Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Insiden Berdarah 13 Mei 1969 Akibat Melayu Miskin di Negeri Sendiri


 Oleh: K Ng Agus Sunyoto
         
Kualalumpur Pasca Kerusuhan 13 Mei 1969
             Insiden 13 Mei 1969 yang meletus di Kuala Lumpur, Malaysia, adalah kerusuhan rasial antara etnis Tionghoa dan orang Melayu yang menyebabkan ratusan orang tewas. Sejak tahun 1963, suhu politik di Malaysia mulai menghangat akibat maraknya isu ketimpangan ekonomi antara penduduk keturunan Tionghoa yang umumnya pedagang yang menguasai sebagian besar ekonomi Malaysia dengan golongan miskin penduduk Melayu. Akibat sistem kolonial Inggris yang diwariskan,  rtnis Tionghoa menguasai sebagian besar kekayaan negara.
            Puncak dari isu ketimpangan yang meletus dalam bentuk kerusuhan rasial di Singapura pada 1964,  menjadi salah satu penyebab keluarnya Negara Bagian Singapura dari Persekutuan Malaysia dengan tetap memanaskan ketegangan rasial. Kebanyakan orang Melayu tidak puas dengan Negara Singapura merdeka, karena didominasi etnis Tionghoa. Lalu isu-isu berlatar golongan dan ras yang menyulut emosi dan antipati menjadi tema utama sepanjang kampanye Pemilu 1969 yang mengakibatkan meningkatnya semangat permusuhan antara etnis Melayu dan etnis Tionghoa di Malaysia. Selama kampanye Pemilu 1969, para calon serta anggota-anggota partai politik, khususnya dari partai oposisi, mengangkat soal-soal sensitif yang berkaitan dengan bahasa nasional (Bahasa Melayu), kedudukan istimewa orang Melayu (Bumiputera), hak kerakyatan warga non-Melayu yang terabaikan, di mana hal ini menimbulkan sentimen rasialis dan kecurigaan antar etnis.


             Partai Perikatan yang disebut Barisan Nasional (UMNO-MCA-MIC) ternyata mengalami kekalahan telak dalam Pemilu 1969. Jumlah kursi yang dimenangkan Partai Perikatan dalam Dewan Rakyat (Parlemen) telah menurun dari 89 kursi pada tahun 1964 menjadi 66 kursi pada tahun 1969. Partai Perikatan kehilangan sebanya dua pertiga kursi dalam Dewan Rakyat. Sementara  Partai Gerakan, DAP,  PPP menang 25 buah kursi dalam Dewan Rakyat, begitu pun partai  PAS menang 12 kursi.

Pawai kemenangan oposisi
              Pada pemilihan umum 10 Mei 1969, koalisi Aliansi pemerintah diketuai oleh United Malays National Organization (UMNO) menderita kekalahan terbesar sejak 1955 sekali pun UMNO masih tetap memenangi Pemilu. Partai terbesar golongan etnis Tionghoa, Democratic Action Party (DAP) dan Partai Gerakan mendapat suara signifikan dalam pemilihan, dan berhak untuk mengadakan pawai kemenangan melalui jalur yang telah ditetapkan di Kuala Lumpur. Begitulah,  pihak oposisi mengadakan pawai besar untuk merayakan kemenangannya. Dr. Tan Chee Khoon dari Partai Gerakan yang menang besar di kawasan Batu, Selangor, meminta izin dari polisi untuk mengadakan pawai kemenangan partainya di Selangor. Pawai ini menyebabkan kemacetan di jalan-jalan di sekitar Kuala Lumpur. Pawai kemudian bergerak ke Jalan Campbell dan Jalan Hale dan menuju ke Kampong Bahru. Sementara itu di Kampong Bahru, yang penghuninya lebih dari 30.000 orang Melayu yang menjadi kubu UMNO, masyarakatnya merasa terancam dengan kemenangan pihak oposisi di mana Kampong Bahru merupakan kediaman Menteri Besar Selangor, Dato' Harun bin Idris.

