Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Gus Dur. Show all posts
Showing posts with label Gus Dur. Show all posts
Sunday 26 May 2013

Gus Dur Biography

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, known as Gus Dur was born in Jombang, East Java, on 7 September 1940 from the couple Wahid Hasyim and Solichah. He was born with the name Abdurrahman Addakhil or "the Conqueror", and then more fondly known as Gus Dur. Gus Dur is the first son of six children from a very respectable family in the Muslim community of East Java. Grandfather of his father is
K.H Asyari Hashim, the founder of Nahdlatul Ulama (NU), while his maternal grandfather,
KH Bisri Syansuri, is the first boarding school teacher who teaches a class on women. Gus Dur's father, K.H. Wahid Hasyim, was involved in the nationalist movement and became Minister of Religious Affairs in 1949. His mother, Mrs. Hj. Sholehah, is the daughter of the founder of Pondok Pesantren in Jombang Denanyar. In addition to Gus Dur, his brother Gus Dur is also a figure of national leaders At the time of his father diangkan became Minister of Religion, Gus Dur join move to Jakarta and went to primary school before moving to SD KRIS Matraman Perwari. His education continued in 1954 at Junior High School and not the next grade, but not because of intellectual problems. His mother then sent to Yogyakarta to continue their education. In 1957, after graduating from junior high school, he moved to Magelang to study at boarding school Tegalrejo. He developed a reputation as a gifted pupil, graduated from boarding school within two years (should be four years). In 1959, Gus Dur Tambakberas moved to boarding school in Jombang and get his first job as a teacher and head of the madrassa. Gus Dur is also a journalist and magazine Horizon Culture Jaya. In 1963, Wahid received a scholarship from the Ministry of Religious Affairs to study at Al Azhar University, Cairo, Egypt, but did not finish due to the criticality of his mind. Gus Dur and then studied at the University of Baghdad. Although initially neglected, Gus Dur can finish his education at the University of Baghdad in 1970. He went to Holland to continue his education, to study at the University of Leiden, but disappointed that his education in Baghdad under-recognized here. Gus Dur and then went to Germany and France before returning to Indonesia in 1971. Abdurrahman returned to Jakarta and joined the Institute for Research, Education and Economic and Social Affairs (LP3ES), an organization which consists of a progressive Muslim intellectuals and social democrats. In January 1998, Gus Dur was attacked stroke and was rescued by a team of doctors. However, as a result of health condition and the vision the President to-4 is deteriorating. In addition to its stroke, his health problems allegedly caused by hereditary factors also caused a close blood relationship between her parents. In the early 1980s, Gus Dur plunge care of Nahdlatul Ulama (NU) after three times ditawarin by his grandfather. In recent years, Gus Dur NU managed to reform the body so as to make his name more and more popular among NU. At the National Congress of 1984, Gus Dur was asked as Chairman of the NU. During his first term, Gus Dur focus in reforming the educational system succeeded in improving the quality of schools and boarding school education system so that it can compete with secular schools. And finally on December 30, 2009, Gus Dur died of illness complications and was buried in Jombang, East Java. Congratulations Gus Way, may appear Gus Gus Dur Dur-bari capable of thrilling the world. Amen
You have read this article Biografi / Gus Dur with the title Gus Dur. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/gus-dur-biography.html. Thanks!
Saturday 25 May 2013

Masa Pemerintahan Gus Dur

PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA



Pendahuluan

Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua yang mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan melahirkan 3 orang presiden.

Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan sebagai bangsa yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang tapuk kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua latar di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan “seolah-olah” dapat mengayomi kebutuhan masyarakat secara umum.

Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas dengan dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen masyarakat tanpa didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk mendukung upaya tersebut adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan clean government.

Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi piranti primer kenegaraan itu, telah dimulai semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu B.J Habibie, dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi dalam beberapa aspek kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat setelah Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai momentum yang secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa. Namun demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur merupakan sebuah masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan kenegaraan yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang relatif demokratis.

Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar 40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu oleh adanya “tim pembisik” presiden yang melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua orang peresiden sebelumnya –Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri. Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah disemaikan.

Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita ketahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan program 100 hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk melaksanakan program pemerintahannya ke depan. Pencanangan 100 hari pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang melihatnya sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga yang melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.

