Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Post Hegemony XXVII: Jamaah Nahdliyin Tidak Pernah Dijajah Kolonialis Belanda



 Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
          
Meski Dijagal habis, rakyat Aceh tidak Tunduk kepada Kape Belanda
          Statemen Guru Sufi yang menyatakan bahwa sebagai Jama’ah NU tidak pernah dijajah Kolonialisme Belanda sangat menggembirakan Dr Nuchter van  Oogkleppen. Sebab semenjak kecil, guru sejarah di sekolahnya – sejak sekolah rendah sampai menengah  di Nederland -- telah menanamkan pandangan bahwa Bangsa Belanda tidak pernah menjajah Bangsa Indonesia, sebaliknya Bangsa Belanda dalam menjalankan Heilige plicht beschaven (tugas suci memberadabkan) telah berjasa besar dalam usaha-usaha memberadabkan Bangsa Indonesia yang masih biadab.
    Pada saat  Dr Nuchter van  Oogkleppen menyatakan dukungan kepada pandangan Guru Sufi bahwa Jama’ah NU tidak pernah dijajah kolonialisme Belanda, termasuk juga unsur bangsa Indonesia yang lain, Sufi tua dan Sufi Sudrun tertawa terbahak-bahak. Lalu tanpa menunggu  Dr Nuchter van  Oogkleppen melanjutkan komentar, Sufi tua berseru keras,”Orang paling bodoh dalam pelajaran sejarah pun tahu, bahwa Bangsa Indonesia pernah dijajah Bangsa Belanda. Kalau kita ingkari fakta itu, maka kita harus mengingkari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang dimaklumkan Soekarno-Hatta.”



