Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Setelah menonton film Soekarno bersama Johnson, Roben, Niswatin, Mullberrie, Marholi, Daitya, dan Azumi, Fahrully mengajak teman-temannya itu untuk menemui Sufi tua yang sedang ngobrol bersama Sufi Kenthir dan Sufi Sudrun di teras mushola sambil menikmati kopi dan singkong rebus. Dengan hati dongkol dan benak dipenuhi tanda tanya, Fahrully menyampaikan simpulannya terhadap film yang dianggap kontroversial itu, “Film picisan itu rupanya membawa misi de-Soekarnoisasi, pakde.” “Film Soekarno garapan Han Tio maksudmu?” sahut Sufi tua sambil menyeruput kopinya.
“Ya iyalah, pakde,” tukas Fahrully singkat.
“Ringkas ceritanya bagaimana, Rull?” kata Sufi tua dengan suara datar,”Soalnya, aku belum nonton. Nunggu DVD-nya keluar.”
“Sosok Soekarno dalam film itu digambarkan sebagai laki-laki flamboyan setengah banci yang suka main perempuan,” kata Fahrully dengan suara ditekan tinggi,”Selain itu Soekarno digambarkan sebagai tokoh kolaborator Jepang yang menjadi pengerah bangsanya menjadi budak romusha, yaitu perbuatan tercela elit politik karena telah membuat sengsara dan menderita bangsanya di mana banyak romusha yang tewas dalam kerja paksa tidak manusiawi itu. Soekarno pun digambarkan sebagai ‘germo besar’ yang memerintahkan para perempuan sebangsanya untuk menjadi pelacur. Sungguh, kurang ajar sutradara itu menggambarkan Bapak Bangsa kita dengan citra yang begitu rendah dan nista.”
“Terus kalau Soekarno digambarkan rendah dan nista seperti itu, siapa yang jadi pahlawan agung dan mulia serta terhormat?” sahut Sufi tua ingin tahu,”Soalnya tidak mungkin ada film menceritakan tokoh rendah dan nista tanpa ada imbangan tokoh besar, agung, mulia, dan terhormat.”
“Syahrir yang dimunculkan sebagai tokoh pahlawan,” sahut Sufi Sudrun.
“Syahrir tokoh pemberontak PRRI/Permesta itu?” sergah Sufi tua kaget,”Lha judulnya kan Soekarno? Yang dipahlawankan kok malah syahrir? Ini jelas bagian dari skenario penghancuran Nation State Indonesia menjadi Liberal State sesuai cita-cita para kaki-tangan asing yang terlibat gerakan makar PRRI/Permesta.”
“Penghancuran Nation State?” tanya Fahrully heran,”Apa maksudnya pakde?”
Wajib Seikerei Jaman Jepang |
Romusha |
“Ápakah ada bukti globalisme, universalisme, humanisme, dan liberalisme menganggap nasionalisme sebagai musuh utama?” tanya Fahrully penasaran.
“Ya waktu Nasionalis Sozialisme Jerman (Nazi) di bawah Adolf Hitler bergabung dengan Nasionalis Fascisme Italia di bawah Mussolini, seketika Komunisme yang diwakili Soviet bersama-sama dengan Kapitalisme yang diwakili Amerika dan sekutu Eropa Barat mengeroyok Jerman dan Italia dalam Perang Dunia II. Bagaimana mungkin Komunis yang merupakan musuh utama Kapitalis bisa mengeroyok Jerman dan Italia yang nasionalis? Jepang yang terobsesi nasionalisme Asia Timur Raya juga dikeroyok oleh Sekutu dan Soviet. Begitulah negara-negara Axis yang merupakan negara penganut nasionalisme dikeroyok beramai-ramai oleh negara-negara sosialis-komunis dan negara-negara liberal-kapitalis yang keduanya menganut universalisme, karena baik komunisme maupun kapitalisme sejatinya adalah bikinan Freemason-Illuminatie,” kata Sufi tua.
