Sebenarnya, ungkap Romo, seseorang yang berpuasa Ramadhan itu sedang menjalani proses taraqqi ruhani sebagai anak cucu Adam AS. Dahulu kala, lanjut Romo menjelaskan, ketika Adam pertama dicipta, ia hidup bersama makhluk-makhluk gaib yang tidak makan seperti malaikat dan Iblis. Namun akibat memakan makanan terlarang (buah khuldi), Adam pun diusir dari taman yang damai (Jannah Darussalam), di mana saat itu ruhani Adam mengalami tanazzul – turun derajat – menjadi makhluk ragawi yang fana. “Berbeda dengan hukuman manusia di dunia berupa penjara dan siksaan fisik, Allah menghukum Adam AS dengan menempatkan Al-Ghayn yang menjadikan Adam AS turun derajat ruhaninya tidak bisa lagi berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib dan tidak bisa pula berwawansabda dengan Sang Pencipta,” ungkap Romo menguraikan.
Sadar bahwa dirinya telah mendzalimi nafs sendiri, Adam AS beristighfar memohon ampun dengan berpuasa untuk kembali berproses mendaki (tarraqi) menuju Allah, sampai mencapai derajat Adam Ma’rift, yaitu derajat Adam sebagai wakil Allah (kholifah Allah) yang disujudi malaikat dan bisa komunikasi dengan Tuhan dan makhluk-makhluk alam gain. “Karena itulah orang yang berpuasa dan berhasil menjalankan puasanya dengan sempurna, mereka akan mencapai fitrah, yaitu derajat Adam sebagai khalifah Allah, sehingga disebut dengan istilah ‘Idul Fitri’ – kembali kepada Fitrah,” ungkap Romo menjelaskan.
Banyak orang memaknai ‘idul fitri dengan kembali kepada kesucian, di mana seseorang terbebas dari segala dosa, suci ibarat bayi yang baru lahir. “Ya silahkan saja, tiap orang berhak mengemukakan pendapatnya sebagai yang benar, karena tidak boleh ada yang klaim bahwa pendapatnya saja yang paling benar,” ucap Romo. Yang jelas, lanjut Romo, yang ia yakini makna fitrah yang dimaksud dalam konteks Idul Fitrih adalah kembali kepada derajat ruhani Adam ma’rifat, di mana manusia sebagai keturunan Adam dapat berkomunikasi langsung dengan Allah Swt, karena telah menemukan ruh al-haq yang Allah tiupkan ke dalam diri Adam, sebagaimana firmanNya dalam al-Qur’an al-Kariim.
Jelas, bahwa sebelum ditiupkan ruh ilahi ke dalam diri Adam, ia hanyalah makhluk yang tercipta dari tanah, sebagaimana kalamNya: … inni kholiqu basyaron min sholshoolin min hamaim masnun… (Qs. Al-Hijr: 28) lalu ditiupkan kepadanya ruh ilahi yang menjadikan Adam pantas dan layak menjadi kholifatullah fil ardh. Saat itu, papar Romo, seluruh makhluk, baik malaikat maupun iblis diperintahkan untuk bersujud menyembah Adam. Maka semua makhluk bersujud kecuali iblis. “Mengapa demikian?” tanya Romo. Ya karena iblis tidak tahu, bahwa Allah telah meniupkan sebagian Ruh Suci Ilahi ke dalam diri Adam, yang Iblis tahu bahwa Adam hanyalah makhluk yang tercipta dari tanah, sedang ia (iblis) tercipta dari api yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding dengan tanah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Isra’: 61
Karena Ruh al-Haqq itu pula, ungkap Romo, dalam perjalanan mi’roj sewaktu Nabi Muhammad Saw dan malaikat Jibril sampai ke Sidrotul Muntaha, Nabi Saw diminta Jibril untuk melanjutkan perjalanan naik ke Alam Ilahiyyah untuk bertemu dengan Allah, sementara malaikat Jibril terhenti tidak bisa melanjutkan perjalanan menembus Alam Ilahiyyah. Jibril tidak bisa naik melampaui Sidratul Muntaha, ungkap Romo, karena Sidrotul Muntaha merupakan batas antara alam makhluk dan Alam Ilahiyyah, di mana hanya makhluk yang memiliki anasir sifat Ilahiyyah saja yang dapat menembusnya, di mana Muhammad Saw selaku keturunan Adam AS yang telah Allah tiupkan sebagian Ruh-Nya ke dalam dirinya yang bisa menembus hijab Ilahiyyah untuk kembali kepada-Nya.