Pencalonan Gus Dur Sebagai Antisipasi Krisis Kehidupan Bangsa

Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah komando Habibie nampaknya benar-benar telah membuka tabir demokrasi. Salah satu pilar demokrasi yang sangat fundmental yakni kebebasan berpendapat dan berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim Soeharto dan rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun dilarang, dalam waktu sekejap dapat didobrak oleh soerang Habibie yang notabene “ahli waris” rezim Soeharto sendiri. Masa transisi Habibie patut dijadikan acuan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya, karena dalam situasi politik dan ekonomi yang kacau, Habibie dapat mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang dan mengantarkan Pemilu dengan aman dan lancar.

Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan serta merta telah melahirkan bentuk aliansi-aliansi strategis dalam wacana politik kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang Pemilu, kritik dari berbagai kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat konstruktif untuk perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog interaktif, serta munculnya gerakan-gerakan yang bertameng ‘moralitas’ dengan mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa mayoritas rakyat Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk mengawal proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi lebih baik, maka Gus Dur menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan menjadi Presiden.

Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI keempat mengejutkan banyak pihak. Berbagai tafsir muncul untuk mencari makna di balik pencalonan tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap pencalonan Gus Dur hanya menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat pencalonan Yusril Ihza Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros tengah tuidak serius untuk mencalonkan Gus Dur, ini hanya sekadar manuver untuk menarik perhatian ketika pamor mereka mulai redup.

Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan ketidakyakinan atas apa yang telah terjadi meski Gus Dur menyatakan diri siap dan menerima pencalonan dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya ketika Fraksi Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan pencalonan dari Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur menerimanya secara terbuka.

Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur untuk menerima pencalonan dirinya, meskipun jauh sebelum itu dia secara terbuka mendukung Megawati untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk mencairkan ketegangan di masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu pendukung calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan datang ke Jakarta untuk mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika Megawati tidak terpilih menjadi Presiden.

Fanatisme terhadap kandidat Presiden Megawati ini mendapat reaksi balik dari pendukung kandidat Presiden Habibie dengan ancaman yang senada. Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan Pemuda Ka’bah, masyarakat wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan sebagainya siap mati demi mempertahankan Habibie.

Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan karena siapapun yang terpilih akan memancin reaksi penolakan. Di sinilah perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi masa tersebut tidak mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi dan idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang dianggap mampu untuk menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua kepentingan di atas, menerima pencalonan dirinya. Dengan demikian benturan masa dapat dihindarkan.

Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membutuhkan pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi, dan sikap arif dalam melihat dan memahami persoalan. Hal-hal semacam ini tidak terlihat selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya perdebatan membahas tata tertib dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan masing-msaing kelompok, semntara pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan nasib bangsa justru tidak terlihat menjadi fokus perdebatan.

Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa terpanggil untuk menyelesaikan dan manjawab masalah secara lansung. Dalam rangka meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu tampil kedepan menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran persoalan yangn makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur merasa dapat mengawal proses perjalanan bangsa secara langsung, mengajari para pemimpin bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa.

Dari argumentasi di atas dapat dipahami bahwa rivalitas Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden saat itu sebenarnya bukan Megawati atau Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di balik kedua kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan upaya melawan kepentingan dan kekauatan lain yang mencoba bermain dalam kancah perpolitikan Indonesia melalui elit-elit politik. Di samping itu juga untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan memelihara kepentingan bersama bangsa Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.

Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh semua pihak, maka kemenangan Gus Dur dalam perhelatan perebutan kursi Presiden ketika itu semata-mata dianggap dapat menetralisir berbagai benturan kepentingan yang sedang bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan adanya kondisi darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis merebut kekuasaan. Dalam kondisi emergency inilah sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang dapat membangun kesadaran semua warga bangsa untuk tetap bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak urgensi pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis kehidupan bangsa yang ada.

Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur

Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah melanda dan menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari terbentuknya kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan yang ada. Dan semua anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa.

Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus dapat mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan dukungan terhadap eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun garda reformasi muatannya lebih dominan ketimbang status quo, namun dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan utama, terlebih pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik. Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu.

Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga. Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham, namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri. Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para keluarga yang tergabung dalam PKI.§

Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik layak secara ekonomis, teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral yang dapat menyandung perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena itu, perencanaan program pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan pihak-pihak pembisik yang memiliki interest individu.

Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya diciptakan manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan alasan bahwa menurut rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Di sinilah awal mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI. Lebih parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.

Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap pemerintahan Gus Dur dipandang mulai melemah, baik pada kalangan Polri dan TNI maupun poros tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka Gus Dur melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah faktual dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran manuver politiknya di luar negeri inilah, Gus Dur lebih sering bongkar pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak kondusif dan tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat simpati akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat terhadap sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam money pilitic akan tetapi atas dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini nampaknya tidak dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di daerah “feri-feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.

Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri, sehingga dapat menjatuhkan dia dari singgasana Presiden adalah ketika dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang kemudian menjadi maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap seperti ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang dalam UUD 1945 telah digariskan sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi Gus Dur ini, kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan statemen-statemen yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.

Di sini terlihat bahwa harapan terhadap pemerintahan Gus Dur yang akan mampu membawa keluar kondisi krisis bangsa dengan didukung oleh sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui lembaga politik formal maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam tindakan kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang paling urgen tentunya, Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan para pendukungnya, paling tidak dapat mempertahankan kabinatnya yang terdiri dari bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah, perjalanan pemerintahan Gus Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa ini. Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para pembisiknya yang mempunyai kepentingan individual dan sesaat untuk mengumpulkan materi disaat Gus Dur memimpin. Secara faktual banyak orang kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan Gus Dur dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Di samping itu, wacana yang ingin dibangun pada pemerintahan Gus Dur yang orang pun akan percaya bahwa Gus Dur akan mampu memberantas KKN, namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri terlibat dalam kasus KKN yakni kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping skandal-skandal lainnya, seperti bantuan Sultan Brunai Darussalam sebesar 2 juta US Dollar. Di sini terlihat bahwa sikap dan tindakan Gus Dur sebelum menjabat Presiden yang dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan demokrasi juga Good Governance dan Clean Government, ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan tindakan Gus Dur justru tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran dan ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan agama dengan sikap dan tindakannya selama menjabat Presiden ternyata sangat bertolak belakang.

Analisis

Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh sangat dramatis dan mengecewakan, disebabkan oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama, sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur mempertahankan koalisi yang telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya. Namun yang dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi partai-partai yang mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang notabene partai pendukungnya, juga membuat jarak dengan komponen bangsa lainnya seperti TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu percaya dengan teman-teman dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang ingin memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan limpahan materi atau posisi-posisi tertentu. Ketiga, Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia sebagai Presiden sebagai perwujudan persetujuan semua komponen bangsa terhadap dirinya untuk mengatasi krisis kenegaraan yang tengah melanda, sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon secara positif oleh seluruh komponen bangsa yang ada.

Munculnya ketiga faktor yang mendominasi sikap dan tindakan Gus Dur tersebut, secara sosiologis disebabkan oleh keberadaan Gus Dur yang dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai tradisional yang oleh sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan dihormati pendapat atau tindakannya. Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada sangat dominan untuk tunduk dan patuh terhadap pendapat Kiyainya, sekalipun dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang murid atau santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun sanggahan atau kritik itu bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap tidak etis dan akan “kualat”.

Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus Dur lahir, sehingga watak atau karakter dasar pesantren selalu menyertainya. Bisa diperhatikan manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping sikapnya yang arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan keberadaan atau status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan dari Sultan Brunai diterima oleh dia yang telah menjabat sebagai Presiden bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara, akan tetapi diokelola oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen pesantren bahwa seluruh lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak pimpinan untuk mengelolanya, tanpa ada sistem yang baku yang dijadikan sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol kinerja kepemimpinannya.

Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus Dur sebagai orang yang sangat cerdas, berpengetahuan luas, berpergaulan luas, orator, dan propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien. Padahal kunci utama manajerial adalah bagaimana mengelola sesuatu itu bisa efesien dan efektif.
You have read this article Gus Dur with the title Gus Dur. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/masa-pemerintahan-gus-dur_25.html. Thanks!

