Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Pesulukan. Show all posts
Showing posts with label Pesulukan. Show all posts
Saturday, 5 July 2014

Puasa Ramadhan Sebagai Taraqqi Ruhani KeturunAn Adam AS

Sebagaimana telah disampaikan dalam ngaji suluk ngalah jum’at lalu (27/06), dalam ngaji Jum’at rutinan bersama para mantri malam ini (04/07) Romo, sapaan akrab K. Ng. H Agus Sunyoto kembali menegaskan betapa berpuasa di bulan Ramadlan ini menjadi satu medan latihan yang tidak boleh disia-siakan karena orang yang menjalankan ibadah puasa tengah berada pada maqam ihsan, yakni maqam ketika “kita beribadah seakan-akan melihat Allah, dan jika kita tidak melihat-Nya, maka kita yakin Allah melihat kita.” Seseorang yang tengah berpuasa, ungkap Romo, tidak akan pernah berani makan atau minum walau sedikit jika belum tiba waktu berbuka, baik itu ketika seseorang sedang berada di antara kerumunan orang maupun saat di tempat sunyi sendirian. “Dengan menempuh amaliah ibadah puasa, seorang beriman berada pada derajat Ihsan,” ungkap Romo menegaskan, “Karena itu jangan sia-siakan waktu selama Ramadhan.”
Sebenarnya, ungkap Romo, seseorang yang berpuasa Ramadhan itu sedang menjalani proses taraqqi ruhani sebagai anak cucu Adam AS. Dahulu kala, lanjut Romo menjelaskan, ketika Adam pertama dicipta, ia hidup bersama makhluk-makhluk gaib yang tidak makan seperti malaikat dan Iblis. Namun akibat memakan makanan terlarang (buah khuldi), Adam pun diusir dari taman yang damai (Jannah Darussalam), di mana saat itu ruhani Adam mengalami tanazzul – turun derajat – menjadi makhluk ragawi yang fana. “Berbeda dengan hukuman manusia di dunia berupa penjara dan siksaan fisik, Allah menghukum Adam AS dengan menempatkan Al-Ghayn yang menjadikan Adam AS turun derajat ruhaninya tidak bisa lagi berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib dan tidak bisa pula berwawansabda dengan Sang Pencipta,” ungkap Romo menguraikan.
Sadar bahwa dirinya telah mendzalimi nafs sendiri, Adam AS beristighfar memohon ampun dengan berpuasa untuk kembali berproses mendaki (tarraqi) menuju Allah, sampai mencapai derajat Adam Ma’rift, yaitu derajat Adam sebagai wakil Allah (kholifah Allah) yang disujudi malaikat dan bisa komunikasi dengan Tuhan dan makhluk-makhluk alam gain. “Karena itulah orang yang berpuasa dan berhasil menjalankan puasanya dengan sempurna, mereka akan mencapai fitrah, yaitu derajat Adam sebagai khalifah Allah, sehingga disebut dengan istilah ‘Idul Fitri’ – kembali kepada Fitrah,” ungkap Romo menjelaskan.
Banyak orang memaknai ‘idul fitri dengan kembali kepada kesucian, di mana seseorang terbebas dari segala dosa, suci ibarat bayi yang baru lahir. “Ya silahkan saja, tiap orang berhak mengemukakan pendapatnya sebagai yang benar, karena tidak boleh ada yang klaim bahwa pendapatnya saja yang paling benar,” ucap Romo. Yang jelas, lanjut Romo, yang ia yakini makna fitrah yang dimaksud dalam konteks Idul Fitrih adalah kembali kepada derajat ruhani Adam ma’rifat, di mana manusia sebagai keturunan Adam dapat berkomunikasi langsung dengan Allah Swt, karena telah menemukan ruh al-haq yang Allah tiupkan ke dalam diri Adam, sebagaimana firmanNya dalam al-Qur’an al-Kariim.
Jelas, bahwa sebelum ditiupkan ruh ilahi ke dalam diri Adam, ia hanyalah makhluk yang tercipta dari tanah, sebagaimana kalamNya: … inni kholiqu basyaron min sholshoolin min hamaim masnun… (Qs. Al-Hijr: 28) lalu ditiupkan kepadanya ruh ilahi yang menjadikan Adam pantas dan layak menjadi kholifatullah fil ardh. Saat itu, papar Romo, seluruh makhluk, baik malaikat maupun iblis diperintahkan untuk bersujud menyembah Adam. Maka semua makhluk bersujud kecuali iblis. “Mengapa demikian?” tanya Romo. Ya karena iblis tidak tahu, bahwa Allah telah meniupkan sebagian Ruh Suci Ilahi ke dalam diri Adam, yang Iblis tahu bahwa Adam hanyalah makhluk yang tercipta dari tanah, sedang ia (iblis) tercipta dari api yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding dengan tanah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Isra’: 61
Karena Ruh al-Haqq itu pula, ungkap Romo, dalam perjalanan mi’roj sewaktu Nabi Muhammad Saw dan malaikat Jibril sampai ke Sidrotul Muntaha, Nabi Saw diminta Jibril untuk melanjutkan perjalanan naik ke Alam Ilahiyyah untuk bertemu dengan Allah, sementara malaikat Jibril terhenti tidak bisa melanjutkan perjalanan menembus Alam Ilahiyyah. Jibril tidak bisa naik melampaui Sidratul Muntaha, ungkap Romo, karena Sidrotul Muntaha merupakan batas antara alam makhluk dan Alam Ilahiyyah, di mana hanya makhluk yang memiliki anasir sifat Ilahiyyah saja yang dapat menembusnya, di mana Muhammad Saw selaku keturunan Adam AS yang telah Allah tiupkan sebagian Ruh-Nya ke dalam dirinya yang bisa menembus hijab Ilahiyyah untuk kembali kepada-Nya.
Dengan memahami Adam AS sebagai kholifah Allah, lanjut Romo, ketika manusia ingin mencari Allah, maka hendaklah dicari di dalam hati (qalb). Telah jelas Allah sampaikan dalam hadits qudsi, jelas Romo, Laa yasani ardli wa laa samaa’i walakin yasani qolbu abdul mu’min. Hal tersebut dikuatkan pula oleh doktrin man ‘arofa nafsah, faqid ‘arofa robbah; siapa yang kenal nafs-nya akan kenal Robbnya. Karena itu pula, jelas Romo, Islam melarang umatnya untuk mengkultuskan sesuatu benda seperti batu, pohon, gunung, bulan, bintang atau yang lainnya. “Karena sekali pun Tuhan ada di mana-mana tetapi Tuhan tidak bisa dicapai melalui makhluk-makhluk fana, tetapi bisa dicapai melalui qalbu yang tersembunyi di dalam diri manusia itu sendiri,” ujar Romo menegaskan.
Mengenai keterhijaban keturunan Adam AS dengan Sang Pencipta, ungkap Romo, dihadirkan lewat sebuah kisah tentang perjalanan haji Abu Yazid Bustami, seorang tokoh sufi asal Persia. Romo bercerita bahwa Abu Yazid telah berhaji 3 kali, di mana pada masing-masing hajinys ia mengalami perjalanan yang luar biasa. Pada haji pertama, Abu Yazid bertemu dengan batu saja. Pada haji kedua Abu Yazid bertemu dengan batu dan Pemilik batu. Dan pada hajinya yang ketiga, ia hanya menyaksikan Pemilik batu saja tanpa melihat wujud batu secara fisik. Hal tersebut menunjukkan betapa Abu Yazid telah sampai pada penglihatan ruhaninya, sebagai Adam Ma’rifat.
Nah, puasa Ramadhan ini, nasihat Romo, merupakan satu pijakan luar biasa untuk bisa sampai pada penglihatan ruhani sebagaimana yang terjadi pada Abu Yazid al Bustami. Karena itu sekali lagi Romo berpesan untuk tidak menyia-nyiakan momen penting itu. Syaikh al-Akbar Ibnu Arobi, papar Romo, menjelaskan bahwa puasa adalah satu-satunya ibadah yang tidak memiliki bentuk. Kalau sholat memiliki gerakan-gerakan yang jelas tampak oleh inderawi, pun demikian dengan ibadah haji yang memiliki sederet ritual-ritual yang kasat mata, ibadah zakat, shodaqoh, sampai bersyahadat, tapi tidak demikian dengan puasa. Puasa adalah ibadah yang tidak bisa dilihat secara visual, puasa dan tidaknya seseorang, orang lain tidak akan bisa mengetahui. Puasa adalah pengejawantahan sifat tanzih Tuhan, Laisa kamitslihi syai’un.
