Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts
Monday, 11 November 2013

Serat Wulangreh - Sastra Piwulang Karya Pakubuwono IV

 Oleh: Angga Oktanto*)
            
Susuhunan Pakubuwono IV
                Serat Wulangreh merupakan salah satu karya Paku Buwana IV, putra Paku Buwana III. Pakubuwana IV ini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, yang mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan ramandanya. Mendapat gelar demikian karena memang memiliki wajah yang sangat tampan. Dalam usia yang cukup belia, 19 tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan ayahandanya PB III dengan gelar . Pakubuwana IV memegang tampuk pemerintahan Kraton Surakarta Hadiningrat sejak tahun 1788 sampai dengan 1820 M.
             Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Beliau lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M (Purwadi, 2007:81).
             Banyak jasa dan perubahan yang dilakukan oleh PB IV ini, baik itu bersifat fisik maupun non-fisik. Dari sekian banyak warisan yang ditinggalkannya, ada beberapa yang masih dapat kita saksikan sampai saat ini. Seperti Masjid Agung, Gerbang Sri Manganti, Dalem Ageng Prabasuyasa, Bangsal Witana Sitihinggil Kidul, Pendapa Agung, dan juga Kori Kamandhungan.

            Paku Buwana IV yang mewarisi darah kaprabon sekaligus kapujanggan ini juga sangat produktif dan kreatif dalam “dunia pena”, sehingga melahirkan banyak karya sastra yang masih dapat diakses sampai sekarang. Konsep ketatanegaraan dan keilmuan yang dibangun oleh PB IV, membuatnya sangat dikagumi oleh rakyat dan lingkungan istana. Bahkan juga membangun tradisi-tradisi yang berbeda dari sunan-sunan (raja-raja) sebelumnya. Diantara perubahan tradisi tersebut adalah pakaian prajurit kraton yang dulu model Belanda diganti dengan model Jawa, setiap hari Jumat diadakan jamaah salat di Masjid Besar, setiap abdi dalem yang menghadap raja diharuskan memakai pakaian santri, mengangkat adik-adiknya menjadi pangeran (Purwadi., dkk, 2005:345). Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut dimaksudkan untuk menjawakan kehidupan masyarakat, yang sebelumnya terkontaminasi oleh budaya Belanda.
Ilustrasi Mengajar Sastra Piwulang
         Berbagai upaya baik itu bersifat fisik maupun non-fisik, yang dilakukan PB IV banyak membuahkan hasil, sehingga pantaslah jika beliau ditempatkan sebagai Pujangga Raja. Dalam bidang sastra dan budaya, diantara karya-karya beliau yang terkenal adalah Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni. Dari sekian karya PB IV tersebut, yang paling familiar dalam masyarakat Jawa (bahkan kalangan akademik), adalah Serat Wulangreh. Karena banyak ajaran-ajaran moral dalam serat tersebut yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa, bahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Purwadi, 2007:82).
           Banyak ajaran yang dapat diambil dari Serat Wulangreh, baik itu yang bersifat mistik, ilmu pengetahuan, agama, maupun moral-budi pekerti luhur. Adapun ajaran yang sifatnya mistik dalam Serat Wulangreh adalah ajaran tentang Pamoring Kawula –Gusti (bersatunya hamba dan Tuhan). Ajaran tersebut memang sudah sangat familiar dalam kalangan amsyarakat Jawa. Istilah pamoring kawula Gusti digunakan dalam Serat Wulangreh, tertulis pamore gusti kawula.
             Penggunaan istilah pamoring kawula-Gusti itu berasal dari kata pamor, yang merupakan kata jadian dari amor (bersatu atau berkumpul), kata kawula yang berarti rakyat atau hamba, dan kata gusti yang berarti raja, penguasa atau bahkan Tuhan. Dari penggunaan istilah-istilah tersebut dapat dikatakan bahwa kata kawula yang berarti hamba atau rakyat melambangkan badan wadag atau jasmani, sedangkan kata gusti merupakan lambang batin atau rohani. Jadi pamoring kawula-gusti berarti bersatunya antara yang lahir dan yang batin.
              Dalam serat Wulangreh terlihat adanya unsur sentralisme penguasa, yang berpusat di kraton. Raja dan kraton yang dipandang oleh masyarakat Jawa (pada zamannya) sebagai pusat kekuasaan, maka dalam serat itu tersirat adanya ajaran PB IV bahwa raja dan kraton juga menjadi wadah semua kekuatan supranatural. Raja dan kraton memang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, tetapi juga memberikan indikasi bahwa dalam hidup ini ada keteraturan kosmos yang harus tetap di jaga. Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia sebagai mikro kosmos (jagat cilik) dan alam sebagai makro kosmos (jagad gedhe). Kesatuan antara keduanya bagi masyarakat Jawa dipandang sebagai terminal akhir hidup ini.
             Wulangreh juga menunjukan adanya konsep dualisme, yaitu perbedaan antara dua kutub yang saling bertentangan, seperti : siang-malam, laki perempuan, awal-akhir, sedih-bahagia, baik-buruk, positif-negatif, hidup-mati, dan lain sebagainya. Konsep dualisme tersebut merupakan suatu ketentuan dari Tuhan, yang sudah menjadi kehendak-Nya dan harus dijalani oleh manusia. Konsep tersebut harus dipahami sebagai bentuk simbolis dari kesatuan atau koordinasi yang harmonis. Sehingga manusia Jawa dituntut untuk menjaga keseimbangan alam, “Memayu Hayuning Bawana.”
              Dalam konsep kesatuan dan keteraturan alam, segala kejadian atau realitas kehidupan dipandang sebagai satu kesatuan, bukan berdiri sendiri-sendiri. Karena segala yang terjadi merupakan bagian dari totalitas kosmos yang dikendalikan oleh kekuatan supranatural, dan inilah yang sebut sebagai kasunyatan (hakekat). Realitas lingkungan manusia itu pada prinsipnya adalah masalah spiritual, bukan realitas kasat mata yang dapat kita indra setiap hari. Jadi, realitas materi yang setiap hari kita saksikan sebenarnya adalah masalah batin, bagian dari percikan hakekat kosmos, refleksi dari system sebab akibat yang lebih tinggi. Kasunyatan adalah realitas sejati, jelas dan evident, menjadi sebab akibatnya itu sendiri (Purwadi, 2007:85).
           Pandangan masyarakat Jawa terhadap kraton bukan hanya sebatas sebagai pusat politik pemerintahan dan budaya, tetapi juga menjadi pusat keramat kerajaan (Fachry Ali, 1986:21). Oleh sebab itu lahirnya karya sastra mistis Wulangreh ini, mencerminkan pemikiran seorang pujangga Jawa sekaligus seorang bangsawan, sehingga terlihat adanya semangat politik pemerintahan dan kekuasaan. Raja adalah milik public, sebagai manifestasi dari institusi negara yang berusaha mewujudkan keselarasan antara rakyat dan pemerintah, manusia dan alam, serta antara kawula lan Gusti (manusia dan Tuhan). Untuk itu, dalam menuntut ilmu pengetahuan pun, petunjuk raja sangat dijadikan panutan oleh seluruh rakyat. Sebagaimana kuatnya pengaruh tasawuf dalam perkembangan Islam di Jawa, perkara ilmu, keutamaan ilmu, kewajiban menuntut ilmu, memilih guru, dan resiko bagi yang mengabaikan petunjuk raja dalam perkara ini, terlihat pada piwulang luhur yang terdapat pada Serat Wulangreh  Pupuh Kinanthi, pada 1-2 dan Pupuh Dahndhanggula pada 2-6 di bawah ini:

1.Padha gulangen ing kalbu
Ing sasmita amrih lantip
Aja pijer mangan nendra
 Ing kaprawiran den kaesthi
Pesunen sariranira
Cegahen dahar lain guling

Latihlah (ilmu) Qalbu
Agar sasmita (intuisi) semakin tajam
Jangan hanya makan dan tidur
Berkonsentrasilah pada keperwiraan
Berjuanglah (mengolah) diri
Kurangilah makan dan tidur. 

2.Dadia lakunireku
Cegah dhahar lawan guling
Lan aja kasukan-sukan
Anganggoa sawatawis
Ala wateke wong suka
Nyuda prayitna ing batin

Jadikanlah amaliah lakumu
Mengurangi makan dan tidur
Jangan bersuka-suka (foya-foya)
Berpakaianlah yang sederhana
Buruklah watak orang berfoya-foya
(karena) mengurangi kewaspadaan batin.

2.sasmitaning ngaurip puniki,
yekti ewuh yen nora weruha
tan jumeneng ing uripe,
sakeh kang ngaku-aku,
pangrasane pan wus utami,
tur durung wruh ing rasa,
rasa kang satuhu,

Makna kehidupan itu
sungguh sayang bila tak tahu
tidak kokoh hidupnya,
banyak orang mengaku,
perasaannya sudah utama,
padahal belum tahu rasa,
rasa yang sesungguhnya,

3.rasaning rasa punika,
upayanen dara  sampurneng dhiri,
ing kauripanira.
jroning Qur’an nggoning rasa jati,
nanging pilih wong kang uningaa,
anjaba lawan tuduhe
nora kena binawur,
ing satemah nora pinanggeh,
mundhak katalanjukan
temah sasar susur
yen sira ayun waskitha,
kasampurnaning badanira puniki,
sira anggegurua

hakikat rasa itu adalah,
usahakan supaya diri sempurna,
dalam kehidupanmu.
Dalam Qur’an bersemayam  rasa jati,
tapi hanya  orang terpilih yang tahu,
keluar dari petunjuk-Nya
tak dapat asal-asalan (ngawur),
akhirnya tidak menemukan,
malahan terjerumus,
akhirnya tersesat,
kalau kamu ingin peka sasmita,
maka bergurulah.

4.Nanging yen sira nggeguru kaki,
amiliha manungsa kang nyata,
ingkang becik martabate,
sarta kang wruh ing khukum,
kang ibadah lan kang wirangi,
sokur oleh wong kang tapa,
iya kang wus mungkul
tan mikir piwewehing liyan,
iku pantes yen den guronana kaki

Namun apabila kamu berguru
pilihlah manusia nyata
yang baik martabatnya
serta tahu hukum
yang beribadah dan hidup wara’
syukur dapat orang zuhud
yang sudah menanggalkan
pamrih pemberian orang
itu pantas kamu berguru

5. sartane kawruhana.
Lamun ana wong micara ilmi,
tan mufakat ing patang prakara,
aja sira age-age,
anganggep nyatanipun,
saringana dipun baresih,
limbangen kang patang
prakara rumuhun
dalil hadis lan ijmak,
lan kiyase papat iku salah siji,
adate kang mufakat.

serta ketahuilah
kalau ada orang membincang  ilmu
tidak mufakat dalam  empat perkara
jangan cepat-cepat percaya kepadanya
saringlah yang teliti
pertimbangkan empat hal
perkara terdahulu
dalil (Qur’an), hadis (hadits) dan ijma’
dan keempat qiyas, keempat hal itu  semua
yang telah di sepakati

6.Ana uga kena den antepi
yen ucula kang patang prakara
enak eca legatane,
tan wurung tinggal wektu,
penganggepe wus angengkoki,
aja kudu sembahyang,
wus salat katanggung,
banjure mbuwang sarengat,
batal karam nora nganggo den rawati,
mbubrah sakehing tata.

ada juga yang harus diingat-ingat
kalau lepas  empat perkara
nikmat lezat diumbar lepas
ujungnya meninggalkan waktu (shalat)
menganggap (tindakannya) sudah tepat
tidak lagi mewajibkan  shalat
(karena) hanya membikin tanggungan
selanjutnya  membuang syariat
batal haram tidak dipedulikan lagi
kacaulah semua aturan hukum

