari masalah ketuhanan yang diuraikan oleh ‘Allamah Thabathaba’i dalam Nihayat Al-Hikmah, misalnya, bagaimana ‘Allamah Thabathaba’i membuktikan adanya Tuhan? Bagaimana pandangan ‘Allamah Thabathaba’i tentang hubungan dzat Tuhan dangan sifat-sifat Nya? Siapa filosof yang mempengaruhi ‘Allamah Thabathaba’i sehingga ia dapat memiliki konsepsi tentang Tuhan sebagaimana yang tertuang dalam Nihayat Al-Hikmah? Apakah konsepsi ‘Allamah Thabathaba’i tentang Tuhan sama dengan konsepsi para pendahulunya? Bagaimanakah posisi Tuhan dalam konsepsi ‘Allamah Thabathaba’i, imanen ataukah transinden?
               Beragam persoalan dapat dirumuskan dalam satu tema kajian, yakni “Tuhan dalam Filsafat ‘Allamah Thabathaba’ii”. Kata sifat disini sengaja disertakan karena yang ditelaah adalah karya-karya filosofis ‘Allamah Thabathaba’i, meskipun nantinya pembahasan tentang Tuhan yang dilakukan oleh ‘Allamah Thabathaba’i terkesan mirip atau sama dengan bahasan-bahasan yang dilakukan oleh para teolog. Uraian-uraian ‘Allamah Thabathaba’i itu, tidak dapat dikatakan sebagai hasil perenungan teologis. Sebab ada beberapa perbedaan mendasar antara kajian filosofis dan kajian teologis terutama dari segi metode kajiannya.
Ruang Lingkup Kajian Masalah utama yang hendak dikaji dalam buku ini adalah pemikiran filosofis ‘Allamah Thabathaba’i tentang Tuhan. Jika masalah utama itu dirinci akan terlihat sebagai berikut: (1) Bukti yang diajukan oleh ‘Allamah Thabathaba’i tentang adanya Tuhan; (2) Pandangan ‘Allamah Thabathaba’i tentang hubungan dzat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya; (3) Pandangan ‘Allamah Thabathaba’i tentang beberapa dzat Tuhan, seperti pengetahuan Tuhan, kekuasaan dan kehendak Tuhan, hubungan kehendak Tuhan dengan manusia, al-miyah, qadha’ dan qadar, al-‘inayah al-ilahiyyah, kebaikan dan kejahatan.
              Namun harus dikatakan bahwa kajian tentang masalah ketuhanan dalam wacana filsafat Islam dapat disebut sebagai sesuatu yang tidak lagi baru sebab hampir seluruh filosof  Muslim sejak Al-Kindi (w. 260H/873M) pada abad ke-9 hingga Mulla Shadra (w.1050H/1640M) pada abad ke-17, tak satu pun yang melepaskan kajian mereka dari persoalan ketuhanan. Jadi dapat dipastikan bahwa konsep ketuhanan ‘Allamah Thabathaba’i yang dikaji tidak terlepas dari pengaruh filosof-filosof Muslim sebelumnya. Dengan kata lain, pemikiran ketuhanan ‘Allamah Thabathaba’i pada hakikatnya merupakan pergulatan pemikiran filosofis dengan pemikiran-pemikiran para filosof Muslim sebelumya.

Ilmu Hudhuri dan Hushuli
      Ilmu hudhuri merupakan asas utama dalam epistemologi Islam, karena, ia menjadi landasan utama semua pengetahuan manusia. Berbeda dengan ilmu hushuli yang merepresentasikan objek, dalam Ilmu hudhuri objek pengetahuan langsung hadir pada subjek sehingga tidak terjadi problem dualisme: kesalahan dan kebenaran.
Lalu apa yang disebut dengan hudhuri dan hushuli?. Saat anda membaca kata “takut” apakah anda merasa takut?  Tentu tidak. Jika demikian, berarti ada perbedaan antara “membaca kata takut” dengan “merasa takut”, meskipun keduanya sama-sama kita ketahui.
