Para Mantri (mahasiswa santri) manggut-manggut meng-amin-i ungkapan In’am bahwa sebagai warga Negara terlebih mahasiswa yang notabene identik dengan golongan intelek dan calon generasi penerus bangsa, menjadi sebuah keharusan membincang kondisi bangsa dan Negara Indonesia untuk kemudian dapat mengambil sikap dan tindakan yang tepat jika terjadi perubahan yang tidak diinginkan. Sebagai acuan bahasan In’am Esha menjadikan “Why Nations Fail?”, sebuah buku karya Daron Acemoglu dan James Robinson sebagai rujukan. Begitulah, ngaji Jum’at malam itu diisi dengan mengupas buku “Why Nations Fail?” sebagai asupan gizi otak para mantri.
Dalam konsep bernegara, kita selalu dihadapkan dengan dua kutub ideology yang bersebarangan, yakni kapitalis dan komunis. Namun dalam praktiknya, tidak satu pun Negara yang menganut salah satu dari ideologi besar dunia tersebut secara pure (murni). Selalu ada proses saling mengadopsi satu sama lain dari dua ideology besar tersebut. Oleh karenanya, dalam buku tersebut, dapat dipahami bagaimana Daron Acemoglu dan James Robinson mencoba untuk menyampaikan bahwa exclusive state yang ditandai dengan extractive institution (institusi yang terpisah-pisah) yang sering saling berbenturan satu sama lain merupakan indikator utama bagaimana sebuah Negara akan mengalami kegagalan.
Perubahan kehidupan sosial manusia yang terus bergulir seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi membawa konsekuensi terhadap perubahan-perubahan lain, salah satunya perubahan struktur Negara. “Jika Negara tidak mampu merespon dengan baik perubahan-perubahan tersebut, kegagalan menjadi sebuah keniscayaan,” ungkap In’am menjelaskan.
Masih menurut buku why nations fail?, secara garis besar, Negara memiliki dua bentuk, yakni classical state; di mana Negara masih mempertahankan bentuk pemerintahan klasik/nenek moyang dan cenderung ekslusif terhadap perkembangan zaman dan yang kedua adalah modern state; di mana Negara lebih menganut prinsip open society dengan tidak menafikan dan sedikit banyak mengadopsi beberapa perkembangan dari dunia global hari ini. Dari kedua bentuk Negara tersebut yang paling tepat untuk diterapkan bagi Negara yang tengah berada pada posisi transisi (from classical state to modern state) adalah mengambil posisi tengah. Hal tersebut membuat ingatan kita kembali pada sejarah bangsa Indonesia, di mana saat Negara Barat menyatakan diri sebagai blok barat dan sebaliknya Negara Timur menyatakan diri sebagai blok timur, Ir. Soekarno mewakili Negara Indonesia menyatakan diri sebagai gerakan non-blok yang tidak memihak kedua belah pihak.
Dewasa itu tidak mudah mengambil sikap moderat, namun kebijakan Soekarno tersebut terbukti menyelamatkan nasib bangsa dan Negara Indonesia. Sejarah mencatat bagaimana Indonesia tidak mengekor kepada salah satu dari dua kekuatan besar kala itu, karena pemimpin bangsa Indonesia saat itu dengan gagah berani dan penuh keyakinan diri menunjukkan kepada dunia, “Inilah bangsa Indonesia dengan identitasnya yang jelas: Merdeka, bebas dan berdaulat,” ungkap In’am.
“Kalau dalam Islam, hal ini senada dengan sebuah hadits Nabi khoirul umuuri ausaatuhaa, bahwa sebaik-baik perkara adalah yang moderat, tengah-tengah, dan yang wajar-wajar saja,” ungkap In’am melanjutkan. Karena itu, generasi Indonesia sekarang diharapkan untuk bersikap moderat yang permisif-selektif dengan tetap mempertahankan dan melestarikan jiwa nasionalisme,” ungkap alumnus UIN Sunan Kalijaga itu pada detik-detik berakhirnya ngaji disambut ekspresi serius dari para mantri
Posted by Tina Siska Hardiansyah.
You have read this article Filsafat
with the title Ngaji Jum'at: Why Nations Fail?. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/ngaji-jum-why-nations-fail.html. Thanks!
No comment for "Ngaji Jum'at: Why Nations Fail?"
Post a Comment