Oleh: K Ng Agus Sunyoto
Tradisi Nyadran Warisan Wali Songo |
1.NU sebagai jama’ah (komunitas) tidak selalu identik dengan NU sebagai Jam’iyyah (organisasi) di mana NU sebagai Jama’ah sudah terbentuk sejak era Wali Songo; 2. Tarikat pembawa universalisme keilmuan dan persaudaraan antar muslim di dunia; 3. Kebangkitan nasional dimulai oleh Pangeran Diponegoro pada 1825; 4. NU tidak pernah dijajah kolonialisme Belanda; 5. Politik Formal dan Informal NU yang disalah-fahami.
Sejak zaman Prasejarah sampai Kini tidak Punah |
Sufi Sudrun yang pertama didaulat menjawab, menjelaskan lebih dulu asumsi dasar, paradigm, dogma, doktrin dan frame of reference yang digunakan dalam memandang dan memaknai secara emic keberadaan NU dengan alur pemikiran Post Hegemony. Sufi Sudrun menjelaskan, bahwa pada masa pra-Islam struktur masyarakat di Nusantara terstratifikasi atas kelas-kelas dari yang tertinggi yang diduduki golongan Brahmana yang ditandai gelar Danghyang, Dangacarya, Dang Karayan, Susuhunan, Acarya, Kyayi, disusul golongan Ksatria yang ditandai gelar Nararya, Mapanji, Ken, Panji, Arya, Rahadyan, Rakryan, Pu, Angabehi, disusul golongan Waisya yang ditandai gelar Sang, Ki, Juru, disusul golongan Sudra, Candala, Mleccha, Tuccha yang tanpa gelar apa pun. “Sewaktu Islam datang, struktur itu tidak berubah kecuali istilah-istilah yang disesuaikan seperti golongan Ulama (brahmana) yang ditandai gelar Susuhunan atau Sunan, Panembahan, Kyayi, Kyayi Ageng, Kyayi Anom, Syekh, yang disusul golongan Menak (ksatria) yang ditandai gelar Pangeran, Raden Mas, Raden, Mas, Ki Ageng, Ngabehi yang disusul golongan petani dan pedagang yang menggunakan gelar Ki, Lurah, Juru, disusul rakyat umum tanpa gelar,” ujar Sufi Sudrun menjelaskan.
Kenduri sampai era Global tetap lestari |
“Tentu saja masih bertahan, pak doctor,” sahut Sufi Sudrun.
“Contohnya apa, kalau saya boleh tahu?,” sergah Dr Nauchter Oogkleppen.
“Seseorang yang secara genealogis tidak memiliki hubungan genetika dengan para ulama yang ditandai gelar Kyayi, secara riil tidak akan pernah bisa disebut Kyayi oleh Jama’ah NU meski secara organisatoris (jam’iyyah) di depan namanya disematkan gelar Kyayi Haji alias KH karena menjadi pengurus jam’iyyah. Semua komunitas NU dalam keseharian akan memanggilnya dengan sebutan Cak, Pak, Kang meski dia sudah menduduki jabatan tinggi di organisasi NU,” ujar Sufi Sudrun.
“Oo itu ya,” Dr Nuchter Oogkleppen manggut-manggut,”Baru faham saya kalau NU itu masih sangat feodal sampai sekarang.”
“Ya jama’ah NU masih sangat feodal, masih sama persis dengan yang dianut di Negara sampeyan Belanda,dan Eropa yang lain seperti Inggris, Belgia, Luxemburg, Denmark, Swedia, Norwegia, Spanyol, Monaco…,semua feodal,.kecuali kaum barbar,badui,.” tukas Sufi Sudrun.
“Berarti semua tradisi keagamaan yang dianut jama’ah NU sekarang ini kelanjutan dari tradisi keagamaan kuno yang terbentuk sejak jaman Wali Songo, begitukah?” tanya Dr Nuchter Oogkleppen.
