Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Serat Wulangreh - Sastra Piwulang Karya Pakubuwono IV

 Oleh: Angga Oktanto*)
            
Susuhunan Pakubuwono IV
                Serat Wulangreh merupakan salah satu karya Paku Buwana IV, putra Paku Buwana III. Pakubuwana IV ini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, yang mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan ramandanya. Mendapat gelar demikian karena memang memiliki wajah yang sangat tampan. Dalam usia yang cukup belia, 19 tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan ayahandanya PB III dengan gelar . Pakubuwana IV memegang tampuk pemerintahan Kraton Surakarta Hadiningrat sejak tahun 1788 sampai dengan 1820 M.
             Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Beliau lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M (Purwadi, 2007:81).
             Banyak jasa dan perubahan yang dilakukan oleh PB IV ini, baik itu bersifat fisik maupun non-fisik. Dari sekian banyak warisan yang ditinggalkannya, ada beberapa yang masih dapat kita saksikan sampai saat ini. Seperti Masjid Agung, Gerbang Sri Manganti, Dalem Ageng Prabasuyasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung, dan juga Kori Kamandhungan.

            Paku Buwana IV yang mewarisi darah kaprabon sekaligus kapujanggan ini juga sangat produktif dan kreatif dalam “dunia pena”, sehingga melahirkan banyak karya sastra yang masih dapat diakses sampai sekarang. Konsep ketatanegaraan dan keilmuan yang dibangun oleh PB IV, membuatnya sangat dikagumi oleh rakyat dan lingkungan istana. Bahkan juga membangun tradisi-tradisi yang berbeda dari sunan-sunan (raja-raja) sebelumnya. Diantara perubahan tradisi tersebut adalah pakaian prajurit kraton yang dulu model Belanda diganti dengan model Jawa, setiap hari Jumat diadakan jamaah salat di Masjid Besar, setiap abdi dalem yang menghadap raja diharuskan memakai pakaian santri, mengangkat adik-adiknya menjadi pangeran (Purwadi., dkk, 2005:345). Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut dimaksudkan untuk menjawakan kehidupan masyarakat, yang sebelumnya terkontaminasi oleh budaya Belanda.
Ilustrasi Mengajar Sastra Piwulang
         Berbagai upaya baik itu bersifat fisik maupun non-fisik, yang dilakukan PB IV banyak membuahkan hasil, sehingga pantaslah jika beliau ditempatkan sebagai Pujangga Raja. Dalam bidang sastra dan budaya, diantara karya-karya beliau yang terkenal adalah Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni. Dari sekian karya PB IV tersebut, yang paling familiar dalam masyarakat Jawa (bahkan kalangan akademik), adalah Serat Wulangreh. Karena banyak ajaran-ajaran moral dalam serat tersebut yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa, bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Purwadi, 2007:82).
           Banyak ajaran yang dapat diambil dari Serat Wulangreh, baik itu yang bersifat mistik, ilmu pengetahuan, agama, maupun moral-budi pekerti luhur. Adapun ajaran yang sifatnya mistik dalam Serat Wulangreh adalah ajaran tentang Pamoring Kawula –Gusti (bersatunya hamba dan Tuhan). Ajaran tersebut memang sudah sangat familiar dalam kalangan amsyarakat Jawa. Istilah pamoring kawula Gusti digunakan dalam Serat Wulangreh, tertulis pamore gusti kawula.
             Penggunaan istilah pamoring kawula-Gusti itu berasal dari kata pamor, yang merupakan kata jadian dari amor (bersatu atau berkumpul), kata kawula yang berarti rakyat atau hamba, dan kata gusti yang berarti raja, penguasa atau bahkan Tuhan. Dari penggunaan istilah-istilah tersebut dapat dikatakan bahwa kata kawula yang berarti hamba atau rakyat melambangkan badan wadag atau jasmani, sedangkan kata gusti merupakan lambang batin atau rohani. Jadi pamoring kawula-gusti berarti bersatunya antara yang lahir dan yang batin.
