Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Setelah ditunggu hampir dua pekan sikap dan pandangan penghuni Pesantren Sufi tentang Pileg dan Pilpres, tiba-tiba semua mata terbelalak dan mulut terkatup rapat saat menyaksikan bendera putih dikibarkan di halaman pesantren. Entah kapan bendera putih itu dikibarkan, tidak satu pun yang tahu kecuali siang seusai Jum’atan bendera itu telah berkibar.Bambang Burisrowo, Kiki Lesmono dan Besut Kuciwo – tiga orang caleg yang minta dukungan para sufi – dengan wajah dikobari api kemarahan buru-buru menemui Guru Sufi. Namun karena Guru Sufi tidak ada di tempat, ketiga orang caleg itu hanya ditemui Sufi tua yang sedang menyantap pisang rebus dan kopi bersama Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Dullah, Marholi, Azumi, Roben, dan Daitya. Dengan suara ditekan tinggi Bambang Burisrowo memprotes pemasangan bendera putih di halaman pesantren, “Itu kan sama dengan kampanye Golput, pakde.”
“Yang kampanye Golput siapa?” sahut Sufi tua menyeruput kopi di cangkirnya.
“Lha bendera putih itu? Apa itu bukan tanda Golput?” tukas Bambang Burisrowo berang.
“Kamu lihat lebih jelas lagi, apakah itu bendera Golput?”
Bambang Burisrowo memicingkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Ia kaget sewaktu mengetahui bahwa yang dikibarkan di tiang bendera itu adalah sarung warna putih. Dengan hati galau dan pikiran mendadak kacau ia bertanya,”Apa maksudnya sarung putih dikibarkan di tiang bendera? Apa itu tidak merupakan penghinaan terhadap negara?”
“Ah kamu itu mengada-ada saja, mana ada menjemur sarung di tiang bendera dianggap menghina negara? Memangnya Undang-Undang Dasar dan undang-undang memuat pasal-pasal tentang tiang bendera beserta penggunaannya? Ngaco saja kamu ini,” kata Sufi tua menyantap pisang rebus.
“Tapi penduduk sekitar sudah bilang kalau warga pesantren tidak ikut pemilihan, baik Pileg maupun Pilpres. Apa itu tidak Golput?” sahut Besut Kuciwo.
“Kalau tidak ikut Pileg dan Pilpres, itu sudah jelas. Tapi jangan dimaknai Golput,” sahut Sufi Sudrun menimpali.
“Bukankah sama saja tidak memilih dengan Golput?” sergah Kiki Lesmono menyela.
“Tidak sama!” hardik Sufi Sudrun dengan suara tinggi,”Jangan pernah kalian memaksakan pandangan di pesantren ini. Asal kalian tahu, di pesantren ini tidak ada paksa-memaksa dalam menetapkan sudut pandang atas suatu masalah. Pesantren ini menolak pikiran dogmatis dan doktriner yang membodohkan manusia.”
Kiki Lesmono, Bambang Burisrowo dan Besut Kuciwo diam. Sebentar kemudian dengan suara bergetar ia bertanya,”Apa beda sikap pasif untuk tidak memilih dalam Pileg dan Pilpres yang dilakukan penghuni pesantren ini dengan Golput?”
“O banyak bro,” sahut Sufi Sudrun.
“Apa kira-kira beda Golput dengan sikap pasif tidak memilih?”
“Golput tidak ikut memilih karena berbagai alasan mulai tidak percaya dengan sistem yang terus-menerus diwarnai kecurangan, money politic, kualitas calon legislatif dan calon presiden yang rendah, dan yang paling mendasar sebagian besar Golput adalah masyarakat yang sudah muak dan bahkan mual dibohongi terus-menerus dari tahun ke tahun dengan janji palsu oleh para avonturir politik yang mencari penghidupan dan kemapanan hidup lewat politik,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Lalu apa bedanya Sikap Pasif Tidak Memilih dalam Pileg dan Pilpres warga pesantren ini dengan Golput? Bukankah sama-sama tidak memilih?” tukas Kiki Lesmono dan Besut Kuciwo hampir bersamaan.
“Golput dan para caleg dan capres adalah warganegara Republik Indonesia,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Bagian terbesar Golput adalah warganegara yang sudah kecewa dan tidak lagi mempercayai para politikusnya dalam bernegara.”
“Bedanya dengan Sikap Pasif Tidak Memilih?” sergah Bambang Burisrowo tidak sabar.