         Ilustrasi di atas menunjukan dua jenis pengetahuan manusia. Yang pertama, saat membaca kata “takut” disebut dengan pengetahuan perolehan (ilmu hushuli) karena kata “takut” tidak hadir langsung dalam diri kita. Sedangkan yang kedua, saat “merasakan takut” disebut dengan pengetahuan kehadiran (ilmu hudhuri) karena rasa “takut” tersebut langsung hadir dalam diri kita.  Dengan demikian, Ilmu hudhuri adalah ilmu yang didapat melalui objek asli yang diketahui, atau hadirnya secara langsung objek (sesuatu) yang  diketahui pada subjek yang mengetahui (akal). Hal ini mengindikasikan, tiadanya perantara konseptual apapun antara subjek dan objek. Sedangkan, Ilmu hushuli adalah ilmu yang didapat melalui perantara atau media dan tidak bisa mempengaruhi konsep pemikiran manusia.

CIRI KHAS DAN PEMBAGIAN ILMU HUDHURI
      Untuk mengenali ilmu hudhuri, ada beberapa ciri yang melekat khusus padanya, yaitu :
•Hadir secara eksistensial di dalam diri subjek. Ini berarti tidak ada perantara antara subjek dan objek pengetahuan.
•Bukan merupakan konsepsi yang dibentuk dari silogisme yang terjadi pada mental. Atinya, ilmu hudhuri bukan dihasilkan dari proses berpikir, karena ia merupakan keadaan esensial jiwa. Jika keadaan ini dikomunikasikan atau dipikirkan, maka ia akan menjadi ilmu hushuli.
•Bebas dari dualisme kebenaran dan kesalahan. Artinya, ilmu hudhuri senantiasa benar dan tidak akan mengalami kesalahan. Hal ini dikarenakan ilmu hudhuri tidak diperantarai oleh apa pun sehingga tidak ada proses korenpondensi dengan objek eksternal, yang mana proses korespondensi itulah yang menjadi sebab bagi kesalahan pengetahuan manusia. Karena kebenaran adalah kesesuaian subjek dengan objek, maka ilmu hudhuri yang kehadiran objek pada subjek secara langsung dan menyatu, maka ia mengimplementasikan kebenaran secara nyata.
•Bersifat personal, artinya, ilmu hudhuri tidak dapat dideskripsikan dan dipindahkan kepada orang lain. Sebab jika ditranfer melalui komunikasi atau pembelajaran, maka itu berarti menjadi ilmu hushuli.
•Bersifat spiritual, artinya subjek yang terlatih secara spiritual akan mendapatkan ilmu hudhuri tersebut dan akan mengalami degradasi dan fluktuasi sesuai dengan kondisi disiplin latihan spiritual yang dilakukan.
       Adapun jenis ilmu hudhuri, secara umum terbagai pada dua, yaitu:
1.Ilmu hudhuri sederhana, yaitu pengetahuan subjek yang mengetahui terhadap dirinya sendiri. Contohnya, ilmu Tuhan tentang zat-Nya, dan ilmu diri terhadap dirinya sendiri.
2.Ilmu hudhuri ganda, yaitu pengetahuan subjek atau manusia akan entitas atau objek-objek selain dirinya sendiri. Ilmu hudhuri jenis ini, terdiri dari beberapa hal yaitu :
•Ilmu sebab akan akibatnya
•Ilmu akibat akan sebabnya
•Ilmu subjek akan bentuk-bentuk konseptual atau mental atau bentuk diri material
•Ilmu subjek akan perbuatan-perbuatan dirinya seperti kehendak dan keputusan.
•Ilmu subjek akan kondisi psikologisnya seperti cinta, benci, dan takut.
•Ilmu subjek akan potensi-potensi dirinya seperti berpikir, bergerak, dan  imajinasi.
      Sedangkan ciri-ciri ilmu hushuli cukup dengan mencari perantara, contohnya: dengan membaca buku, mendengarkan ceramah, menonton televise, dan lain sebagainya.