Dalam filsafat jawa, ungkap Romo mengaitkan, orang mengenakan baju surjan yang memiliki 5 kancing baju, di mana dua kancing baju berada di luar dan 3 kancing yang lainnya tertutup berada di bagian dalam. Hal itu memiliki makna filosofis, bahwa dalam 5 rukun Islam, 2 di antaranya — haji dan zakat — merupakan ibadah yang ditampakkan oleh indera dan bisa disaksikan oleh orang banyak. Sedang 3 amaliah ibadah yang lainnya, syahadat, sholat dan puasa merupakan ibadah yang sifatnya tidak tampak atau disembunyikan. Hal itu dilandasi oleh suatu pandangan yang berkaitan dengan indera penglihatan, yang merupakan satu penghalang bagi manusia untuk sampai kepada penglihatan ruhani.
Selain mengesampingkan aspek indera dan akal pikiran, ungkap Romo, salah satu cara untuk membuka tabir al-Ghayn (hijab penghalang antara makhluk dengan Tuhan) adalah dengan istighfar dan berpuasa, jelas Romo. Hal itu juga yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar, sebuah do’a permohonan ampun Adam terhadap Tuhannya, robbana dholamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa lanakunanna minal khosirin dengan nada khas Sunda Cirebonan. “Karena itu, banyak-banyaklah beristighfar agar bisa nyambung dengan Allah,” nasihat Romo mewanti-wanti.
Allah itu melingkupi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Saat ditanya Allah itu di mana? Otomatis manusia akan kebingungan menjelaskan terutama ketika pertanyaan itu dijawab menggunakan akal pikiran. “Ikan di dalam aquarium itu mengajari hikmah bagi manusia,” papar Romo sambil menunjuk aquarium yang dipasang di kusen jendela.
Dengan mengambil metafora ikan di lautan, Romo mengisahkan sebuah cerita tentang seekor ikan besar yang sedang mengamati seekor ikan kecil yang mondar-mandir di depannya, bergerak tak tentu arah. Lalu terjadilah percakapan di antara kedua ekor ikan itu:
Ikan Besar: “Wahai Ikan Kecil, mengapa sejak tadi kamu mondar-mandir terus?”
Ikan Kecil menjawab: “Sudah lama aku mencari laut, aku ingin ke sana, tapi aku bahkan tak tahu di mana tempatnya dan lewat jalan mana agar aku sampai ke sana.”
Ikan Besar: “Wahai ikan kecil, kau tak akan pernah tahu apalagi sampai ke laut jika kau belum tahu apa itu air.”
Ikan Kecil: “Memang kau tahu apa itu air wahai Ikan Besar?”
Ikan Besar: “Sayangnya, sampai saat ini juga aku belum tahu apa itu air wahai Ikan Kecil.”
Lalu mereka berdua berenang menemui ikan tua yang tinggal di gua dan mengadukan permasalahan yang tengah mereka hadapi.
Ikan Besar: “Wahai Ikan Tua, Ikan Kecil sedang berputar-putar mencari laut, tetapi ia tak juga menemukan jalan untuk mencapainya.”
Ikan Kecil menyahut: “Benar Ikan Tua. Menurut Ikan Besar aku akan bisa mencapai laut jika aku mengetahui apa itu air. Tapi sayang, Ikan Besar juga belum tahu apa itu air.”
Ikan Tua pun menasihati Ikan Besar dan Ikan Kecil dengan bijak, “Wahai Ikan Besar dan Ikan Kecil, kalian tidak akan pernah bertemu dengan laut dan air jika kalian mencarinya menggunakan akal-pikiran dan indera kalian. Karena sejatinya air meliputi kalian. Air sangat dekat dengan kalian, saking dekatnya sampai kalian tidak mengetahui dan menyadari keberadaannya. Karena itu, diamlah! Singkirkan indera dan akal pikiranmu! gunakan rasa! Rasakan! Resapi! Hayati! Rasakan bagaimana insangmu dapat kembang-kempis saat kalian bernapas! Rasakan bagaimana siripmu bisa bergetar dan bergerak-gerak tanpa ada yang menggerakkan! Rasakan dengan sungguh-sungguh, niscaya kalian akan tahu bahwa kalian sejatinya sedang berada di dalam air.”
Setelah mendengarkan penjelasa Ikan Tua dan mempraktikkannya, Ikan Besar dan Ikan Kecil baru menyadari bahwa sebenarnya mereka tengah berada di dalam air. Mereka merasakan bagaimana insang mereka bergerak kembang-kempis dialiri sesuatu yang tak terlihat mata. Mereka sadar bahwa laut adalah kumpulan dari air yang sangat banyak. Air bagi ikan adalah ‘Yang Meliputi segala, ‘ Abadi’, ‘Maha Luas’, ‘Tunggal’, tempat hidup dan mati, di mana tanpa air ikan akan mati. Demikian juga metafora bagi manusia, ungkap Romo, di mana kehampaan atmosfer yang meliputi manusia adalah Yang Mahameliputi, Mahaluas, Mahabesar, Tunggal tidak terpecah, Abadi, Mahasegala bagi manusia. Lalu muncul pertanyaan dari akal, apakah kekosongan atmosfir itu adalah Tuhan? Husein bin Mansur al-Hallaj mengatakan huwa laa huwa – Dia tetapi bukan Dia. Lalu siapa Dia yang sebenarnya?
Dia adalah haqqi qat Keberadaan Tuhan yang meliputi empat aspek, ungkap Romo menjelaskan. Yaitu: Asma’-Af’al-Shifat-Dzat. Hal ini digambarkan dalam satu symbol kata الله, di mana symbol kata الله jika diurai akan menjadi:
الله – لله – له – ه
Mohammad (s)Lafadz Allah menunjuk Nama Tuhan, yakni Haqqi qat Asma’ Tuhan; jika huruf Alif hilang, maka lafadz Allah akan menjadi lafadz Lillah menunjuk kepada Af’al di mana Dia meliputi dan memiliki segala ciptaan-Nya; jika huruf Lam awal hilang, lafadz Lillah akan menjadi lafadz Lahu yang mewakili Shifat di mana segalanya sejatinya adalah shifatNya semata. Begitulah, sewaktu huruf Lam menyingsing lafadz Lahu menjadi lafadz Hu yang berarti Dia, yakni Haqqi qat Dzat Yang tidak terdefinisikan karena tidak ada satu pun pengetahuan yang bisa menjelaskan-Nya.
Dalam menjelaskan secara metaforik tentang makna haqqi qi الله, Romo mengungkapkan sebuah kisah tentang 4 ekor anai-anai yang membincang haqqi qat api. Anai-anai pertama, mengaku kenal api sebatas mengikuti kata-kata ibu, ayah, nenek, kakek. Itu sebabnya, sewaktu ia ditanya, “Apakah kamu pernah melihat api?” Anai-anai itu menjawab: Tidak! “Inilah golongan awam seperti kita, yaitu yang mengenal Dia hanya dari katanya ini dan itu. Golongan inilah yang paling banyak jumlahnya di dunia ini,” ungkap Romo.
Anai-anai kedua menyatakan bahwa api itu berwarna merah tetapi tidak panas. Ketika ditanya, kenapa api tidak panas, ia menjawab karena melihat api dari jauh.
Anai-anai ketiga menyatakan bahwa api itu kalau didekati rasanya memang panas tetapi warnanya tidak hanya merah, tetapi juga biru, kuning, juga putih.
Anai-anai keempat menyatakan bahwa ia tidak tahu apa itu api dengan definisinya, bagaimana warna dan rasanya. “Tapi lihatlah, sayapku telah terbakar oleh api,” kata anai-anai keempat.
Bertolak dari cerita itu, jelas Romo, dapat diketahui bahwa seseorang yang telah mengenal Allah, maka ia tidak akan dapat menjelaskan dengan akal-pikirannya tentang bagaimana penggambaran definitif Allah, bagaimana bentuk dan rupa-Nya, di mana Dia ber-Ada, dan seterusnya dan seterusnya. Rasulullah Saw melarang penggunaan akal-pikiran untuk memikirkan Dzat Tuhan, karena pikiran untuk makhluk ciptaan Tuhan. “Karena itu kenali Tuhan melalui rasa atau zauq. Karena Dia tidak bisa didekati panca indera dan akal,” tegas Romo menjelaskan, “Makanya, untuk dapat menggunakan rasa atau zauq, sering-seringlah diasah dengan puasa, sholat, sholawat, tadzakur, tanaffus, takhliyyah secara istiqomah sebagaimana selama ini sudah dipelajarim dilatih dan diamalkan. Jangan menyia-nyiakan bulan puasa yang istimewa ini untuk berjuang mendekatikan diri kepada-Nya,” pinta Romo kepada para mantri mengakhiri ngaji malam itu.
Posted by Tina Siska Hardiansyah
You have read this article Pesulukan with the title Pesulukan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/07/puasa-ramadhan-sebagai-taraqqi-ruhani.html. Thanks!
Tuesday, 11 March 2014