“Sikap Pasif Tidak Memilih yang dipilih warga pesantren adalah sikap warganegara Republik Indonesia hasil proklamasi yang menolak ikut campur ‘pesta demokrasi liar’ yang diselenggarakan para avonturir politik, para kacung dan jongos kekuatan asing, para ambisius bermoral rendah yang menghalalkan secara cara untuk berkuasa, para pengangguran yang menciptakan lapangan kerja sendiri, para pemburu dan pengumbar nafsu rendah duniawi, dan diikuti oleh orang-orang goblok yang hanya berpikir memperoleh ‘sedekah’ dari para avonturir politik ambisius itu. Itu artinya, kami bersikap pasif untuk tidak memilih karena kami beranggapan bahwa kami adalah para republiken sejati yang setia kepada dasar negara idiil Pancasila dan dasar konstitusional UUD 1945, sedang para avonturir politik itu adalah pengkhianat-pengkhianat negara yang dengan cara sistematis merusak konstitusi negara beserta sistem dan mekanisme kenegaraan dari republik yang kami cintai ini,” kata Sufi Sudrun tegas.
“Wah berarti penghuni pesantren ini menganggap kami ini, para calon legislatif sebagai pengkhianat negara ya?” sahut Bambang Burisrowo dengan nada marah,”Apa kalian punya bukti? Kalau tidak punya bukti akan kami tuntut kalian secara hukum.”
“He bung, calon legislatif yang cerdas, cerdik, jenius, dan superior,” sahut Sufi Kenthir menimpali,”Apa kalian belum tahu bahwa sejak tanggal 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat?”
“Wah MK jangan dipercaya,” sahut Bambang Burisrowo,”Hakim ketuanya saja masuk penjara.”
“Lepas ketua MK masuk tahanan karena kasus korupsi, produk hukum yang ditetapkan wajib dihormati dan dipatuhi oleh warganegara yang baik,” sahut Sufi Kenthir dengan suara tinggi,”Jadi kami memilih pasif untuk tidak ikut Pileg dan Pilpres, karena kami yakin bahwa ‘pesta demokrasi’ 2014 adalah ‘pesta demokrasi liar’ karena tidak didasarkan pada konstitusi negara. Kami yakin pemilihan yang dilaksanakan tanpa dasar konstitusi adalah pemilihan inkonstitusional dan hasilnya adalah illegal. Jadi sejak awal kami sudah tidak percaya dengan KPU, Bawaslu dan seluruh perangkat yang mendukung ‘pesta demokrasi liar’ yang tidak memiliki dasar konstitusional itu. Memangnya siapa KPU? Siapa Bawaslu? Apa dasar hukum konstitusional lembaga itu dibentuk? Apa pula kewenangan lembaga-lembaga survey dalam menetapkan kemenangan para calon legislative dan calon presiden? Apa kaitan KPU, Bawaslu dan lembaga-lembaga survey itu dalam ‘pesta demokrasi liar’ itu? Siapakah yang menjadi funding utama dari lembaga-lembaga survey itu?”
“Kami tidak tahu-menahu tentang keputusan MK itu. Rakyat yang akan memilih kami juga tidak tahu-menahu tentang keputusan MK itu. Jadi kami akan jalan terus,” sahut Kiki Lesmono.
“Itu artinya, sudah semakin jelas bagi kami bagaimana kualitas caleg-caleg yang akan mewakili aspirasi rakyat dalam Negara Republik Indonesia ini. Jika dalam pemilihan umum saja kalian sudah tidak faham dan kemudian mengabaikan peraturan dan undang-undang, kami bisa pastikan dalam memaknai Abdi Negara, Pemerintah, Kekayaan Negara, Manajemen Aset Negara, Pengelolaan sumber daya alam milik Negara, dan lain-lain terkait mekanisme bernegara akan kacau dan rancu. Kalian pasti mengira kekayaan Negara adalah identik dengan kekayaan warisan kakek moyang kalian sehingga kalian berhak menjarah dan merampoknya untuk memapankan diri.”
“Sudah..sudah,” Sufi tua tiba-tiba menyela,”Kalian bertiga itu tidak tahu apa-apa tentang Negara. Kamu Burisrowo, sejatinya tidak layak orang semacam kamu menjadi wakil rakyat. Karena tiga-empat tahun lalu, kamu pernah dirawat dr Adi Pramono, SpKJ. Bagaimana orang yang pernah sakit jiwa bisa diloloskan jadi calon wakil rakyat? Kamu juga Kiki Lesmono, tidak layak kamu jadi wakil rakyat. Kebiasaanmu selingkuh dengan isteri orang akan semakin menguat jika kamu jadi wakil rakyat yang terhormat, di mana kerjamu sehari-hari tidak menjalankan tugas sebagai wakil rakyat tetapi sibuk berselingkuh dengan isteri teman-temanmu sesame anggota wakil rakyat. Dan kamu Besut Kuciwo, kamu telah berjudi dengan nasibmu. Kamu menggadaikan sertifikat rumah dan BPKB motor, menumpuk utang untuk bisa menjadi anggota legislative. Apa yang akan kamu lakukan jika lolos menjadi wakil rakyat? Apakah kamu menjalankan tugas dan kewajibanmu ataukah melunasi hutan-hutangmu yang segunung itu? Dengan cara apa kamu melunasi utang-utangmu?”