HUBUNGAN ILMU HUDHURI DENGAN ILMU HUSHULI
      Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa kita memiliki ilmu hushuli dan berbeda dengan ilmu hudhuri. Akan tetapi, jika dicermati secara substansial, maka ilmu hushuli sebagai ilmu yang didapat berdasarkan proses korespondensi dengan objek eksternal pada prinsipnya kembali dan berasal dari ilmu hudhuri. Hal itu karena, pengetahuan yang terhasilkan pada diri subjek merupakan bentuk dari sebuah objek yang hadir di dalam mental subjek. Kehadirannya pada alam mental tersebut tidak lain kecuali dalam bentuk eksistensi mental (wujud zihni), sehingga persepsi subjek terhadap objek yang masuk merupakan persepsi terhadap eksistensi mental dan hal tersebut merupakan makna ilmu hudhuri. Artinya, objek yang hadir pada diri subjek merupakan visual yang diciptakan mental sebagai eksistensi mental dari eksistensi eksternal dan tentu saja kehadiran yang terjadi pada diri subjek bukan terhadap eksistensi eksternal, akan tetapi pada eksistensi mental  yang hadir. Ini berarti ilmu hudhuri merupakan landasan dari seluruh pengetahuan manusia.
      Banyak argumentasi yang diajukan untuk membuktikan bahwa ilmu hudhuri merupakan landasan seluruh pengetahuan manusia, termasuk landasan bagi ilmu hushuli, diantaranya :
1.Objek eksternal merupakan eksistensi eksternal, karena itu pencerapan melalui proses korespondensi (ilmu hushuli) menyampaikan pada diri subjek bentuk visual dari objek. Bentuk visual  bukanlah substansi objek karena substansinya adalah eksistensinya. Jika pengetahuan subjek terhadap objek didasarkan kepada bentuk visual entitas yang hadir, sementara bentuk entitas objek bukanlah objek itu sendiri, maka subjek tidak memiliki ilmu terhadap objek eksternal tersebut, hal ini akan berujung pada skeptisisme.
2.Objek eksternal terikat pada ruang dan waktu serta mengalami proses perubahan dengan perjalanan waktu, tetapi pada objek mental yang merupakan bentuk ilmiah dari objek eksternal tidak bergantung pada ruang dan waktu serta bersifat tetap, sehingga kapanpun dan dimanapun ketika subjek menginginkan kehadirannya, maka objek mental tersebut akan hadir pada diri subjek. Hal ini membuktikan bahwa objek yang hadir pada diri subjek merupakan eksistensi mental dari eksistensi eksternal objek.
3.Dari bentuk mental yang hadir pada diri subjek, subjek dapat melakukan perubahan sehingga membentuk jenis eksistensi baru padahal objek eksternal tetap dalam kondisinya semula. Jika objek mental terikat pada objek eksternal tentulah tidak dapat terjadi perubahan apa pun sesuai dengan kondisi objek eksternal.
4.Objek eksternal memiliki efek spesifik seperti langit yang biru, bumi yang besar, bahtera yang tanpa batas, atau gunung yang tinggi. Dalam proses ilmu hushuli, tentulah tidak mungkin tercerapnya bentuk sebagaimana eksistensi eksternal dan jika yang dipersepsi oleh mental hanya visual entitas, kita kembali pada argumentasi pertama. Karenanya, jiwalah yang menciptakan eksistensi mental dari eksistensi eksternal.
5.Mental dapat melakukan pemilahan-pemilahan antara aksiden dan substansi yang terdapat pada objek mental. Misalnya, mental dapat memisahkan warna biru dari langit dari objek eksternal langit biru yang tidak mungkin terpisah antara aksiden dan substansinya.
