Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Narsisme dan Ilmu yang tidak Bermanfaat

 Oleh: Holy Muhammad
Fuck U

            Di era globalisasi yang semakin pesat ini, tiap individu berupaya dan berlomba-lomba menyempurnakan atribut pribadi mereka dengan nama besar, harta, gelar, pangkat, jabatan. Para kaum intelektual melengkapi atribut nama besar mereka dengan gelar akademis sebagai tanda kedalaman dan keluasan ilmunya di mana penggunaan nama besar dengan gelar keilmuan tersebut semata-mata untuk mengumpulkan harta benda demi kemapanan dan kenikmatan hidupnya. Berkembangnya pemikiran pragmatis ini diawali dengan lahirnya paham-paham keilmuan berazas empirisme-materialisme-rasionalisme-positivisme  yang menjadi azas ilmu pengetahuan modern. Oleh karena ilmu pengetahuan menjadi alat utama dalam memperoleh kesuksesan material dalam hidup, kaum intelektual telah melepaskan diri  dari tugas utama mereka sebagai anak-anak bangsa yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kaum intelektual yang bertujuan 'mengendarai' ilmu mereka dalam memperkaya diri sendiri. Hal ini didasari filsafat pragmatisme Barat yang kemudian diartikan sebagai landasan pembenaran atas apa yang telah dilakukan.

    Filsafat pragmatisme lahir dengan makna bahwa suatu tindakan yang dilakukan adalah benar jika hal itu bermanfaat atau menghasilkan sesuatu. Jika dimaknai dalam – dalam demi keselarasan masyarakat luas, paham ini sangat baik sifatnya, namun bagaikan mata pisau seperti paham-paham yang lain, pragmatisme dapat melahirkan tatanan masyarakat yang begitu arogan, egois, dan mau menang sendiri karena pada dasarnya manusia cenderung memikirkan dirinya sendiri sebagai acuan dari banyak tindakannya. Suatu contoh seperti yang telah penulis uraikan di atas, begitu banyak gelar-gelar akademis yang tercipta tanpa adanya manfaat dari ilmu-ilmu yang seharusnya melahirkan sebuah karya pengetahuan yang bermanfaat bagi orang lain walaupun yang mereka lakukan dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri. Seperti yang diungkapkan Peter McLaren (2004) dalam bukunya yang berjudul Che Guevara, Paulo Freire dan Politik Harapan: Tinjauan Kritis Pendidikan dalam mengulas seorang tokoh pengkritik pendidikan “Paulo Freire” , ia menulis:
   
