Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Gas Elpiji Naik dan Transvaluasi Logika

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto 
         Gara-gara memberi saran kepada Sukirno, adik Sukiran, pemilik warung yang menjual gas elpiji untuk tidak mengembangkan usaha sampai tingkat nasional apalagi sampai multi-nasional dan trans-nasional, Guru Sufi didatangi Gunawan dan A Hong, dua orang pengusaha nasional yang selama ini selalu meminta advis bagi pengembangan usaha mereka. Mereka mempertanyakan kebenaran ‘fatwa’ yang disampaikan Guru Sufi. “Jika itu benar, Mbah Kyai, semangat perjuangan orang-orang kita untuk bersaing di era global akan padam. Itu sama dengan membatasi usaha orang-orang kita untuk berkembang menjadi pengusaha besar,” kata Gunawan minta penjelasan.
    Guru Sufi ketawa. Sebentar kemudian ia berkata,”Itu hanya saran. Bukan fatwa.”
    “Saran?” sahut Gunawan penasaran,”Sekali pun, itu aneh sekali rasanya Mbah Kyai. Soalnya, selama ini Mbah Kyai sangat mendorong kami untuk mengembangkan usaha di era global dengan pemikiran Post Hegemony untuk menyiasati skenario jahat perancang globalisasi dengan open society dan compassionate capitalism-nya. Dan kami sudah berhasil menjadi pengusaha skala nasional.”

    “Benar Mbah Kyai,” sahut A Hong ingin tahu,”Mbah Kyai tentu punya alasan mendasar menyarankan pedagang kecil untuk tidak mengembangkan diri menjadikan usahanya berskala nasional. Mohon penjelasan Mbah Kyai.”
   “Ini gara-gara Elpiji 12 Kilogram naik.”
    “Gara-gara elpiji 12 kilogram naik? Bagaimana penjelasannya Mbah Kyai?” tukas Gunawan ingin tahu.
    “Waktu pihak Pertamina menjelaskan bahwa Pertamina secara tiba-tiba menaikkan harga gas elpiji itu untuk menutup kerugian  yang diperkirakan mencapai 6 triliun rupiah pertahun, aku langsung menelpon Sukisnowo, agen gas elpiji di kecamatan. Aku tanya apakah usahanya selalu menuai keuntungan dan tidak pernah rugi? Sukisnowo menyatakan selalu untung dan tidak pernah rugi. Waktu aku telepon Herman, distributor elpiji, dia juga menyatakan bahwa usahanya selalu menuai untung. Jadi atas dasar itulah, aku berasumsi kalau usaha rakyat Indonesia itu yang bisa menuai keuntungan adalah usaha kecil menengah. Pasalnya, kalau usaha menengah diangkat menjadi berskala nasional, dipastikan akan rugi berat seperti Pertamina,” kata Guru Sufi menjelaskan.  
    “Oo begitu ceritanya,” kata Gunawan garuk-garuk kepala,”Itu sih menurut Anas Urbaningrum hanya Opera Sabun. Itu politik pencitraan saja untuk memposisikan rezim berkuasa sebagai rezim yang peduli rakyat dan berjuang untuk rakyat.”
    “Iya Mbah Kyai,” kata A Hong menimpali,”Malah ada menteri yang berlagak pilon, mengaku kaget dan tidak tahu-menahu dengan kenaikan mendadak elpiji itu. Bahkan sudah disiapkan pula, menteri yang pasang badan untuk mengaku salah. Padahal, ujungnya semua orang sudah tahu.”
    “Masalahnya, ini bukan sekedar  masalah skenario politik pencitraan menjelang Pemilu 2014,” kata Guru Sufi dengan suara ditekan,”Ini usaha jahat transvaluasi logika, menjungkir-balikkan logika sehat manusia waras yang sudah disepakati secara umum. Maksudnya, jika usaha kelas gurem warung-warung pengecer elpiji menuai untung dari penjualan elpiji, begitu pun usaha kelas agen dan distributor selalu menuai untung, bagaimana mungkin usaha tingkat nasional yang dimodali Negara dan memegang monopoli bisa rugi Rp 6 triliun setahun? Skenario jahat merusak logika waras common sense ini yang harus digugat karena dampaknya sangat luas dan membahayakan bagi anak-anak bangsa ini.”
              “Tapi Pertamina beralasan, kerugian itu terjadi karena untuk memenuhi kebutuhan gas nasional kita masih   mengandalkan pasokan impor, di mana sekitar   60 - 70 %  dari kebutuhan pasokan gas itu diperoleh dengan menggunakan valuta asing.  Pelemahan nilai tukar rupiah turut andil yang cukup besar  dalam kenaikan harga pokok perolehan.  Dan kerugian Pertamina Rp 6 triliun setahun itu sudah disahkan BPK. Artinya, Pertamina sebagai BUMN yang memegang hak monopoli gas benar-benar sah menderita kerugian,” kata Gunawan berkomentar, “Karena itu Pertamina dengan alasan merupakan sebuah korporasi, dengan dasar rapat umum pemegang saham menaikkan harga jual elpiji secara sepihak,” Gunawan melanjutkan.
           “Itu yang makin merusak akal sehat,” tukas A Hong menarik nafas berat dan menghembuskannya keras-keras,”Kalau alasan menaikkan harga elpiji didasari argumen bahwa Pertamina adalah sebuah korporasi dan kebijakannya menaikkan harga sudah disetujui oleh rapat umum pemegang saham, itu mengacaukan logika ketika pemerintah mengaku tidak tahu-menahu dengan rencana kenaikan mendadak itu. Kenapa dikatakan merusak logika sehat? Karena Pertamina itu korporasi di bawah kementerian BUMN yang 100% sahamnya dimiliki Negara.  Jadi kacau logika kita, jika kenaikan harga elpiji tanpa diketahui oleh pemerintah. Apakah rapat umum pemegang saham itu dihadiri oleh orang-orang bukan pejabat pemerintah?”
          “Itulah yang aku katakan skenario jahat merusak logika umum,” kata Guru Sufi dengan nada tinggi, ”Soalnya, kalau kerugian Pertamina Rp 6 triliun setahun itu dibenarkan karena telah diaudit oleh BPK, asumsi yang akan terbentuk berikutnya adalah ‘seluruh pejabat dan karyawan Pertamina adalah orang-orang Maksum’, yaitu orang-orang suci dari dosa dan kesalahan seperti barisan nabi-nabi. Artinya, kerugian Rp 6 triliun setahun itu benar-benar rugi karena faktor teknis dan sama sekali tidak ada unsur kesalahan manusia.”