6.Kemustahilan regresi yang tak terhingga (tasalsul). Artinya, jika kita hanya mengakui pengetahuan dengan perolehan (ilmu hushuli), maka kita menjadi tidak berpengetahuan sama sekali. Hal ini karena, setiap ilmu hushuli membutuhkan argumentasi  dan representasi. Misalnya, bila kita mengetahui A, mestilah kita anggap A itu sebagai representasi B, sedangkan B merupakan representasi C, dan C itu sendiri merupakan representasi D, dan begitulah seterusnya tanpa akhir. Dengan demikian, semua pengetahuan kita hasil representasi objek sebelumnya, dan jika tidak ada representasi pertama yang mengawali pengetahuan, maka mustahil ada representasi pengetahuan berikutnya. Lantas mengapa kita menyatakan bahwa kita memiliki pengetahuan? Satu-satunya jawaban bagi kesulitan ini adalah bahwa rentetan (representasi) pengetahuan manusia mesti berakhir pada satu pengetahuan yang tidak membutuhkan representasi, dan pengetahuan tersebut adalah pengetahuan kehadiran (ilmu hudhuri).
      Dengan beragam argumentasi di atas, maka terbuktilah keberadaan eksistensi mental dan sekaligus menunjukkan bahwa ilmu hudhuri menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan manusia. Ilmu hushuli berfungsi hanya sebagai kausa bagi jiwa untuk melakukan kreatifitasnya dalam mewujudkan aksistensi mental dari objek eksternal.
             Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa ilmu hudhuri merupakan basis dari seluruh ilmu, karena jika ditelusuri lebih dalam, ilmu hushuli itu sendiri berakhir pada ilmu hudhuri karena tidak adanya pembatas kehadiran gambaran eksistensi (bentuk objek-objek) eksternal pada akal. Selain itu, karena bentuk-bentuk mental atau konseptual merupakan cerminan dari benda-benda eksternal.
           Mungkin akan timbul masalah: jika ilmu hudhuri itu adalah objek yang diketahui itu sendiri, itu berarti bahwa bentuk-bentuk mental merupakan ilmu hudhuri sekaligus ilmu hushuli. Hal itu karena, pada satu sisi, bentuk-bentuk mental diketahui dengan kehadiran, sedangkan bentuk-bentuk mental itu, pada sisi lain, merupakan contoh-contoh ilmu hushuli dari benda-benda eksternal.
          Jadi, di satu sisi, dilihat dari kehadiran langsung gambaran objek eksternal yang kemudian menjadi eksistensi mental pada subjek maka ilmu tersebut hudhuri, akan tetapi jika dilihat dari sisi hubungan objek eksternal (bukan gambarannya) maka kehadirannya secara tidak langsung, yang berarti ilmu hushuli. Menariknya, karena keeratan hubungan antara ilmu hudhuri dan ilmu hushuli tersebut, maka perlu diperhatikan, terkadang ilmu hudhuri serentak menghasilkan ilmu hushuli yang akan dapat mengelabui pengetahuan kita.

Guru-guru Thabathaba’i
      Seorang filsuf besar seperti Thabathaba’i tidak bisa dilepaskan dari guru-guru yang telah memberikan ilmu pengetahuannya. Berikut adalah nama-nama guru yang pernah turut andil dalam hidup Thabathaba’i: 
Dalam ‘irfan: Allamah Qazhi. Beliau adalah guru terpenting Allamah dan yang paling berpengaruh dalam pembinaan diri beliau.
Dalam filsafat: Sayyid Hasan Badkubi.
Dalam matematika: Sayyid Abulqasim Khansari.
Dalam bahtsul kharij fikih dan ushul fikih: Ayatullah Syaikh Muhammad Husain Isfahani dan Ayatullah Naini.
Dalam ilmu rijal: Ayatullah Hojjat Kuhkamari.

Karya-karya Thabathaba’i
     Allamah Thabathaba’i memiliki dua karya monumental yang paling mendapat perhatian dibandingkan karya-karya lainnya. Pertama adalah tafsir Al-Mizan dalam dua puluh jilid, yang ditulis beliau dalam bahasa Arab selama dua puluh tahun. Dalam tafsir ini, beliau menggunakan metode ‘penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran’. Selain tafsir ayat dan pembahasan bahasa, beliau juga membahas ayat-ayat Al-Quran dari sudut pandang riwayat, sejarah, kalam, filsafat, dan sosial.