Kerakusan adalah Life Style

      ”Paulo Freire adalah seorang teman yang menyenangkan dan mentor yang pengasih. Kata-    katanya tentang persaudaraan sangat benar, sebagaimana peringatan-peringatannya     tentang kecemburuan-    kecemburuan kecil yang menghinggapi kaum akademis, khususnya     yang berpikiran picik (dan akademi penuh dengan mereka) yang oportunismenya dibungkus     dengan pesona, yang pencariannya yang narsistis dan angkuh akan perhatian dan     keuntungan pribadi tidak mengenal batas, dan yang rela membungkuk untuk     mempersonalisasikan kritik mereka dan terlibat dalam serangan intelektual yang sengit dan     menjual jiwa mereka demi kekuasaan atau ketenaran.”
    Sebagai contoh pembuktian – pembuktian ilmiah secara empiris dan rasional hanya mampu menjawab sebuah sebab dari satu akibat yang sudah di ketahui masyarakat luas namun ditulis kembali dengan dalil – dalil pembuktian yang faktual dan rasional. Disamping itu masyarakat ilmiah juga dibutakan dengan tujuan sebuah kajian yang mampu diterima secara umum oleh masyarakat dunia sehingga hasil dari penelitian tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kebenaran. Hal ini telah menyimpang dari tujuan dan awal mula pencarian sekaligus penyebaran ilmu pengetahuan.
    Satu contoh kecil mengenai metode penulisan ilmiah yang selama ini kita tiru dari barat. Penulisan nama dalam daftar pustaka harus ditulis terbalik, contoh: “Scofield, Michael”. Metode penulisan tersebut bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam mengidentifikasi penulis, karena dalam tatanan masyarkat barat penggunaan nama keluarga diberlakukan. Maka dapat diartikan bahwa dari contoh diatas, kita mampu mengidentifikasi penulis dari nama keluarga “Scofield” yang bernama “Michael”. Jadi penulis dalam daftar pustaka tersebut bukan “Michael” dari keluarga “Morgan” atau “Rostchild”. Atau dapat juga diartikan bahwa penulis tersebut bukan “Lincoln” kakak “Michael” dari keluarga “Scofield”. Namun, faktanya adalah kita masyarakat Indonesia sebagian besar tidak menggunakan nama keluarga seperti dianut dalam tatanan masyarakat barat, jadi dengan kata lain metode penulisan yang awalnya bertujuan untuk memudahkan pembaca tersebut hanya berlaku pada tatanan masyarakat spesifik dan tidak akan terlalu berpengaruh pada pembaca dari negeri kita misalnya. Namun mengapa hal tersebut kemudian menjadi hal-hal yang mutlak untuk ditiru masyarakat dengan tatanan budaya yang berbeda seperti negara kita? Seperti hal-nya kemutlakan bahwa berjas, berdasi dan bersepatu hitam adalah sopan dan mencerminkan intelektualitas seseorang melebihi selembar kain penutup aurat dan alas kaki seadanya yang dipakai dalam keseharian para ulama negeri kita.
Dijual Anak Lucu. Siapa Mau Beli?
              Contoh lain dapat dilihat dari pelajaran-pelajaran di sekolah yang berbau doktrin, tanpa ada upaya berfikir kritis dan independen dalam menanggapi pengetahuan yang masuk dari luar negeri tersebut. Sebagai contoh sederhana penggunaan kata-kata discovery dalam buku-buku sejarah. Setiap pelajar di negeri ini yang pernah mempelajari sejarah eropa pasti akan dapat menjawab contoh soal disamping: “Who discovered America? A. Thomas alfa edison, B. Jacques Derrida, C. Tamao Sherizawa, D. Christopher Columbus.” Untuk lulus dalam ujian, para pelajar akan menjawab D. Christopher Columbus tanpa berfikir lagi bahwa apakah Amerika memang ditemukan? Kata discovery ini ternyata diterima oleh masyarakat luas sebagai suatu fakta ilmiah. Akibatnya asumsi yang muncul bertolak belakang dengan fakta sejarah bahwa America tidak pernah ditemukan. Karena syarat suatu benda ditemukan adalah jika benda tersebut tidak bertuan. Jika kita berjalan-jalan disuatu pulau yang tidak ada satupun manusia disana, maka kita akan bisa mengklaim bahwa kita telah menemukan pulau baru yang tidak berpenghuni. Jika kita berjalan-jalan disuatu pulau kosong tersebut, ternyata beberapa hewan liar telah menempati pulau tersebut, maka kita akan bisa menganggap bahwa para hewan liar tersebut tidak memiliki tempat tersebut, karena karunia akal pada