Dengan memahami Adam AS sebagai kholifah Allah, lanjut Romo, ketika manusia ingin mencari Allah, maka hendaklah dicari di dalam hati (qalb). Telah jelas Allah sampaikan dalam hadits qudsi, jelas Romo, Laa yasani ardli wa laa samaa’i walakin yasani qolbu abdul mu’min. Hal tersebut dikuatkan pula oleh doktrin man ‘arofa nafsah, faqid ‘arofa robbah; siapa yang kenal nafs-nya akan kenal Robbnya. Karena itu pula, jelas Romo, Islam melarang umatnya untuk mengkultuskan sesuatu benda seperti batu, pohon, gunung, bulan, bintang atau yang lainnya. “Karena sekali pun Tuhan ada di mana-mana tetapi Tuhan tidak bisa dicapai melalui makhluk-makhluk fana, tetapi bisa dicapai melalui qalbu yang tersembunyi di dalam diri manusia itu sendiri,” ujar Romo menegaskan.
Mengenai keterhijaban keturunan Adam AS dengan Sang Pencipta, ungkap Romo, dihadirkan lewat sebuah kisah tentang perjalanan haji Abu Yazid Bustami, seorang tokoh sufi asal Persia. Romo bercerita bahwa Abu Yazid telah berhaji 3 kali, di mana pada masing-masing hajinys ia mengalami perjalanan yang luar biasa. Pada haji pertama, Abu Yazid bertemu dengan batu saja. Pada haji kedua Abu Yazid bertemu dengan batu dan Pemilik batu. Dan pada hajinya yang ketiga, ia hanya menyaksikan Pemilik batu saja tanpa melihat wujud batu secara fisik. Hal tersebut menunjukkan betapa Abu Yazid telah sampai pada penglihatan ruhaninya, sebagai Adam Ma’rifat.
Nah, puasa Ramadhan ini, nasihat Romo, merupakan satu pijakan luar biasa untuk bisa sampai pada penglihatan ruhani sebagaimana yang terjadi pada Abu Yazid al Bustami. Karena itu sekali lagi Romo berpesan untuk tidak menyia-nyiakan momen penting itu. Syaikh al-Akbar Ibnu Arobi, papar Romo, menjelaskan bahwa puasa adalah satu-satunya ibadah yang tidak memiliki bentuk. Kalau sholat memiliki gerakan-gerakan yang jelas tampak oleh inderawi, pun demikian dengan ibadah haji yang memiliki sederet ritual-ritual yang kasat mata, ibadah zakat, shodaqoh, sampai bersyahadat, tapi tidak demikian dengan puasa. Puasa adalah ibadah yang tidak bisa dilihat secara visual, puasa dan tidaknya seseorang, orang lain tidak akan bisa mengetahui. Puasa adalah pengejawantahan sifat tanzih Tuhan, Laisa kamitslihi syai’un.
Dalam filsafat jawa, ungkap Romo mengaitkan, orang mengenakan baju surjan yang memiliki 5 kancing baju, di mana dua kancing baju berada di luar dan 3 kancing yang lainnya tertutup berada di bagian dalam. Hal itu memiliki makna filosofis, bahwa dalam 5 rukun Islam, 2 di antaranya — haji dan zakat — merupakan ibadah yang ditampakkan oleh indera dan bisa disaksikan oleh orang banyak. Sedang 3 amaliah ibadah yang lainnya, syahadat, sholat dan puasa merupakan ibadah yang sifatnya tidak tampak atau disembunyikan. Hal itu dilandasi oleh suatu pandangan yang berkaitan dengan indera penglihatan, yang merupakan satu penghalang bagi manusia untuk sampai kepada penglihatan ruhani.