           “Kalau rakyat meng-amin-i logika ini dan mengikutinya sebagai keniscayaan, apa kira-kira akibatnya Mbah Kyai?” tanya Gunawan.
             “Skenario ini akan digelar untuk melegitimasi dan melegalisasi kerugian yang dialami semua BUMN dengan ujung ‘Kebangkrutan’ Negara karena sepanjang tahun BUMN terus merugi sehingga pada akhirnya BUMN itu dijual kepada swasta dengan istilah privatisasi,” kata Guru Sufi.
            “Saya usul Mbah Kyai,” sahut A Hong.
           “Usul soal apa?” tanya Guru Sufi.
            “Mohon yang mengaudit Pertamina dan BUMN lain bukan hanya BPK, tapi juga KPK dan PPATK, Mbah Kyai.”
           “Hwalaah, itu wewenang DPR dan Pemerintah,” sahut Guru Sufi ketawa pahit,”Kita sebagai rakyat hanya bisa menjadi penonton dan penilai.”
            Gunawan menarik nafas panjang. Ia menangkap sasmita, betapa di balik saran Guru Sufi kepada Sukirno itu sejatinya terselip sebuah pesan ‘bagaimana di balik kasus kenaikan gas elpiji 12 kilogram itu sebenarnya terdapat usaha-usaha sistematis agar anak-anak bangsa ini tidak mengembangkan usaha sampai tingkat nasional karena akan mengalami kerugian besar seperti yang dialami BUMN Pertamina.’  Jadi anak negeri harus menjadi pengusaha gurem tingkat warung, kedai, pengecer, agen, paling besar distributor dan untuk korporasi multi-nasional dan trans-nasional harus perusahaan asing. . Tanpa tersangka-sangka, tiba-tiba Gunawan teringat pada hiruk pemberitaan SMK-SMK yang mampu memproduksi mobil nasional dengan harga sangat murah, tetapi atas dasar macam-macam alasan – terutama tidak lulus uji emisi – usaha keras anak-anak bangsa itu tersapu habis dan dilupakan. Belakangan, pemerintah malah menawarkan mobil murah produksi perusahaan Multi-Nasional dan Trans-nasional milik asing. 
  






You have read this article Sejarah with the title Gas Elpiji Naik dan Transvaluasi Logika. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/01/gas-elpiji-naik-dan-transvaluasi-logika.html. Thanks!

No comment for "Gas Elpiji Naik dan Transvaluasi Logika"

Post a Comment