manusia menempatkan kita sebagai makhluk dalam rantai makanan tertinggi. Dengan kata lain kita tidak sederajat dengan hewan liar tersebut. Namun ternyata fakta yang menyebutkan, tempat-tempat seperti Amerika dan Australia tidak hanya ditempati oleh hewan liar sebelum Collumbus dan James Cook mendarat. Suku-suku lokal telah hidup di sana dengan budaya, identitas dan peradaban yang beragam sesuai kebutuhan mereka sendiri. Apakah kita akan menempatkan Christopher Columbus dan James Cook sebagai manusia yang lebih tinggi derajatnya dibanding manusia lain khususnya penduduk asli Amerika dan Australia? Apakah mereka berhak mengklaim bahwa benua-benua  tersebut ditemukan oleh mereka, lalu mereka berhak menyebut penduduk Amerika dengan sebutan Indian dan penduduk asli Australia dengan sebutan Aborigin?
    Mungkin kaum intelektual telah mengenal istilah post kolonialisme atau hegemoni yang telah dikaji dalam banyak seminar dan perkuliahan. Namun entah mengapa teori-teori yang sulit dipelajari tersebut telah menjadi konsep-konsep abstrak yang dalam prakteknya terlalu sulit untuk di amalkan. Secara umum pengkiblatan nilai – nilai dan tatanan masyarakat kita ke barat juga berdampak dalam ruang lingkup akademis. Upaya-upaya negara maju dalam mengendalikan masyarakat negara berkembang dengan merubah dan menseragamkan cara berfikir masyarakat telah berhasil dicapai dalam bidang pendidikan di negeri ini. Penseragaman ini dimulai sejak saat seorang anak duduk di bangku sekolah. Di mana semua persepsi mengenai kebenaran mutlak ditanamkan pada siswa-siswa sejak dini. Para siswa dan siswi negeri ini tidak diberi kebebasan dalam berfikir dan bertindak, ada suatu tatanan normatif yang bersifat doktrin keseragaman demi menghapuskan wacana independen agar terus berkiblat ke negara-negara maju barat. Hal-hal tersebut dilakukan demi mencetak para pekerja. Seperti yang telah diungkapkan oleh Agus Sunyoto dalam teks yang tidak di publikasikan bahwa:
    “Imperialisme budaya AS melalui USIA (United State Information Agency) mendominasi pemikiran rakyat Indonesia lewat sekolah-sekolah formal, media massa cetak, elektronik.     Lembaga-lembaga pendidikan formal dimaksudkan hanya sebagai pencetak tenaga-tenaga     buruh yang murah dan efisien. Belakangan, terjadi kecenderungan untuk menjadikan     pendidikan formal sebagai komoditas di bidang jasa yang menguntungkan.”
    Pembuktian-pembuktian yang lebih kompleks dilakukan oleh Hasyim Wahid dalam bukunya yang berjudul Telikungan Kapitalis Global yang berupaya membuktikan bahwa perubahan yang signifikan yang terjadi di Indonesia dilatar belakangi oleh perubahan-perubahan iklim politik dan ekonomi di belahan bumi barat. Sebagai contoh dipaparkan oleh Gus Iim dalam bidang sosial, dilakukan upaya social engineering atau upaya rekayasa sosial yang bertujuan untuk menseragamkan dan mengendalikan negara-negara berkembang pasca perang dunia 1 yang telah membangkrutkan negara-negara penjajah. Demi upaya kebangkitan ekonomi tersebut, proses penjajahan kemudian dilanjutkan dengan cara yang lebih halus, karena penjajahan secara fisik yang mengeluarkan banyak biaya telah sulit untuk dilakukan. Pada awal era 1930-an melalui seorang sosiolog terkenal Talcott Parsons, dibangunlah konsep penataan sosial yang akan digunakan sebagai rekayasa sosial pada negara – negara jajahan untuk melanggengkan penjajahannya. Teori yang akrab dikenal dengan nama struktural fungsional memberikan wacana-wacana berupa asumsi-asumsi mengenai tatanan sosial suatu masyarakat yang kemudian tumbuh berkembang di negara-negara jajahan melalui tangan-tangan kaum intelektual modernis yang telah bercondong ke barat. Telah kita ketahui bahwa peran para kaum intelektual tersebut sangat besar pada suatu negara yang baru saja terbentuk.