Biodata Gus Dur

BIODATA GUS DUR

ABDURRAHMAN WAHID
DATA PRIBADI
Kewarganegaran
:
Indonesia
Tempat, Tanggal Lahir
:
Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940
Istri
:
Sinta Nuriyah
Anak
:
1. Alissa Qotrunnada Munawaroh (P)
2. Zannuba Arifah Chafsoh (P)
3. Annita Hayatunnufus (P)
4. Inayah Wulandari (P)
Alamat Rumah
:
Jl. Warung Silah No. 10, Ciganjur
Jakarta Selatan 12630 - Indonesia
PENDIDIKAN
1966-1970
:
Universitas Baghdad, Irak
Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
1964-1966
:
Al Azhar University, Cairo, Mesir
Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
1959-1963
:
Pesantren Tambak Beras,
Jombang, Jawa Timur, Indonesia
1957-1959
:
Pesantren Tegalrejo,
Magelang, Jawa Tengah, Indonesia
JABATAN
1998-Sekarang
:
Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa
2000-Sekarang
:
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Indonesia
2002-Sekarang
:
Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur
2004-Sekarang
:
Pendiri The WAHID Institute, Indonesia
PENGALAMAN JABATAN
1999-2001
:
Presiden Republik Indonesia
1989-1993
:
Anggota MPR RI
1987-1992
:
Ketua Majelis Ulama Indonesia
1984-2000
:
Ketua Dewan Tanfidz PBNU
1980-1984
:
Katib Awwal PBNU
1974-1980
:
Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
1972-1974
:
Dekan dan Dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang
PENGALAMAN ORGANISASI
2003
:
Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional
Penasehat
2002
:
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
Penasehat
1990
:
Forum Demokrasi
Pendiri dan Anggota
1986-1987
:
Festifal Film Indonesia
Juri
1982-1985
:
Dewan Kesenian Jakarta
Ketua Umum
1965
:
Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo –
United Arab Republic (Mesir)
Wakil Ketua
AKTIVITAS INTERNASIONAL
2003-Sekarang
:
Non Violence Peace Movement,
Seoul, Korea Selatan
Presiden
:
International Strategic Dialogue Center,
Universitas Netanya, Israel
Anggota Dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt
:
International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London, Inggris
Presiden Kehormatan
2002-Sekarang
:
International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
Anggota Dewan Penasehat Internasional
2002
:
Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat
Presiden
1994-Sekarang
:
Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel
Pendiri dan Anggota
1994-1998
:
World Conference on Religion and Peace (WCRP),
New York, Amerika Serikat
Presiden
1994
:
International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda
Penasehat
1980-1983
:
The Aga Khan Award for Islamic Architecture
Anggota Dewan Juri
PENGHARGAAN
2004
:
Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
:
The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
2003
:
Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
:
World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
:
Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
2002
:
Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Jakarta, Indonesia.
:
Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
2001
:
Public Service Award, Universitas Columbia ,
New York , Amerika Serikat
2000
:
Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP),
New York, Amerika Serikat
:
Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
1998
:
Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
1993
:
Magsaysay Award, Manila , Filipina
1991
:
Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
1990
:
Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
DOKTOR KEHORMATAN
2003
:
Netanya University , Israel
:
Konkuk University, Seoul, South Korea
:
Sun Moon University, Seoul, South Korea
2002
:
Soka Gakkai University, Tokyo, Japan
2001
:
Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand
2000
:
Thammasat University, Bangkok, Thailand
:
Pantheon Sorborne University, Paris, France
1999
:
Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand
HOBI
:
Mendengarkan dan menyaksikan pagelaran Wayang Kulit.
:
Mendengarkan musik, terutama lagu-lagu karya Beethoven berjudul Symphony No. 9 th, Mozart dalam 20 th piano concerto, Umm Khulsum dari Mesir, Janis Joplin dan penyanyi balada Ebiet G. Ade.
:
Mengamati pertandingan sepak bola, terutama liga Amerika latin dan liga Eropa.
:
Mendengarkan audio book, terutama mengenai sejarah dan biografi.
Abdurrahman Wahid telah menghasilkan beberapa buah buku. Hingga saat ini dia terus menulis kolom di sejumlah surat kabar. Selain itu, dia masih aktif memberikan ceramah kepada publik di dalam maupun luar negeri.

sumber: www.gusdur.net

You have read this article Biografi / Gus Dur with the title Gus Dur. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/biodata-gus-dur.html. Thanks!
Wednesday 28 November 2012

Sejarah Mencatat, Bagaimana Gus Dur Dilengserkan Amin Rais DKK

Siapapun tahu, kalau Gus Dur sosok humoris. Salah satu humornya yang paling diingat adalah humor tentang presiden. Coba simak petikan humornya yang konon terjadi kala bertemu dengan Fidel Castro. Saat itu Castro menyatakan kekagumannya pada Indonesia dan menyatakannya sebagai bangsa yang besar.

Gus Dur seperti biasanya menanggapi pujian Castro dengan humornya, berikut:“Ya iyalah. Itu kan karena presiden Indonesia pada gila semua. Soekarno, presiden gila wanita. Soeharto, presiden gila harta. Habibie, presiden yang benar-benar gila ilmu dan teknologi. Nah, saya sendiri presiden yang benar-benar gila yang dipilih oleh orang-orang gila.”