Chow Kit pasca kerusuhan
Di tengah hiruk pawai oposisi, di Jinjang, Kepong, seorang Tionghoa yang meninggal akibat sakit tua diarak sepanjang jalan dengan izin polisi. Namun perarakan kematian itu  berubah menjadi perarakan kemenangan pemilu dengan caci-maki penghinaan terhadap etnis Melayu. Peristiwa itu makin memanaskan suasana. Untuk menghindari hal buruk yang tidak diinginkan, pada hari Selasa 13 Mei 1969, Yeoh Tech Chye selaku Presiden Partai Gerakan memohon maaf atas tindakan anggota-anggotanya yang melampaui batas selama pawai. Yeoh sendiri menang besar di kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Tapi permohonan maaf sudah terlambat karena dalam Senin 12 Mei 1969 itu pawai etnis Tionghoa itu selain menghina etnis Melayu,  orang-orang Tionghoa yang pawai membawa sapu di kendaraan mereka sebagai lambang kemenangan mereka yang berhasil menyapu bersih kursi sambil meneriakkan slogan kemenangan, namun ada yang menafsirkan bahwa sapu tersebut menunjukkan rencana etnis Tionghoa untuk menyapu bersih orang-orang Melayu dari daratan Malaya ke laut. Lebih menyakitkan, dalam pawai itu orang-orang Tionghoa mencaci-maki dan meludah dari atas truk-truk yang mereka naiki ke arah orang Melayu yang berjalan di pinggir  jalan.
           Akhirnya, meski Partai Gerakan  mengeluarkan permintaan maaf keesokan harinya tetapi sudah terlambat karena pimpinan UMNO terlanjur mengumumkan pawai tandingan yang dimulai dari kediaman kepala negeri Selangor, Dato' Harun bin Idris, yang terletak di Jalan Raja Muda pada tanggal 13 Mei 1969. Orang-orang Melayu pun berkumpul di rumah Menteri Besar Selangor. Di antara massa yang datang dan berkumpul di kediaman Dato’ Harun Idris sebagian  membawa senjata pedang, parang panjang, tombak, klewang, dan bambu runcing di mana mereka menunggu lampu hijau dari Dato' Harun bin Idris untuk mengamuk.Dato' Harun Idris selaku Menteri Besar Selangor ketika itu mencoba menenangkan keadaan.
Pawai Kemenangan DAP Pemicu Kerusuhan
Di tengah kerumunan pendukung UMNO yang mayoritas etnis Melayu yang sudah tersulut amarah itu, kira-kira jam 15.00 tersiar kabar bahwa rombongan etnis Melayu yang sedang menuju ke kediaman Dato’ Harun bin  Idris telah diserang oleh etnis Tionghoa anggota Partai DAP dan Gerakan di Kampong Setapak, kampong yang berjarak dua kilometer di utara Jalan Raja Muda. Para pendukung UMNO  yang sudah berkumpul itu tersulut amarah.  Sambil  berteriak-teriak akan  mengadakan pembalasan mereka mengacungkan senjata. Kebetulan dua pengendara sepeda motor etnis Tionghoa lewat yang langsung dicegat terus dibunuh. Sebuah van yang dikemudikan orang Tionghoa yang membawa rokok dibakar dan pengemudinya dibunuh.
          Kabar pembunuhan atas tiga orang etnis Tionghoa itu menyulut amarah pemuda-pemuda Tionghoa yang sebagian berasal dari Polisi Kerajaan Malaysia dan organisasi-organisasi liar. Mereka berinisiatif untuk mengambil tindakan pembalasan. Dengan membawa aneka senjata seperti tombak, trisula, pedang, lonjoran besi iring-iringan barisan pemuda Tionghoa itu  menyerang dan membunuh orang-orang Melayu di sekitar Kuala Lumpur. Begitulah, kerusuhan etnis pun meledak dan tidak terelakkan ketika etnis Melayu melakukan tindak pembalasan.