*)Angga Oktanto, Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya







You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/11/serat-wulangreh-sastra-piwulang-karya.html. Thanks!
Sunday, 19 May 2013

SERAT KALATIDHA

           Serat Kalatidha ditulis oleh R Ng Ranggawarsita sebagai ungkapan rasa prihatin atas terjadinya kemerosotan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat akibat meluasnya pengaruh kolonialis Belanda yang dibiarkan oleh pihak keraton yang lemah tidak berdaya pasca Perang Jawa 1825-1830. Perdagangan opium yang dilegalkan, yang dikonsumsi bukan hanya masyarakat tetapi juga abdi dalem keraton dan kemudian menjadi gaya hidup priyayi dalam pergaulan. Kemiskinan akibat Tanam Paksa meluas di mana-mana. Para pejabat saling menjilat dan tanpa malu menumpuk kekayaan dengan cara tidak halal.
         Kepedihan lain yang tidak tertahankan lagi adalah berlangsungnya politik deislamisasi yang secara sistematis dilakukan oleh Kolonial Belanda dalam rangka memperlemah pengaruh Pangeran Dipanegara yang dipelihara dan dikembangkan oleh para pengikut dan sisa-sisa pasukannya yang menyebar sepanjang pantai selatan Jawa dari wilayah Gunung Kidul hingga Banyuwangi.  Babad Kadhiri yang disusun tahun 1832 berdasar cerita dukun kesurupan Ki Sondong atas pesanan Belanda yang dicuplik oleh Ki Tunggul Wulung untuk digubah menjadi Serat Darmagandhul, sangat menyedihkan R Ng Ranggawarsita yang tinggal lama di Kediri sebagai mmenantu Bupati Kediri. Puncak keprihatinan yang menyulut kemarahan R Ng Ranggawarsita adalah terbitnya naskah dekaden Suluk Gatoloco, yang tidak sekedar menghujat dan menista Agama Islam tetapi tegas-tegas menista dan merendahkan mendiang kakek guru R Ng Ranggawarsita, Kyayi Kasan Besari, pengasuh Pesantren Tegalsari, Ponorogo, di mana naskah Suluk Gatoloco tersebar luas di Surakarta menjadi bacaan sekaligus bahasan para nayaka dan abdi dalem keraton.

              Lahirnya Serat Kalatidha yang digubah dalam 12 pupuh sinom adalah kritik keras R Ng Ranggawarsitaterhadap terjadinya tanda-tanda transvaluasi nilai-nilai di tengah masyarakat terutama di lingkungan keraton, yaitu nilai-nilai Kolonial Barat  yang dikembangkan Belanda dalam rangka menaklukkan secara sistematis pikiran dan jiwa pribumi. Raja, Patih, Nayaka, dan Panekar yang tidak berdaya menghadapi Belanda beserta begundal-begundalnya tidak mampu melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang sangat merosot, terutama terkait penistaan Agama Islam yang jadi bahasan kebanggaan masyarakat. Sebagai santri didikan Pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang tak mampu berbuat lebih dalam menghadapi penghujatan dan penistaan terhadap Agama islam itulah R Ng Ranggawarsita mengkritik sekaligus memperingatkan tentang keadaan dewasa itu yang disebutnya sebagai Zaman Cacat (Kalatidha) yang akan mendatangkan Zaman Azab Kutukan (Kalabendu). Begitulah, menurut R Ng Ranggwarsita, sekali pun Raja yang berkuasa adalah raja utama, patih sebagai perdana menteri adalah orang linuwih yang kelewat pandai, para nayaka menteri berhati sejahtera, dan para panekar sebagai pegawai negara serba baik, tapi semua itu tidak akan bisa menghindari datangnya adzab kutukan Allah. Demikianlah, R Ng Ranggawarsita dalam kritiknya yang keras terhadap masyarakat terutama terhadap raja dan aparat negara lewat Serat Kalatidha, adalah sebuah tindakan yang sangat berani pada zamannya mengingat beliau adalah Pujangga Keraton, yang seharusnya seperti pejabat-pejabat lain yang selalu menyanjung dan memuji-muji raja.
                                     S i n o m                                       

                                                            Bubuka

Wahyaning harda rubeda, Ki pujangga amengeti, mesu cipta mati-raga, medhar warananing gaib, ananira sakalir, ruweding sarwa akewuh, Wiwaling kang warana, dadi badaling Hyang Widi, amedharken paribawaning bawana.

                                                                     I
Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunya-ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, Ponang parameng-kawi, kawileting tyas malatkung, kongas kasudranira, tidhem tandhaning dumadi, Hardajengrat dening karoban rubeda.

                                                                     II
Ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik, paranedene tan dadi, paliyasing Kalabendu, Malah mangkin andadra, rubeda kang ngreribedi, Beda-beda hardane wong sanagara.

                                                                    III
Katatangi tangisira, sira sang parameng-kawi, kawileting tyas duhtita, Kataman ing reh wirangi, dening upaya-sandi, Sumaruna anarawung, mangimur manuhara, met pamrih melik pakolih, temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.

                                                                     IV
Dasar karoban pawarta, bebaratan ujar lamis, pinudya dadya pangarsa, wekasan malah kawuri, Yen pinikir sayekti, pedah apa aneng ngayun, andhedher kaluputan, siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

                                                                         V
Ujaring Panitisastra, awawarah asung peling, ing jaman keneng musibat, wong ambeg jatmika kontit, mangkono yen niteni, Pedah apa amituhu, pawarta lalawora, mundhak angroronta ati, Angur-baya ngiketa cariteng kuna.

                                                                         VI
Keni kinarta darsana, panglimbang ala lan becik, sayekti akeh kewala, lalakon kang dadi tamsil, masalahing ngaurip, wahanira tinemu, temahan anarima, mupus papasthening takdir, Puluh-Puluh anglakoni kaelokan.


                                                                         VII
Amenangi jaman edan, ewuh-aya ing pambudi, Melu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, Dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada.

                                                                         VIII
Samono iku babasan, padu-padune kepengin, enggih mekoten Man Doplang, Bener ingkang ngarani, nanging sajroning batin, sajatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, muhung mahasing asepi, supayantuk parimamaning Hyang Suksma.

                                                                          IX
Beda lan kang wus santosa, kinarilan ing Hyang Widdhi, satiba malanganeya, tan susah ngupaya kasil, saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, marga samaning titah, rupa sabarang pakolih, Parandene masih taberi ikhtiyar.

                                                                           X
Sakadare linakonan, mung tumindak mara-ati, Angger tan dadi prakara, karana wirayat muni, ikhtiyar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budi-daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning Suksma.

                                                                           XI
Ya Allah ya Rasulullah, kang sipat murah lan asih, mugi-mugi aparinga, pitulung ingkang nartani ing alam awal akhir, dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi Mila mugi wontena pitulung Tuwan.

                                                                          XII
Sageda sabar santosa, mati sajroning ngaurip, kalis ing reh haru-hara, murka angkara sumingkir, tarlen meleng malatsih, sanityaseng tyas mamatuh, badharing sapudhendha, antuk mayar sawatawis, boRong angGa suWarga meSi marTaya.

Posted by Agus Sunyoto
Kapethik saking Serat Kalatidha  kaimpun dening R Ng Sastrasadarga, Sala: Sadoe Boedi,1946
You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/serat-kalatidha.html. Thanks!
Wednesday, 9 January 2013

George William Lamming, Sastrawan Post-Kolonial Barbados

Oleh: Anisa Zuhria Sugeha & Andre Widhi S

           
George William Lamming lahir pada 8 Juni 1927 di desa Carrington, Barbados, dari percampuran orang tua asal Afrika dan Inggris. Namun, kedua orang tuanya berpisah dan ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Setelah ibunya menikahi ayah tirinya, Lamming membagi waktunya antara  tempat kelahiran dan rumah ayah tirinya di St David's Village. Lamming menghadiri sekolah Roebuck Boys  dan mendapat beasiswa di Combermere. Didorong oleh gurunya, Frank Collymore, Lamming menemukan dunia buku dan mulai menulis.
Sebelum pindah ke Inggris, ia bekerja dari 1946 hingga 1950 sebagai guru di El Colegio de Venezuela, sebuah sekolah asrama untuk anak laki-laki di Port of Spain, Trinidad. Ia kemudian pindah ke Inggris yang mana, untuk waktu yang singkat, ia bekerja di sebuah pabrik. Pada tahun 1951, ia menjadi penyiar untuk layanan kolonial BBC. Tulisannya telah diterbitkan di majalah Bim Barbados, disunting oleh gurunya, Frank Collymore, dan serial radio BBC Karibia Voice menyiarkan puisi-puisi dan prosa pendeknya. Lamming sendiri membacakan puisi di radio Karibia Voice, termasuk beberapa oleh Derek Walcott muda.
Novel pertama Lamming, in the Castle of My Skin, diterbitkan di London pada tahun 1953. Ia memenangkan penghargaan Maugham Somerset dan diperjuangkan oleh tokoh terkemuka seperti Jean-Paul Sartre dan Richard Wright. Kemudian menulis pengantar buku untuk Amerika Serikat. Lamming kemudian dianugerahi penghargaan Guggenheim Fellowship dan menjadi penulis profesional. Ia mulai melakukan perjalanan secara luas, pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1955, Hindia Barat pada tahun 1956 dan Afrika Barat pada tahun 1958.
Ia memasuki akademisi pada tahun 1967 sebagai penulis dan dosen di pusat seni kreatif dan Departemen Pendidikan di Universitas Hindia Barat, Kingston (1967-1968). Sejak itu, ia telah menjadi profesor di Amerika Serikat , di University of Texas di Austin, University of Pennsylvania, dan Universitas Brown, dan dosen di Denmark, Tanzania, dan Australia.
Pada bulan Mei 2011 Persatuan Nasional Penulis dan Seniman Kuba (UNEAC), menganugerahinya penghargaan  Karibia Hibiscus dalam pengakuan dari karyanya seumur hidup. Pada bulan April 2012, ia adalah ketua hakim untuk OCM Bocas Prize for Caribbean Literature.
Adapun karya-karya Lamming antara lain sbb:
In the Castle of My Skin (London: Michael Joseph; New York: McGraw-Hill, 1953)
The Emigrants (London: Michael Joseph; New York: McGraw Hill, 1954. London: Allison & Busby, 1980)
Of Age and Innocence (London: Michael Joseph, 1958; London: Allison & Busby, 1981)
Season of Adventure (London: Michael Joseph, 1960; Allison & Busby, 1979; Ann Arbor: University of Michigan Press, 1999)
The Pleasures of Exile (London: Michael Joseph, 1960; Allison & Busby, 1981; Ann Arbor: University of Michigan Press, 1992)
Water with Berries (London: Longman, 1971; New York: Holt Rinehart, 1972)
Natives of my Person (London: Longman; New York: Holt Rinehart, 1972. London: Allison & Busby, 1986)
Coming, Coming Home: Conversations II - Western Education and the Caribbean Intellectual (Philipsburg, St. Martin: House of Nehesi, 1995, 2000)
Sovereignty of the Imagination: Conversations III - Language and the Politics of Ethnicity (2009).
Editor, Cannon Shot and Glass Beads: Modern Black Writing (London: Pan, 1974).
Editor, On the Canvas of the World (Port of Spain: Trinidad & Tobago Institute of the West Indies, 1999.
Caribbean Reasonings - The George Lamming Reader: The Aesthetics of Decolonisation, edited by Anthony Bogues, Ian Randle Publishers, 2010.
Lamming merupakan seseorang yang terpandang saat itu. Selain karyanya banyak, dia pun mendapat berbagai penghargaan diantaranya :
1954: Kenyon Review Fellowship
1955: Guggenheim Fellowship
1962: Canada Council fellowship
1987: Companion of Honour of Barbados (CHB)
1998: Langston Hughes Medal
2003: Fellow of the Institute of Jamaica (IOJ)
2008: Order of the Caribbean Community
2009: The President’s Award (St. Martin Book Fair)
2011: Caribbean Hibiscus Prize
2012: ALBA Cultural Award
George Lamming merupakan salah satu tokoh dalam kajian poskolonial di bidang sastra. Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward W Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat dalam memandang Timur. Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian sastra. Poskolonial mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian humaniora yang lebih luas sejajar dengan kajian posmodern atau postrukturalisme. Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra. Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling mengisi.
              Pada tahun 1970-an Lamming memiliki hubungan dekat dengan Barbados Workes Union. Namun, ia tidak pernah bergabung dengan organisasi politik, dan gagal usahanya untuk bergabung dengan Partai Komunis di Inggris pada tahun 1950. "Tapi sejarah kerja, seperti yang diceritakan oleh kekuatan tenaga kerja, tidak sangat menonjol dalam teks-teks resmi sejarah," telah Lamming katakan, "Saya tidak tahu  apakah sarjana sastra membuat sambungan, tapi salah satu fungsi dari novel di Caribia adalah untuk melayani sebagai bentuk sejarah sosial." Dia menulis kata pengantar untuk Sejarah Rakyat Pekerja  Guyana, 1881-1905 oleh Walter Rodney, pemimpin yang  Aliansi Rakyat Pekerja  Guyana, yang tewas pada tahun 1980 ketika pemerintah sedang bersiap untuk membawanya ke pengadilan untuk kegiatan politiknya. Percakapan, kumpulan esai, alamat dan wawancara, keluar pada tahun 1992.
         Bahasa menurut Lamming adalah penyayang dan intens, penuh gambar liris. Dalam dialog ia telah menggunakan secara ekstensif bahasa Creole. Imigran India Barat Lamming berulang kali menghadapi prasangka ketika  menjadi warga baru  di Inggris. Kadang-kadang penolakan terjadi keras sekali seperti dalam cerpen "Sebuah Pernikahan Musim Gugur”, di mana saudaranya tidak menerima bahwa kakaknya menikahi wanita Inggris kulit putih, yang tertuang dalam plot cerita sebuah  pernikahan. "Ini bukan kehendak Tuhan menggabungkan saudara saya Wid dengan wanita Inggris berhidung elang." .  
         "Ini kegembiraannya yang bodoh," kata orang tua pengantin wanita yang menolak untuk menghadiri acara tersebut.
          Ketika Beresford, saudaranya, tiba dengan temannya ke gereja dengan  sepeda bukannya naik limusin,  adiknya Flo segera  membatalkan pernikahan, dia menyadari bahwa dia tidak bisa dipermalukan sebelum kerumunan orang mulai menganggur dan berkasak-kusuk di luar gereja. Pernikahan telah kehilangan makna penting baginya. Pernikahan menjadi sepele dibandingkan dengan aib yang harus ditanggungnya.
            Pendeta berteriak, "Mana pengantin laki-laki?"
           "Itu tidak penting," kata Flo. "Kau saja yang 'pergi menikahi adikku."

