Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Momentum Resolusi Jihad: Mallaby Kirim SOS, Selamatkan Sisa Brigadenya 28 Oktober 1945


                                                      Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
           
Serdadu Inggris-India Bertahan di Got
         Tanggal 28 Oktober 1945 yang merupakan hari peringatan Sumpah Pemuda ke-17 ditandai dengan pertempuran hebat  antara arek-arek Surabaya melawan pasukan Sekutu. Mungkin karena kebetulan, peringatan hari pemuda itu ditandai oleh ‘amuk pemuda’ yang menyebut diri arek-arek Surabaya yang dikobari semangat  memilih mati daripada dijajah kembali. Menurut kesaksian para pelaku sejarah, salah satunya Brigjen (pur) Barlan Setiadijaya, pertempuran tanggal 28 Oktober 1945 itu sangat membingungkan sekutu. Sebab lawan mereka bukan tentara yang bertempur menggunakan pola operasi militer, melainkan gerakan rakyat yang fanatik dengan senjata apa saja menyerang pasukan sekutu dari  kampung-kampung sekitar pos-pos pertahanan sekutu. Rakyat kampung yang menyerang pos-pos pertahanan Sekutu bertempur seperti orang kalap. “Saat pos pertahanan Keputran jatuh, rakyat menemukan satu peti uang poundsterling. Tanpa berpikir uang itu bisa dimanfaatkan untuk berjuang, seluruh uang itu dirobek-robek dan dihambur-hamburkan,” kata Barlan mengenang keberingasan arek-arek Surabaya saat itu.