“Maaf Mbang,” kata Sufi Sudrun menyela,”Bukan kami meremehkan kamu. Sekali-kali tidak. Tapi kami tahu bahwa kamu dan kawan-kawanmu tidak mengetahui dan tidak pernah menduga dampak negative dari pileg dan pilpres yang inkonstitusional karena tidak didasari undang-undang dan bahkan bertentangan dengan konstitusi Negara.”
“Memangnya ada resiko?” tanya Besut Kuciwo ingin tahu.
“Pasti Chaos,” kata Sufi Sudrun.
“Chaos?” sahut Besut Kuciwo,”Kok bisa?”
“Menurut Pak Soleman B. Ponto, (Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2012-2013), akibat inkonstitusional , pihak-pihak yang menang dalam Pemilu, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya dianggap tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan anggapan bahwa Pemilu 2014 inkonstitusional itulah, sangat mungkin pihak terkait, baik para pemenang Pemilu maupun pihak yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling klaim kemenangan dan kebenaran. Jika dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan politik yang hampir seimbang, maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaos bisa terjadi karena alamiah atau bisa pula akibat rekayasa oleh pihak yang mau mengambil atau mendapat keuntungan oleh kondisi ini,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Wah sampai bisa ke arah chaos ya?” Kiki Lesmono menggaruk-garuk kepalanya.
“Itu artinya, sangat mungkin tentara akan mengambil alih kekuasaan Negara jika keadaan sudah chaos,” kata Sufi Sudrun.
“Lha kok bisa? Apa alasan dan dasar hukumnya?”
“Wooo dasar caleg semprul,” tukas Sufi tua dengan suara rendah,”UU Nomor 34/2004 pasal 7 ayat 2 tentang TNI menyebutkan, bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Jadi kalau kondisi Negara sudah chaos, apalagi sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata, TNI berhak untuk melakukan penyelamatan Negara.”
“Waa itu kan sama dengan kudeta,” sahut Besut Kuciwo bergetar.
“Tidak bisa disebut kudeta, karena TNI menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku,” kata Sufi tua menegaskan,”Asal kalian tahu setiap anggota TNI dituntut untuk setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Nah kalau ada pemerintah illegal karena tidak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan akibat chaos yang membahayakan Negara, TNI wajib melakukan tindak penyelamatan.”
Wajah Abstrak Caleg |
“Sangat yakin,” sahut Sufi tua tegas.
“Atas dasar logika apa orang-orang pesantren yakin pileg dan pilpres 2014 berujung chaos, sehingga orang-orang pesantren bersikap pasif tidak ikut memilih?” Tanya Besut Kuciwo.
“Keputusan MK tertanggal 23 Januari 2014, menurut analasis kami potensial chaos.”
“Apakah MK tidak menyadari akibat dari keputusannya itu?”
“Tentu saja sadar dan tahu.”
“Kalau tahu, kenapa keputusan itu tetap dilanjutkan?”
“Ya, itu namanya scenario politis di balik produk hokum.”
“Maksudnya?”
“Jika Negara chaos, semua perangkat Negara beserta aparaturnya akan lumpuh dan kehilangan fungsi vitalnya,” kata Sufi tua memaparkan kerangka pemikirannya,”KPK tidak berfungsi, BPK, PPATK, Kejaksaan, Polisi, Kementerian PAN, dan seluruh kementerian yang ada tidak akan bias menjalankan tugas dan kewajibannya. Itu sebabnya, jika keadaan chaos itu dibiarkan TNI bisa dianggap melanggar HAM. Jadi chaos harus diakhiri.”
“Mmm apa ya maksud MK mengeluarkan ketetapan itu?” Kiki Lesmono garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal,”Misterius banget.”
“Semprul kamu Ki,” sahut Sufi Sudrun,”Mikir begitu saja tidak becus mau jadi wakil rakyat.”
“Lha iya kang, apa maksud itu semua.”
“Dalam keadaan chaos, kasus century gate, hambalang, kasus Akil Mochtar and his gang, dan kasus-kasus menyangkut anggota-anggota wakil rakyat yang korup akan menguap dengan sendirinya,” kata Sufi Sudrun menyimpulkan.
“Woo begitu ya..?” gumam Besut Kuciwo dan Kiki Lesmono bersamaan dengan pikiran kacau.
You have read this article Sejarah
with the title Post Hegemony XXXIV: Golput Beda Dengan Pasif Tidak Memilih. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/post-hegemony-xxxiv-golput-beda-dengan.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony XXXIV: Golput Beda Dengan Pasif Tidak Memilih"
Post a Comment