AL-MIHRAB: Zuhud dan Usaha Mencapainya

 Oleh: Ustadz Nadzirien
 Allah swt berfirman : “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS.Al-Hadiid : 20)
Dari Anas ra, Rasulullah Saw besabda,: “Akan didatangkan orang yang paling nikmat kehidupannya di dunia dan ia termasuk golongan ahli neraka pada hari kiamat nanti, lalu dicelupkan ke dalam neraka sekali celupan.
Kemudian dikatakan : “Hai anak Adam, apakah engkau dapat merasakan suatu kebaikan (kenikmatan yang pernah menghampirimu di dunia) sekalipun sedikit..?”
Ia berkata: “ tidak.. demi Allah, ya Robbku” juga akan didatangkan orang yang paling menderita (sengsara) di dunia dan ia termasuk ahli surga, lalu ia dicelupkan (dimasukkan) sekali masuk ke dalam surga.
Kemudian dikatakan padanya : “ hai anak Adam, apakah engkau dapat merasakan suatu kesengsaraan yang pernah menghampirimu di dunia, walaupun sedikit..?”
Ia menjawab :”Tidak,demi Allah, tidak ada kesukaran yang menghampiri diriku dan tidak pernah saya merasakan kesengsaraan sedikit pun.” (HR.Muslim)

Allah swt berfirman : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS.Ali Imran : 14)
Al-Junaid berkata : “Zuhud ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa ingin memiliki dan ambisi menguasai.”
Suatu hari Umar bin Khathab ra menemui Rasulullah Saw di kamar beliau, Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas tikar usang yang pinggirnya telah lapuk. Sehingga jejak tikar itu membekas di belikat beliau, dan sebuah bantal yang keras juga membekas di bawah kepala beliau, juga lajur-lajur membekas di kepala Beliau. Air mata Umar bin Khathab ra meleleh, ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi pemimpin tertinggi umat islam itu.
Rasulullah saw melihat air mata Umar ra berjatuhan. Kemudian Rasulullah bertanya : “Apa yang membuatmu menangis wahai  Ibnu Khathab?
Umar ra menjawab dengan perkataan terbata-bata bercampur perasaan yang terbakar (sedih) : “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar itu membekas di belikat Anda, dan aku tidak melihat sesuatu pun di lemari Anda.., padahal kisra dan kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru serta sutera, dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai. Sementara Anda seorang Nabi dan manusia pilihan Allah.…!"
Lalu Rasulullah Saw menjawab dengan senyum tersungging di bibirnya yang mulia : “Wahai Ibnu Khathab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka..?!”
Umar menjawab : “Aku rela.” (HR.Hakim,Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain : Rasulullah Saw menjawab dengan khusyuk dan merendah diri : “Apa urusanku dengan dunia..?!, perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian pergi meninggalknnya.” (HR.Tarmidzi)
Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad : “Apakah orang kaya bisa zuhud?”
Beliau menjawab: “Ya, dengan syarat ketika banyak harta tidak menjadikannya bangga dan ketika dunia luput darinya dia tidak bersedih hati.”

Imam Ahmad  membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:
1.Meninggalkan yang haram (zuhudnya orang awam)
2.Meninggalkan kelebihan-lebihan dari yang halal  (zuhudnya orang khusus)
3.Meninggalkan sesuatu yang dapat menyibukkan dari (mengingat) Allah (zuhudnya orang yang mendalami pengetahuan tentang Allah)
Dari Abu ‘Abbas Sahl bin Sa’as Assa’idi ra : “Seseorang mendatangi Rasulullah Saw, dan berkata : “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku kerjakan,Allah dan manusia akan mencintaiku?”
Beliau bersabda :”Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.” (HR.Ibnu Majah).
Dalam hadist lain, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda : “Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta benda tetapi kekayaan yan sebenarnya adalah kekayaan hati”. (HR.Bukhari dan Muslim)