KH Hasyim Asy'ari Trah Majapahit dari galur Pengging |
“Sebentar-sebentar,” sahut Dr Nuchter Oogkleppen penasaran,”Bagaimana bisa semua kosa kata itu terdiri dari 9 huruf?”
“Karena ada rumusnya, pak doctor.”
“Rumus? Rumus apa?” sahut Dr Nuchter Oogkleppen makin penasaran.
“Rumus dalam ilmu nujum kuno yng dikenal di pesantren-pesantren kuno,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Yaitu petungan A Ba Ja Dun Ha Wa Zun,…di mana hitungan Ja adalah urutan 3 dan hitungan Wa urutan 6. Jika Ja dan Wa digabung, menjadi JAWA dan jumlahnya 9.”
“Apa hubungannya antara JAWA dengan angka 9 yang dimaknai WALI SONGO, MAJAPAHIT, GAJAH MADA, NUSANTARA, PANCASILA, NAHDIYYIN?”
“TAUHID pak doctor.”
Ilustrasi: Ulama Mengajar Suluk Dgn Tembang |
“Dalam gramatika Bahasa Jawa, semua huruf yang diberi tanda swara WULU, SUKU, PEPET, LAYAR, TALING, TALING TARUNG, menjadi hidup dengan perubahan-perubahan suara tetapi jika diberi PANGKON akan mati. Nah, huruf JA dan WA, termasuk huruf yang tidak bisa dipangku. Jadi kalau ada yang mengaku JAWA dipangku mati, maka itu JAWA palsu alias bukan JAWA. Itu maknanya, huruf JA dan WA yang bernilai 9 itu tidak bisa mati. Itu yang dimaksud TAUHID di balik petungan ilmu nujum Islam dan makna linguistic huruf Jawa,” kata Sufi Sudrun.
“Wah rumit sekali logikanya,” sahut Dr Nuchter Oogkleppen garuk-garuk kepala.
“Rumit karena sampeyan orang Belanda, sulit memahami logika orang Nusantara.”
“Berarti, sebelum tahun 1926 saat Jam’iyyah Nahdlatoel ‘Oelama dibentuk secara formal, eksistensi NO sebagai jama’ah sudah ada semenjak pertengahan abad ke-15 saat Wali Songo melakukan gerakan dakwah Islamiyyah, begitukah?” gumam Dr Nuchter Oogkleppen dengan nada tanya.
“Fakta historisnya memang seperti itu.”
“Bagaimana dakwah Islam bisa dipadukan dengan unsur-unsur non-Islam?”
Tradisi Haul khas Nahdliyyin |
“Itukah sebabnya para kyai masih sering kedapatan ziarah ke makam-makam tua di bekas Kerajaan Majapahit?” gumam Dr Nuchter Oogkleppen ingin tahu,”Apakah itu kelanjutan tradisi kuno sebagaimana dilakukan Prabu Hayam Wuruk dalam Negarakretagama?”
“Ya sejatinya, sebagian besar kyayi-kyayi NU itu secara genealogi masih keturunan raja-raja Majapahit baik dari galur Blambangan, Demak, Pengging, Tepasana, Banten, maupun Palembang. Jadi kalau diadakan uji DNA, kyayi-kyayi NU itu memiliki kesamaan otentik DNA-nya,” jelas Sufi Sudrun.
“Oo pantas saja ketika ada orang kampong yang bisa ngaji kitab langsung mengaku mantan kyayi NU, semua orang NU menolak sambil marah-marah. Rupanya, gelar kyayi itu gelar yang berhubungan dengan genetika dan status social bukan sekedar gelar formal yang bebas diaku-aku oleh sembarang orang. Baru tahu sekarang ini saya,” sahut Dr Nuchter Oogkleppen,
You have read this article Sejarah
with the title Post Hegemony XXIV: Jam’iyyah NU dan Sistem Sosial Masyarakat Kuno Nusantara. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/10/post-hegemony-xxiv-jamiyyah-nu-dan.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony XXIV: Jam’iyyah NU dan Sistem Sosial Masyarakat Kuno Nusantara"
Post a Comment