Jadi, Gus Dur sendiri mengakui dirinya gila yang dipilih oleh orang-orang gila. Seperti diketahui, tahun 2000 muncul kasus bulogate dan brunaigate. Kemudian skandal pencopotan mentri, darurat militer Maluku semakin memburuk, Amien Rais yang semula mendukung kini jadi pihak oposisi.

Pada bulan Maret 2001, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan di dalam kabinetnya sendiri.  Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra ketika itu dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur.

Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.

Pada akhirnya roda kepemimpinan tidak mampu tertahan lagi untuk berputar. Sekali lagi kekuasaan seorang presiden harus digulingkan secara tidak hormat. Gus Dur pada akhirnya merasakan kejamnya dunia politik serta pahitnya rasa pil yang harus ditelan mentah-mentah.

Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Saat itulah rakyat Indonesia melambai tangan seraya berkata: “Sayonara Gus Dur.”

Detik-detik Kejatuhan Gus Dur

Kisah menegangkan menjelang kejatuhan Gus Dur dari kursi Presiden RI pada 23 Juli 2001 memang kerap dibahas sebagai bagian dari sejarah penting perpolitikan Indonesia. Kekuasaan Gus Dur dihentikan oleh MPR melalui Sidang Istimewa dalam situasi gejolak politik yang cukup panas dan genting. Para pendukung Gus Dur melakukan unjuk rasa besar-besaran di depan Istana. Polisi dan tentara juga berjaga-jaga.

Bahkan, rumah Wakil Presiden Megawati yang dipastikan bakal menggantikan Gus Dur sebagai orang nomor satu RI juga dijaga ketat tentara. Di sana, dua panser juga siap siaga. Suasana di kediaman Mega benar-benar siaga I.

Dari berbagai sumber, termasuk dari buku Gus Dur, Politik dan Militer, terungkap bagaimana panasnya suhu politik saat itu. Berikut ini detik-detik peristiwa menegangkan dibalik kejatuhan Presiden Wahid.

Pada 22 Juli 2001, Minggu malam, para kyai NU, kelompok LSM dan simpatisan mendatangi Istana guna memberikan dukungan pada Gus Dur. Massa pendukung Gus Dur dari berbagai daerah melakukan aksi di Monas dan depan Istana Merdeka Jakarta.

Esoknya, 23 Juli 2001, pukul 01.10 WIB: Gus Dur mengeluarkan dekrit Presiden yang berisi pembubaran parlemen (DPR dan MPR) dan pembekuan partai Golkar, serta mempercepat pemilu. Dekrit ini molor tiga jam dari rencana semula yang akan diumumkan pada 22 Juli, pukul 22.00 WIB.

Pukul 01.30 WIB, MPR menggelar rapat pimpinan yang diketuai oleh Amien Rais. Sesuai menggelar rapat, Ketua MPR menggelar jumpa pers didampingi wakil Ketua Ginanjar Kartasasmita, Hari Sabarno dan Matori Abdul Djalil. Amien meminta TNI mengamankan Sidang Istimewa MPR.

Kemudian pukul 08.30 WIB, MPR menggelar sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. SI MPR diawali dengan pandangan fraksi-fraksi. Sidang digelar setelah 592 dari 601 anggota MPR dalam sidang sebelumnya menyatakan persetujuannya.

Pukul 12.45 WIB, Alwi Shihab menemui Gus Dur. Presiden menyatakan dirinya dizalimi secara politik oleh orang Senayan. "Gus Dur akan bertahan di Istana," kata Alwi.

Pukul 16.53 WIB, MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan mengangkat Megawati sebagai Presiden. Mobil RI II seketika diganti RI I.

Selanjutnya Megawati dilantik oleh MPR dan mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden baru hingga 2004 yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid.

Pada malam harinya, pukul 20.50 WIB, Gus Dur keluar menuju beranda Istana Merdeka dengan mengenakan celana pendek, kaos dan sandal jepit. Dituntun putrinya Yenni serta dan mantan asisten pribadi Zastrouw, Gus Dur melambaikan tangan pada para pendukungnya yang histeris di depan Istana.

Singkat cerita, Presiden RI ke 4 Alm. Abdurrahman Wahid: ”Digulingkan dengan paksa” dari jabatannya oleh keputusan Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, yang membuatnya terdepak dari Istana sebelum akhir masa jabatannya. Presiden Abdurrahan Wahid (Gus Dur) menduduki kursi kepresidenan hanya 2 tahun 9 bulan.
You have read this article Gus Dur with the title Gus Dur. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/11/sejarah-mencatat-bagaimana-gus-dur.html. Thanks!