              Dalam serat Wulangreh terlihat adanya unsur sentralisme penguasa, yang berpusat di kraton. Raja dan kraton yang dipandang oleh masyarakat Jawa (pada zamannya) sebagai pusat kekuasaan, maka dalam serat itu tersirat adanya ajaran PB IV bahwa raja dan kraton juga menjadi wadah semua kekuatan supranatural. Raja dan kraton memang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, tetapi juga memberikan indikasi bahwa dalam hidup ini ada keteraturan kosmos yang harus tetap di jaga. Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia sebagai mikro kosmos (jagat cilik) dan alam sebagai makro kosmos (jagad gedhe). Kesatuan antara keduanya bagi masyarakat Jawa dipandang sebagai terminal akhir hidup ini.
             Wulangreh juga menunjukan adanya konsep dualisme, yaitu perbedaan antara dua kutub yang saling bertentangan, seperti : siang-malam, laki perempuan, awal-akhir, sedih-bahagia, baik-buruk, positif-negatif, hidup-mati, dan lain sebagainya. Konsep dualisme tersebut merupakan suatu ketentuan dari Tuhan, yang sudah menjadi kehendak-Nya dan harus dijalani oleh manusia. Konsep tersebut harus dipahami sebagai bentuk simbolis dari kesatuan atau koordinasi yang harmonis. Sehingga manusia Jawa dituntut untuk menjaga keseimbangan alam, “Memayu Hayuning Bawana.”
              Dalam konsep kesatuan dan keteraturan alam, segala kejadian atau realitas kehidupan dipandang sebagai satu kesatuan, bukan berdiri sendiri-sendiri. Karena segala yang terjadi merupakan bagian dari totalitas kosmos yang dikendalikan oleh kekuatan supranatural, dan inilah yang sebut sebagai kasunyatan (hakekat). Realitas lingkungan manusia itu pada prinsipnya adalah masalah spiritual, bukan realitas kasat mata yang dapat kita indra setiap hari. Jadi, realitas materi yang setiap hari kita saksikan sebenarnya adalah masalah batin, bagian dari percikan hakekat kosmos, refleksi dari system sebab akibat yang lebih tinggi. Kasunyatan adalah realitas sejati, jelas dan evident, menjadi sebab akibatnya itu sendiri (Purwadi, 2007:85).
           Pandangan masyarakat Jawa terhadap kraton bukan hanya sebatas sebagai pusat politik pemerintahan dan budaya, tetapi juga menjadi pusat keramat kerajaan (Fachry Ali, 1986:21). Oleh sebab itu lahirnya karya sastra mistis Wulangreh ini, mencerminkan pemikiran seorang pujangga Jawa sekaligus seorang bangsawan, sehingga terlihat adanya semangat politik pemerintahan dan kekuasaan. Raja adalah milik public, sebagai manifestasi dari institusi negara yang berusaha mewujudkan keselarasan antara rakyat dan pemerintah, manusia dan alam, serta antara kawula lan Gusti (manusia dan Tuhan). Untuk itu, dalam menuntut ilmu pengetahuan pun, petunjuk raja sangat dijadikan panutan oleh seluruh rakyat. Sebagaimana kuatnya pengaruh tasawuf dalam perkembangan Islam di Jawa, perkara ilmu, keutamaan ilmu, kewajiban menuntut ilmu, memilih guru, dan resiko bagi yang mengabaikan petunjuk raja dalam perkara ini, terlihat pada piwulang luhur yang terdapat pada Serat Wulangreh  Pupuh Kinanthi, pada 1-2 dan Pupuh Dahndhanggula pada 2-6 di bawah ini:

1.Padha gulangen ing kalbu
Ing sasmita amrih lantip
Aja pijer mangan nendra
 Ing kaprawiran den kaesthi
Pesunen sariranira
Cegahen dahar lain guling

Latihlah (ilmu) Qalbu
Agar sasmita (intuisi) semakin tajam
Jangan hanya makan dan tidur
Berkonsentrasilah pada keperwiraan
Berjuanglah (mengolah) diri
Kurangilah makan dan tidur. 