Perlawanan Rakyat Bone 1825 & 1859
Perlawanan Rakyat Kalimantan Barat
          Sadar bahwa tanggapannya bakal menuai kritik keras,  Dr Nuchter van  Oogkleppen dengan diplomatis membalikkan pertanyaan kepada Guru Sufi yang memiliki pandangan bahwa Jama’ah NU sebagai bagian dari elemen Bangsa Indonesia tidak pernah dijajah kolonialisme Belanda. “Kalau penjajahan Bangsa Belanda atas Bangsa Indonesia adalah keniscayaan sejarah, bagaimana Pak Kyai punya argumen bahwa Jama’ah NU adalah elemen bangsa yang tidak pernah dijajah Belanda?” tanya Dr Nuchter van Oogkleppen melontar pancingan.
“Pertama-tama,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Yang penting kita sepakati bersama adalah pandangan obyektif yang memaknai KEKALAHAN dalam Perang Fisik tidak identik dengan MENYERAH dan  TUNDUK kepada PEMENANG. Meski Pihak yang Kalah tidak berdaya menghadapi pihak yang Menang, namun selama pihak yang Kalah masih bisa mengatakan “TIDAK” dan bahkan MENOLAK aturan yang ditetapkan pemenang dengan berbagai cara, maka pihak yang Kalah tidak berdaya belum TUNDUK apalagi dijajah oleh PEMENANG,”
           “Tapi Pak Kyai,” tukas Dr Nuchter van Oogkleppen menyela,”Bukankah sejarah mencatat bahwa perlawanan pribumi muslim selalu kalah sewaktu berhadapan dengan kekuatan Berlanda?”
    “Itu yang aku katakan, kira harus sepakat bahwa selama Pihak yang KALAH masih bisa berkata TIDAK kepada PEMENANG, maka tidak berarti pihak yang KALAH telah TUNDUK dan MENYERAH kepada PEMENANG,” kata Guru Sufi menyatakan pandangan.
    “Tapi fakta sejarah tetap saja menunjuk bahwa pribumi muslim tetap saja keok ketika bertempur melawan Belanda,” kata Dr Nuchter van Oogkleppen dengan nada mengejek.
    “Pak Doktor,” kata Guru Sufi dengan suara merendah,”Sampeyan tahu, sejak kapan Pribumi Muslim melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Eropa?”
Perlawanan Rakyat Sumatera Barat
     “Kalau tidak salah semenjak Sultan Agung menyerang Batavia,” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen dengan suara merendah,”Dan raja besar itu gagal juga mengalahkan Belanda.”
    “Yang saya tanya kolonialisme Eropa, pak doktor, bukan Belanda.”
    “Ee kalau itu kira-kira tahun 1522 sewaktu Fatahillah mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Fransisco de Sa di Sunda Kelapa,” sahut  Dr Nuchter van Oogkleppen.
    “Bagaimana dengan serangan Adipati Hunus ke Malaka tahun 1511?” tanya Guru Sufi.
    “Tapi serangan itu gagal, Pak Kyai.”
    “Lepas dari gagal dan berhasil, yang pasti Pribumi Muslim sudah melawan kekuatan kolonial Eropah sejak awal abad 15 Masehi. Dan dari sederet perlawanan itu, fakta sejarah menunjuk raja-raja muslim Nusantara secara ganti-berganti dan sambung-menyambung melakukan perlawanan terhadap kekuatan Eropa yang dianggap kafir penjajah. Hitung saja semenjak Demak menyerang Malaka pada 1511, tersambung pertempuran Fatahillah dengan Francisco de Sa di Sunda Kelapa pada 1522, terus Sultan Baabullah melawan dan mengusir Portugis dari Ternate 1575, Sultan Agung Hanyakrakusuma menyerang Batavia pada 1626 & 1629, Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Yusuf al-Makassari melawan VOC pada 1656-1658, Sultan Hasanuddin Raja Gowa melawan VOC pada 1660-1665, perlawanan ulama Kajoran dan Giri lewat pemberontakan Trunojoyo dan Karaeng Galesong pada 1670-1674, perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa pada 1750-1753, perlawanan Ronggo Prawirodirdjo 1809 – 1810, perlawanan Ahmad Lussy Patimura pada 1817, perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro 1825-1830, dan puluhan perlawanan lain yang melibatkan guru tarikat dan ulama pesantren yang tidak pernah berakhir sampai kedatangan tentara pendudukan Dai Nippon tahun 1942,” kata Guru Sufi menjelaskan.
Pertempuran Karangsambung di Kebumen
        “Tapi sejak Diponegoro tunduk, gerakan Paderi di Sumatera Barat kalah dan perlawanan rakyat Aceh kalah, tidak ada lagi perlawanan besar dalam skala nasional yang dilakukan pribumi muslim,” kata  Dr Nuchter van Oogkleppen.
    “Jangan bilang Diponegoro tunduk,” sahut Guru Sufi tegas,”Sebab para pengikut Pangeran Diponegoro dan ulama pesantren tidak pernah mau tunduk kepada kafir Belanda. Seperti sudah saya singgung dalam bahasan tentang pengaruh tasawuf di Nusantara, bahwa sepanjang tahun 1800 – 1900 telah tercatat dalam Koloniaal Archive terjadinya 112 kali pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin Guru Tarikat dan Ulama Pesantren, begitulah Pribumi Muslim terus melawan dari waktu ke waktu terhadap kekuasaan Belanda. Itu artinya, sejak abad 15 sampai abad 19, Pribumi Muslim yang dipimpin Guru Tarikat dan ulama pesantren terus-menerus melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.”
    “Tapi sejak abad 19, apakah perlawanan terhadap pemerintah Belanda masih dilakukan Guru Tarikat dan Ulama Pesantren?” sahut  Dr Nuchter van Oogkleppen minta penjelasan,”Karena setahu saya, gerakan Islam Modern tidak ada hubungan dengan tarikat dan pesantren. Bahkan pemberontakan skala nasional yang dilakukan PKI tahun 1926, tidak ada hubungan dengan tarikat dan pesantren. Itu berarti, perlawanan Pribumi Muslim yang dipimpin Guru Tarikat dan Ulama Pesantren hanya terbatas sampai tahun 1900, yakni setelah diterapkannya Politis Etik.”