    Salah satu bentuk peran tersebut yang dapat dengan mudah kita jumpai melalui perubahan struktur sosial masyarakat di mana selama ini masyarakat di Indonesia contohnya terdiri dari golongan priyayi feudal dan golongan rakyat jelata. Peran priyayi pada masa lampau tersebut telah digeser oleh kaum intelektual yang saat ini sudah disebut priyayi. Kontrol sosial sangat mudah dijalankan oleh negara-negara penjajah saat mereka mampu mengontrol paradigma berfikir pemimpin-pemimpinnya yang westerncentris dan narsis tersebut. Dorongan-dorongan untuk muncul sebagai seorang individu yang kuat telah melupakan azas kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan melupakan suatu fakta sosial bahwa selama ini masyarakat yang selalu muncul sebagai individu-individu akan mudah dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar. Itulah salah satu alasan mengapa mengontrol masyarakat dengan struktural fungsional akan mudah dilakukan pada masyarakat negara jajahan. Upaya-upaya lain selain melahirkan tatanan sosial baru menurut Gus Iim dalam sejarah perkembangan bangsa kita dapat dilihat dalam sektor politik. Kelompok-kelompok masyarakat yang masih hidup dalam azas lokal dibumihanguskan melalui pengkerdilan dan wacana – wacana ketertinggalan zaman. Menurut paradigma berfikir barat, tentunya kita sudah tahu bahwa salah satu faktor yang menandai era modernisme lahir adalah adanya pengkajian ulang aspek prinsip – prinsip normatif dalam suatu wacana berfikir. Hal ini yang menandai lahirnya konsep humanisme sekular yang sering kita dengar saat ini, yaitu upaya – upaya pemisahan aspek normatif yang bersifat doktrin tersebut dengan segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat.
    Era masyarakat modern berupaya membumihanguskan segala identitas lokal setiap budaya yang ada untuk kemudian membentuk suatu budaya tunggal yang akan menciptakan struktur masyarakat tunggal dengan tujuan untuk mengendalikan masyarakat tersebut. Sifat – sifat pemisahan aspek normatif dapat kita kaji melalui tulisan – tulisan Thomas Hobbes dan Machiavelli mengenai hubungan antara prinsip – prinsip berfikir dengan dasar norma yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dengan kekuasaan suatu negara dan identitas diri seorang manusia. Mungkin dalam beberapa aspek hal tersebut dapat diterima, namun dalam banyak hal, konsep tersebut akan berdampak pada hilangnya identitas dari struktur masyarakat sosial suatu bangsa. Dengan kata lain berkembangnya suatu wacana bahwa prinsip-prinsip lokal yang selama ini dipengaruhi oleh aspek religi dan norma dalam masyarakat tertentu adalah tidak modern, akan mengerdilkan kelompok – kelompok masyarakat lokal tersebut.
    Salah satu hal yang selalu membuat kita buta adalah saat kita mulai meninggalkan aspek – aspek lokal tersebut dan berupaya untuk menjadi masyarakat modern, wacana modernitas pun telah berubah. Menurut Gus Iim semangat modernitas tidak dilihat sebagai pola pikir dan cara pandang, namun lebih kepada life style alias  gaya hidup dengan tampilan – tampilan formal yang serba material dan bercorak kebarat-baratan seperti contoh pakaian jas yang penulis telah ungkapkan di atas. Menurut Gus Iim semua ini hanyalah upaya negara-negara penjajah untuk mengamankan ideologi developmentalisme modernisme yang telah disebarkan melalui aspek – aspek sosial politik, ekonomi dan budaya tersebut. 
    Pentingnya bagi para intelektual-intelektual negeri ini untuk lepas dari jeratan hegemoni Barat dan upaya imperialisme pendidikan oleh Barat adalah demi menciptakan suatu sistem dan wacana-wacana yang lebih independen demi keselarasan kehidupan masyarakat negeri ini, yang tentu saja harus sesuai dengan kebutuhan dan kerakter tatanan sosial yang dapat melahirkan ilmu yang bermanfaat dan bukan ilmu tentang permasalahan – permasalahan abstrak yang coba diselesaikan oleh logika matematis, filsafat moral Barat, psikologi masyarakat Barat ataupun teori ekonomi Barat, yang tidak selalu bisa ditemukan dalam realita hidup calon masyarakat negeri ini.
Holy Muhammad, santri Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin Malang






You have read this article Filsafat with the title Narsisme dan Ilmu yang tidak Bermanfaat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/09/narsisme-dan-ilmu-yang-tidak-bermanfaat.html. Thanks!

No comment for "Narsisme dan Ilmu yang tidak Bermanfaat"

Post a Comment