Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Pemikiran Revolusioner Ali Ahmad Said Asbar Adonis

 Oleh: Raditya Ranabumi
Kehidupan Adonis
            Ali Ahmad Said Asbar, atau yang lebih dikenal dengan Adonis. Ia lahir di Syiria tahun 1930. Ayahnya merupakan guru agama berlatar belakang Syi’ah[27] dan ia belajar agama dari ayahnya. Adonis merupakan pemikir kontemporer yang memiliki ide dan proyek yaitu “Al Tsabit wa al Mutahawwil” atau “Yang Mapan (Statis) dan Yang Berubah (Dinamis)”. Proyek ini, merupakan cara pandang Adonis terhadap tradisi Arab-Islam. Nama Adonis bukanlah nama asli. Nama ini diberikan oleh Anton Sa’adah, pendiri dan ketua partai Nasionalis Syiria tahun 1940-an. Partai itu bertujuan menyatukan “Bulan Sabit dan Bintang”, maksudnya mempersatukan Syiria, Irak, dan Libanon sebagai bulan sabit, dan Siprus sebagai bintangnya[28]. Persatuan ini berdasarkan pada persatuan budaya Negara-negara tersebut dimasa lalu, yaitu kesatuan yang berdasarkan pada peradaban Pheonik kuno. Dengan ini, ia ingin menyatukan dalam Syiria Raya. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, Anton Sa’adah membentuk lembaga sastra dan seni untuk menyerukan tujuan dan mewujudkan impian partainya. Disinilah Ali Ahmad Said bergabung dan mendapat nama Adonis dari Anton Sa’adah[29].
           Pada dasarnya nama ini adalah salah satu nama dewa dalam legenda Babilonia  kuno. Dewa muda ini dicintai Aphrodite, sang dewi cinta, merupakan symbol dari kebaikan dan keindahan. Dengan pemberian nama tersebut kepada Ali Ahmad Said, Anton Sa’adah yang ingin menghidupkan kembali masa lalu Negara-negara tersebut. Ia meyakni bahwa masa lalu tersebut merupakan bagian dari proyek Syiria Raya atau Bulan Sabit dan Bintang[30]. Menurut pengakuannya nama ini telah ia pakai ketika ia berumur dua belas tahun, sejak itu juga dia telah menulis puisi[31].
            Masa muda Adonis bertepatan dengan masa-masa pergolakan, demam revolusi, perjuangan melawan kolonialisme, dan masa pencarian modernisasi disegala aspek dalam dunia Arab. Kehadiran Khalil Gibran memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam membangkitkan semangat baru, bahasa puisi yang lebih segar, dan imajinasi baru serta strukturnya. Masa-masa pertumbuhan Adonis sangat dipenuhi hal-hal baru, yaitu ia mulai membaca dengan baik puisi-puisi Eropa. Sebelumnya juga ia telah mempelajari puisi tradisional oleh ayahnya, orang yang sholeh dalam menjalani hidupnya sesuai dengan kultur agama Islam.
Di masa pencarian ini, ia memiliki gairah yang kuat untuk perubahan, apa lagi pergolakan politik (secara umum setelah perjuangan rakyat Palestina pasca berdirinya Israel tahun 1984), dimana puisi modern mulai dieksplor dengan memberontak dari system dan irama syair yang selama ini didominasi oleh puisi Arab sejak dahulu. Dimana ia menyingkap rahasia keseimbangan kreasi antara peraturan sosial-politik yang menjadikan puisi menjadi halus, lebih menarik dan sesuai etestika, serta tidak tekstual. Maka, puisi Adonis menjadi lebih kaya, lebih dramatis, kaya makna, lebih komplek, dan lebih ilmiah, khususnya pada lavel bahasa dan struktur kalimat. Hampir sebagian besar karyanya bernuansa puisi. Namun karya fenomenal adalah al Tsabit wa al Mutahawwil: Bahts fi al Ibda wa al Ibtida ‘inda al Arab, awalnya adalah disertasi Adonis di Lebanon, kemudian dibukukan. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam”. Dalam pembahasannya, Adonis banyak terinspirasi oleh dealektika Hegel[32].
Konsep Kenabian Adonis
           Kenabian merupakan masalah yang mendasar dalam suatu agama. Melalui nabi manusia diperingatkan, melalui wasilahnya pesan-pesan Allah disampaikan, melaluinya syari’at ditegakan, dengannya juga bukti kebesaran-Nya ditujukan, dan dengan perantarannya kitab-Nya diajarkan kepada hamba-Nya. Bila kenabian disanksikan runtuhlah semua yang dibawanya. Jika ada sesuatu yang lebih sempurna dari kenabian, lantas apa gunanya syari’at yang selama ini dianut dan diyakini telah sempurna sejak empat belas abad yang lalu oleh kaum muslim. Oleh sebab itu, kesakralan Muhammad sebagai yang terkhir harus dipertahankan.