Anisa Zuhria Sugeha & Andre Widhi S, mahasiswa Program Studi sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya
You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/01/george-william-lamming-sastrawan-post.html. Thanks!
Friday, 4 January 2013

Serat Nitiprana

 Karya: R.Ng.Yosodipuro
           Pamedharing sarkaraning manis, manising tembung kaliyan tembang, tembunging sastra campure, Arab lan Jawanipun, kalihira tan kena sisip, lumampah kalihira, cinupet tan purun, yen pisah salah satunggal, yekti gagal ngilangaken yudanagari, nagara iku rosa.
           Kuwating nagara gegirisi, kuwating sarak sabab rumeksa, wajib ngreksa kukum kabeh, kukum pan kuwat kukuh, angukuhi prakareng buri, yen mangkono ta padha, wedia mring kukum, pratapna yudanagara, yen ketemu karone dadia becik, becik slamet raharja.

            Lah punika sarjuning kang nulis, mantheng ing tyas susetya ngulama, nglapasaken panggraitane, graitane wong punggung, anggung gawe agunggung dhiri, dhirinira keweran, tan weruh ing kawruh, warah wuruk pan tinerak, nerak sarak nora wande nemu sarik, rusuh rusak keprangkat.
              Sakarepe rikuh ngrusak ati, ati tiwas ing pati tan nawas, awit akeh was uwase, wuwusen sujanayu, karahayon ngesthi ing budi, tumindak ing dadalan, dalan kang mrih luhung, tuturing tyas sabar drana, tegesira ngeklasna kalbu kang sukci, dimen mancur tyasira.
            Mancur ing tyas iku anyumuki, marang badan awakira dhawak, sumrambah kabecikane, nyupet cilakanipun, suka sukur ingkang pinanggih, uga manggih kagungan, sinebat wong agung, anggenggeng santosanira, rinasanan wong iku ambeg basuki, ngusweng tyas karaharjan.
             Harjaning tyas bisa milawani, marang sakabehe nafsu kang ala, kang bener pinarekake, sumingkir marang merdut, merdut dudut ati tan becik, becik acumadhonga, mring Gusti Kang Agung, gung nalanggeng mring Hyang Suksma, Suksma nrima ing pinawuning kang abdi, yen temen tinemenan.
           Jroning Kitab Sipatul Ngulaki, tandhaning wong kang kurang budinya, ana pratandha awake, solah pangucapipun, kang kanggonan jatining budi, yen katekanan balak, ing sariranipun, winelas ing kabecikan, mring kabuka marang ing sasami-sami, wong luput ingapura.
           Dene purwa tutungguling budi, kaping kalih mantep idhepira, ingkang beciki awake, lan weruh sriranipun, yen wong luhur dipun-andhapi, tur nora palacidra, marang saminipun, dene tandha kaping tiga, iya karem wong iku panggawe becik, nyimpang panggawe ala.
            Tandha ping pat jatmika ing budi, omot ujar tandha kaping lima, ngucap barang pangucape, sarta kalawan ngelmu, tandha ping nem karem amikir, tansah maca Istikpar, eling uripipun, lamun awekasana pejah, kaping kalamun nandhang prihatin, panrimaning nugraha.
              Nuli ilang denira prihatin, dene linimput ing panarima, lan andhap asor ambeke, wus jangkep kaping pitu, budi ala ginuncang eblis, iya pitung prakara, dene kang rumuhun, dhemene angniaya, yen angucap wong iku adoh lan ngelmi, sembrana amrih cacad.
            Kapindhone digumunggung dhiri, nora dhemen apawong sanakan, manawa asor dheweke, dene kang kaping telu, tatakrama den orak-arik, ingkang kaping sekawan, kereng sarta lengus, ping lima jail wadulan, kaping neme angumpet panggawe becik, dene kang kaping sapta.
             Nora sabar katekan bilai, pan wus jangkep kang sapta prakara, iku pancabaya gedhe, rasakna putraningsun, marang kojah kang wuri-wuri, kalamun sira bisa, matrapken pitutur, kang wus kasebut ing ngarsa, iku badan umarek mring Maha Sukci, sarta lawan nugraha.
              Utamane kalakuwan iki, lakonana samubarang karya, kukuhana ing becik, kang tega tinggal luput, kencengana benerireki, den kukuh aywa kongkah, kang supaya bakuh, eklasna ninggal kang ala, lire ala ingkang tinggal saking becik, becik iku raharja.
             Arja jaya pan aja gumingsir, singkirena ati kang belasar, dimen adoh sar besare, sasare ing pinemu, panemune wong ahli ngelmi, akeh kang matekena, marang badanipun, iku ngelmuning gupala, nora wande yen kekel aneng yuwani, tingal mati tan awas.
By: Mas Kumitir
You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/01/serat-nitiprana.html. Thanks!

