Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Post Hegemony XXXIII: DIKTATOR LIBERAL


Adolf Hitler
        Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
       Gara-gara Azumi berteriak-teriak saat menonton TV One usai ngaji Subuh, para santri dalam tempo singkat berkerumun sambil berceloteh mengomentari berita seputar penyitaan tanah-tanah Anas Urbaningrum atas nama Attabik Ali yang diduga hasil korupsi. Dengan suara ditekan tinggi Marholi menggerutu,”TV menyebut kepemilikan tanah atas nama Mbah Kyai Attabik Ali itu melanggar Kode Etik jurnalistik, karena belum terbukti secara hukum lewat keputusan pengadilan bahwa tanah-tanah itu dibeli dari uang hasil korupsi Anas. Itu berita tendensius. Itu harus disomasi!”
    “Itu bagian dari usaha de-ulama’-isasi secara sistematis!” sahut Daitya mengomentari.
    “Tidak usah emosi!” sahut Johnson yang sedang  ngeprint tiga-empat berita dari website TRIBUNNEWS.COM menyangkut peradilan Kasus Century-Gate,”Blow up atas berita Anas yang mengkait nama Mbah Kyai Attabik Ali berhubungan dengan berita yang aku peinr ini!”
“Berita apa itu Son?” sahut Roben ingin tahu.