Dari rumah ke rumah mengepung Pos Pertahanan Musuh
Menurut Sjahroni, arek-arek kampung Plampitan, Perang Tiga Hari pada tanggal 26 – 27 -28 Oktober 1945 itu sangat membingungkan, karena orang dewasa pemuda sampai anak-anak ikut ‘tawuran’. Sjahroni yang saat itu berusia 12 tahun, ikut rame-rame menyerang pos pertahanan Sekutu di Gemblongan. Semua orang merasa tidak memiliki perasaan takut. Sekali pun orang-orang yang di depan bertumbangan ditembus peluru, tapi yang di belakang terus menyerang sambil meneriakkan takbir. Salah seorang teman bermainnya, Nur Pendit, yang masih 13 tahun usianya tertembak senapan mesin sampai terburai ususnya. Tapi kematian Nur Pendit justru membuat warga marah. “Mbah Ilyas yang sudah tua keluar rumah  dengan membawa keris,  ikut menyerang Gurkha. Dalam kemarahan, Gurkha yang angkat tangan sambil berteriak ‘Moslem! Moslem!’ tetap tidak diampuni oleh orang-orang, ” ujar Sjahroni menuturkan ‘amuk massal’ yang tak terkendali  saat itu.
              Sulthoni, kakak kandung Sjahroni yang menjadi anggota PRI Surabaya Tengah menuturkan bahwa ‘tawuran  massal’ saat itu  benar-benar  tidak ada yang mengkomando. Kader-kader PRI yang terlatih dalam baris-berbaris dan menggunakan senjata, ternyata sudah sama dengan penduduk kampung yang lain,  berteriak-teriak penuh semangat dan bersama-sama kerumunan manusia menyerang pasukan Sekutu dari berbagai arah seperti semut mengerumuni bangkai. “Yang pasti pertempuran tanggal 28 Oktober 1945 itu yang paling puncak, juga yang paling mengerikan, mayat Gurkha terlihat bergelimpangan di jalan-jalan dan selokan,” ujar Sulthoni.  
Pasukan Elit Inggris-India
         Sebenarnya, dalam pertempuran yang hebat itu – yang lebih sengit dan lebih banyak korban dibanding pertempuran tanggal 26-27 Oktober 1945  sebelumnya -- bukan hanya rakyat dari kampung-kampung yang menyerang kedudukan Sekutu, melainkan TKR yang memiliki dasar-dasar kemiliteran di PETA, Heiho dan Hisbullah pun ikut terlibat pertempuran. TKR yang sudah mendapat instruksi dari Jakarta untuk membantu Sekutu melakukan evakuasi terhadap tawanan Jepang dan para interniran, tanpa terduga mengabaikan perintah pusat dan  ikut serta terlibat dalam pertempuran bersama rakyat. Sebagian di antara komandan-komandan TKR tiba-tiba muncul dan memimpin penduduk untuk menyerang kedudukan Sekutu dengan cara-cara militer yang terorganisasi.
               Keterlibatan TKR dalam pertempuran telah mengubah arah dan jalan pertempuran. Jika sebelumnya penduduk bertempur dengan mengandalkan tekad (Bondo Nekad disingkat Bonek) dengan cara keroyokan sehingga jatuh banyak korban dan pasukan Inggris masih bisa bertahan meski dengan susah payah, dengan keterlibatan TKR jalannya pertempuran menjadi berubah. Penduduk yang selama pertempuran tanggal 26 – 27 Oktober 1945 menembak musuh sekenanya dan asal tembak, maka di bawah komando TKR lebih terarah dan lebih efisien arah bidikannya. Bahkan di daerah Tunjungan sampai Embong Malang, terjadi adu keahlian menembak antara sniper Sekutu dengan sniper TKR, yang juga pecah di daerah Asemrowo.
                Para pelaku pertempuran tiga hari di Surabaya secara merata mengakui bahwa sejak TKR melibatkan diri dalam pertempuran tanggal 28 Oktober 1945, kekalahan Sekutu sudah sangat jelas terlihat. Satu demi satu pos pertahanan Sekutu jatuh ketika diserang dengan taktik dan strategi yang diajarkan Jepang di PETA, Hisbullah maupun Heiho.  Tentara Sekutu yang tidak mampu lagi mempertahankan pos pertahanannya, lari menyelamatkan diri namun  diburu oleh penduduk yang sudah mengepung dan begitu tertangkap, pasukan elit Inggris-India itu dibantai beramai-ramai meski tentara-tentara asal India itu meminta ampun dan mengaku muslim. Mendiang Presiden Pakistan Jenderal Zia-ul-Haqq, yang dewasa itu menjadi perwira pasukan Mahratta Brigade 49,  mengakui bahwa pertempuran di Surabaya itu sebagai pertempuran yang mengerikan yang pernah dialaminya, yang membuatnya melarikan diri dari medan tempur.
A.W.S.Mallaby
          David Wehl dalam The Birth of Indonesia mencatat bahwa dalam peristiwa pertempran 28 Oktober 1945 itu melibatkan sekitar 20.000 oran Indonesia bersenjata dan terlatih sebagai tentara regular oleh pihak Jepang dan didukung oleh tank-tank bekas Jepang dan sekitar 120.000 orang yang tidak terkendali yang bersenjata senapan, pedang, tombak beracun, pentungan, dan keris. Menurut Wehl, aksi kekerasan itu berlangsung seperti spontan, dalam arti tidak ada pihak-pihak badan atau lembaga tertentu yang mengkordinasi dan mengomando gerakan rakyat yang beringas itu.
            Sementara menurut catatan  yang dikutip William H. Frederick dari Algemeen Rijksarchive, Public Record Office dan Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie Indische Collectie orang-orang bersenjata yang menyerang pasukan sekutu yang tergolong tentara ‘reguler’ Indonesia berjumlah antara 10.000 – 20.000 orang. Sedang rakyat kampung yang bertempur diperkirakan 70.000 – 140.000 orang. Itulah yang membuat Brigade ke-49 Mahratta yang dalam jumlah kecil tersebar di berbagai pos pertahanan hanya memiliki kesempatan kecil untuk hidup. Cukup dicatat bahwa dalam tempo 24 jam, banyak tentara Sekutu terbunuh dan hampir semua pos atau unit pasukan dikepung, diancam dan dimusnahkan , atau dalam beberapa kasus, dihabiskan sama sekali. Mallaby sendiri yang cemas dan tidak berdaya menghadapi fakta kehancuran brigade yang dipimpinnya, melapor dan juga mengirim SOS kepada atasannya di Jakarta tentang keadaan di ‘neraka’ Surabaya. Mallaby berharap ada usaha gabungan antara Soekarno dan Hawthorn yang bisa menghentikan pertempuran sehingga sisa brigadenya bisa tertolong.





You have read this article Sejarah with the title Momentum Resolusi Jihad: Mallaby Kirim SOS, Selamatkan Sisa Brigadenya 28 Oktober 1945. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/10/momentum-resolusi-jihad-mallaby-kirim.html. Thanks!

No comment for "Momentum Resolusi Jihad: Mallaby Kirim SOS, Selamatkan Sisa Brigadenya 28 Oktober 1945"

Post a Comment