SERAT NITISRUTI - I

DHANDHANGGULA
Рµρứђ ☻ 01

Mamnising wasita kaesti, Nitisruti kang sinudarsana, tinulad ing sapantese, pinetan kang pakantuk, tujuning kamajengan, asedya arjayu, yuwananing nuswa jawa, away kongsi kalantur-lantur kawuri, kewrwning pangawikan.
Рµρứђ ☻ 02
Nguni-uni pra paramengkawi, kawileting ring reh pangawikan, kang mikani ing kajaten, temah katrem katungkul, kanikmaten kawruhing pati, dadya kadunyanira, kawuri kalantur, awit datan ginaraita, marma mangkya karsaning pra sarjanadi, binudi mring widagda.
Рµρứђ ☻ 03
Widada ing kadunyan supadi, bangkit dadya ruhuring darajad, mrih kapraptan sakajate, nanging away kalimput, tilar taler tataning nguni, Nitisruti tinilas, talesing sedyayu, supadya tanceping carita Jawi, mangkana kang wasita.
Рµρứђ ☻ 04
Jatinira tyas kadya angganing, sinilem ing samodra dahana, nging paksa tumimbul bae, satemah sinung pemut, nujweng ari Budhaka manis, Sura Candra purnama, ing warsaka ; Wawu, punang sangkala kaetang, bahni maha astra candra duk manganggit, Nitisruti pustaka.
Рµρứђ ☻ 05
Ya marmanta apaksa manggupit, kadarpeng tyas mamardi mardawa, mrih widodo sawadine, mung raharjeng rat ketung, myang nititia neningali, saulah bawaning lyan, nadyan tan pakantuk, wus tan rinasa ing driya, awit saking kirang wiwekaning kapting, katenta paprenesan.
Рµρứђ ☻ 06
Ing reh pindha nurat kalam jari, nanging kedah ingalema wignya, marma pamintaba mangke, mring sagung kang sedyayun, manungkara wuryaning ruwi, wawarah ngayawa, den aksemeng kalbu, wit ning sarasaning gita, pindha janma awuru saari-ari, nging paksa.
Рµρứђ ☻ 07
Wawadine kang warsita nguni, mung wit wara kang wus katriwal, rinuruh ing sakadare, sing reh pra sujana nung, myang sarjana ing nguni-uni, kang wus samya kasusra, sru pratameng kawruh, wasis ulah kawaskithan, myang satata kertata sung wasitadi, wis dadya puruhita.
Рµρứђ ☻ 08
Nalaring srat iya jatining wiweka, iku pan dadi ambeke, para pandhita candhana adi, sandyan tinegora, pinecela muhung, asung ganda marbuk ngambar, wit tyas wiyar resik lir akasa keksi, kesisan ima manda.
Рµρứђ ☻ 09
Gilutane anggelung pangawrin, myang jroning tyas tan pegat tumedah, asung kadarman ring akeh, saking sampun amungkur, sumingkiring reh tan yukti, tyasnya sukci legawa, paramarta arum, berbudi bawa laksana, myang dyatmika nirmala ngumala wening, yayah pasthika maya.
Рµρứђ ☻ 10
Rina wengi tarlen kang kaeksi, mung arjaning jagad pramudhita, gung sinidhikora ing reh, pinulata ginilut, legutanuya dimene dadi, tuladhaning pra mudha, cinandhi kang cundhuk, candhake lan jaman mangkya, mangsa borong dennya met darsana sidi, kasidaning parasdya.
Рµρứђ ☻ 11
Surasanya kang pinurweng ruwi, kang minangka lenggahing pandhita, yen sampun leres rarase, nulusa raosipun, jroning nala tanpa ling-aling, dening sampun waspada, dununging panebut, atanapi kang sinembah, dadi gambuh ngambuh ing kaanan jato, jati mulyeng kasidan.
Рµρứђ ☻ 12
Rarasing kang mangkana sayekti, tan kabuka neng manahing janma, kang tanpa pangawikane, muwah kang mudha punggung, bodho bundhu datanpa budi, marmanira kumedah, tyas kalaten atul, met tuladha pruhita, maring para pandhita putusing jati, jatining kanindhitan.
Рµρứђ ☻ 13
Kartining tyas yen wus tekeng jati, pan wus sirna reregeding angga, ruwat sagung mamalane, kadi sarira ayu, kang mangkana yeka manawi, trus prapteng jero jaba, babarane jumbuh, ning wening tan kawoworan, ing satemah pan wus keni den wstani, syh sirna manungsanya.
Рµρứђ ☻ 14
Tatelane kang mangkono yekti, wus tan ana Gusti lan kawula, saking wus sirna rasane, dene ta kang tan weruh, ing pangawruh kang wus jinarwi, tan kena cinarita, caraning tumuwuh, wit wus kebak mesi wisa, mung duraka kewala kang den raketi, beda kang wus santoso, saking antuk nugrahaning Widhi, sabarang kang winicara samya, pan wus dadya labet kabeh, tumpraping praja ayu, saking tansah rinakseng Widhi, widada sasedyanya, salwiring reh dudu, dinohken ing Hyang Wisesa, babasane wong kang wus waskitheng westhi, rinekseng Widhi dhusta.
Рµρứђ ☻ 15
Lawan tyasira wus satuhu sukci, lenggahira wus luwih santoso, ingkang mangkana yektine, wus dadya prabotipun, waspada ing jatining tunggil, tunggal Gusti kawula, sakarone jumbuh, iya waspada punika, pan wus keni ingaran busaneng jati, tetep mangka pirantya.
Рµρứђ ☻ 16
Pirantine wong angulah ngelmi, kang kariyin temen tan kumedhap, sarwa manis wicarane,semu arereh arum, lamun wus samekta, jaba jumbuh, madu lawan manisira, wus sarasa atunggal rasane jati, tan kena pinisahna.
Рµρứђ ☻ 17
Kaping kalih ulahing dudugi, niniteni ulah kang tan yoga, winor lan ulah kayekten, sira dipun sumurup, sameptaning wasisteng westhi, yen marta ngemu wisa, sayekti tan arus, lan yen guyu ngemu rahswa, luhung lamun tan mawi wisa upami, ngarah lar kidul kena.
Рµρứђ ☻ 18
Yen mangkana sayektine maksih, keni binuka lawan duduga, pangudining nora angel, dene ping tiganipun, kang winastan ulah watawis, iku ulah timbangan, angon ing panuju, animbangi kang sabawa, lan sambada kang kapareng narawungi, tinengah ing watara.
Рµρứђ ☻ 19
Ping sakawan traping pamroyogi, animbangi patraping watara, duga-duga prayogane, kalawan tibanipun, tumanduking karsanireki, kinira away ngatya, amasmu kasusu, ing lampah ywa daya-daya, angantia lamun wus sarwa miranti, sareh ning amrayoga.
Рµρứђ ☻ 20
Away tilar wuwulang ing nguni, lan ing mangkya yogya katepungnya, pinet ing sapakantuke, dene ping limanipun, kapurunan telung prakawis, dhingin sabaya pejah, ro mateni kayun, katelu anglugas raga, maksih ana lamun tinulusa sami, nanging wosing kadiran.
Рµρứђ ☻ 21
Ringkesane mung tekading kapti, kudu saguh gugah nora wegah, sumanggem sabarang gawe, nadyan tekeng pakewuh, yen wus wani nora gumingsir, tempuhna gunung waja, myang samodra latu, yen wus wani away ulap, ing wusana kaprawiranira dadi, ingendel wong sapraja.
Рµρứђ ☻ 22
Kaping nenem kang luwih sayogi, bisa nganan anuntagi basa, wruh sakehing basa kabeh, bangkit ambingkas nambung, lan manuksma ing agal alit, saulah bawaning rat, saosik kawengku, amiguna ing ngaguna, bangkit mamrih sihing janma sanagari, tansah mrih arjaning rat.
Рµρứђ ☻ 23
Talesing tyas asih ing sasami, myang den bisa mot ing kapinteran, ywa kaduk gumuna reke, den bisa angon semu, lamun kaduk gumuna yekti, kawruhe kalong-longan, kaelangan parlu, de kang mangka prananira, salwir kawruh tarlen saking sarwa bangkit, angrasuk sarasanya.
Рµρứђ ☻ 24
Dadya tajem semune tan keksi, nora mantra-mantra kawistara, ing pasemon mung masmu sumeh, pasaning netya ruruh, ngarah-ngarah ring tyas mekani, lamun ana sujana, sangadi balilu, winulata den waspada, kang supadya away kawadakeng wadi, dadi datan cineda.
Рµρứђ ☻ 25
Marma lamun micareng pangawrih, den abisa sasap ing wacana, amamriha prayogane, lan winatareng tanduk, umindaking dugi prayogi, winoran ringa-ringa, pangarahing wuwus, upama urubing damar, maramene anggaremet mikenani, jroning nala kapranan.
Рµρứђ ☻ 26
Wit putusing sujana linuwih, waskitheng tyas mawas kawasisan, tan kawistara semune, samun nanging mangimpun, animpuni kagunan sami, marma ywa kawistra, ing pamawasipun, den samar met moring rahsa, rarasing reh dena manis masmu aris, manawa kawangunan.
Рµρứђ ☻ 27
Lan tekade wong kang wani mati, iku daya makaning kasuran, lara wirang tan tinoleh, ewa samono lamun, ungas sanget amingis-mingis, pinintonken sakala, kalane kawuwus, kawanteren umuk ombag, iku bakal kinira wong kurang wani, batal kuwanenira,.
Рµρứђ ☻ 28
Kang mangkana tanpa pamatawis, wuwusira nora winaranan, kasusu sukaning tyase, katona wanteripun, tan kuwawa nayuting kapti, anguja nepsu hawa, nora awas emut, labete tanpa warana, mung kumudu mintonken yen sarwa wani, iku nora prayoga.
Рµρứђ ☻ 29
Dena anteng lawan dena manis, netya sumeh nanging away ulap, laraping wicara sareh, yen sira tuhu purun, away sira tuhu purun, away kongsi kasusu keksi, kuwanenen ing tingkah, lan away ombag umug, pindha bantheng mambu obat, manggung angro anggigiro giri-giri, gambira goragadha.
Рµρứђ ☻ 30
Ngaku dadi gegedhunging bumi, sumbar-sumbar obrol kabrabeyan, jubriya tekabur bae, angkuhe kumalangkung, ngaku kendel ngungkul-ungkuli, ngungkuli wong sapraja, iku nora mungguh, ngadate wong kang mangkana, mung samono kewala katoging budi, prapteng don liron kamal.
By Mas Kumitir
alangalangkumitir.com
You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/01/serat-nitisruti-i.html. Thanks!
Sunday, 23 December 2012

Sastra Pesantren, Sastra Dakwah

 Oleh: Ahmad Thohari
             Sastra pesantren adalah istilah baru yang mungkin dimaksudkan untuk menyebut karya sastra yang hidup dan diciptakan kalangan pesantren, atau karya sastra yang bermuatan misi dakwah.
              Apabila pembatasan ini benar, maka sastra pesantren sesungguhnya sudah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12, sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia.
              Islam yang masuk ke Indonesia sudah bernuansa sufistik dan disebarkan melalui cara akulturasi. Para penyebar Islam memanfaatkan sastra sebagai media untuk menyampaikan pengajaran tentang sejarah, hukum, serta tasawuf. Bentuk-bentuk sastra yang lazim mereka manfaatkan adalah pantun, syair, gurindam, prosa, dan prosa lirik. Raja Ali Haji terkenal dengan Gurindam Duabelasnya yang bermuatan pengajaran adabnya.
              Di daerah lain seperti Minangkabau, Sunda, Jawa, Makassar, dan sebagainya, para pelopor Islam juga menggunakan media sastra setempat untuk tujuan dakwah. Sastra tutur kaba’ di Minangkabau dimanfaatkan untuk dakwah selain pantun dan syair. Di Sunda, hal yang sama bahkan terjadi lebih intensif. Sastra tembang yang berisi pengajaran agama, dan tembang Cianjuran sampai tembag anak-anak di surau dan pesantren berkembang dengan sangat subur pada zamannya.
              Sunan Bonang menggunakan bentuk-bentuk tembang Jawa untuk menyebar dakwah, terutama tasawuf. “Suluk Wuragul” yang ditulisnya dalam bentuk tembang dhangdhanggula berisi pemikiran teologis faham Jabariyah dan Qadariyah.
         Dalam khazanah sastra tembang Jawa ada sebuah pupuh dhangdhanggula yang sangat terkenal:

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jin setan datan purun
Paneluhan datan ana wani
Miwah penggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna


Artinya: ada sebuah kidung (nyanyian mantra) penjaga sang malam. Berjaga agar semua selamat. Dijauhkan dari sakit. Menjauhlah segala bahaya. Jin dan setan tak bisa mengganggu. Teluh tak berani. Juga perbuatan jahat ulah orang yang sesat, padam seperti api tersiram air. Pencuri jauh. Guna-guna dan penyakit akan sirna.
                 Para pecinta sastra tembang sulit menentukan siapakah pencipta dhangdhanggula ini. Namun mereka percaya dia adalah salah seorang dari wali sembilan. Dan yang dimaksud dengann kidung dalam tembang tersebut adalah ayat kursyi yang dipercaya secara magis mampu menolak segala macam bahaya.
            Pada saat itu, kehidupan sastra pesantren baik yang salaf maupun modern, bisa dikatakan berhenti. Di pesantren salaf, kitab kuning yang banyak diantaranya punya nilai sastra, memang tetap menjadi sumber keilmuan yang utama. Namun produk sastra baru, yang biasanya berupa sayair puji-pujian atau singiran boleh dibilang tidak lagi dihasilkan. Di Banyumas, Kiai Amin dari Karang Lewas masih setia menulis syair dalam dialek lokal, kebanyakan berisi ajaran etika. Namun kiai yang sering mandiri sangat sulit memasyarakatkan karyanya. Tak ada penerbit yang mau menerbitkan karya sastranya, tak ada pula guru yang mau mengajarkan karya itu kepada para santri.
               Apabila kehidupan sastra dalam batas tembok pesantren bisa dikatakan redup, tidaklah berarti sastra pesantren juga tidak berkembang di luarnya. Dalam hal ini agaknya telah terjadi semacam metamorfosis dari sastra pesantren lama yang biasanya berciri tradisional ke bentuk sastra modern dengan segala ciri modernitasnya.
            Kemunculan penyair Abdul hadi WM dengan puisi profetiknya atau Danarto dengan cerpen-cerpen sufistiknya, bisa dikatakan gejala metamorfosis tadi. Dengan gejala ini, menjadi lebih menarik dengan munculnya orang-orang asli pesantren seperti KH Mustofa Bisri Rembang, KH D. Zawawi Imron Batang-batang Sumenep, KH Acep Zamzam Noor Cipasung sebagai raksasa penyair modern tingkat nasional. Kemunculan tiga tokoh tadi, yang kemudian diikuti oleh puluhan penyair lain, membuat warna baru dalam khazanah sastra Indonesia sekaligus mengaburkan batas antara sastra pesantren dan sastra nonpesantren. Dengan kata lain, rasanya tidak obyektif menganggap sastra pesantren sebagai bentuk ekslusif santri, karena kenyataannya sastra pesantren sejak dulu hingga kin merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sastra Indonesia.  
             Metamorfosis sastra pesantren juga menjadikan genre sastra ini punya masa depan luas karena tidak lagi terikat oleh ketentuan-ketentuan bentuk seperti pantun dan syair. Puisi-puisi karya Abdul hadi WM, KH Mustofa Bisri, KH D. Zawawi Imron adalah puisi modern yang bebas bentuk. Puisi modern yang lebih mengutamakan kedalaman atau intensitas kreatif daripada keharusan memenuhi ketentuan bentuk tertentu. Maka pusi modern lebih punya masa depan dan relevan dengan selera zaman.
               Dari kualitas maupun kuantitas, pesimisme sungguh tak perlu terjadi ketika kita mengamati perkembangan puisi pesantren. Namun lain halnya bila kita bicara soal prosanya, khususnya novel. Diakui bahwa secara umum terasa ada krisis dalam dunia pernovelan Indonesia. Krisis yang dimaksud adalah sedikitnya lahir novel-novel yang bermutu sastra. Dan lebih sedikit novel yang bersemangat pesantren, yakni novel-novel yang menjadikan tauhid sebagai basis kreativitas.
                  Sementara orang mengatakan, sastra bentuk novel memang akan sulit lahir dari kalangan pesantren (baca: ortodoksi muslim), setidaknya karena satu hal, yakni masih adanya anggapan bahwa membuat karakter (pelaku) fiksi dihukumi haram karena dianggap sama dengan membuat patung. Kenyataannya memang demikian, tidaklah banyak lahir novelis atau cerpenis dari kalangan ortodoksi, baik ortodoksi modern maupun ortodoksi tradisional. Novelis atau cerpenis Islam kebanyakan muncul dari kalangan “abangan”.  
AHMAD TOHARI, sastrawan, tinggal di Banyumas
Sumber: www.nu.or.id
You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/12/sastra-pesantren-sastra-dakwah.html. Thanks!
Tuesday, 18 December 2012