Benito Mussolini
       “Kasus mega korupsi yang tidak pernah serius ditangani sekali pun sudah dilakukan voting di DPR RI secara terbuka,” sahut Johnson datar.
“Kasus Century Gate, maksudmu?” tanya Roben menebak.
Johnson mengangguk sambil menggumam,”Ya berita tentang  dimulainya peradilan atas Budi Mulya yang dikaitkan dengan  nama Wapres  Boediono, Miranda S. Goeltom, Siti Ch. Fadjrijah, Boedi Rochadi (alm), Muliaman D. Hadad, Hartadi Sarwono, Ardhayadi M, dan Raden Pardede dalam kaitan tindak pidana mega korupsi terkait pengucuran FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.”
“Woo faham aku,” tukas Niswatin dengan suara tinggi,”Blow up berita penyitaan tanah-tanah yang diduga terkait korupsi Anas tidak lain dan tidak bukan adalah untuk alih fokus terhadap berita Century Gate.”
“Jelas ini kolaborasi media massa dengan rezim berkuasa,” sahut Roben sambil mengeraskan suara bertanya kepada  Sufi tua yang sedang duduk bersama Sufi Sudrun di teras mushola,”Bagaimana ini pakde? Apa pendapat sampeyan soal kasus ini?”
Sufi tua menoleh dan berkata dengan suara lantang,”Kolaborasi itu tidak bisa disangkal, karena memang ada barter kasus di antara pemilik media massa dengan rezim penguasa.”
“Tapi bagaimana kasus-kasus mega korup itu bisa membingungkan masyarakat karena tidak pernah menunjukkan sepercik pun titik terang untuk bisa diselesaikan secara tuntas, kecuali orang-orang kelas gurem yang digiring ke penjara sebagai korban?” sahut Fahrully menyela.
Augusto Pinochet
        “Masyarakat bingung karena memandang kasus-kasus seperti Century Gate dengan pandangan ideal yang memandang Negara sebagai institusi ‘suci’ yang dijadikan wahana untuk mewujudkan cita-cita bangsa mencapai kehidupan yang adil dan makmur sesuai yang ditetapkan Founding Father. Fakta sudah menunjuk bahwa Negara Bangsa alias Nation State yang ditegakkan Founding Father itu sudah berubah menjadi ‘Pasar Raya’ yang ditata mengikuti sistem Kapitalisme Birokrasi, yaitu tatanan sistemik yang ditakuti Founding Father terutama Bung Karno,” kata Sufi tua dengan wajah diliputi kepedihan.
“Yang dimaksud Kapitalisme Birokrasi itu sejatinya apa pakde?” tanya Marholi ingin tahu.
“Tatanan Birokrasi Pemerintahan yang memandang seluruh elemen birokrasi sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi individu-individu birokrat yang berkuasa. Maksudnya, mulai proses rekruitmen aparat birokrasi sudah memprasyaratkan UANG sebagai keniscayaan sesuai tarif yang ditetapkan. Begitu pun kenaikan pangkat, penempatan kedudukan pada posisi-posisi strategis, kebijakan-kebijakan, program-program, bahkan penentuan pensiun pun ditandai oleh prasyarat utama: UANG,” kata Sufi tua menjelaskan. 
“Yang lebih menyedihkan Negara yang ditata dengan sistem Kapitalisme Birokrasi itu mensyaratkan dipimpin oleh seorang Diktator Liberal,” sahut Sufi Sudrun menimpali.
“Diktator Liberal?” sergah Azumi, Johnson, Marholi, Daitya, Fahrully, dan Roben hampir bersamaan,”Apa pula itu paklik?”
Joseph Stalin
     “DIKTATOR LIBERAL adalah jabatan tertinggi di sebuah Negara yang menyatukan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif di dalam genggaman satu orang penguasa,” kata Sufi Sudrun menjelaskan, ”Maksudnya, jabatan KEPALA NEGARA dan KEPALA PEMERINTAHAN dijadikan satu di bawah genggaman kekuasaan satu orang penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak tak terbatas, yang dalam ranah politik bisa disebut DIKTATOR.”
“Jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipegang satu orang diktator?” seru Azumi kurang faham,”Bagaimana penjelasannya itu paklik?”
“Kamu pernah baca sejarah Kerajaan Majapahit, terutama tentang Maharaja Hayam Wuruk dan Mahapatih Mangkubhumi Gajah Mada?” tanya Sufi Sudrun memandang tajam Azumi.
“Ya pernah paklik, bahkan saya sudah baca Negarakretagama,” sahut Azumi.
          “Nah dalam sistem tatanegara Majapahit, Maharaja Hayam Wuruk adalah pemegang jabatan Kepala Negara yang membawahi kekuasaan hukum yang dipegang para Dharmadhyaksa (hakim tinggi agama), Pamegat (hakim), Upapatti (Jaksa), Panji (penasehat hukum), Dandaniti (administratur pengadilan), Citralekhadanda (panitera), Dandawidhi (pengawas pelaksanaan hukum acara), dan Singhanagara (algojo) beserta kekuasaan militer. Sementara Mahapatih Mangkubhumi Gajah Mada adalah pemegang jabatan Kepala Pemerintahan yang membawahi menteri-menteri, Juru Wanyaga (kepala para pedagang), Juru Masamwaywahara (dirjen  perdagangan), Pangurang (dirjen pajak), Marggabhaya (dirjen perhubungan), Juru Tambang (pejabat pengawas penambangan), Juru Wwatan (pengawas jembatan-jembatan), Juru Titi (dinas metrologi), Tuha Alas (Dirjen Kehutanan), dan aparatur pemerintashan lain,” kata Sufi Sudrun.