            Adonis dalam memandang kenabian dalam Islam sangat tidak relevan dengan sifat Allah yang Maha Adil dan Bijaksana. Allah telah memberikan akal pada manusia sejak ia ditugaskan sebagai khalifah. Oleh sebab itu, adalah suatu kesalahan yang bila menurunkan nabi ditengah-tengah manusia. Itu dikarenakan sebuah tindakan diskriminatif terhadap kaum yang lain. Adonis menguatkan argumnnya itu dengan pendapat Ibn al Rawandi[33], Jabir bin Hayyan[34], dan Muhammad bin Zakariyya al Razi[35]. Pertama, Adonis menggunakan  argument Ibn al Rawandi[36], meskipun ini perpanjangan dari pendapat dari sikap kelompok Barahima[37] terhadap kenabian.
             Alasan Adonis yang diajukan mengenai penolakkannya terhadap kenabian diantaranya sebagai berikut. Pertama, yang dibawa oleh para rasul adalah tidak terlepas dari dua hal, rasional dan irasional. Jika yang dibawa para rasul itu rasional, maka cukup menggunakan akal yang sempurna ini guna menangkap dan mencapai rasional itu. Sementara jika irasional, maka itu tidak dapat diterima. Kedua, akal menunjukan bahwa Allah adalah bijak. Yang bijak tidak akan disembah oleh makhluk kecuali melalui sesuatu yang ditunjukan oleh akal mereka. Bukti-bukti rasional menunjukan bahwa alam memiliki Pencipta yang Mahakuasa dan bijaksana. Dia memberikan kepada manusia nikmat-nikmat yang harus kita syukuri. Kita pun kemudian dapat merenungkan tanda-tanda penciptaan-Nya melalui akal. Ketiga, dengan akal, makhluk bisa menagkap sesuatu yang jelek dan irasonal. Keempat, dosa besar dalam kenabian adalah mengikuti orang yang sama dengan kita dalam bentuk, jiwa, dan akalnya. Ini menujukan bahwa kita seperti benda mati yang diperlakukan seenaknya, diangkat dan direndahkan, atau bagai budak.
            Argumen selanjutnya Adonis mengangkat teori kimia murni racikan Jabir bin Hayyan[38]. Yang kemudian diasusmsikan oleh Adonis yaitu jika menemukan dalam proses pembentuknya satu jalan (dari luar jalan sendiri) maka ia tidak memerlukan dari jalan kedua. Kemudian, besarnya kemungkinan yang terjadi dalam fenomena alam ini, tidak mengaharuskan kita untuk mempercayai apa yang terjadi dihadapan kita. Hukum inilah yang dijadikan landasan Adonis untuk menganulir kenabian.
            Landasan ketiga Adonis dalam penolakannya terhadap kenabian adalah dari dua sisi[39]. Pertama rasional, premisnya adalah bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Oleh kerena itu, ia harus diikuti, bukan mengikuti. Seperti yang diungkapjan al Razi mengatakan “ Sang Pencipta Yang Mahamulia memberi dan menganugrahkan kepada kita akal hanyalah kita mendapatkan dan sampai pada kebahagian dunia dan akhirat…dengannya kita dapat menangkap apa yang berguna bagi kita…”[40]. Yang kedua, dari sisi historis. Yaitu, penetapkan kenabian pada suatu kelompok manusia tertentu saja sementara yang lain tidak, memberikan mereka kelebihan atas manusia lainnya, menjadikan manusia membutuhkan mereka. Akhirnya, hal ini mempertajam permusuhan di antara mereka, dan banyak manusia yang mati. Ini merupakan tindakan diskriminasi.
               Pada dasarnya apa-apa yang diperintahkan agama (Islam) kepada pengikutnya untuk hamba-Nya yang berakal. Bila ditelisik, hampir kewajiban agama diwajibkan bagi yang sudah aqil dan baligh. Kedua hal tersebut menjadi syarat mutlak terkabulnya amalan seorang hamba. Sebab, meskipun ia berakal, akan tetapi dia dalam keadaan tidur, ia tidak berkewajiban dan terbebas dari dosa[41]. Selain itu, Ibnu Rusyd dalam Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid membagi syariat Islam menjadi dua, yaitu ibadah yang bisa diterka melalui akal dan ibadah yang akal tidak sampai untuk memahaminya[42]. Seperti, shalat, sa’i, melempar batu (jumrah), ihram, talbiyah serta seluruh gerakan-gerakan di dalamnya, akal fikiran manusia tidak bisa mencapai maksud dari gerakan-gerakan tersebut. Ini bukan berarti itu irasional, akan tetapi itu disebabkan oleh ketidakmampuan akal mencapainya. Kemudian, ajaran agama yang akal manusia tidak sampai mencapainya, lantas ditolak atau ditinggalkan, tetapi sebagai muslim kita tetap mengerjakannya secara ta’abuddi. Artinya, syari’at yang tidak bisa dicapai akal irasional dan ditolak. Bila demikian, ajaran agama tidak utuh lagi dan tidak seimbang. Maka, apa-apa yang dibawa rasul dibagi menjadi dua, rasional dan supra-rasional.