SERAT NITISRUTI III

S I N O M

Рµρứђ ☻ 01
 Tyas kumlungkung kumawagya, luwih maning lamun uwis, munggwing luhuring turangga, ngembat watang numbak siti, katon esthanya kadi, kurang mungsuhing ngapupuh, anyanderaken kuda, mamprung alok cerik-cerik, kang mangkana mung samono notoging prana.

Рµρứђ ☻ 02
Dhapur amerang lengenan, para tandang nyanyampahi, tandha candhula-candhala, kumawana angarani, sabar mring liyan janmi tan wruh lamun dhewekipun, katon ing jerihira, kang mangkana iku tingkah tan prayoga.

Рµρứђ ☻ 03

Yoga kaki singkirana, tingkah kang saru kaeksi, nulada para sujana, myang sarjana kang nimpuni, ngambar gandane wangi, apan ta uwus kasebut, ana ing layang wacan, caritane kyana patih, ri sang Koja jajahan lan Sri Narendra.

Рµρứђ ☻ 04
Nata ing Mesir nagara, tataning pra sujana di, kang binabar dadi wulang, karya sudarsana sidi, maring wong sanagari, menggah kajatmikanipun, muwah antenging netya, manising wacana luwih, mrih ywa nganti ingaranan wicaksana.

Рµρứђ ☻ 05
Dene cacading panindak, anandukken pamatawis, iku yen mawa pangangkah, angong kang marang tan yukti, saking tan den wekani, bubukaning kang pakantuk, wit saking wuwusira, kongas-kengis sarwa wasis, para tama kalimput landheping sabda.

Рµρứђ ☻ 06
Ing satemah ngayawara, warahe tan migunani, wit saking kurang wiweka, amengku mring liyan janmi, saking kurang pamikir, kang ora-ora ginayuh, yektining pamatara, tinilar malah den dohi, kang mangkana wit kalimput ngaku limput.

Рµρứђ ☻ 07
Ing satemah kapitunan, tiwas muwus angacuwis, wuwuse tanpa wusana, sirna katubing maruti, ingkang mangkana kaki, ing nguni pan wus kasebut, wasita kuna-kuna, pangucap kang tancep becik, lawan maning pakarti ingkang utama.

Рµρứђ ☻ 08
Iku dadi tatkrama, tumerah wong sanagari, wus ana wawarahipun, ginelar telung prakawis, tunggal ambeg utami, lawan solah bawa kulup, tanapi pamariksa, mangkene nyatane kaki, iya iku nistha madya lan utama.

Рµρứђ ☻ 09
Lawan maning jarwaning, warah kang telung prakawis, ing nguni wus wanasita, mangkene ingkang kariyin, kramaning sujana di, nenggih kaping kalihipun, caraning pra sudagar, patraping durjana katri, yeka aran ambeg nistha madyatama.

Рµρứђ ☻ 10
Ning nadyan patrap durjana, ya nistha madya utami, wit saking awarna-warna, ambegal nyebrot tanapi, ana maling pawestri, maling rajabrana dalu, patrape neka-neka, ana kang mawa piranti, ana ingkang anggunting madung wiwira.

Рµρứђ ☻ 11
Ana kang mateni janma, dene durjana utami, kang wani ngendheng katingal, marmanta winastan silip, wit dennya laku juti, abangkit kalangkung-langkung, ngungkuli janma kathah, bangkit namar angemori, tingkahira kadi janma ulah budya.
Рµρứђ ☻ 12
Lan asring ngluluh sasrira, amelang sedyaning kapti, pininta kalonira, wit nadyan wong laku juti, uga bisa ngarani, mungguh sapurnaning laku, amung mateni raga, de madyanira laku jati, amung meneng lan mrih kalimpe kewala.

Рµρứђ ☻ 13
Ana kang mawa pirantya, bandrek pintu jugil gunting, dene ta maling kana nistha, anguthuh tan wirang isin, angrebut nyeler ngutil, nadyan konangan pinenthung, wus tan nganggo rinasa, labete wong tuna budi, amburu wah nuruti murkaning manah.

Рµρứђ ☻ 14
Yaiku nisthaning nistha, ngangsa ngangah-angah kadi, rayap kumriyeg managsa, sari ratri tanpa ririp, telas tilasing janmi, jasate lir jis-jis wutuh, de caraning sudagar, ingkang santoso ing budi, amung mungkul wekel dennya anggaota.

Рµρứђ ☻ 15
Murih katekaning karsa, ananging inggih manawi, genya ngimpun rajabrana, milulu melik bathi, linabuhan ambalithuk, sayekti menggal rusak, tan lulus temah sirnaning, kang saweneh nenggih patraping nangkoda.

Рµρứђ ☻ 16
Ana ingkang nora sotah, wanuh lan wong kawlas-asih, tan arsa wawawicara, lawan wong kang nistha-nisthip, kapethuka sumingkir, bok nulari apesipun, yena ana pekir priman, sinikara dennya ngemis, dya ginusah ingesotken sona rodra.

Рµρứђ ☻ 17
Supadya enggal lunggaa, away kongsi nanketi, muwah ywa tunggal satanah, asatemah nguciwani, yeku wong kang wus lali, pangling nalarira liwung, kalingling melikan, tan eling purwaning urip, wit kayungyun milulu ing kabungahan.

Рµρứђ ☻ 18
Tan ana kang kasatmata, kajaba mung emas picis, lali mring Pangeranira, janma kang mangkana yekti, cilaka dunya ngakir, yen rusak tan antuk tulung, wit duk katunggon dunya, karem nyikara sung runtik. Mring Hyang Suksma lali tanpa pangastawa.

Рµρứђ ☻ 19
Dene kramanira pandhita, akeh kang nundhingan dhiri, lire ngengungken sarira, ana kang kulineng sepi, neng wana-wana wukir, wenenh ana jro prajagung, tinawing warna-warna, busana rajabrana di, myang rinengga anggarwa wanodya endah.

Рµρứђ ☻ 20
Supadya rinesepana, maring sagung kang ninggali, muwah siniha ing kathah, lan bungah yen den wastani, anekaken kapti, dene ta ing karsaninpun, pandhita kang mangkana, pama puspa den simpeni, nanging meksa kongas arum marbuk ngambar.

Рµρứђ ☻ 21
Tan wun akeh kang ngupaya, kapingin ing ganda wangi, nanging ta ingkang mangkana, yekti arang kang udani, saking nora kaeksi, beda kang nglela kadulu, katon tapa bratnya, myang sumingkir ing karamen kakareman.

Рµρứђ ☻ 22
Awit laku kang mangkana, ngluwihi kang aprang sabil, sabalane kang angrusak, angrusuhi ing agami, mangkana kang utami, sayogya ingkang misuwur, sumawur wartanira, suka nawurken wawangi, prapteng wuri martani suta sewaya.

Рµρứђ ☻ 23
Samya sumanggem agama, ageming Nabi sinelir, Muhammadinil Mustapa, aterus ing lair batin, wit yen tan trusing tumimbul, krana sampurnanira, pangastuti ing Hyang Widhi, nora kena rinerangan rewa-rewa.





Рµρứђ ☻ 24


Marmata para pandhita, kang manembah neng ngasepi, myang mahas sajroning guwa, amepet angkareng kapti, tahen tan dhahar guling, amerangi hawa nepsu, nyirep sagung wiyasa, myang birat sakeh sihing sakserik, nanging lamun kalimput sihing atapa.

Рµρứђ ☻ 25
Lire bungah ingalema, betah luwe matiragi, iku tan antuk suwarga, malah naraka pinaggih, pujinira sirna nis, brastha tiwas ambaluwus, wekasan tanpa tuwas, sedyanira dadi, ing satemah manggung anggaresah.

Рµρứђ ☻ 26
Tan katrima ing Hyang Suksma, upama wayang neng kelir, kapeksa muwus priyangga, dhalange tan nguningani, marma lampahing resi, kang neng praja myang ing gunung, nora kena pinadha, kudu turut ataretip, tinataa pakantuking jro wardaya.

Рµρứђ ☻ 27
Lamun pandhita ing praja, jejere ingkang piniji, ameleng ing kajatmikan, atanapi tata krami, nadyan lumakweng margi, jatmikaning tyas tan kantun, tuhuning tata krama, winantu ing ulat manis, animakken sakserik trusing wardaya.

Рµρứђ ☻ 28
Yen maksih esak ing driya, dadi asoring maharsi, yekti katinggal ing netya, amasmu kucem tan manis, dening angemu runtik, maksih ngumbar hawa nepsu, dene agenging cacad, medaning para maharsi, lamun maksih karem kerem rajabrana.

Рµρứђ ☻ 29
Wit iku amarakena, sareng lan sarehing kapti, tanapi suka sungkawa, kusut sekunging astuti, lamun ana kang prapti, samya lumuntur sihipun, netya sumeh sumringah, yaiku medaning kapti, temah datan bangkit mekak nepsu hawa.

Рµρứђ ☻ 30
Saking maksih sugih tresna, remen mring kang sarwa asri, ing wekasan tantan tuman, nuruti medaning bumi, lir trape wong neng nagri, ngawula suwiteng Ratu, sayekti wawalesan, animbangu sihing Gusti, lawan kedah ngati-ati, ing pratingkah.

Рµρứђ ☻ 31
Kudu setya tyas waspada, amawas karsaning Gusti, myang mamet sihing sasama, muwah sarowanging ngabdi, dadi bangkit mumpuni, ing sanalika tan ewuh, netepi Waradarma, solah muna lawan muni, iku dadi panengeran ayu ala.

Рµρứђ ☻ 32
 
Muwah tanggaping sasmita, prayananing Narpati, lir warahe sang Apatya, Koja jajahan ing Mesir, asung wulang weweling, palane ngawula ratu, dhingin angilangena, pangira kiraning kapti, akarana nalika jaman sama.