“Berarti sejak awal Founding Father kita menegakkan Nation State Indonesia itu sudah tidak disukai sama pihak Sosialis-Komunis maupun Liberal-Kapitalis, begitukah pakde?” sahut Marholi menyela dengan nada tanya.
“Ya sudah pasti itu,” kata Sufi tua.
“Apa contohnya Nation State tidak disukai, pakde?” tanya Marholi.
Sjahrir |
“Oo itu sebabnya sesuai KMB setelah penyerahan kedaulatan NKRI dijadikan RIS – Republik Indonesia Serikat dengan UUD Sementara, yang akan bergabung ke dalam Uni Indonesia-Belanda. Faham saya sekarang, pakde,” sahut Marholi mengangguk-angguk.
“Tapi Soekarno membatalkan hasil KMB dan menolak Uni Indonesia-Belanda dengan tetap bertahan pada NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945,” kata Sufi tua memaparkan pengetahuannya sebagai pensiunan perwira intelijen,”Bahkan Soekarno pada tahun 1957 mulai menasionalisasi semua perusahaan asing, sehingga membuat negara-negara Liberal-Kapitalis – terutama Belanda dan Amerika -- marah besar karena perusahaan-perusahaan Transnasional dan Multinasional mereka dinasionalisasi.”
“Oo itu sebabnya pecah pemberontakan Permesta yang dimotori perwira-perwira TNI didikan KNIL yang disusul makar PRRI yang dimotori tokoh-tokoh didikan Belanda yang mendapat dukungan Amerika dan Belanda. Faham saya pakde. Tapi Soekarno menang pakde,” kata Marholi menyimpulkan.
“Kemenangan di bidang militer dan politik yang dicapai Soekarno tidak menghentikan intervensi Amerika dan Belanda,” kata Sufi tua,”Sebab lewat jalur kebudayaan dan filantrofi asing seperti CCF (Congress for Cultural Freedom) yang didanai Ford Foundation dan Rockefeller Foundation terutama dana dari CIA, kader-kader sosialisme-liberal ‘mendesain’ ranah kebudayaan Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan, terutama di bidang ilmu sosial dan ekonomi yang berpengaruh dalam memproduksi dan menjaga ide-ide yang terkait dengan kepentingan ekonomi Amerika agar diterima oleh masyarakat. Lewat sastra dan film, agen-agen asing liberalis itu mengembangkan ideologi humanisme universal, terutama yang muncul sebagai kekuatan politik dalam bentuk Manifesto Kebudayaan beserta semua pendukungnya sehingga Manifesto Kebudayaan dilarang Soekarno karena dianggap berbahaya karena bertentangan dengan arah politik bangsa yang sedang melawan kolonialisme. Kalian bisa membaca apa yang kuungkapkan ini dalam tulisan Edward H.Breman The Influence of the Carnegie, Ford, and Rockefeller Foundations on American Foreign Policy: The Ideology of Philanthropy (1983).”
“Maaf pakde,” sahut Johnson dengan suara tinggi,”Soal peran vital CCF dalam penggulingan Soekarno dan perancangan desain Orde Baru – terutama desain budaya kekerasan berlatar politik terhadap orang-orang PKI pasca 1965 – sudah saya baca dari disertasinya Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film yang sudah terbit menjadi buku tahun lalu. Lewat sastra dan film agen-agen kebudayaan yang didanai kekuatan asing itu membenarkan pembasmian terhadap orang-orang PKI oleh Suharto dengan Orde Barunya. Bahkan para begundal asing inilah yang menjadi penopang utama kekuasaan Orde Baru. Apakah film Soekarno ini merupakan kelanjutan dari gerakan kader-kader CCF yang masih berkuasa di negeri ini? Maksud saya, apakah Han Tio bagian dari kader baru yang dididik kader-kader lama CCF untuk menjalankan skenario global dalam mendekonstruksi nasionalisme bangsa kita?”