Langkah Menuju Zuhud 
1.Menyadari bahwa harta dunia tidak akan dibawa mati
Dari anas ra, Rasulullah saw bersabda :”Ada tiga macam yang mengikuti mayat ketika dibawa ke kubur, yaitu: keluarganya, hartanya dan amalannya. Yang dua kembali dan yang satu ikut menyertainya. Keluarga dan hartanya kembali sedang amalnya mengikuti.” (HR.Bukhari dan Muslim)
2.Jangan diperdaya oleh syaitan
Allah swt berfirman : “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu dalam mentaati Allah.” (QS.Fathir : 5)
3.Jadikan akhirat sebagai tujuan hidup
Dari Zaid bin Tsabit ra, Rasulullah saw bersabda :”Barang siapa (menjadikan) dunia sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan atau tidak merasa cukup apa yang (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa (menjadikan) akhirat sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan, selalu merasa cukup dalam hatinya dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai dihadapannya)” (HR.Ibnu Majah, Ahmad)
4.Mengharapkan dunia sekedar cukup saja
Rasulullah saw bersabda : “Sedikit tapi mencukupi jauh lebih baik dari pada banyak tapi melalaikan.” (HR.Ibnu Majah)
5.Hidup dengan qana’ah (menerima dan mensyukuri)
Rasulullah saw bersabda :”Barangsiapa di antara kamu semua telah merasa aman dalam dirinya, sehat dalam tubuhnya, memiliki keperluan hidup pada hari itu, maka ia telah dikaruniai dunia dan seluruh isinya.” (HR.Turmudzi)
Dalam Hadist lain Rasulullah saw bersabda : “Sungguh berbahagialah orang yang beragama Islam serta diberi rejeki cukup dan diberi sifat qana’ah (menerima dan mensyukuri) dengan apa-apa yang telah dikaruniakan oleh Allah.” (HR.Muslim)
6.Tidak menjadi hamba dunia
Dari Abu Huraira ra, Rasulullah Saw bersabda : “Binasalah orang yang menjadi hamba dinar dan dirham, kain sutera serta pakaian. Jika diberi itu sukalah hatinya dan jika tidak diberi, maka tidak rela.” (HR.Bukhari)
7.Merasa asing di dunia
Dari Ibnu umar ra, Rasulullah saw menepuk kedua pundakku, lalu bersabda : “Hiduplah engkau di dunia ini seolah-olah orang asing atau orang yang menyeberangi jalan” (HR.Bukhari)
Dalam hadist lain, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :”Dunia adalah penjara bagi kaum mu’min dan surga bagi orang kafir.” (HR.muslim)

=======================================================================
Bahtsul Masaail:

Ustadz M. Rdilwan Qoyyum Sa’id

1.Pertanyaan:
Bagaimana hukumanya memakai wewangian dalam sholat dengan parfum yang mengandung campuran alcohol? Agus – Wates – Kediri & Ian Graha – Pare – Kediri.
Jawaban:
Alkohol termsuk bahan najis karena memabukkan sebagaimana khamr. Namun ia dima’fu (dimaafkan) jika berupa campuran yang sekedar untuk menjaga kualitas parfum dengan penggunaan tidak berlebihan.
Referensi:
Al-Madzahib al-Arbaah Juz 1 Halaman 19.

2.Pertanyaan:
 Bagaimana ustadz hukumnya orang yang melakukan bunuh diri? Tia – Kota Kediri
 Jawaban:
 Bunuh diri termasuk dosa besar. Rasulullah Bersabda,”Barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari ketinggian gunung, maka dia akan masuk neraka jahannam dengan terlempar ke dalamnya selama-lamanya.
Referensi: 
Hadits Shahih Bukhari -Muslim

3.Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya pecandu rokok yang terus-menerus sakit batuk  padahal menurut dokter penyebabnya adalah merokok tersebut – Yuli –Kota Trenggalek
Jawaban:
Jika ada dugaan kuat apalagi diagnose dokter bahwa merokok menjadi penyebab penyakit, misal batuk, paru-paru, jantung, dll maka para ulama sepakat hokum merokok adalah haram. Tetapi jika dugaan seperti itu masih diperselisihkan – karena banyak dokter yang merokoknya sangat kuat  -- para ulama sebagian menghukumi mubah, sebagian menghukumi makruh dan sebagian yang lain tetap menghukumi haram.
Referensi:
Bughiyah al-Mustarsyidin halaman 260





You have read this article Pesulukan with the title Pesulukan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/al-mihrab-zuhud-dan-usaha-mencapainya.html. Thanks!
Tuesday, 10 December 2013

Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari - Sufi Agung Nusantara



Oleh: Ishardhini Widyaningtyas*)

Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
PERJALANAN HIDUP
   Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari bin Idris bin Husien, demikianlah nama lengkapnya, lahir di kota Martapura, sekarang ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat dipastikan, namun merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun, maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada tahun 1122 H/1710 M maka beberapa ahli berasumsi bahwa usia beliau tentu tidak jauh berbeda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun kelahiran Muhammad  Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad. Muhammad Nafis al-Banjari berasal dari kalangan bubuhan keluarga bangsawan kerajaan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.). Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.

    Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga     pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia popular adalah ilmu tasawuf. Tidak ada catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Mekkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pada usia yang sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya, Martapura. Selain itu, juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Mekkah dan Madinah belajar bersama Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan lainnya. Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi. Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid”,  yaitu seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasawuf. Gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama. 
    Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan (Belanda waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar) , ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji. Sementara daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis mengenalkan Islam di sana. Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan.
    Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang umumnya diposisikan secara diametral. Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Sehingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.
    Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib. Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.

HAKIKAT PERBUATAN
      Pergulatan batin manusia dalam menghadapi berbagai persoalan, hakikatnya sesuai dengan alur cerita yang tertulis di buku skenario hidupnya. Tak ada satu pun peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Gerakan sekecil apapun, adalah atas kehendak Allah.
         “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ?arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Al Hadiid: 4).
          Tak ada seorang pun yang dapat menghindar dari berbagai malapetaka lahir maupun batin, melainkan Allah telah menetapkan sesuai dengan yang tertulis di skenario kitab Allah.
           “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (Al Hadiid: 22).
           Jika orang yang berjalan menuju Allah (salik) tidak melihat dan memaknai kehidupan sesuai dengan alur kehendak Allah, maka tidak menutup kemungkinan terjadi malapetaka yang dapat menjerumuskan ke dalam jurang kenistaan lahir dan batin, seperti akidah yang syirik dan amal perbuatan yang jauh dari ikhlas.
          Jalan untuk meraih keselamatan dunia akhirat adalah dengan memegang erat akidah tauhid dan syuhud (penyaksian) terhadap semua kejadian yang berlaku di alam semesta.
           Rangkaian kejadian dan perbuatan yang terbit pada mahluk, wajib dikembalikan kepada Allah, karena Dia-lah yang menjadi sumber semua kejadian, termasuk perbuatan yang mengalir pada diri manusia. Perbuatan dimaksud, tidak sebatas pada perbuatan baik, tetapi lebih luas lagi pada perbuatan yang tampak tidak baik.
           “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Al Anfaal: 17).
           Jika sudah memahami perbuatan baik itu hakikatnya baik, berarti harus pula mampu memaknai perbuatan yang tampak tidak baik, seperti perbuatan kufur dan maksiat, pada hakikatnya juga baik. Karena hakikat semua perbuatan itu bersumber dari Yang Baik, yaitu Allah. ” Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah” (An Nisaa’: 78). Namun setelah Syara’ (hukum) datang, setiap perbuatan yang terlihat tidak baik itu, kemudian dianggap sebagai perbuatan tercela, dalam arti dilarang oleh syari’at. Ini karena menegakkan perintah Allah dan menjalankan sunnah Rasul (Syari’at Islam). “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi” (An Nisaa’: 70).