Рµρứђ ☻ 33
Patrape wong angawula, ingkang winastan prayogi, rarasing tyas mung sumarah, nurut sakarsaning Gusti, dipun kadi angganing, angilo paesan agung, solahing wawayangan, kang aneng sajroning carmin, nora siwah lawan kang ngilo ing kaca.

Рµρứђ ☻ 34
Myang away tresna ing garwa, tanapi sewaha siwi, sanak kadang kulawarga, de yen tan mangkana yekti, tipis dennya dadasih, tuwas tiwas kasang-kusung, wekasan kasangsaya, temah mung ngaswrat-awrati, tan katrima wurung dennya danasmara.




By Mas Kumitir
www.alangalangkumitir.wordpress.com
You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/12/serat-nitisruti-iii.html. Thanks!
Tuesday, 27 March 2012

Tomaaso Campanella dan Ideal Masyarakat Komunal

 Oleh: Dewi Nur Rohmania                
Tommaso Campanella OP (nama baptis: Giovanni Domenico Campanella) lahir di Stignano di daerah Stilo, Provinsi Reggio di Calabria salah satu daerah di selatan Italia, pada 5 September 1568 dan meninggal di Paris pada 21 Mei 1639. Dia adalah anak seorang tukang sepatu miskin dan buta huruf.  Campanella di kenal sebagai seorang filsuf, teolog, ahli astrologi, dan penulis sastra dari Italia. Dia disebut sebagai tokoh empirisme dan ilmu manusia.

          Pada usia empat belas tahun, ia memasuki Ordo Dominikan dan mengambil nama fra 'Tommaso untuk menghormati Thomas Aquinas. Pelatihan formal dalam bidang filsafat dan teologi di rumah Dominika. Dia belajar teologi dan filsafat dengan beberapa master. Awalnya, ia menjadi kecewa dengan Aristoteles ortodoksi dan tertarik oleh empirisme dari Bernardino Telesio (1509-1588), yang besar De Rerum Natura (setelah Lucretius, lihat atomisme ) sangat mempengaruhinya. Telesio mengajarkan bahwa pengetahuan adalah sensasi dan bahwa segala sesuatu di alam memiliki sensasi. Untuk buku-bukunya ditempatkan pada Indeks Buku Terlarang setelah kematiannya. Namun filosofi Telesio, filsuf berpengaruh di selatan Italia, menunjukkan jalan ke empirisme kepadanya. Campanella menulis karya pertamanya, philosophia sensibus demonstrata ("Filsafat ditunjukkan oleh indra"), diterbitkan pada tahun 1592, dalam membela Telesio.

              Pada tahun 1590 ia berada di Naples, di mana ia berkenalan dengan Giambattista della Porta. Seorang polymath yang merupakan pusat dari berbagai kelompok pemikir yang mencoba-coba dalam percobaan, sihir putih, dan astrologi. Campanella di sini terkena tidak hanya untuk eksperimen primitif, tetapi juga untuk astrologi. Pikirannya melayang begitu jauh dari ortodoksi Dominika. Di  Naples ia mulai pada astrologi ; spekulasi astrologi akan menjadi fitur konstan dalam tulisan-tulisannya.

            Dia meninggalkan Roma pada tahun 1592 dan kemudian pergi ke Florence dan Padua, di mana ia bertemu Galileo. Campanella yang berpandangan heterodoks, terutama oposisi kepada otoritas Aristoteles , membawanya ke dalam konflik dengan otoritas gerejawi. Mencela ke Inkuisisi dan dikutip oleh Kantor Kudus di Roma, Campanella ditangkap pada awal 1594 dan pada bulan Oktober dipindahkan ke penjara Inkuisisi di Roma. Pada akhir 1597 ia dibebaskan.

              Setelah pembebasan itu, Campanella kembali ke Calabria, di mana ia dituduh memimpin sebuah konspirasi melawan kekuasaan Spanyol  yang pada waktu itu memerintah Kerajaan Naples. Pada Agustus 1599 dua konspirator mengungkapkan plot ke raja muda Spanyol, yang mengirim pasukan bersenjata ke Calabria untuk menekannya. Campanella dipenjarakan dan pada bulan November dipindahkan ke Naples dimana dia di siksa di rak, ia mencoba untuk memberontak. Ia disiksa lebih lanjut (total tujuh kali) hingga ia cacat dan sakit, kemudian dia dijatuhi hukuman mati. Dia berhasil menghindari hukuman mati dengan berpura-pura gila dan dihukum untuk penahanan yang panjang di berbagai benteng Neapolitan. Dia menghabiskan 27 tahun di penjara di Naples dan kemudian, dipenjara di Roma sampai 1629. Selama tahun-tahun masa penahanannya, ia mengabdikan diri untuk kegiatan sastra yang intens, menyusun karya-karyanya yang paling terkenal, yang bertujuan menghasilkan landasan baru untuk seluruh ensiklopedia pengetahuan seperti Monarki Spanyol (1600), Kata Mutiara Politik (1601), Atheismus triumphatus ( Ateisme Menaklukkan , 1605-1607), memenjarakan reminiscetur (1606), Metaphysica (1609-1623), Teologia (1613-1624), dan karyanya yang paling terkenal, City of The Sun (aslinya ditulis dalam bahasa Italia pada tahun 1602; diterbitkan dalam bahasa Latin di Frankfurt (1623) dan kemudian di Paris (1638)). Pada 1612 ia dikunjungi oleh Tobias Adami, seorang pria Jerman dari Saxony untuk mempublikasikan beberapa tulisannya Campanella yang paling penting di Frankfurt 1617-1623.

               Setelah hampir 27 tahun di penjara, Campanella dirilis dari Castel Nuovo pada 1626 dan tiba di Roma. Pada Oktober 1634 ia dipaksa pergi ke pengasingan di Perancis, berikut kecurigaan Spanyol baru tentang dia. Setelah tinggal di Roma selama lima tahun, di mana dia menyarankan Paus Urbanus VIII pada hal-hal astrologi. Dengan bantuan Kardinal Barberini dan Duta Besar Perancis de Noailles, ia melarikan diri ke Prancis pada tahun 1634 di mana ia anggun diterima di istana Louis XIII. Ia menjalani hidupnya dengan damai di bawah perlindungan Kardinal Richelieu dan didanai oleh Raja, ia menghabiskan sisa hari-harinya di biara Saint-Honore di Paris. Dia menulis karya politik baru dan mengatur untuk mencetak volume pertama dari Opera omnia nya. Karya terakhirnya adalah sebuah puisi merayakan kelahiran Louis XIV masa depan (Eclogue di portentosam Delphini nativitatem).

            Dia bahkan campur tangan dalam percobaan pertama melawan Galileo Galilei dengan berani. Pertahanan, The Galileo (ditulis pada 1616, yang diterbitkan pada 1622). Ironisnya, Galileo sendiri mungkin tidak akan ingin bantuan Campanella karena yang kadang ide-ide aneh Campanella dan keyakinan sebelumnya bid'ah

•Pemikiran Tommaso Campanella

        Pemikiran Campanella dimulai, di usia muda, ia menarik kesimpulan Bernardino Telesio, ia terkait dengan Telesio naturalism yang berpendapat bahwa alam diketahui memiliki tiga prinsip-prinsip sendiri, yaitu panas, dingin dan materi. Karena semua makhluk terdiri dari tiga unsur, maka semua adalah makhluk alam dengan sensitivitas, karena struktur jenis umum untuk semua entitas, jadi sementara Telesio mengatakan bahwa batu bisa tahu, campanella pun memberikan naturalisme dan berpendapat bahwa bahkan batu tahu, karena di bebatuan kita menemukan tiga prinsip, yaitu panas, dingin dan massa tubuh (materi).

          Campanella naturalisme, sebagai hasil dari ini, pada dasarnya melibatkan epistemologi sensasional, ia berpendapat bahwa semua pengetahuan hanya mungkin karena cara-cara langsung atau tidak langsung, dan bahwa Christopher Columbus telah mampu menemukan Amerika karena dibangun kembali oleh perasaan, tentu bukan alasan. Alasan ini berasal dari perasaan: tidak ada pengetahuan rasional intelektual yang tidak berasal dari psikis. Namun Campanella tidak seperti Telesio, dia berusaha untuk mengevaluasi kembali dan menegaskan adanya dua jenis pengetahuan: suatu bawaan semacam batin, dan pengetahuan eksternal, yang menggunaan indra. Yang pertama disebut 'Sensus additus', yang merupakan pengetahuan diri dan yang kedua 'Sensus abitus', yang merupakan pengetahuan tentang dunia luar. Pengetahuan tentang dunia luar milik semua orang, termasuk hewan. Pengetahuan diri bagaimanapun hanya milik manusia, dan adalah kesadaran menjadi seorang yang berpikir. Campanella kembali ke Agustinus dari Hippo, menyatakan bahwa kita dapat meragukan pengetahuan tentang dunia luar, sementara kita tidak dapat meragukan pengetahuan diri. 'Sensus additus' ini akan menjadi titik penting dari filosofi Cartesian, yang didasarkan pada 'cogito': Aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum).

           Menurut Campanella, tiga prinsip, materi, panas dan dingin yang terdiri dari alam, adalah hasil penciptaan ilahi. Tuhan ini  bagaimanapun, tidak seperti tuhannya Telesio yang tidak tertarik di dunia, ini terjadi terus menerus di dunia, melalui tiga primality yaitu Kekuatan, Kebijaksanaan dan Cinta. Berbeda dengan tiga primality yang kita sebut 'kekuasaan negatif' yang dapat dikombinasikan dalam berbagai cara dalam primality dari berbagai bentuk sihir yang mengatur segala sesuatu di dunia. Keajaiban ini diwujudkan melalui perasaan, yang dapat positif atau negatif: bahwa manusia merasakan sensasi, dan bahwa mereka memahami untuk menjadi bagian dari tatanan universal, tetapi meskipun menjadi bagian dari pesanan ini, mungkin objek untuk memesan ini , dan jika bertentangan dengan sihir universal akan menjadi buruk, tetapi jika menyatu, atau mencoba untuk mengikuti tatanan universal, maka akan menjadi mantra positif. Berdasarkan ini, Campanella fokus pada agama, yang dibagi menjadi dua jenis yaitu agama alam, dan agama positif. Agama alamiah adalah agama yang menghormati tatanan universal dari alam semesta itu sendiri sedangkan agama positif adalah agama yang dipaksakan oleh negara. Namun Campanella dikutuk karena di anggap mengajarkan ajaran sesat, ia berpendapat bahwa agama Kristen adalah agama positif, seperti yang dipaksakan oleh negara, tetapi pada saat yang sama bertepatan dengan tatanan alam. Namun, bahkan ini teori agama rasional kontras dengan dogma-dogma Gereja Counter tersebut. Dia berargumen,  keunggulan kekuasaan temporal spiritual, kemudian mengidentifikasi kekuasaan tertinggi, dari waktu ke waktu, di Spanyol dan kemudian di Prancis, menurut kenyamanan politik dan pribadi.