          Syariah ataupun hukum adalah mengikat ataupun memaksa. Ketika seorang hamba mengakui keimanan adanya Allah Yang Maha Esa dan Dia-lah satu-satunya Tuhan yang paling berhak untuk disembah, serta kesaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang utusan yang membawa syari’ah dari Allah SWT. Selain itu, meyakini kesempurnaan ajarannya dan bahwa ia rasul terakhir. Maka, secara tidak langsung seorang muslim telah menyatakan kesediaan dan kesiapan untuk menjalankan semua yang diajarkan tanpa terkecuali (kaffah)[43]. Sama halnya, ketika seorang hendak menjadi warga negara, maka, ia menyatakan kesiapannya dan kesedianya mengikuti semua aturan serta undang-undang yang berlaku. Dilain pihak, peratusan yang telah ditetapkan bersifat memaksa. Artinya bila melanggar akan terkena sanksi. Misalnya pelanggaran terhadap tata tertib lalu lintas, maka si pelanggar akan ditilang. Singkatnya, aturan yang ada diberlakukan untuk mengatur dan harus ditaati.
             Nabi Muhammad SAW adalah seorang utusan pembawa risalah yang mewajibkan umatnya mengikutinya. Sebab, nabi diutus untuk menyempuranakan akhlak umat manusia[44]. Oleh karena itu, Allah menjadikan Muhammad sebagai contoh yang nyata untuk dicontoh atau suri tauladan[45]. Selanjutnya, pengertian dari sunnah atau hadits adalah apa-apa yang bersumber dari nabi, baik dari perkataannya, tingkahlaku, dan ketetapan. Sunnah ataupun hadits adalah sumber kedua setelah al Quran dalam Islam, dan keduanya harus diikuti. Ini artinya, umat muslim berkewajiaban untuk mengikuti Muhammad dalam bentuk, jiwa, dan akalnya. Dilain pikah, Muhammad sebagai nabi yang ma’shum, ia sangat pantas untuk diidolakan dalam berbagai hal dan aspek kehidupan. Ironisnya, banyak masyarakat saat ini mengidolakan public figure, baik dari kalangan artis, selebritis, olahragawan dan lainnya, namun mereka mengebaikan latar belakang kehidupannya dan tingkah lakunya. Bahkan, dibeberapa kusus, para public figure sering berurusan dengan hukum atau melecahkan nilai-nilai agama serta adat. Jadi, meneladani Muhammad SAW adalah suatu keniscayaan.
          Sedangkan teori yang diambil Adonis dari Jabir bin Hayyan adalah murni sains. Seperti yang diungkap diawal bahwa perbedaan mendasar antara ahli kimia Yunani dan Jabir bin Hayyan adalah kesimpulan dari hasil observasi kimia yang dikaitkan ke ranah spiritual. Ahli kimia Yunani lebih sering menarik ke dalam tataran spiritual, sedangkan Jabir bin Hayyan tidak. Selain itu, konsep Jabir bin Hayyan merupakan murni teori kimia yang ditarik oleh Adonis ke dalam filsafat dan agama. Hal ini mengingatkan kita pada pergeseran paradigma dari Barat klasik yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat perputaran tata surya ke teori Copernicus yang beranggapan bahwa matahari-lah pusat tata surya[46]. Pada awalnya, teori ini hanyalah murni sains, akan tetapi ditarik ke ranah filsafat sebagai pijakan pergeseran paradigma. Jadi, teori Jabir bin Hayyan merupakan murni sains, tidak tepat bila dimasukan ke dalam agama.
             Dari agrumen-argumen penolakan tetang kenabian yang diajukan Adonis, dapat disimpulkan bahwa akal adalah sumber satu-satunya pengetahuan, sebab ia anugrah tertinggi Tuhan kepada manusia. Kemudian, pemilihan suatu kaum terhadap kaum yang lain melalui kenabian merupakan tidakan diskriminasi yang menyebabkan pertumpahan darah. Lalu, ajaran yang dibawa oleh nabi tidak lebih dari dua hal, rasional dan irasional. Yang rasional cukup dengan akal, dan irasional ditolak. Selanjutnya, besarnya suatu kemungkinan terhadap suatu fenomena, ini tidak mengharuskan kita untuk mempercayai kebenaran kejadian tersebut. Sebab, kemungkinan besar ada kebenaran juga di luar klim mayoritas. Selain itu, Adonis melihat agama dari kacamata manusia, bukan dari apa yang Tuhan kehendaki. Yang terakhir, al Quran sebagai wahyu tidak lebih hanyalah berisi mitologi dan khurafat serta tidak mendatangkan manfaat apa pun. Singkatnya, kenabian merupakan tidakan yang salah.
Raditya Ranabumi, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Brawijaya
You have read this article with the title Pemikiran Revolusioner Ali Ahmad Said Asbar Adonis. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/06/pemikiran-revolusioner-ali-ahmad-said.html. Thanks!

No comment for "Pemikiran Revolusioner Ali Ahmad Said Asbar Adonis"

Post a Comment