“Bisa saja Han Tio kader baru dan bisa saja sekedar orang bayaran,” sahut Sufi tua dingin, ”Untuk memastikan itu, kalian harus melacak latar asal-usul Han Tio dari keluarga, orang tua sampai kakek moyangnya serta keterlibatannya dalam berbagai aktivitas politik di negeri kita. Hasilnya, nanti dibandingkan dengan data intelijen yang ada.”
“Itu soal gampang pakde,” kata Azumi menyela,”Tapi apa tujuan di balik pembuatan film Soekarno yang mempahlawankan Syahrir dengan menggunakan nama Soekarno sebagai judul?”
“Melengkapi proses penghancuran nasionalisme bangsa kita yang sudah dijalankan oleh rezim Neoliberal semenjak Orde Baru dan berlangsung efektif sejak Reformasi,” kata Sufi tua.
“Contoh riilnya apa pakde?” sergah Azumi penasaran ingin tahu.
“Kalian lihat nanti data di perpustakaan terkait komposisi anggota DPR/MPR RI tahun 1999 – 2004 yang berasal dari kader partai-partai terlarang yang terlibat PRRI/Permesta, baik partai PSI maupun Masyumi. Dengan mengatas-namakan wakil rakyat, kader-kader partai terlarang itu mengamandemen UUD 1945 sehingga menjadi undang-undang dasar berjiwa liberal-kapitalistik. Lewat UUD hasil amandemen itulah diproduksi aneka undang-undang yang menghancurkan esensi, substansi dan eksistensi Negara Bangsa Indonesia. Bahkan DPR/MPR RI yang dikuasai kader-kader partai terlarang itu pada tahun 2003 dengan penuh kebanggaan membuat Ketetapan MPR No.1 Tahun 2003 pasal 6 dengan menjadikan Soekarno sebagai seorang Pengkhianat. Sebaliknya, rezim Neoliberal yang berkuasa menjadikan kampiun pemberontak PRRI/Permesta seperti Sjafruddin Prawiranegara dan M.Natsir sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011. Begitulah, sejarah diputar-balik secara politis mengikuti skenario Kapitalisme Global yang sudah memperkuat akar kekuasaan semenjak Orde Baru,” kata Sufi tua menjelaskan.
“Berarti, Character Assasination terhadap Soekarno yang terkandung dalam film garapan Han Tio itu bagian dari skenario penghancuran nasionalisme bangsa kita. Apa begitu, pakde?” tanya Azumi.
“Ya simpulan akhirnya memang seperti itu,” sahut Sufi tua menarik nafas berat,”Sebab Soekarno ada lambang nasionalisme bagi bangsa kita. Dengan dihancurkannya citra Soekarno, maka nasionalisme Indonesia tidak lagi memiliki tokoh ideal yang bisa dijadikan panutan.”
“Masih ada Gus Dur, pakde,” sahut Daitya menyela dengan suara keras.
“Gus Dur bukan lagi Bapak Nasionalisme Bangsa Indonesia,” sahut Sufi tua sedih,”Sebab saat beliau wafat, pemerintah sudah memberi gelar beliau “Bapak Pluralisme”.”
“Jangkrik, kita benar-benar sudah kehilangan rasa nasionalisme,” gumam Niswatin.
Sewaktu Sufi tua akan memberi penjelasan, tiba-tiba Dullah muncul dari dalam ruangan Guru Sufi. Dengan suara ditekan tinggi, Dullah berseru,”Perhatian! Perhatian! Mbah Kyai sudah memberi fatwa bahwa Menonton Film SOEKARNO garapan Han Tio adalah Terlarang!”
“Kami semua sami’na wa atho’na, Mbah Kyai!” seru Johnson diikuti Azmi, Daitya, Marholi, dan Fahrully serempak sambil ketawa mengingat sebelum itu mereka sudah menonton film picisan itu.
You have read this article Budaya
with the title Post Hegemony XXXII: Transvaluasi Pahlawan-Pengkhianat, Penghancuran Sistematis Negara Bangsa. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/01/post-hegemony-xxxii-transvaluasi.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony XXXII: Transvaluasi Pahlawan-Pengkhianat, Penghancuran Sistematis Negara Bangsa"
Post a Comment