            Campanella juga penulis dari sebuah karya penting dari utopis, atau The Sun City di Sun City, ia menggambarkan sebuah kota yang ideal, utopis, diatur oleh Metafisika, wajah imam-raja untuk menyembah Dewa Matahari, meskipun secara rasional dengan asumsi bahwa hal itu bertepatan dengan agama Kristen. Imam-raja ini menggunakan tiga asisten primality metafisika campanella: Kekuasaan, Kebijaksanaan dan Cinta. Dalam menguraikan pandangannya tentang masyarakat kolektivis, Campanella kembali ke Plato (abad kelima SM.) Dan Utopia dari Thomas More (1517), antara anteseden Campanella utopianisme juga hitungan Bacon New Atlantis. Utopianisme diasumsikan bahwa, karena Anda tidak bisa membangun sebuah model negara yang mencerminkan keadilan dan kesetaraan, maka negara ini diasumsikan, seperti yang dilakukan Plato di zamannya, tetapi penting untuk menekankan bahwa, sementara Campanella utopia adalah realitas, mengagungkan Machiavelli atau realitas yang sebenarnya, dan konsepsinya tentang Negara tidak utopis, tetapi mengambil pada metode konkret urusan pemerintah. Makna dan arti politik dari pemikiran dari T. Campanella melarikan diri setiap klise dan interpretasi historis di mana ia diturunkan sampai sekarang. Riamangono masih banyak aspek penyelidikan terbuka intelektual, sangat mengartikulasikan dan pada aspek kali bertentangan, untuk mengkonfigurasi ulang multiplisitas kompleks, jauh dari sektarianisme idealis dari kendala dari tinjauan Katolik ganda teokratis, dengan visi anti-sejarah sekuler sebagai 'sempit Marxis ideologi. Ketidakpastian ini sudah jelas dalam penafsiran idealisme kritis, bahwa dalam batas-batas pemahaman masih belum lengkap, dalam pikiran Campanella membutuhkan orientasi yang kuat terhadap imanensi modern, bagaimanapun, terkontaminasi oleh residu dari masa lalu dan tradisi Kristen dan Abad Pertengahan . Untuk Silvio Spaventa Campanella adalah "filsuf pemulihan Katolik", sebagai proposisi yang sama bahwa aturan dunia, menjadi tidak efektif oleh keyakinan bahwa hanya dalam kepausan. Tidak berbeda dengan membaca Francesco De Sanctis: "Gambar sudah tua, tetapi roh adalah baru. Alasan mengatur dunia " tidak luput dari kontaminasi yang mengarah kembali ke Plato dan Thomas More, dan mungkin menyarankan sosialisme ilmiah masa depan dari Karl Marx.

•Konspirasi Calabria dan Dasar Pembuatan “The City of Sun”

     Setelah diserahkan ke sebuah pemeriksaan di Naples atas advokasi tentang filsafat Telesian pada tahun 1592, Campanella pergi untuk pertama kalinya ke Roma, kemudian ke Florence dan Padua, di mana, pada awal 1594, ia dikecam dan ditahan karena bidah. Pada bulan Oktober ia dipindahkan ke sebuah penjara Inkuisisi Romawi, di mana "sesat" Florence Francesco Pucci dan Giordano Bruno filsuf dipenjara. Dalam sebuah soneta berjudul "Al carcere" ("Untuk Penjara"), Campanella tidak bisa  merefleksikan kenyataan bahwa roh-roh bebas yang meninggalkan perairan stagnan budaya tradisional untuk berani melemparkan diri ke dalam "lautan kebenaran", menemukan diri mereka tertutup, seolah-olah dengan nasib tragis dan fatal, di istana suram Inkuisisi, bahwa ia membandingkan ke gua Polyphemus, labirin Kreta dan istana Atlas (Poesie, 1998, h. 254). Dituduh mendukung doktrin atomist dan ateis, ia dikutuk pada tahun 1595 "atas dugaan kuburan bid'ah" dan dipaksa untuk membuat abjuration publik formal. Pada akhir 1597 atasan Orde Dominika memerintahkan dia untuk kembali ke Calabria.

         Hampir tiga puluh tahun dan setelah sepuluh tahun absen, Campanella kembali ke Stilo pada 15 Agustus 1598. Tahun berikutnya dia terlibat dalam peristiwa paling dramatis dalam hidupnya. Ia menjadi yakin dengan membaca tentang teks astrologi dan nabi yang mengumumkan perubahan besar, dengan munculnya tanda-tanda surgawi abnormal dan peristiwa alam dan, di atas semua, dengan kondisi menyedihkan dan tidak adil dari populasi dan oleh gangguan sosial dan politik serius yang akhirnya abad itu akan membawa masa pergolakan besar. Sebuah konspirasi besar, yang ia tidak bisa disangkal pemimpin spiritual, diselenggarakan dengan tujuan untuk mengubah provinsi itu menjadi republik dan mengeluarkannya dari pemerintahan tirani raja Spanyol. Plot tidak pernah berlangsung karena pada 10 Agustus 1599 terungkap kepada pihak berwenang Spanyol oleh dua konspirator.

              Setelah hiruk pikuk upaya untuk melarikan diri, Campanella ditangkap. Pada bulan November empat kapal tiba di pelabuhan Naples membawa puluhan tahanan. Beberapa digantung, lainnya dipotong-potong di pelabuhan, mengingatkan bengis kepada orang banyak yang, penuh rasa ingin tahu dan horor, datang untuk melihat pemandangan yang mengerikan.

            Dalam membela diri, Campanella tegas membantah tuduhan pemberontakan, dia mempertahankan bahwa dia tidak bertindak keluar dari ambisi pribadi atau kejahatan terhadap raja melainkan telah mengikuti nubuat manusia dan Ilahi. Tabel astrologi telah meramalkan sebuah suksesi yang tidak biasa dari gerhana di tahun-tahun pertama abad yang baru. Menurut ramalan terkenal, De eversione Europae, attribuited Arquatus Antonius, yang telah menubuatkan peristiwa seperti kedatangan Luther dan Sack Roma, Turki, setelah periode pendakian terus menerus, pada saat sultan kelima belas mereka akan dibagi antara kedua anak mereka berdaulat-sama seperti bulan, lambang mereka, di tengah-tengah nya saja mulai untuk membagi menjadi dua tanduk-salah satunya akan menjadi penganut agama Kristen, sementara yang lain akan dikalahkan oleh raja Spanyol. Baru-baru ini, nubuat Abbas Ubertino dari Otranto telah pulih dan diperkirakan ajaib perubahan politik yang besar, penobatan seorang raja baru di Perancis dan awal usia keenam Gereja.

Tahun 1600, apalagi, tampaknya menjadi saat penting, sebuah "besar titik balik" dalam waktu, dalam bahwa itu terdiri dari seratus kali tujuh dan sembilan, yang keduanya nomor yang fatal menurut Pythagoras dan Plato.

Campanella berusaha untuk membenarkan dan berinisiatif sendiri dengan menempatkannya dalam konteks kenabian, sehingga tidak akan dianggap sebagai tindakan pemberontakan, yang akan memerlukan hukuman mati. Meskipun demikian, hanya dengan beralih ke taktik pintar yang ia berhasil menghindari hukuman mati. Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada orang-orang gila karena dianggap, karena mereka tidak dalam posisi untuk bertobat, para hakim akan bertanggung jawab atas penghukuman kekal jiwa mereka. Melekat ini mengecam yudisial, Campanella berpura-pura selama berbulan-bulan untuk keluar dari pikirannya.      Kondisinya, pada akhirnya, dikonfirmasi dengan cara bentuk penyiksaan yang mengerikan, yang disebut "berjaga" karena, di samping tubuh penderitaan yang ditimbulkan, korban juga mengalami kurang tidur berkepanjangan. Dia akan mengacu pada momen yang mengerikan dalam hidupnya sebagai bukti kebebasan kehendak manusia, yang tidak dapat membungkuk bahkan oleh tekanan fisik yang paling ekstrem. Meskipun kecewa dan sakit hati dengan hasil bencana dari rencana mulia Calabria nya, Campanella mempertanyakan dirinya sendiri tentang alasan untuk kegagalan ini, merenungkan peran nabi yang, sebagai pembawa pesan tidak nyaman dan tidak menyenangkan bagi mereka yang berkuasa, tidak bisa menghindari dianiaya dan dihukum mati. Setelah mencapai kebaikan tertinggi mempertahankan hidupnya, ia menulis karyanya yang paling terkenal, The City of Sun, dalam bentuk "dialog puitis" antara seorang pelaut Genoa yang menemani pada pelayaran Columbus ke Amerika dan Hospitaller Knight. Ini pertama kali muncul dalam terjemahan bahasa Latin sebagai lampiran untuk Politika-nya, yang diterbitkan di Frankfurt pada tahun 1623. Tujuannya adalah untuk menggambarkan model ideal masyarakat yang berbeda dengan kekerasan, kekacauan dan irasionalitas dari dunia nyata, berada dalam harmoni dengan alam, dipahami sebagai ekspresi dari intrinsik "seni" dan kebijaksanaan Allah. Dia, pada kenyataannya, yakin bahwa masyarakat masa kini adalah sebuah labirin ketidakadilan dan ketidakbahagiaan justru karena menyimpang dari model alami. Semakin kota merupakan "tubuh politik," yang bahagia itu akan, dengan bagian-bagian individu yang terintegrasi sehingga membentuk organisme kesatuan dan berbagai anggota tubuh, diversifikasi menurut fungsi, seluruhnya terkoordinasi untuk melayani kesejahteraan komunal.

             Dilindungi dan dipertahankan oleh tujuh lingkaran dinding, terbuat dari istana yang berfungsi sebagai tempat tinggal bagi warga, kota ini terletak di tempat dengan iklim yang ideal, kondusif untuk kesehatan fisik, dan di lereng bukit karena udara di sana lebih ringan dan lebih murni. Salah satu aspek yang paling signifikan dari komunitas ini adalah pembagian kerja. Sekali lagi Campanella terlibat dalam polemik eksplisit dengan Aristoteles, yang telah dikeluarkan pengrajin, petani dan mereka yang terlibat dalam kerja manual dari kategori kewarganegaraan penuh dan dari tingkat tertinggi kebajikan. Di Kota Matahari pendudukan tidak ada keji atau dasar, dan semua adalah dari martabat yang sama-pada kenyataannya, para pekerja yang diperlukan untuk mengeluarkan usaha yang lebih besar, seperti perajin dan pembangun, menerima lebih banyak pujian. Setiap orang harus berkenalan dengan semua lini pekerjaan, dan kemudian setiap orang mempraktikkan satu untuk yang ia menunjukkan bakat terbesar. Mereka tidak memiliki pelayan, dan tidak ada layanan dianggap sebagai tidak layak. Satu-satunya hal yang mereka anggap sebagai tercela adalah kemalasan, dan dengan cara ini mereka datang ke hak istimewa martabat kerja dan untuk membatalkan suatu konsepsi absurd bangsawan, terkait dengan tidak aktif dan sebaliknya. Berkat pembagian kerja yang sama, itu sudah cukup untuk setiap orang untuk menghabiskan hanya empat jam hari kerja, tetapi adalah penting bahwa mereka bekerja semua, karena kemalasan satu akan berakibat pada keuntungan dan upaya yang lain. Warga negara memiliki apa-apa, melainkan, semuanya dimiliki bersama, dari makanan ke rumah, dari akuisisi pengetahuan untuk pelaksanaan kegiatan, dari penghargaan untuk hiburan, dari perempuan untuk anak-anak. Ada "pejabat" yang bertanggung jawab atas distribusi dari setiap hal, yang mengawasi keluar dan pastikan bahwa hal ini terjadi adil, tapi tidak ada yang bisa apa-apa yang sesuai untuk dirinya sendiri. Menurut mereka, memiliki rumah atau keluarga memperkuat "cinta-diri", dengan segala konsekuensi yang mengerikan ini menghasilkan. Mereka hidup "seperti filsuf yang sama" karena mereka menyadari dampak negatif, tidak hanya pada sosial, tetapi juga pada tingkat moral, dari suatu distribusi barang yang tidak merata.