KAIFIAT SYUHUD
           Tata cara (kaifiat) memandang setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta ialah dengan pandangan dan syuhud (penyaksian). Memandang bisa dilakukan dengan pandangan mata kepala, adapun syuhud dapat dilakukan dengan mata hati. Jika pandangan dan syuhud telah mewarnai semua aspek kehidupan, maka terciptalah suatu keyakinan tauhid, bahwa segala perbuatan itu bersumber dari Allah.
           Untuk menempuh keyakinan terkadang harus melalui proses berbagai metafor yang bersifat majazi dan kinayah, bukan pada kejadian yang sesungguhnya (haqiqi). Sebagai misal dalam memahami perbuatan yang muncul dari makhluk dan dikembalikan pada Allah, harus dibuat kiasan-kiasan yang dapat mendekatkan pemahaman secara ilmiah, seperti wayang dengan dalang dan lain sebagainya.
            Perumpamaan perbuatan makhluk yang disamakan dengan perbuatan khalik, hanya bersifat kiasan belaka. Karena penyamaan itu bukan dalam pengertian yang sesungguhnya, sebab semua perbuatan yang dilakukan oleh makhluk pada hakikatnya bersumber dari Allah, baik perbuatan itu bersifat langsung (mubasyarah) maupun tidak langsung (tawallud).
            Yang dimaksud dengan mubasyarah (baca: mubasyaroh) ialah perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan yang ada pada makhluk, semisal gerak pena di tangan orang yang menulis. Sedangkan pengertian tawallud ialah terjadinya perbuatan itu akibat dari perbuatan yang dilakukan secara langsung (mubasyarah), seperti jatuh batu dari tangan orang yang melempar. Kedua macam perbuatan ini bersumber dari Allah. “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat itu” (Ash Shaaffaat: 96).
            Dalam perumpamaan pena dan batu bisa di artikan: Pena pada dasarnya tidak mempunyai kekuasaan apapun, termasuk gerakan membuat titik, huruf, kalimat hingga alur cerita yang terangkai di setiap alinea dan paragraf. Pena hanya sekedar pena yang menjadi benda mati. Pena bisa bergerak mengukir cerita karena digerakan oleh yang memegang pena. Begitu pula dalam misal batu, perumpamaan ini dapat dipahami bahwa hakikat batu itu tidak dapat melakukan apapun, terlebih mampu memecahkan benda yang terbentur olehnya. Batu hanya sekedar batu yang tidak dapat membawa dirinya untuk pindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Batu bisa pindah dan membentur benda lain, karena digerakkan oleh yang melempar. Jika batu membentur kaca sampai pecah misalnya, maka pada hakikatnya yang memecahkan kaca itu orang yang melempar. Secara hukum yang bertanggungjawab orang yang melempar batu, bukan batu itu sendiri.
          Bila mampu memahami perumpamaan pena dan batu, maka tidak akan terlalu sulit untuk memaknai semua kejadian itu pada hakikatnya dari Allah. Inilah kandungan makna lafaz yang biasa diucapkan tatkala mendengar seruan kumandang azan Hayya ‘alas shalaah, Hayya ‘alal falaah dijawab: Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim “Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”.
           Dengan demikian, tidak ada satu pun perbuatan (dengan segala akibatnya) yang dilakukan oleh makhluk, melainkan sudah diputuskan dalam catatan skenario ilmu Allah yang sudah menjadi takdir perjalanan alam semesta. Menurut Syekh Muhammad Ibn Sulaiman Al-Jazuli rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) di dalam Syarah Dala-il Al-Khairat (baca: Dalailul khoirot). “Baik perkataan maupun perbuatan, termasuk gerak dan diam yang muncul dari makhluk, pada hakikatnya sudah berada dalam ‘ilmu, qadha dan qadar-Nya“. Sebagaimana pula diperkuat dalam hadis yang menjelaskan “Tidak ada yang dapat bergerak di alam semesta ini, walau sebesar dzirrah (atom) sekalipun, kecuali dengan izin Allah“.
           Akhirnya tak ada yang harus diragukan dalam menyikapi semua perbuatan yang beraneka ragam muncul dari makhluk di alam semesta, kecuali harus dikembalikan pada yang punya perbuatan, yaitu Allah. Karena hanya Dia, Dzat yang menciptakan makhluk. Semua makhluk tunduk dan patuh pada perintah dan kehendak-Nya.
            “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” (Al A’raaf: 54).
         Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seorang makhluk untuk mengingkari keberadaan Allah Dzat tempat bergantung semua makhluk, sesuai dengan fitrahnya. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar Ruum: 30).

KARYA – KARYA
    Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman, ia hanya sempat mengarang sedikit kitab. Sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah kitab saja yaitu:
1.Kanzus Saadah.
        Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasawuf. Kitab     ini     belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
2.Al-Durr  al-Nafis.
    Judul lengkapnya  adalah Al-Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya  Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci,     yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih bermukim di Mekkah, namun pada akhirnya banyak diminati dan tersebar luas ke pelosok Nusantara bahkan sampai negara-negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al     Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut  memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.
    Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.
    Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf  Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
    Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukkan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana pengharaman yang difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga memfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
    Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang berjalin- berkelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit difahami, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.
    Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS, ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama : kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Kedua : kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf  yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya seperti Insan al-Kamil, Futuh al-Ghayb, Misykat al-Anwar, Al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah, dn lain-lain . Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, di mana setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.
          Lepas dari sesat dan tidaknya kitab Al-Durr al-Nafis, yang pasti ajaran tasawuf sangat dibenci oleh pemerintah Kolonial Belanda, sebab ajaran tasawuf potensial menimbulkan kekacauan, kekisruhan, perlawanan yang berujung kepada pecahnya pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Koloniaal Archive sedikitnya mencatat, betapa sepanjang tahun 1800 sampai tahun 1900, telah pecah pemberontakan yang dipimpin guru tarikat dan haji sebanyak 112 kali, sehingga pemerintah Kolonial Belanda melarang peredaran buku-buku tasawuf. Tentu saja pemerintah Kolonial Belanda sangat bersyukur jika para ulama beramai-ramai mengharamkan semua kitab-kitab tasawuf, termasuk kitab Al-Durr al-Nafis karya Syekh Nafis al-Banjari. . 

WAFAT
        Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari wafat sekitar tahun 1812 M. dan     dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Sebuah Komplek Kuburan Muslim dengan areal kurang lebih 6 berongan, dan  sekarang makam tersebut menjadi salah  satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, yang senantiasa diziarahi oleh masyarakat dan bahkan Ulama-Ulama di Kalimantan Selatan sejak dulu jauh sebelum Indonesia Merdeka.