Operasi Keris di Gresik 9 November 1945 dipimpin Col. Boulton
     “Sampeyan perlu baca Koloniaal Archive tahun 1904 yang mencatat perlawanan Kyai Kasan Mukmin di Gedangan, Sidoarjo, yang mengakibatkan Residen Surabaya terluka. Sampeyan juga harus memahami bahwa munculnya organisasi Sarikat Islam yang dimotori HOS Tjoktoaminoto jangan dilihat sebagai gerakan yang tidak berhubungan dengan pesantren, karena kakek HOS Tjokroaminoto yang menjadi Bupati Ponorogo R.M.T.Tjokronegoro, adalah putera Kyai Kasan Besari, pengasuh Pesantren Tegalsari Ponorogo. Begitu pula pendiri organisasi Muhammadiyah, adalah seorang kyai didikan pesantren: KH Ahmad Dahlan. Perlawanan Haji Hassan yang terkait dengan rencana pemberontakan SI Afdeeling B pada 1919, juga tidak lepas dari pesantren karena ayah Haji Hassan, yaitu Kyai Tubagus Alpani, adalah pengasuh  pesantren Cimareme di Garut, Perlawanan petani Desa Bedewang di Banyuwangi pada 1926, juga tidak lepas dari peranan kyai meski disusupi sebagian aktivis PKI,” kata Guru Sufi menjelaskan.
    “Pemberontakan PKI 1926 bagaimana?” tanya Dr Nuchter van Oogkleppen.
    “Sampeyan tahu siapa yang merancang pemberontakan itu?” tanya Guru Sufi.
    “Setahu saya, Musso, Alimin, Sardjono.”
    “Tahukah sampeyan, siapakah Musso? Darimana asalnya?”
    “Menurut Ruth T. McVey dalam The Rise of Indonesian Communism, Musso itu anak didik G.J.A.Hazeu yang setelah lulus sekolah guru (Kwekschool) di Jakarta melanjutkan kuliah di Universitas Pertanian Buitenzorg (sekarang IPB-pen),” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen.
    “Asal Musso darimana?”
    “Katanya dari Kediri, tapi tidak jelas Kediri mana.”
    “Siapa nama bapaknya dan siapa nama kakeknya?” tanya Guru Sufi.
    Dr Nuchter van Oogkleppen mengangkat bahu.
    “Silahkan dicatat,” kata Guru Sufi membuka lembaran-lembaran buku tua,”Musso lahir dengan nama Munawar Muso. Ayah Musso bernama R.M.Martoredjo bin R.M.Ronowijoyo. Beliau R.M. Ronowijoyo adalah perwira pada Resimen Mantrijero pada pasukan Pangeran Diponegoro. Sewaktu Pangeran Diponegoro ditangkap, R.M.Ronowijoyo meninggalkan Mataram dan tinggal di Kediri beserta sisa-sisa pasukannya. Di Kediri beliau mendirikan pesantren di desa Kapu di daerah Pagu. Untuk menghindari pelacakan Belanda, R.M.Ronowijoyo menggunakan nama Kyayi Kasan Muhyi.”
    “Berarti kakek Musso itu seorang kyai ya?” gumam Dr Nuchter van Oogkleppen,”Tapi nama itu tidak dikenal orang.”
    “Sebagai pendiri pesantren, memang tak banyak yang mengenal Kyai Kasan Muhyi, apalagi status beliau sebagai  pengikut Pangeran Diponegoro yang dicari-cari Belanda. Tetapi keturunan beliau cukup dikenal orang,” kata Guru Sufi.
    “Ya hanya Musso itu kan?”
    “Menantu beliau juga kyai terkenal.”
    “Siapa?’ seru Dr Nuchter van Oogkleppen heran.
    “Kyayi Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang menikahi Nyai Masruroh binti Kasan Muhyi.”
    “Olala,baru sambung tanda tanyaku soal keterlibatan para kyayi dalam pemberontakan PKI tahun 1926. Rupanya, Musso punya peran besar dalam menggalang perlawanan para kyai dan guru tarikat di Banten dan Jawa Barat karena dia ketua ISDV dan kemudian ketua PKI Jakarta. Hmm latar Musso sebagai orang pesantren rupanya sangat berperan dalam mempengaruhi orang-orang pesantren,” kata Dr Nuchter van Oogkleppen.
Kader Hizbul Wathon dididik Kemiliteran di PETA
      “Dengan fakta ini, apa yang sampeyan simpulkan tentang pesantren?”
    “Ya semua perlawanan terhadap Belanda, bagaimana pun bentuk dan warnanya ternyata tidak terlepas sama sekali dengan para kyai pesantren,” gumam Dr Nuchter van Oogkleppen geleng-geleng kepala sambil menarik nafas berat.
    “Bahkan selain perlawanan fisik dengan berbagai bentuk dan warna serta aliran itu, para guru tarikat dan ulama pesantren masih melakukan “Perlawanan Pasif” terhadap kolonial Belanda, yang tak kalah dahsyat dibanding perlawanan fisik,” kata Guru Sufi.
              “Perlawanan Pasif? Bagaimana itu?”
    “Orang NU menyebut TASABUH, yang diambil dari sebuah hadits yang berbunyi: Man tasabaha bi qaumin fahuwa minhum, yakni prinsip MENOLAK segala sesuatu yang berkaitan dengan Belanda, baik peraturan hukum, tatacara berpakaian, tatacara pergaulan, bahkan sistem pendidikan. Pendek kata segala sesuatu yang berkaitan dengan Belanda dianggap haram dan harus ditolak,” kata Guru Sufi.
    “Ya itu saya faham, tapi baru sekarang semua jadi lebih jelas.” 











You have read this article Sejarah with the title Post Hegemony XXVII: Jamaah Nahdliyin Tidak Pernah Dijajah Kolonialis Belanda. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/11/post-hegemony-xxvii-jamaah-nahdliyin.html. Thanks!

No comment for "Post Hegemony XXVII: Jamaah Nahdliyin Tidak Pernah Dijajah Kolonialis Belanda"

Post a Comment