               Salah satu aspek yang paling spektakuler dan imajinatif Kota Matahari, yang segera menyerang pembacanya, adalah cat di dinding kota. Selain melampirkan dan melindungi kota, dinding juga tirai teater luar biasa dan halaman diilustrasikan sebuah ensiklopedia pengetahuan. Dinding istana dicat dengan gambar-gambar dari semua seni dan ilmu. Dimulai dengan dinding yang memegang kolom candi dan secara bertahap menurun dalam lingkaran besar, mengikuti urutan planet-planet dari Merkurius sampai Saturnus, kita menemukan ilustrasi langit dan bintang-bintang, dari tokoh-tokoh matematika, setiap negara di bumi dan dari semua keajaiban dan rahasia dunia mineral, tumbuhan dan hewan, sampai kita tiba di manusia: di dinding internal lingkaran keenam seni mekanik dan penemu mereka diwakili. Campanella sangat tertarik pada semua penemuan cerdik, dan di Kota Matahari ia memberikan banyak contoh penemuan penasaran, seperti pembuluh dapat menavigasi tanpa angin dan tanpa layar, dan sanggurdi yang memungkinkan untuk membimbing kuda hanya menggunakan satu kaki , dan meninggalkan tangan seseorang bebas. Pada dinding luar legislator digambarkan, dan di sini, dalam "tempat kehormatan besar"-tapi bersama dengan Musa, Osiris, Musytari, Merkurius dan Muhammad-bahwa pelaut Genoa mengakui Kristus dan dua belas rasul. Pengetahuan tidak tertutup dalam buku-buku disimpan di tempat terpisah seperti perpustakaan tetapi secara terbuka ditunjukkan pada mata semua orang. Visualisasi dengan cara ini mempromosikan suatu bentuk lebih cepat, lebih mudah dan lebih efisien, dalam hal ini terhubung dengan seni memori, yang menggaris bawahi kekuatan emotif evokatif dan gambar. Dari anak-anak usia berjalan sekitar dalam teater pengetahuan, perjalanan benar tepat dipandu dan mengikuti, sehingga mereka belajar gembira, seolah-olah bermain game, tanpa usaha atau sakit.

                Selain komunitas barang dan cat dinding, fitur lain karakteristik Kota Matahari, salah satu yang lebih sulit dan membingungkan dan bahwa Campanella menggambarkan dirinya sebagai "keras dan berat", adalah komunitas para istri. Menggemakan ajaran Pythagoras Ocellus Lucanus, Campanella mengatakan bahwa mereka kagum bahwa manusia disibukkan oleh pengembangbiakan kuda dan anjing, sementara mengabaikan mereka sendiri. Tindakan generasi memerlukan tanggung jawab besar bagian dari orang tua, dan jika dilakukan dengan cara yang salah, dapat menimbulkan rantai panjang penderitaan. Selain itu, ada hubungan erat antara alam "kulit" seseorang atau karakter, yang dibawa sejak lahir dan tidak sesudahnya dimodifikasi, dan kebajikan moral, yang membutuhkan daerah yang cocok untuk mengambil akar dan makmur. Generasi karena itu harus menghormati norma-norma yang tepat dan tidak dipercayakan kepada kesempatan ataupun sentimen individu. Warga membedakan antara cinta dan seks. Kasih sayang antara pria dan wanita, didasarkan pada persahabatan dan menghormati lebih dari daya tarik seksual, dinyatakan dalam tindakan-tindakan yang jauh dari seksualitas, seperti pertukaran hadiah, percakapan dan menari. Generasi seksual, di sisi lain, harus mematuhi aturan ketat mengenai kualitas fisik dan moral dari orang tua dan pilihan waktu yang tepat untuk pembuahan, ditentukan oleh seorang peramal. Seperti serikat buruh bukanlah ekspresi dari sebuah hubungan pribadi, emosional atau penuh gairah, melainkan terhubung ke tanggung jawab sosial generasi dan mencintai bagi masyarakat kolektif.

              Kepercayaan agama dari warga masyarakat, meskipun mereka termasuk prinsip-prinsip dasar kekristenan seperti keabadian jiwa dan ilahi, membentuk agama alam yang membentuk semacam osmosis antara kota dan bintang-bintang. Candi ini terbuka dan tidak dikelilingi oleh dinding. Dalam salah satu puisinya Campanella janji: "Aku akan membuat langit sebuah kuil dan bintang-bintang mezbah" (Poesie, 1998, h. 327). Pada kubah kubah candi bintang-bintang yang digambarkan bersama dengan pengaruh mereka pada urusan duniawi. Altar, yang ditempatkan suatu surgawi dan terestrial dunia, adalah dalam bentuk matahari. Doa diarahkan ke langit. Tugas dari dua puluh empat imam, yang tinggal di sel yang terletak di bagian tertinggi dari candi, adalah untuk mengamati bintang-bintang dan, menggunakan instrumen astronomi, untuk memperhitungkan segala gerakan mereka. Ini adalah tugas mereka untuk menunjukkan kali paling menguntungkan untuk generasi dan untuk buruh pertanian, bertindak dalam cara ini sebagai perantara antara Allah dan manusia.

•Ringkasan Karya Campanella “The City of Sun”

       Uraian singkat tentang Kota: Terdapat bukit-bukit tinggi di Negara ini, di atas sebagian besar kota. kota ini berukuran kurang lebih dua mil persegi, dan tujuh mil dari lingkaran. Kota ini dibagi menjadi tujuh kelompok yang sangat besar, yang ditunjuk oleh tujuh planet, dan kami masuk dari satu kota ke kota yang lain melalui empat jalan dan empat-pintu, menyelaraskan empat penjuru dunia, jika ia ditangkap oleh grup pertama, maka ia akan memiliki lebih banyak tenaga kerja per detik. Tapi aku berpendapat, bahwa yang pertama dapat jauh lebih besar, tanggul, dan memiliki menara, dan parit artelleria luar.

            Para penguasa kota: Ada seorang Pangeran di antara mereka, dalam bahasa kita disebut Metafisika: ini semua dalam kepala spiritual dan temporal, dan semua toko-toko di dalamnya dihentikan. Sisi ini memiliki tiga Prinsip: Pon, Sin, Mor, atau yang berarti: Kekuasaan, Kebijaksanaan dan Cinta. Walikota yang mengurus perang, kedamaian, dan militer adalah orang yang tertinggi dalam perang, tapi tidak pada Matahari; prajurit, tentara, amunisi, dan pengepungan benteng. Kebijaksanaan mengurus semua ilmu pengetahuan, dokter serta hakim. Dan ada banyak ilmuan seperti peramal, para Rektor, tatabahasa, dokter, maupun pemerintah yang mengambil ilmu hanya dari sebuah buku dimana semua dasar ilmu untuk semua orang. Dan ilmu itu berguna dalam mengatur pendidikan, kedokteran, rempah-rempah, menanam buah-buahan, jagung, wirausaha dan hal lain-lain yang berhubungan dengan makanan dan pakaian dan telah banyak bermanfaat bagi guru. Para Metafisika mencakup semua aspect dan tokoh-tokoh tersebut, karena tanpa itu tidak ada yang bisa dilakukan.

              Komunisme dan Barang: Segala sesuatu di kota, yang bukan hanya makanan, tetapi juga  ilmu pengetahuan dan hiburan adalah suatu kehormatan dan komunikasi. Mereka mengatakan bahwa anak-anak serta istri mereka, lahir untuk mencintai diri mereka. Untuk menjadikannya jaya dan bermartabat, anak-anak atau ahli warisnya harus pergi. semua orang menjadi publik atau mangsa, mereka menjadi orang yang tidak takut apapun, kuat, tamak dan berbahaya. Tapi ketika mereka kehilangan harga diri mereka akan menjadi komunis.

           Pendidikan: Pendidikan termasuk dalam sebuah seni. Setelah tiga tahun anak-anak belajar bahasa dan alfabet di dinding, dan belajar empat buku tua kemudian mereka mempraktekkan limunya untuk menguatkan mereka, mereka selalu bertelanjang kaki dan berpenampilan kusut, tujuh tahun sejak lahir. Lalu pemimpin mereka mengenalkan senjata, lukisan, perhiasan, dan lain-lain.  Setelah tujuh tahun mereka akan mulai belajar  tentang ilmu pengetahuan alam, matematika, kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya, dan akan ada perselisihan dan kompetisi antara mereka.

            Keadilan: Hukum-hukum hanya ada sangat sedikit, semuanya ditulis di atas selembar tembaga di pintu candi,  di mana kita menulis semua hakekat dari hal-hal dalam Singkatnya: apa itu Tuhan, apa itu malaikat, apa itu dunia, bintang, manusia, dan lain-lain dan setiap kebajikan. Dan para hakim akan memiliki kursi kehormatan, ketika mereka duduk, dan berkata: "Lihatlah, engkau yang berdosa, bacalah dengan demikian maka keyakinan atau rasa tidak tahu berterima kasih, kemalasan, dan ketidaktahuan”. kalimat adalah obat yang nyata, bukan hukuman.

          Agama: Imam Besar adalah Matahari, dan semua imam membersihkan hati nurani mereka. Sehingga mereka semua mengakui itu, dan mereka belajar tentang nasib dan dosa. Hal ini membuat mereka mengakui dosa mereka. kemudian mereka akan membuat pengorbanan kepada Allah dan berdoa, semua orang berkumpul di altar. Meminta mereka mengakui dosa masing-masing dan menjelaskan bahwa Allah tahu kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Demi keamanan kota mereka melakukan pengorbanan. Sebuah pengorbanan berdarah, pengorbanan ini meminta orang-orang yang rela mengorbankan dirinya untuk kedamaian masyarakat sekitarnya. Imam meletakkan pengorbanannbya di meja, lalu diikat oleh tali, pada kubah yang memutar, lalu mengumandangkan doa kepada Allah agar menerima pengorbanan manusia ini (bukan binatang, seperti bangsa-bangsa lain). Lalu mereka berpuasa dan berdoa kepada Allah agar menerima pengorbanan mereka dan sebagainya. setelah dua puluh atau tiga puluh hari, murka Allah akan mereda kembali.

         Doa-doa: Doa-doa adalah penghubung empat sudut horizontal dunia, dan pada pagi pertama di sebelah timur, kemudian ke barat, kemudian ke Austria, kemudian ke utara, di malam hari balik lagi ke barat, kemudian timur, lalu ke utara , kemudian ke Austria.

            Matahari: Mereka menghormati matahari dan bintang-bintang sebagai makhluk hidup dari pada patung atau langit. Tidak ada yang wajib disembah selain Allah, mereka beribadah di bawah matahari, yang diajarkan sebagai wajah Allah, yang ringan dan panas dan segala sesuatu yang lain. Dan imam akan berdoa kepada Allah dalam altar dimana matahari, bintang  dan langit sebagai pusatnya, dan para malaikat akan mendengar doa mereka. Bintang-bintang, serta rumah tempat tinggal mereka, adalah suatu keindahan dari Tuhan lebih dari rakasa di langit dan matahari.

        Yakin akan adanya keabadian jiwa, yang disertai dengan roh-roh yang baik, Mereka sangat penasaran ingin tahu apakah ini kekal atau tidak. Mereka mempertanyakan apakah ada dunia lain di luar dunia ini.

Pemikiran original:

      Mereka mengakui bahwa ada banyak korupsi di dunia, dan bahwa laki-laki diatur oleh akal. Ada yang berpendapat bahwa usia dunia terjadi dalam urutan planet. Dan ini tampaknya usia Merkurius, sumur magnetik intravariano konjungsi dan anomali yang fatal memiliki kekuatan besar. Akhirnya mereka mengatakan siapa yang beragama Kristen akan bahagia dan percaya bahwa itu terjadi karena dosa Adam, dan percaya bahwa anak-anak adam menjalankan kejahatan terbesar.

Sumber: www.id.wikipedia.org/wiki/Tommaso_Campanella
You have read this article Sastra with the title Sastra. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/03/tomaaso-campanella-dan-ideal-masyarakat.html. Thanks!