*) Ishardhini Widyaningtyas, Mahasiswi Prodi Sastera Inggris FIB Universitas Brawijaya


 
You have read this article Pesulukan with the title Pesulukan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/12/syekh-muhammad-nafis-al-banjari-sufi.html. Thanks!
Saturday, 3 August 2013

Post Hegemony XXI: Lailatul Qodr dalam Pandangan Sufi

 Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
          
Di tengah keheningan malam yang melingkupi Pesantren Sufi yang dipenuhi jama’ah pemburu Lailatul Qodr, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang membuat para jama’ah menoleh berbarengan ke arah halaman melihat  Mas Wardi Bashari melonjak-lonjak kegirangan di samping Sufi Sudrun. Rupanya, di bawah petunjuk dan arahan Sufi Sudrun, Mas Wardi Bashari menyaksikan dengan pandangan bashirah bagaimana gemuruh para malaikat dan ruh turun dari langit ke dunia. “Aku sudah menyaksikan. Aku sudah menyaksikan, ” seru Mas Wardi Bashari dengan nafas terengah-engah,”Sungguh pemandangan yang luar biasa menakjubkan.”
       Hanya dalam hitungan menit, mushola yang semula penuh menjadi kosong karena semua lari ke halaman, ingin menyaksikan malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh ke dunia. Sambil bertanya ini dan itu kepada Mas Wardi Bashari dan Sufi Sudrun, mereka ingin ikut menikmati anugerah ruhani menyaksikan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Sebagian di antara jama’ah yang diberitahu Mas Wardi Bashari tentang kegaiban luar biasa  yang disaksikannya yang berlangsung sampai saat itu, bersujud syukur memanjatkan puja-puji kemuliaan kepada Tuhan meski mereka tidak menyaksikan sendiri malam mulia itu. Hingar kegembiraan menyemarakkan malam ke-27 Ramadhan dengan celoteh para pemburu Lailatul Qodr.
         Setelah lebih setengah jam terlibat hiruk di halaman, Roben dan Aditya masuk ke dalam mushola, di mana mereka mendapati Guru Sufi, Sufi tua, Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Senewen sedang  tenggelam dalam kekhusyukan iktikaf. Mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan kejadian apa pun yang berlangsung di sekitarnya. Mereka melanjutkan iktikaf sampai fajar.
          Usai sholat Subuh dengan benak dikitari tanda tanya Aditya bertanya kepada Guru Sufi tentang peristiwa aneh tidak masuk akal yang dialami Mas Wardi Bashari, yaitu menyaksikan bagaimana pada malam kemuliaan itu  para malaikat dan ruh turun dari langit ke dunia. “Mohon maaf Mbah Kyai, apakah malam  kemuliaan itu memang bisa kita saksikan?” tanya Aditya.
        “Yang bersih hati dan jiwanya, bisa menyaksikan secara bashirah,” sahut Guru Sufi datar.
           “Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya belum puas,”Kalau Mas Wardi Bashari saja bisa menyaksikan Lailatul Qodr, maka logikanya  Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir pasti lebih bisa menyaksikannya.”
           Guru Sufi diam tak menjawab.
            “Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya melanjutkan pertanyaan,”Kalau Mbah Kyai punya kemampuan untuk menyaksikan Lailatul Qodr, kenapa Mbah Kyai tidak keluar untuk menyongsong Lailatul Qodr? Bukankah dengan kemampuan menyaksikan yang gaib itu, Mbah Kyai akan sangat muda menjemput malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh itu ke dunia?”
          “Kami tidak pernah berhasrat kepada godaan Lailatul Qodr,” sahut Guru Sufi dingin.
          “Apa, godaan?” sergah Aditya kaget,”Mbah Kyai tidak berhasrat kepada godaan Lailatul Qodr? Bagaimana ini? Bukankah orang sedunia beramai-ramai mencari Lailatul Qodr Mbah Kyai menganggapnya sebagai godaan,bagaimana penjelasannya?”
         “Memangnya ada perintah yang mewajibkan kita untuk mencari dan menjemput Lailatul Qodr?” sahut Guru Sufi datar,”Apakah hukum menjemput Lailatul Qodr itu wajib atau sunnah? Apakah Rasulullah Saw pernah mencontohkan iktikaf di masjid untuk mendapatkan Lailatul Qodr?”
           Aditya diam tidak menjawab.
          “Kalau berdzikir mengingat  Allah, Dzat Yang Memiliki dan Mengaruniakan Lailatul Qodr kepada umat Islam,  apakah hukumnya?” tanya Guru Sufi.
          “Kalau Dzikir itu hukumnya wajib, Mbah Kyai, karena perintah untuk dzikir mengingat Allah itu diungkapkan berkali-kali di dalam Qur’an,” sahut Aditya garuk-garuk kepala,”Tapi semua orang di dunia pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini pada berebut menjemput Lailatul Qodr. Apakah itu salah Mbah Kyai?”
          “Tidak ada yang salah dari kebiasaan memperebutkan pahala seribu bulan yang sudah berurat akar itu, sebagaimana tidak salahnya orang-orang yang berjuang keras untuk bisa masuk ke dalam surga karena Lailatul Qodr sendiri adalah bagian dari ni’mah Ilahi yang bermuara ke ni’mah surgawi. Tetapi apa yang kami lakukan dengan istiqomah mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Allah sehingga mengabaikan dan bahkan menganggap Lailatul Qodr sebagai bagian dari godaan ni’mah surgawi yang bisa memalingkan hati dan pikiran kami dari Allah,  juga tidak boleh dianggap salah,” jawab Guru Sufi.
            “Tapi Mbah Kyai, bagaimana orang beragama menjalankan perintah Allah dengan mengabaikan ni’mah kemuliaan Lailatul Qodr dan kenikmatan surgawi?” tanya Aditya belum faham.
            “Orang beragama menjalankan perintah Allah itu ada dua golongan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Yang pertama, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan mengharap imbalan dari Allah berupa kenikmatan duniawi maupun ukhrawi. Golongan inilah yang paling besar jumlahnya. Sementara golongan yang kedua, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan mengharap menjadi lebih dekat kepada Allah guna mendapat ridho-Nya  tanpa mengharap apa pun di antara aneka kenikmatan yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya.”
           “Maaf Mbah Kyai, bagaimana menjelaskan secara masuk akal perihal kedua golongan itu?” tanya Aditya belum memahami uraian Guru Sufi.
         “Jika engkau menjadi orang yang kaya raya, lalu datang orang mendekatimu dan mengatakan wahai Mas Aditya biarlah aku bekerja sebagai karyawanmu asal engkau beri aku gaji yang banyak, engkau beri aku mobil dinas, engkau beri aku jatah  makanan yang sangat lezat,  ijinkan aku sekali waktu masuk ke dalam tamanmu untuk ikut pesta kebun. Inilah analogi dari gambaran golongan pertama yang menjalankan perintah Allah karena berharap mendapat imbalan Ni’mah Allah. Sementara untuk golongan kedua ibaratnya engkau orang yang kaya raya memiliki segala lalu datang seseorang yang mendekatimu dengan mengungkapkan hasratnya untuk menjadi pegawaimu  tanpa sedikit pun ia menginginkan imbalan harta kekayaanmu. Ia menginginkanmu menjadi juragannya. Ia memasrahkan semua dirinya utuh apakah akan diberi pekerjaan sebagai jongos, kacung, sopir, tukang masak, asisten dengan sedikit pun tidak memikirkan imbalan upah dan pemberian. Nah, bagaimana kira-kira sikapmu terhadap dua orang yang yang berbeda ini?” kata Guru Sufi menjelaskan.
           “Saya faham Mbah Kyai,” sahut Aditya menyimpulkan,”Berarti Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir masuk golongan yang kedua sehingga mengabaikan Lailatul Qodr dan aneka Ni’mah Surgawi, sebaliknya hanya menghadapkan kiblat hati dan pikiran kepada Pemilik sekaligus Pemberi anugerah kemuliaan Lailatul Qodr.”
             “Kenapa Mbah Kyai memilih menjadi hamba dari golongan kedua?” tanya Aditya ingin penjelasan, “Mohon penjelasan untuk bisa kami jadikan pedoman dalam meniti jalan menuju-Nya.”
             “Allah sudah bersabda: Waladziina jahadu fiina lanahdiyanahum subulana (barang siapa berjihad dengan sungguh-sungguh menuju Kami, maka akan Kami beri jalan-jalan Kami). Itu berarti, menuju Allah itu wajib didasari semangat jihad yang menyala-nyala pantang redup dan padam. Tetapi hendaknya kalian ingat, bahwa Allah bukan Sesuatu yang bersifat statis yang membiarkan seseorang mendekati-Nya. Allah akan menguji semua yang mendekati-Nya untuk membuktikan kebenaran dari jihad yang dijalankannya dalam  menuju Allah. Begitulah, berbagai hal yang berkaitan dengan ni’mah kemuliaan –  maunah, karamah, himmah, tahakkum, termasuk lailatul qodr -  yang dihamparkan di hadapan seorang salik pada dasarnya adalah ujian bagi kesungguhannya menuju Allah,” kata Guru Sufi menjelaskan.
          “Kami faham Mbah Kyai,” kata Aditya manggut-manggut dengan wajah berseri-seri,”Berarti laku ruhani yang dijalankan para sufi pada dasarnya adalah memaknai secara haqqi qi perjuangan kembali kepada-Nya dengan berpedoman kepada kalimah Innalillahi wa inna ilaihi roji’un – Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Benar begitukah Mbah Kyai?”
            Guru Sufi mengangguk meng-iya-kan.
           “Alhamdulillah,” sahut Aditya gembira,”Berarti saya tidak perlu lagi marah kalau dicela murid-muridnya ustadz Dul Wahab sebagai ahli neraka karena amaliah bid’ah, karena sejatinya apa yang saya jalankan tujuannya hanya kepada Allah dan tidak bersangkut-paut dengan makhluk ciptaan yang disebut surga dan neraka. Terima kasih Mbah Kyai,” Aditya menyalami dan mencium tangan Guru Sufi dengan hati terasa luas, seluas samudera raya tanpa tepi.