Selain mengesampingkan aspek indera dan akal pikiran, ungkap Romo, salah satu cara untuk membuka tabir al-Ghayn (hijab penghalang antara makhluk dengan Tuhan) adalah dengan istighfar dan berpuasa, jelas Romo. Hal itu juga yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar, sebuah do’a permohonan ampun Adam terhadap Tuhannya, robbana dholamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa lanakunanna minal khosirin dengan nada khas Sunda Cirebonan. “Karena itu, banyak-banyaklah beristighfar agar bisa nyambung dengan Allah,” nasihat Romo mewanti-wanti.
Allah itu melingkupi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Saat ditanya Allah itu di mana? Otomatis manusia akan kebingungan menjelaskan terutama ketika pertanyaan itu dijawab menggunakan akal pikiran. “Ikan di dalam aquarium itu mengajari hikmah bagi manusia,” papar Romo sambil menunjuk aquarium yang dipasang di kusen jendela.
Dengan mengambil metafora ikan di lautan, Romo mengisahkan sebuah cerita tentang seekor ikan besar yang sedang mengamati seekor ikan kecil yang mondar-mandir di depannya, bergerak tak tentu arah. Lalu terjadilah percakapan di antara kedua ekor ikan itu:
Ikan Besar: “Wahai Ikan Kecil, mengapa sejak tadi kamu mondar-mandir terus?”
Ikan Kecil menjawab: “Sudah lama aku mencari laut, aku ingin ke sana, tapi aku bahkan tak tahu di mana tempatnya dan lewat jalan mana agar aku sampai ke sana.”
Ikan Besar: “Wahai ikan kecil, kau tak akan pernah tahu apalagi sampai ke laut jika kau belum tahu apa itu air.”
Ikan Kecil: “Memang kau tahu apa itu air wahai Ikan Besar?”
Ikan Besar: “Sayangnya, sampai saat ini juga aku belum tahu apa itu air wahai Ikan Kecil.”
Lalu mereka berdua berenang menemui ikan tua yang tinggal di gua dan mengadukan permasalahan yang tengah mereka hadapi.
Ikan Besar: “Wahai Ikan Tua, Ikan Kecil sedang berputar-putar mencari laut, tetapi ia tak juga menemukan jalan untuk mencapainya.”
Ikan Kecil menyahut: “Benar Ikan Tua. Menurut Ikan Besar aku akan bisa mencapai laut jika aku mengetahui apa itu air. Tapi sayang, Ikan Besar juga belum tahu apa itu air.”
Ikan Tua pun menasihati Ikan Besar dan Ikan Kecil dengan bijak, “Wahai Ikan Besar dan Ikan Kecil, kalian tidak akan pernah bertemu dengan laut dan air jika kalian mencarinya menggunakan akal-pikiran dan indera kalian. Karena sejatinya air meliputi kalian. Air sangat dekat dengan kalian, saking dekatnya sampai kalian tidak mengetahui dan menyadari keberadaannya. Karena itu, diamlah! Singkirkan indera dan akal pikiranmu! gunakan rasa! Rasakan! Resapi! Hayati! Rasakan bagaimana insangmu dapat kembang-kempis saat kalian bernapas! Rasakan bagaimana siripmu bisa bergetar dan bergerak-gerak tanpa ada yang menggerakkan! Rasakan dengan sungguh-sungguh, niscaya kalian akan tahu bahwa kalian sejatinya sedang berada di dalam air.”
Setelah mendengarkan penjelasa Ikan Tua dan mempraktikkannya, Ikan Besar dan Ikan Kecil baru menyadari bahwa sebenarnya mereka tengah berada di dalam air. Mereka merasakan bagaimana insang mereka bergerak kembang-kempis dialiri sesuatu yang tak terlihat mata. Mereka sadar bahwa laut adalah kumpulan dari air yang sangat banyak. Air bagi ikan adalah ‘Yang Meliputi segala, ‘ Abadi’, ‘Maha Luas’, ‘Tunggal’, tempat hidup dan mati, di mana tanpa air ikan akan mati. Demikian juga metafora bagi manusia, ungkap Romo, di mana kehampaan atmosfer yang meliputi manusia adalah Yang Mahameliputi, Mahaluas, Mahabesar, Tunggal tidak terpecah, Abadi, Mahasegala bagi manusia. Lalu muncul pertanyaan dari akal, apakah kekosongan atmosfir itu adalah Tuhan? Husein bin Mansur al-Hallaj mengatakan huwa laa huwa – Dia tetapi bukan Dia. Lalu siapa Dia yang sebenarnya?
