Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Pagi hari tanggal 27 Oktober 1945 kota Surabaya gemetar diguncang kemarahan, sebab di tengah beredarnya kabar gugurnya santri dan pemuda yang mengepung pos pertahanan Sekutu di Sekolah Al-Irsyad beredar pula kabar bahwa Sekutu diam-diam mendaratkan lebih banyak pasukan ke Surabaya untuk memperkuat pos-pos pertahanannya. Penyerangan penduduk kampung terhasdap pos pertahanan di sekolah Al-Irsyad ditangkap pihak Sekutu sebagai tengara bakal pecahnya pertempuran dalam skala yang lebih besar. Itu sebabnya bala bantuan didatangkan untuk memperkuat pos-pos pertahanan yang tersebar di sejumlah kawasan strategis kota Surabaya. Dan warga kampung mulai memasang barikade-barikade di gerbang masuk kampungnya dengan kayu, bambu, drum, meja, kursi, ban, gedek, kawat, dll.Kira-kira jam 09.00 di atas langit Surabaya melayang-layang pesawat militer jenis Dakota dari Jakarta menebarkan ribuan selebaran yang ditanda-tangani Mayor Jenderal D.C.Hawthorn yang berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat. Tentang peristiwa pesawat Dakota yang menyebarkan selebaran berisi ancaman itu, Christopher Bayiy dan Tim Harper dalam Forgotten Wars, the end of Brittain’s Asian Empire, mengungkapnya sebagai berikut: “On 27 September, there was an ill-advised airdrop of leaflets, demanding that the Indonesians surrender their arms within forty-eight hours or be shot. This was made without Mallaby's knowledge, and in contravention of local agreement, but it now had to be enforce. This was seen by the Indonesians as base of threachery. There were now convinced that the British were preparing to reoccupy the city for the Dutch."
Barikade di Jalan Blauran |
Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba muncul kelompok-kelompok pasukan Brigade 49 Mahratta bergerak ke jalan raya utama Surabaya, melewati kantor Gubernuran sambil menempelkan selebaran-selebaran itu sepanjang jalan yang mereka lewati. Tindakan pasukan Inggris-India ini menyulut amarah para pemimpin dan seluruh penduduk Surabaya. Kira-kira jam 12.00 pecah pertempuran di depan Rumah Sakit Darmo yang dalam sekejap diikuti pertempuran di semua pos pertahanan Inggris di Keputran, Kayoon, Gubeng, Simpang, Ketabang, Kompleks HBS, Gemblongan, Dinoyo, Wonokromo, Palmboom, Lindeteves, Onderlingbelang, Benteng Miring.
Brigadir Jenderal Barlan Setiadidjaja, yang saat itu mendampingi Drg Moestopo di daerah Keputran menyaksikan dengan tertegun-tegun bagaimana penduduk keluar dari kampung-kampung sambil terus-menerus meneriakkan takbir Allahu Akbar! Allahu Akbar! menyerang pos pertahanan Inggris di dekatnya. Dua-tiga orang pemuda yang merangsek disambut tembakan senapan dan terlempar jatuh dengan tubuh bersimbah darah. Tapi penduduk terus menyerang tidak perduli tubuh mereka dijadikan sasaran timah panas. Kemunculan penduduk dari kampung-kampung dengan berbondong-bondong, kenang Barlan, mengingatkan pada pasukan lebah keluar dari sarang. Dan dalam tempo tidak lama, pos pertahanan di Keputran bobol, pasukan Inggris-India lari tunggang langgang dikejar penduduk. “Saya melihat ada prajurit India memanjat pohon untuk menyelamatkan diri. Tapi dengan gampang pemuda-pemuda merejamnya dengan bambu runcing. Prajurit yang lain dikejar-kejar seperti maling,” kata Barlan mengenang.
Letnan H.McDonald terhadang di utara Viaduct |
Sementara Luthfi Rahman, arek kampong Pandean memandang pertempuran antara arek-arek Surabaya dengan pasukan Inggris-India itu bukan perang melainkan ‘tawuran’. “Sebab yang disebut perang mesti ada pemimpin dan komando. Dalam pertempuran tiga hari itu, tidak ada yang memimpin dan tidak ada yang mengomando. Semua orang bertempur keroyokan seperti tawuran,” ungkap Luthfi
William H Frederick dalam Vision and Heat : the Making of the Indonesian Revolution mencatat bahwa di berbagai tempat di dalam kota, scenario yang sama dijalankan, dengan berbagai pelaku tetapi selalu terpusat pada kerumunan arek Surabaya dan pemuda yang mengepung Inggris dan Belanda. Banyak dari drama yang terpencar-pencar ini berakhir dengan kematian bagi orang Eropa, yang sering dibantai secara kejam.
Malam hari suasana mencekam. Aliran listrik, telepon dan air minum diputus. Jalur logistik terhenti. Kota pada malam hari gelap gulita. Dropping logistik dari udara justru jatuh ke tangan rakyat.
You have read this article Sejarah
with the title Momentum Resolusi Jihad: Tawuran Massal dalam Perang Surabaya 27 Oktober 1945. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/10/momentum-resolusi-jihad-tawuran-massal.html. Thanks!
No comment for "Momentum Resolusi Jihad: Tawuran Massal dalam Perang Surabaya 27 Oktober 1945"
Post a Comment