You have read this article Pesulukan with the title Pesulukan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/08/post-hegemony-xxi-lailatul-qodr-dalam.html. Thanks!
Wednesday, 24 July 2013

Nafs Lwammah dan Mushtawif

                Satu malam Dullah mengantar  Si Alan Nurdi menghadap Guru Sufi, meminta petunjuk atas nasib malang yang dialaminya setelah tujuh tahun bekerja kepada Haji Maruto Klopo Bin Atang, terutama setelah mengikuti pelatihan manajemen sufi. Menurut Nurdi: sejak manajer beserta staf dan kepala-kepala bagian mengikuti pelatihan manajemen sufi yang dibiayai perusahaan, perubahan terjadi atas kehidupan peserta pelatihan. Gaji yang seharusnya naik karena prestasi, justru dipotong ini dan itu dengan alasan sosial keagamaan, sehingga berkurang. "Cara membayar gaji pun selalu diundur-undur sampai dua bulan ke belakang. Standar gaji perusahaan yang jauh lebih rendah dibanding perusahaan lain, membuat para karyawan kalang-kabut dengan hutang makin menumpuk. Apa yang harus kami lakukan, Mbah Kyai?" tanya Si Alan Nurdi minta petunjuk.
            "Manajemen sufi?" kata Guru Sufi mengerutkan kening,"Ilmu apa itu? Aku baru dengar sekarang. Aneh sekali  ada manajemen dalam  ilmu tasawuf diterapkan di perusahaan-perusahaan yang orientasinya mencari keuntungan duniawi."