Pasukan Ranger Memihak
           Pemerintah pun memaklumkan keadaan darurat. Tidak seorangpun penduduk diizinkan keluar dari rumah. Pasukan polisi berpatroli di sekitar Kuala Lumpur. Pasukan FRU disiagakan di Kampong Bahru. Tentara dari Resimen Ranger pun dikerahkan untuk menjaga keselamatan penduduk di sekitar Kuala Lumpur. Namun Pasukan FRU dikeluarkan dari Kampong Bahru digantikan  Resimen Ranger yang mengambil alih keadaan. Celakanya, Pasukan Ranger ini terdiri dari etnis Melayu, Dayak Iban, Tionghoa, dan India justru ikut menembaki orang-orang Melayu sehingga menyebabkan orang-orang Melayu semakin marah apalagi setelah diketahui bahwa Ketua Resimen Ranger adalah seorang Tionghoa.
Massa Melayu di Kampong Bahru
Keterlibatan Pasukan Ranger meningkatkan keberanian pemuda-pemuda Tionghoa dari organisasi-organisasi liar, di mana dalam sebuah aksi mereka  mengepung bioskop Odeon, di Jalan Tuanku Abdul Rahman, Kuala Lumpur. Beberapa iklan dengan tulisan Cina disiarkan di layar bioskop itu meminta penonton keturunan Tionghoa untuk meninggalkan bioskop. Iklan yang ditulis dalam bahasa Tionghoa itu tidak difahami etnis Melayu yang berada di dalam bioskop. Akhirnya, sewaktu bioskop Odeon dibakar,  penonton dari etnis Melayu yang berada di dalam  bioskop tersebut banyak yang mati, termasuk dua orang tentara Melayu yang tinggal di Sungai Ramal, Kajang. Seorang polisi bernama Rahim, penduduk Kuala Lumpur yang menonton film di bioskop Odeon terkena bacokan di kepalanya dan berpura-pura mati. Ia masih hidup hingga sekarang dan menjadi saksi sejarah kerusuhan etnis itu. Akibat tindakan membakar hidup-hidup penonton bioskop ini, orang-orang Melayu melakukan tindakan balas dendam dengan menyerang orang-orang Tionghoa, di mana dalam aksi pembalasan itu kepala seorang Tionghoa yang dipenggal ditusuk tombak dan dipancang di atas pagar.
    Pemuda-pemuda Melayu yang mempertahankan Kampong Bahru dengan didukung penduduk migran asal Indonesia mengamuk karena merasa diri mereka terkepung di antara serangan orang-orang Tionghoa dan Pasukan Ranger, terutama setelah diketahui beberapa serangan ditujukan ke arah rumah Menteri Besar Selangor Dato’ Harun bin Idris. Perlawanan pecah di mana-mana. Entah siapa yang memulai, ketika kerusuhan meledak  pengeras suara di masjid-masjid digunakan untuk membakar semangat para pemuda Melayu agar melanjutkan aksi mereka.
    Sebuah serangan yang dilakukan pemuda-pemuda Tionghoa di pinggiran Kuala Lumpur yang berakibat fatal adalah serangan atas Kampong Datuk Keramat yang sebagian besar dihuni penduduk asal Bawean, Madura dan arek-arek Surabaya. Malam hari sekitar jam 02.00 sewaktu beberapa orang warga mengambil air wudhu untuk melakukan sholat malam, mereka memergoki tiga truk berhenti di pinggir kampong. Setelah diamati, ternyata pemuda-pemuda Tionghoa terlihat menurunkan drum-drum berisi bahan bakar yang diduga untuk membakar Kampong Datuk Keramat.
Toko-toko di kawasan Kampong Bahru Dibakar
      Penduduk yang sudah bersiaga beramai-ramai keluar rumah dan menyerang langsung pemuda-pemuda Tionghoa yang ternyata melengkapi diri dengan pedang, tombak, trisula, dan obor. Terjadi perkelahian massal yang dalam tempo singkat dimenangkan penduduk Kampong Datuk Keramat. Setelah meninggalkan puluhan mayat di jalanan, selokan, bak truk, dan kebun, warga kampong yang dipimpin beberapa orang  mantan anggota KKO (marinir) – yang sebagian tidak kembali ke Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soekarno dan menjadi warga Malaysia – bergerak menuju ke Kampong Bahru untuk menyerang Pasukan Ranger.
