Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Bisnis di balik Kabar Media Massa

              Media massa makin menjadi primadona masyarakat kita sampai hari ini. “Mengapa demikian?” tanya Kholid Amrullah, wartawan senior Radar Malang dalam diskusi rutin Selasa (06/05) di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, Mangliawan,  Pakis, Malang, “Karena media massa selalu membawa kabar. Dan apa yang lebih ditunggu oleh manusia kecuali kabar?,” lanjutnya kepada para mahasiswa santri (mantra) yang tengah menyimak penjelasannya dengan seksama.
             Dalam kehidupan sehari-hari saja, ungkap Kholid,  saat seseorang bertemu dengan teman, sahabat, kaum kerabat, dan  keluarga yang jauh, hal pertama yang dipertanyakan adalah, “Bagaimana kabarmu? Apakah semua keluarga sehat?” yang biasanya akan disambung pertanyaan,”Bagaimana ibu, makin cantik saja tentunya!” dan pertanyaan-pertanyaan serupa yang semuanya menanyakan kabar. Kenyataan ini menunjukkan betapa keingin-tahuan manusia untuk mengetahui kabar orang-orang terdekat yang berkaitan dengannya merupakan kebutuhan dasar yang tak terelakkan. Bahkan, lanjut Kholid, dalam lingkup lebih besar, individu sebagai bagian masyarakat selalu pula ingin tahu informasi, berita atau kabar tentang kondisi lingkungan di mana ia berada, termasuk mengenai agama yang dianut dan diyakininya, bangsa dan Negara sebagai tanah kelahirannya yang juga menjadi tempatnya  mencari penghidupan. “Inilah salah satu alasan mengapa sampai saat  ini media masih terus hidup, yaitu  untuk membawakan kabar, informasi atau berita yang dibutuhkan dan selalu dinanti-nanti masyarakat luas,” ungkap alumnus PBA UIN Maliki itu.


                 Media massa pada hakikatnya telah ada sejak dahulu kala, papar Kholid. Sebagai contoh di Nusantara, pada masa berjayanya kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Sunda, Singosari, Majapahit, dan Demak berbagai media telah digunakan oleh penduduk masa itu untuk menebarkan kabar, pengumuman, informasi yang disebut pariwara. Bukti-bukti media masa dahulu yang masih dapat dijumpai misalnya prasasti, naskah lontar, kronik, cerita tutur,  dan media massa lainnya yang tentu berbeda dengan format media massa hari ini. Dalam perkembangannya, ungkap Kholid, seiring berjalannya waktu, media massa pun turut mengalami perkembangannya. Berdasarkan catatan-catatan ilmuwan barat, awal munculnya media masa di Indonesia adalah di masa kolonialisme Belanda. Padahal, jauh sebelum itu, masyarakat kita telah memiliki peradaban yang hebat, yang tentunya tidak lepas pula dari peran media massa. Hanya saja, demikianlah yang sering terjadi, siapa yang berkuasa, ia yang menang menjadi penentu kebenaran, di mana  jika yang menang yang berkuasa telah menulis maka itu yang dijadikan pijakan dan acuan. “Itu pula mengapa sebenarnya menulis itu penting, karena sah dan tidaknya kebenaran sejarah ditentukan oleh pemenang yang menulis,” pesan mantan aktivis PMII itu memotivasi para mantri untuk giat  menulis.
                Sebagaimana wujud dan format media massa yang terus mengalami perkembangan, ujar Kholid, sejarah dari tujuan penulisan media massa pun tumbuh sangat dinamis. Jika dulu di masa kolonialisme media massa dijadikan sebagai satu alat untuk menguasai dan mengekang rakyat di satu pihak dan dijadikan sebagai sarana pemberontakan dan perlawanan terhadap kaum kolonial di pihak lainnya, atau di masa pasca kemerdekaan media massa digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kemerdekaan, dewasa ini media massa tidak lagi memiliki fungsi dan tujuan sebagaimana masa-masa itu. Berdasarkan undang-undang pers tahun 1999 telah jelas dan nyata bahwa media massa  hari ini berstatus sebagai lembaga sosial dan lembaga bisnis. Maka ideology yang diusung adalah ideology pasar, lebih tegas lagi ideology kapitalis. Mana yang menguntungkan dan tetap mampu menjaga keberlangsungan media massa, maka itulah yang dikabarkan. itulah yang diberitakan dan diinformasikan yang sering kali ditandai tawar-menawar,”Wani piro?”, termasuk kasus JILBAB HITAM di media TEMPO..

                  Meski demikian, lanjut Kholid, dalam ‘kitab suci’ media massa pembaca tetap harus dinomorsatukan. Apa yang menarik bagi masyarakat pembaca, apa yang mencuri perhatian masyarakat, maka itulah yang dimuat dalam media massa, mengingat masyarakat sebagai pembaca adalah konsumen utama.
                 “Karenanya, di sinilah politik media massa dimainkan,” ujar Kholid menjelaskan,”Misalkan dalam media lokal Radar Malang, menang atau kalah, berita tentang Aremania harus diliput dan diberitakan karena jika Aremania tidak diberitakan, sangat mungkin para aremania dan aremanita akan menggruduk kantor Radar Malang. Sebaliknya, jika Aremania diberitakan  omset penjualan akan dapat naik sampai 10 kali lipat dibanding hari-hari biasanya. Karena warga kota Malang tak pernah ingin ketinggalan membaca berita tentang arema,” ungkap Kholid.
                 Lalu contoh lain, mengapa media masa hari ini jarang sekali menyediakan kolom untuk berita-berita seputar keislaman misalnya, hal itu dikarenakan orang Islam tidak terlalu konsumtif terhadap media massa, terutama media massa cetak . Terbukti dari survey Jawa-Pos saja 40 – 60% yang berlangganan Koran Jawa Pos adalah orang-orang etnis China yang rajin memasang iklan. Dari beberapa contoh di atas, jelas bahwa tidak semua yang disajikan oleh media massa itu objektif. “Bagaimana menyikapi fenomena seperti ini?” tanya Kholid, “Ya kita harus kritis dalam membaca dan menerima informasi dari media massa, sehingga bisa membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang bermuatan bisnis,” Pungkas Kholid mengakhiri pembahasan diskusi malam itu.
                Sebelum beranjak meninggalkan pesantren, Kholid  menambahkan, agar para mantri meniru jejak guru mereka; Romo Kyai Agus Sunyoto,  yang  terus menulis. “Mendengar dan mencatat  itu baik, namun jika apa yang didengar itu kemudian ditulis, tulisan itu akan abadi dan memberi manfaat bagi yang membacanya. Lihat saja, tulisan-tulisan berkualitas karya Agus Sunyoto akan berumur lebih panjang ketimbang usia penulisnya sendiri. Karenanya, jika kau ingin hidup abadi  sepanjang masa, menulislah!” pungkas Kholid mengakhiri pesannya.

Posted by Tina Siska Herdiansyah




You have read this article Budaya with the title Bisnis di balik Kabar Media Massa. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/bisnis-di-balik-kabar-media-massa_7.html. Thanks!

No comment for "Bisnis di balik Kabar Media Massa"

Post a Comment