       Karya penting beliau yang lain adalah Ushule Falsafeh va Raveshe Realism. Buku ini mencakup empat belas makalah filosofis yang ditulis beliau pada dekade dua puluh dan tiga puluh Hijriah Syamsiah. Buku ini dikomentari oleh Murtadha Muthahhari dengan metode filsafat perbandingan. Buku ini termasuk buku yang pertama kali membahas topik filsafat dengan membandingkan aliran filsafat Islam dan Barat. Berikut adalah daftar karya-karya beliau yang berhasil di himpun dari berbagai sumber:
    Karya-karya Berbahasa Arab
1. Al-Rasail Al-Sab`ah, meliputi:
1.1.Al-Burhan (1349 HQ).
1.2.Al-Mughalathah (1349 HQ).
1.3.Al-Tarkib (1348 HQ).
1.4.Al-Tahlil (1348 HQ).
1.5.Al-I`tibariyyat (1348 HQ).
1.6.Al-Manamat wa Al-Nubuwwat (1350 HQ).
1.7.Al-Quwwah wa Al-Fi`l (1373 HQ).
2.Sunan Al-Nabi (1350 HQ).
3.Al-Rasail Al-Tauhidiyah (1361 HQ), meliputi:
3.1.Al-Tauhid.
3.2.Al-Asma`.
3.3.Al-Af`al.
3.4.Al-Wasaith.
3.5.Al-Insan Qabl Al-Dunya.
3.6.Al-Insan Fi Al-Dunya.
3.7.Al-Insan Ba`d Al-Dunya.
4.Hasyiyah Al-Kafi (1368 HQ).
5.Ta`liqah `ala Bihar Al-Anwar (1370 HQ).
6.Ta`liqah `ala Al-Ushul min Al-Kafi (1375 HQ).
7.Ta`liqah Wahidah `ala Mirat Al-`Uqul (1376 HQ).
8.Ta`liqah `ala Al-Asfar Al-Arba`ah (1378 HQ)
9.Ali wa Al-Falsafah Al-Ilahiyah (1379 HQ).
10.Risalah fi Al-Tauhid (1389 HQ).
11.Risalah fi Al-`Ilm (1389 HQ).
12.Bidayah Al-Hikmah (1390 HQ).
13.Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran, 20 jilid (1392 HQ).
14.Nihayah Al-Hikmah (1395 HQ).
15.Risalah Al-Wilayah (tanpa tanggal).
16.Risalah fi `Ilm Al-Nabi saw wa Al-Imam as bi Al-Ghaib (tanpa tanggal).
17.Syarah/Komentar atas:
17.1.Al-Muraqabat; Mirza Jawad Malaki Tabrizi.
17.2.Wasail Al-Syi`ah; Syaikh Hurr `Amili.
17.3.Nur Al-Tsaqalain; Huwaizi.
17.4.Tafsir `Ayyasyi.
17.5.Mafahim Al-Quran; Ja`far Subhani.
18.Al-Taqridh `ala Al-Furqan fi Tafsir Al-Quran; Muhammad Shadiqi.
    Karya-karya Berbahasa Parsi:
1.Ushule Falsafeh va Raveshe Realism (1332 HS).
2.Tadzilat va Mohakemat bar She Maktube Avvale Sayyed Ahmad Karbalai va Syaikh Mohammad Husain Gharavi Esfahani dar Maurede Baiti az Aththar (sebagian dilanjutkan oleh Allamah Sayyed Mohammad Husain Husaini Tehrani).
3.Syiah: Majmoeye Mozakerat ba Profesor Henry Corbin.
4.Syiah dar Eslam (1348 Hs).
5.Quran dar Eslam (1353 HS).
6.Amuzesye Din (untuk anak-anak).
7.Barresihaye Eslami (jilid pertama).
8.Eslame Ensane Moasher (jilid kedua Barresihaye Eslami).
9.Barresihaye Eslami (jilid ketiga, 96 halaman pertama).
10.Syair-syair.
11.Syarah/Komentar atas:
11.1.Raveshe Andisyeh; Syahid Mohammad Mofatteh.
11.2.Esyq va Rastegari; Ahmad Zamrodiyan.