Dia adalah haqqi qat Keberadaan Tuhan yang meliputi empat aspek, ungkap Romo menjelaskan. Yaitu: Asma’-Af’al-Shifat-Dzat. Hal ini digambarkan dalam satu symbol kata الله, di mana symbol kata الله jika diurai akan menjadi:
الله – لله – له – ه
Mohammad (s)Lafadz Allah menunjuk Nama Tuhan, yakni Haqqi qat Asma’ Tuhan; jika huruf Alif hilang, maka lafadz Allah akan menjadi lafadz Lillah menunjuk kepada Af’al di mana Dia meliputi dan memiliki segala ciptaan-Nya; jika huruf Lam awal hilang, lafadz Lillah akan menjadi lafadz Lahu yang mewakili Shifat di mana segalanya sejatinya adalah shifatNya semata. Begitulah, sewaktu huruf Lam menyingsing lafadz Lahu menjadi lafadz Hu yang berarti Dia, yakni Haqqi qat Dzat Yang tidak terdefinisikan karena tidak ada satu pun pengetahuan yang bisa menjelaskan-Nya.
Dalam menjelaskan secara metaforik tentang makna haqqi qi الله, Romo mengungkapkan sebuah kisah tentang 4 ekor anai-anai yang membincang haqqi qat api. Anai-anai pertama, mengaku kenal api sebatas mengikuti kata-kata ibu, ayah, nenek, kakek. Itu sebabnya, sewaktu ia ditanya, “Apakah kamu pernah melihat api?” Anai-anai itu menjawab: Tidak! “Inilah golongan awam seperti kita, yaitu yang mengenal Dia hanya dari katanya ini dan itu. Golongan inilah yang paling banyak jumlahnya di dunia ini,” ungkap Romo.
Anai-anai kedua menyatakan bahwa api itu berwarna merah tetapi tidak panas. Ketika ditanya, kenapa api tidak panas, ia menjawab karena melihat api dari jauh.
Anai-anai ketiga menyatakan bahwa api itu kalau didekati rasanya memang panas tetapi warnanya tidak hanya merah, tetapi juga biru, kuning, juga putih.
Anai-anai keempat menyatakan bahwa ia tidak tahu apa itu api dengan definisinya, bagaimana warna dan rasanya. “Tapi lihatlah, sayapku telah terbakar oleh api,” kata anai-anai keempat.
Bertolak dari cerita itu, jelas Romo, dapat diketahui bahwa seseorang yang telah mengenal Allah, maka ia tidak akan dapat menjelaskan dengan akal-pikirannya tentang bagaimana penggambaran definitif Allah, bagaimana bentuk dan rupa-Nya, di mana Dia ber-Ada, dan seterusnya dan seterusnya. Rasulullah Saw melarang penggunaan akal-pikiran untuk memikirkan Dzat Tuhan, karena pikiran untuk makhluk ciptaan Tuhan. “Karena itu kenali Tuhan melalui rasa atau zauq. Karena Dia tidak bisa didekati panca indera dan akal,” tegas Romo menjelaskan, “Makanya, untuk dapat menggunakan rasa atau zauq, sering-seringlah diasah dengan puasa, sholat, sholawat, tadzakur, tanaffus, takhliyyah secara istiqomah sebagaimana selama ini sudah dipelajarim dilatih dan diamalkan. Jangan menyia-nyiakan bulan puasa yang istimewa ini untuk berjuang mendekatikan diri kepada-Nya,” pinta Romo kepada para mantri mengakhiri ngaji malam itu.
Posted by Tina Siska Hardiansyah
You have read this article Pesulukan
with the title Pesulukan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/07/puasa-ramadhan-sebagai-taraqqi-ruhani.html. Thanks!