2.Dadia lakunireku
Cegah dhahar lawan guling
Lan aja kasukan-sukan
Anganggoa sawatawis
Ala wateke wong suka
Nyuda prayitna ing batin

Jadikanlah amaliah lakumu
Mengurangi makan dan tidur
Jangan bersuka-suka (foya-foya)
Berpakaianlah yang sederhana
Buruklah watak orang berfoya-foya
(karena) mengurangi kewaspadaan batin.

2.sasmitaning ngaurip puniki,
yekti ewuh yen nora weruha
tan jumeneng ing uripe,
sakeh kang ngaku-aku,
pangrasane pan wus utami,
tur durung wruh ing rasa,
rasa kang satuhu,

Makna kehidupan itu
sungguh sayang bila tak tahu
tidak kokoh hidupnya,
banyak orang mengaku,
perasaannya sudah utama,
padahal belum tahu rasa,
rasa yang sesungguhnya,

3.rasaning rasa punika,
upayanen dara  sampurneng dhiri,
ing kauripanira.
jroning Qur’an nggoning rasa jati,
nanging pilih wong kang uningaa,
anjaba lawan tuduhe
nora kena binawur,
ing satemah nora pinanggeh,
mundhak katalanjukan
temah sasar susur
yen sira ayun waskitha,
kasampurnaning badanira puniki,
sira anggegurua

hakikat rasa itu adalah,
usahakan supaya diri sempurna,
dalam kehidupanmu.
Dalam Qur’an bersemayam  rasa jati,
tapi hanya  orang terpilih yang tahu,
keluar dari petunjuk-Nya
tak dapat asal-asalan (ngawur),
akhirnya tidak menemukan,
malahan terjerumus,
akhirnya tersesat,
kalau kamu ingin peka sasmita,
maka bergurulah.

4.Nanging yen sira nggeguru kaki,
amiliha manungsa kang nyata,
ingkang becik martabate,
sarta kang wruh ing khukum,
kang ibadah lan kang wirangi,
sokur oleh wong kang tapa,
iya kang wus mungkul
tan mikir piwewehing liyan,
iku pantes yen den guronana kaki

Namun apabila kamu berguru
pilihlah manusia nyata
yang baik martabatnya
serta tahu hukum
yang beribadah dan hidup wara’
syukur dapat orang zuhud
yang sudah menanggalkan
pamrih pemberian orang
itu pantas kamu berguru

5. sartane kawruhana.
Lamun ana wong micara ilmi,
tan mufakat ing patang prakara,
aja sira age-age,
anganggep nyatanipun,
saringana dipun baresih,
limbangen kang patang
prakara rumuhun
dalil hadis lan ijmak,
lan kiyase papat iku salah siji,
adate kang mufakat.

serta ketahuilah
kalau ada orang membincang  ilmu
tidak mufakat dalam  empat perkara
jangan cepat-cepat percaya kepadanya
saringlah yang teliti
pertimbangkan empat hal
perkara terdahulu
dalil (Qur’an), hadis (hadits) dan ijma’
dan keempat qiyas, keempat hal itu  semua
yang telah di sepakati

6.Ana uga kena den antepi
yen ucula kang patang prakara
enak eca legatane,
tan wurung tinggal wektu,
penganggepe wus angengkoki,
aja kudu sembahyang,
wus salat katanggung,
banjure mbuwang sarengat,
batal karam nora nganggo den rawati,
mbubrah sakehing tata.

ada juga yang harus diingat-ingat
kalau lepas  empat perkara
nikmat lezat diumbar lepas
ujungnya meninggalkan waktu (shalat)
menganggap (tindakannya) sudah tepat
tidak lagi mewajibkan  shalat
(karena) hanya membikin tanggungan
selanjutnya  membuang syariat
batal haram tidak dipedulikan lagi
kacaulah semua aturan hukum

*)Angga Oktanto, Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya







You have read this article Sastra with the title Serat Wulangreh - Sastra Piwulang Karya Pakubuwono IV. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/11/serat-wulangreh-sastra-piwulang-karya.html. Thanks!

No comment for "Serat Wulangreh - Sastra Piwulang Karya Pakubuwono IV"

Post a Comment