11.3.Dastane Zendeha; Abdolkarim Aqdami.
12.Besyarate Ahdain.
13.Ketab dar Maurede Haj.
14.Beberapa artikel pendek:
14.1.Daolate Pusyali va Dastnesyandei Bename Esrail.
14.2.Wawancara dengan Allamah tentang Syahid Muthahhari.
14.3.Komentar atas sebagian karya Dr. Ali Syariati.
14.4.Jawaban atas sebuah surat.
15.Resalei dar Mabda va Maad.
16.Resalei dar Nobovvat.
17.Resalei dar Esyq.
18.Resalei dar Mosytaqqat.
19.Hasyiyeh bar Makaseb.
20.Selseleye Ansabe Thabathabaeyan dar Azarbaijan.
21.Manzomei dar Khatte Nasta`liq.
22.Ravabethe Ejtemai dar Eslam (terjemahan beberapa pembahasan sosial dalam tafsir Al-Mizan yang berkaitan dengan ayat terakhir surah Al Imran).
   Keterangan Beberapa Karya:
      Bidayah Al-Hikmah: Buku yang berisi pelajaran ringkas filsafat yang diperuntukkan bagi para peminat ilmu-ilmu rasional di Qum dan pelbagai universitas di Iran.
Nihayah Al-Hikmah: Buku pelajaran filsafat seperti yang pertama, namun mengandung pembahasan dan penjelasan yang lebih rinci dan rumit.
Hasyiye bar Kifayah: Sebuah buku tentang metode-metode istinbath (pengambilan hukum).
    Majmoeye Mozakerat ba Profesor Henry Corbin: Berisi tentang tanya-jawab antara Allamah Thabathaba’i dan periset asal Prancis tentang Syiah dan pembahasan akidah.
Resaleye Ensane Qabl az Donya, dar Donya, dan Ba`d az Donya: Buku ini berisi pembahasan tentang tiga alam, yaitu materi, mitsal, dan akal. Buku ini memberi jawaban terhadap sebagian besar pertanyaan yang mengusik benak kawula muda.

Murid-murid Allamah Thabathaba’i
     Allamah Thabathaba’i mendidik banyak murid, beberapa di antara mereka adalah sebagai berikut:
1.Sayyid Jalaludin Asyteyani.
2.Dr.Gholam Husain Ebrahimi Dinani.
3.Ahmad Ahmadi.
4.Sayyid Mohammad Ali Abthahi.
5.Sayyid Mohammad Baqer Abthahi.
6.Ali Ahmadi Meyanji.
7.Yahya Anshari.
8.Syaikh Abbas Izadi.
9.Ibrahim Amini.
10.Sayyid Mohammad Husaini Behesyti.
11.Abdollah Javadi Amoli.
12.Hasan Hasanzadeh Amoli.
13.Sayyid Mahdi Ruhani.
14.Ezzudin Zanjani.
15.Mohammad Shadeqi Tehrani.
16.Imam Musa Shadr.
17.Sayyid Mohammad Husain Kalehzari.
18.Mohammad Taqi Mesbah Yazdi.
19.Mohammad Mofatteh.
20.Mortadha Muthahhari.
21.Nasher Makarem Syerazi.
22.Husain Nuri Hamedani.
23.Sayyid Yahya Yatsrebi.
     Banyak cendekiawan yang mengambil manfaat keilmuan dari majlis-majlis diskusi Allamah. Salah satunya adalah majlis diskusi dengan Profesor Henry Corbin, yang dihadiri oleh Sayyid Husain Nashr dan kaum intelektual lainnya. Atau majlis-majlis diskusi di Teheran yang diikuti oleh cendekiawan seperti Darius Syaigan.
Muhammad Suluh jati, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya
You have read this article Filsafat with the title Sayyid Husein Thabathaba'i - Menangkap Makna Al-Qur'an Dengan Filsafat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/04/sayyid-husein-thabathaba-menangkap.html. Thanks!

No comment for "Sayyid Husein Thabathaba'i - Menangkap Makna Al-Qur'an Dengan Filsafat"

Post a Comment