            "Itulah masalahnya, Mbah Kyai, "kata Si Alan Nurdi minta pendapat,"Kami para karyawan harus bekerja keras dengan mencontoh kaum sufi yang berjuang keras dalam ibadah dan beramal baik dengan  ikhlas semata-mata untuk mencari ridho Allah. Anehnya, pemilik perusahaan Haji Maruto Klopo Bin Atang tidak mau ikut pelatihan dan sedikit pun tidak menunjukkan gelagat bersikap sebagai sufi."
            Dullah tiba-tiba menyahut,"Juraganmu yang matre mana mau ikut pelatihan. Dia kan sudah tahu, guru besar  yang menjadi pelatih utama manajemen sufi, sedang sibuk menyimpan aset di mana-mana, dalam bentuk tanah, saham, perhiasan, rumah-rumah, valuta asing, dsb. Jadi itu semua hanya siasat. Istilah sufi hanya untuk manipulasi saja dari niat sebenarnya seekor serigala berbulu domba."
            "Sudahlah Dullah, jangan mencari-cari kesalahan orang," kata Guru Sufi mengingatkan, "Yang penting kita harus mengambil hikmah dari kasus ini. Maksudku, Si Alan Nurdi hendaknya bisa tetap sabar dan mulai belajar membaca jenis-jenis manusia dengan problem utama kehidupannya, melawan hegemoni nafsunya. Sebab, yang terberat dalam hidup adalah memerangi nafsu sendiri."
            "Saya belum faham, Mbah Kyai. Mohon Mbah Kyai memberi petunjuk agar hati saya lebih tenang menghadapi kemiskinan yang terus mendera ini," kata Si Alan Nurdi.
            "Sebagai pengusaha muslim yang sudah haji, juraganmu Maruto Klopo Bin Atang mestinya faham bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk membayar upah pegawai sebelum kering keringat mereka. Tapi faktanya, juraganmu malah menunda upah dua sampai tiga bulan, menunggu para pegawainya menumpuk hutang dan kelaparan. Jelas juraganmu menjadi pengikut nabi baru, yaitu Dajjal la'natullah. Bersyukurlah engkau tidak ditakdirkan menjadi orang seperti dia," kata Guru Sufi.
            "Guru," kata Dullah minta penjelasan terkait pelajaran yang pernah diperolehnya, "Apakah orang seperti Haji Maruto Klopo Bin Atang itu termasuk orang yang sudah dikuasai nafsu Lwammah  sehingga menjadi begitu rakus dan serakah?"
            "Kelihatannya seperti itu," sahut Guru Sufi,"Anasir Nafsu Lwammah yang berwarna hitam, daya ke-aku-an yang mencerminkan watak tanah yang menyerap segala, telah memenangkan pertarungan melawan anasir Ruh dalam mempengaruhi akalnya yang netral. Bahkan daya akalnya yang sudah terpengaruh, mengupayakan cara-cara yang semakin memuaskan Nafsu Lwammah-nya. Demikianlah,  pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) yang dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan), tidak bisa dipertahankan fungsinya, karena dua pengawal, Al-Masyiiah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan) sudah ditundukkan dan dikendalikan oleh akal yang dikuasai Nafsu Lwammah. Sungguh, sangat berbahaya manusia yang hidupnya sudah dikendalikan oleh akal yang dikuasai Nafsu Lwammah, karena kerakusannya bisa membahayakan orang lain maupun diri sendiri."
           "Guru," kata Dullah memohon,"Mohon guru menjelaskan, berbahayanya manusia yang akalnya sudah dikuasai Nafsu Lwammah, yang membuat manusia jadi  materialis, rakus, serakah, tamak, loba, bakhil, kikir, pelit, selalu khawatir, ketakutan, resah, gelisah, dan selalu licik penuh tipu daya."
              Guru Sufi tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana manusia jika sudah dikuasai Nafsu Lwammah seperti diminta Dullah, sebaliknya ia menuturkan cerita tentang Nabi Isa yang dikisahkan melakukan perjalanan  bersama-sama dengan seorang Yahudi rakus. Nabi Isa, dikisahkan membawa tiga potong roti dan dititipkan kepada Yahudi rakus itu dengan berpesan,"Jagalah roti ini!" Tidak lama kemudian, Yahudi rakus itu memakan sepotong roti. Waktu Nabi Isa meminta kembali tiga potong roti yang dititipkannya, Yahudi rakus itu hanya menyerahkan dua potong roti.
            Nabi Isa bertanya,"Di manakah roti yang sepotong?" Yahudi rakus itu menjawab ,"Yang kuterima hanya dua potong." Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan Yahudi rakus itu menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan Nabi Isa. Meski begitu, saat Nabi Isa menyumpahnya agar mengakui sepotong roti yang dimakannya, Yahudi itu tetap menolak mengakui. Yahudi rakus itu berani sumpah demi Allah, bahwa ia  hanya menerima dua potong roti.
            Di tengah perjalanan, Nabi Isa  menemukan tiga batang emas lantakan. Yahudi rakus itu berkata,"Bagilah batu bata itu!" Nabi Isa membagi sambil berkata,"Satu batang emas untukmu.  Satu batang emas untukku. Dan satu batang emas lagi untuk orang yang memakan roti sepotong."  Sambil berteriak Yahudi rakus itu tanpa malu mengaku,"Akulah yang memakan roti sepotong itu."
            Nabi Isa berkata,"Pergilah engkau menjauh dariku. Engkau telah menyaksikan kekuasaan Allah dan bahkan berani sumpah atas nama-Nya, tetapi engkau tetap tidak mengakuinya. Sekarang, demi secuil emas engkau mengakuinya." Nabi Isa meninggalkan tiga batang emas lantakan itu di samping Yahudi rakus itu. Sungguh bersuka cita hati Yahudi rakus itu. Ia menimang-nimang emas batangan itu.
            Sewaktu Nabi Isa sudah jauh, Yahudi rakus itu didatangi tiga orang perampok yang tanpa ampun langsung membunuhnya dan merampas ketiga batang emasnya. Sambil beristirahat, dua orang perampok menyuruh salah seorang dari mereka untuk pergi membeli makanan. Sewaktu melihat temannya pergi membeli makanan, kedua perampok berunding untuk membunuh teman mereka jika kembali membawa makanan. Seorang perampok berkata,"Kalau dia kembali kita bunuh. Kita ambil bagiannya."
            Perampok yang disuruh membeli makanan ke kota terdekat, ternyata selain membeli makanan juga membeli racun yang dicampurkan ke dalam makanan yang dibelinya. Dia berharap, jika kedua oranbg kawannya tewas keracunan, maka dia akan mengambil semua bagian emas yang ada. Demikianlah, sewaktu perampok itu datang membawa makanan, ia dikeroyok oleh dua orang kawannya sampai mati. Lalu kedua orang perampok itu memakan makanan yang sudah dicampuri racun. Mereka berdua pun tewas. Tiga batang emas lantakan berserak di sekitar empat mayat itu. Ketika Nabi Isa lewat tempat itu kembali, ia melihat mayat Yahudi rakus dan mayat ketiga orang perampok itu bergelimpangan di sekitar emas batangan. Nabi isa takjub melihat pemandangan itu. Jibril dikisahkan turun, menceritakan kisah manusia-manusia rakus itu kepada Nabi Isa.  
              Guru Sufi mengakhiri cerita dengan berkata,"Demikianlah, akal manusia-manusia rakus yang sudah dikuasai Nafsu Lwammah, akalnya menjadi licik dan jiwanya menjadi serakah. Tapi mereka itu akan binasa oleh kelicikan dan keserakahannya sendiri. Jadi tetap sabar dan berbahagialah kita yang belum tunduk dan dijajah oleh Nafsu Lwammah kita karena akal kita masih seimbang  mendengarkan  suara-suara ruhaniah tentang yang haqq dari kedalaman relung qalbu terdalam kita.  Pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) dalam dada kita pun  masih berfungsi baik sebagaimana adanya."
           "Terima kasih guru," sahut Dullah,"Tapi mohon guru sudi memberikan petuah yang tepat untuk kawan saya, Si Alan Nurdi ini."
             Guru Sufi tidak memberi petuah apa-apa. Ia hanya  menyitir al-Qur'an Surah 57:20 yang isinya:  "Ketahuilah, bahwa sejatinya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda-gurau,  perhiasan, saling  bermegah-megah di antara kalian, berbangga-banggaan tentang kekayaan harta benda  dan anak-anak,"  Guru Sufi  melanjutkan ucapannya dengan  mengutip dengan  al-Qur'an  Surah 3: 185 yang berbunyi:  "Kehidupan  dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yg memperdaya!"  Lalu Guru Sufi melanjutkan lagi ucapannya,"Biarlah orang-orang rakus dibutakan mata hatinya oleh gemerlap kehidupan palsu dunia ini. Bersyukurlah bagi yang tidak silau oleh gemerlap kehidupan palsu dunia."
    “Apakah petunjuk Mbah Kyai ini boleh kami sampaikan kepada Haji Maruto Klopo Bin Atang dan Guru Sufi yang mengajarkan manajemen Sufi?” kata Si Alan Nurdi dengan nada tanya.
    “Pemuja materi duniawi seperti mereka diberi peringatan atau tidak diberi peringatan akan sama saja kelakuannya. Karena ayat-ayat Allah bagi mereka adalah sarana yang digunakan sebagai pembenar bagi tindakan sesat yang mereka lakukan. Ketahuilah, bahwa mereka yang mengajarkan tasawuf untuk tujuan duniawi sejatinya bukanlah sufi apalagi Guru Sufi, melainkan sekedar seorang Mushtawif,” kata Guru Sufi.
    “Apa itu mushtawif, Mbah Kyai?” tanya Si Alan Nurdi.
    Guru Sufi diam. Tapi Dullah menjawab dengan suara tinggi,”Mushtawif itu adalah sebutan untuk sufi palsu, yaitu orang-orang sesat yang pura-pura memiliki pengetahuan kesufian tetapi akal dan nuraninya berada di dalam genggaman jiwa rendah dari nafsu-nafsu rendah duniawi.” 

(K Ng H Agus Sunyoto)


 

You have read this article Pesulukan with the title Pesulukan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/07/nafs-lwammah-dan-mushtawif.html. Thanks!