    Pagi menjelang subuh, di tengah kobaran api yang membakar kedai-kedai dan toko-toko milik etnis Melayu di sekitar Kampong Bahru, terutama di Jalan Tuanku Abdul Rahman, terjadi serangan atas Pasukan Ranger dan toko-toko emas milik etnis Tionghoa disertai penjarahan dan perampokan. Sejumlah Pasukan Ranger tewas dan luka-luka dalam perkelahian melawan penduduk. Akhirnya Resimen Ranger ditarik dari Kampong Bahru digantikan oleh Pasukan Melayu. Pengamanan diambil-alih oleh Pasukan Melayu. Menurut laporan, beberapa orang anggota Pasukan Melayu yang berpakaian preman terlihat ikut gerakan massa masuk ke toko-toko emas Tionghoa dan merampoki harta benda di sana.
Dampak Kerusuhan Rasial
           Keadaan darurat nasional dan jam malam pun diumumkan oleh Pemerintah Malaysia pada 16 Mei 1969. Tetapi pada 18 Mei 1969 jam malam dikurangi di beberapa bagian di negara tersebut dan kemudian dihilangkan dalam waktu seminggu di pusat kota Kuala Lumpur.
Mayat Bergelimpangan di jalanan
            Akibat kerusuhan yang pecah pada 13 Mei 1969 itu, sesuai data kepolisian Malaysia, sejumlah 184 orang meninggal,  356 orang luka-luka, terjadi 753 kasus pembakaran yang tercatat dan 211 buah kendaraan hancur atau rusak berat. Sumber lain menyebutkan jumlah yang meninggal sekitar 196 orang atau bahkan lebih dari 200 orang. Sementara beberapa sumber independen memperkirakan jumlah kematian mencapai 700 orang lebih.
             Segera setelah pecahnya kerusuhan, pemerintah memberlakukan Undang-undang Darurat dan membekukan parlemen. Pers juga dibekukan.  Dewan Operasi Nasional dibentuk. Kerusuhan ini menyebabkan Mahathir Mohamad, tokoh nasionalis Melayu saat itu, dipecat dari UMNO. Namun kejadian ini pun mendorongnya untuk menulis karya pentingnya The Malay Dilemma, (Dilema Melayu). Dalam buku ini ia mengusulkan sejumlah alternatif  pemecahan terhadap ketegangan rasial di Malaysia.
    Dalam  Peristiwa 13 Mei 1969 itu Tunku Abdul Rahman dipersalahkan oleh orang Melayu dan seluruh warga Malaysia. Setelah kejadian itu, Tunku meletakkan jabatannya pada tahun 1970. Tetapi buku "Malay Dilemma" yang ditulis oleh Tun Dr. Mahathir Muhammad dilarang beredar karena  pasangan  Anwar Ibrahim itu dalam bukunya dianggap menjelek-jelekkan Tunku Abdul Rahman.
Kisruh 13 Mei 1969
      Dalam perebutan kekuasaan di UMNO  menyusul dipecatnya Dr Mahathir Muhammad, Tunku Abdul Rahman digulingkan dari jabatan Perdana Menteri. Pemerintahan yang baru didominasi oleh kelompok "ultra-Melayu" yang dengan segera bertindak untuk menenangkan masyarakat Melayu dengan Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia (NEP) yang mengandung kebijakan-kebijakan yang melindungi kaum bumiputra (Melayu). Undang-undang pers Malaysia yang keras yang berusaha untuk mengendalikan ketegangan rasial ditetapkan pada masa ini.
            Untungnya kerusuhan antar golongan etnis ini tidak meluas menjadi kasus nasional karena kerusuhan tidak terjadi di Kelantan, Terengganu, Pahang, Perak, Kedah, Pulau Pinang, Perlis, Negeri Sembilan, Johor, Sabah, Serawak, kecuali di Melaka yang ditandai oleh sedikit kerusuhan. Namun Peristiwa 13 Mei 1969 yang kelabu itu diingat-ingat oleh politisi Malaysia sebagai puncak kemarahan orang Melayu yang terakumulasi lama karena mereka mendapati diri miskin di tanah air sendiri.








You have read this article Sejarah with the title Insiden Berdarah 13 Mei 1969 Akibat Melayu Miskin di Negeri Sendiri. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/02/insiden-berdarah-13-mei-1969-akibat.html. Thanks!

No comment for "Insiden Berdarah 13 Mei 1969 Akibat Melayu Miskin di Negeri Sendiri"

Post a Comment