Mao Tse Tung
         “Lho apa jaman Majapahit sudah kenal Trias Politica?” sahut Azumi heran.
“Sejak era Mataram Kuno, sistem kekuasaan sudah seperti itu,” kata Sufi Sudrun menjelaskan, ”Karena itu sewaktu Republik Indonesia ditegakkan kekuasaan sudah dipilah seperti halnya tatanan kekuasaan Nusantara Kuno. Sejarah mencatat bagaimana Soekarno menjadi Kepala Negara dan Sutan Sjahrir menjadi Kepala Pemerintahan dalam Kabinet Sjahrir yang dilanjut Kabinet Amir Sjarifuddin, Kabinet Hatta, Kabinet Juanda dan lain-lain. Ketika Soekarno membagi  kekuasaan Kepala Pemerintahan dalam wujud Wakil Perdana Menteri I Soebandrio, Wakil perdana Menteri II Leimena dan Wakil Perdana menteri  III Chaerul Saleh ditambah pengangkatan menteri-menteri kontroversial untuk menunjukkan kekuasaan Presidensialnya, ujungnya berakhir dengan pemakzulannya oleh MPR. Atas kasus itu Soekarno dianggap sebagai diktator karena akan menyatukan kekuasaan Kepala negara dengan Kepala Pemerintahan dalam genggamannya.”
“Kalau itu masalahnya paklik,”: sahut Johnson menukas,”Presiden yang sekarang ini bisa disebut Super Diktator, karena selain memegang kekuasaan Kepala Negara dan kepala Negara dalam satu jabatan yang disebut Presiden, dia juga tidak bisa dimakzulkan oleh MPR karena UUD 1945 tentang kekuasaan MPR sudah diamandemen.”
“Jadi dengan kekuasaan mutlak yang tidak terbatas itu, presiden bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya, termasuk merancang dan menjalankan skenario kekuasaan ‘suci’ yang sedikit pun tidak akan bisa tersentuh hukum, bolehkah kita memaknai begitu paklik?’ sahut Marholi minta penjelasan. 
“Ya boleh saja, orang namanya berpikir di era global, bebas bas bas!” kata Sufi Sudrun.
"Berarti kasus Century Gate bakal pupus nggih?"
Sufi Sudrun ketawa.
Kim Jong Un
 Daitya garuk-garuk kepala sambil menggerutu, ”Sungguh seperti tidak masuk akal, negara yang menjalankan demokrasi lewat prosedur pemilihan umum bisa melahirkan kekuasaan diktatorial. Aneh sekali. Sungguh, gak masuk akal.”
“Pemikiranmu yang dihegemoni konsep demokrasi prosedural memang sulit memahami fenomena Dajjal ini,” kata Sufi Sudrun datar,”Karena kamu masih memandang yang menentukan kemenangan dalam pemilihan adalah suara rakyat. Padahal, dalam fakta yang menentukan adalah lembaga-lembaga survey, media massa, dan komisi pemilihan umum beserta badan pegawas pemilu dan mahkamah konstitusi.”
“Hmm DIKTATOR LIBERAL,” gumam Daitya menarik nafas berat,”Pemegang jabatan Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang yang tidak bisa dimakzulkan oleh MPR. Hmm Baru faham sekarang aku.”
“Kita berharap semoga beliau yang berkuasa sebagai ‘diktator’ itu tetap seperti sekarang ini,” kata Sufi Sudrun berharap,”Tidak berubah menjadi diktator kejam seperti Adolf Hitler, Mussolini, Pinochet, Marcos, Mao, Idi Amin, Kim Jong Un, dll.”
“Semoga!” sahut para santri bersamaan.
- See more at: http://www.pesantrenglobal.com/post-hegemony-xxxiii-diktator-liberal/#sthash.4MnRvtQC.dpuf
“Pemikiranmu yang dihegemoni konsep demokrasi prosedural memang sulit memahami fenomena Dajjal ini,” kata Sufi Sudrun datar,”Karena kamu masih memandang yang menentukan kemenangan dalam pemilihan adalah suara rakyat. Padahal, dalam fakta yang menentukan adalah lembaga-lembaga survey, media massa, dan komisi pemilihan umum beserta badan pegawas pemilu dan mahkamah konstitusi.”
“Hmm DIKTATOR LIBERAL,” gumam Daitya menarik nafas berat,”Pemegang jabatan Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang yang tidak bisa dimakzulkan oleh MPR. Hmm Baru faham sekarang aku.”
“Kita berharap semoga beliau yang berkuasa sebagai ‘diktator’ itu tetap seperti sekarang ini,” kata Sufi Sudrun berharap,”Tidak berubah menjadi diktator kejam seperti Adolf Hitler, Mussolini, Pinochet, Marcos, Mao, Idi Amin, Kim Jong Un, dll.”
“Semoga!” sahut para santri bersamaan.







You have read this article Sejarah with the title Post Hegemony XXXIII: DIKTATOR LIBERAL. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/post-hegemony-xxxiii-diktator-liberal.html. Thanks!

No comment for "Post Hegemony XXXIII: DIKTATOR LIBERAL"

Post a Comment