Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Harga Diri dan Kemuliaan Pemimpin Berjiwa Ksatria

    Dalam diskusi yang mengangkat tema ‘fungsi pusaka dalam sistem kekuasaan Nusantara’ , Dr Tarikh al-Ahlam mengajukan serangkaian contoh tentang terdapatnya hubungan integratif antara sistem kekuasaan Nusantara dengan pusaka-pusaka seperti kisah Ken Arok dengan Keris Empu Gandring, Raja-raja Majapahit dengan pusaka Kyai Sangkelat, Nagasasra, Rajah Kalacakra, hingga ke era Pajang dan Mataram yang memang menunjukkan korelasi signifikan. Boleh jadi, ungkap Dr Tarikh al-Ahlam, hubungan signifikan antara pusaka dengan kekuasaan akibat pengaruh Hindu yang mengkaitkan kekuasaan sakti Wisynu dengan pusaka Cakra, Syiwa dengan Pasupati, Adipati Karno dengan Konta, Rama dengan Guwa Wijaya,” ujar Dr Tarikh al-Ahlam.
          Sufi Sudrun yang mendengar tiba-tiba menyela,”Tapi pusaka dan kekuasaan itu sudah dikenal sejak zaman Kapitayan, pra Hindu.”
         “Sampeyan bisa memberi contoh?” tanya Dr Tarikh al-Ahlam.
         “Tokoh Danghyang Semar, dikaitkan dengan pusaka sakti yang bisa membuat pingsan siapa saja di antara manusia, termasuk para dewa,” sahut Sufi Sudrun.
    “Apa nama pusaka Danghyang Semar?” sahut Dr Tarikh al-Ahlam ingin tahu.
    “Entut Berut!”
    Semua hadirin tertawa. Tapi Dr Tarikh Al-Ahlam mengemukakan pendapat, bahwa sangat mungkin senjata tokoh Semar yang disebut Entut Berut itu sejenis senjata kimiawi yang berbentuk gas yang bisa membuat orang tidak sadar. ”Saya menduga yang disebut Entut Berut itu sejenis gas yang memiliki efek anestesi, membuat orang tertidur ketika menghisap,” kata Dr Tarikh al-Ahlam.
    Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang senjata sakti Entut Berut, Sufi Sudrun melempar pertanyaan,”Bagaimana kekuasaan yang tidak ditopang pusaka? Apakah bisa tegak?”
    “Menurut catatan sejarah sebuah kekuasaan di Nusantara yang tidak ditopang pusaka bisa tegak, tetapi tidak lama,” kata Dr Tarikh al-Ahlam,”Contohnya rezim militer Jepang yang berkuasa dari Maret 1942 – Agustus 1945. Hanya tiga tahun lima bulan, meski ditopang senjata modern dan kekejaman, begitulah  kekuasaan militer Jepang tumbang digantikan kekuasaan Bangsa Indonesia yang menegakkan Negara Kesatuan RI.”
    “Tapi Pak Doktor,” sahut Dullah menyela,”Bukankah kekuasaan Belanda bisa berlangsung lama meski tidak ditopang pusaka? Bagaimana menjelaskan itu?”
    Dr Tarikh al-Ahlam termangu-mangu tidak bisa menjawab pertanyaan Dullah. Melihat Dr Tarikh al-Ahlam akan kena malu, Sufi Sudrun membantu dengan mengajukan pertanyaan,”Setahu saya, setelah VOC bubar 1799 kekuasaan dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda yang menerapkan sistem kekuasaan ganda, yaitu Binnenlandsch Bestuur dan Inlandschbestuur. Bagaimana itu konsepnya Pak Doktor?”
    “Aha itu dia,” sahut Dr Tarikh al-Ahlam melonjak senang,”Pemerintah kolonial Belanda sejak awal menegakkan kekuasaan ternyata menata pemerintahan dengan sistem ganda, maksudnya menganut dua tingkat pemerintahan, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh Belanda kulit putih yang disebut Binnenlandbestuur yang menduduki struktur tertinggi kekuasaan seperti Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen, Asisten Residen. Di bawah Binnenlandbestuur adalah pejabat Inlandschbestuur, yaitu pribumi yang menduduki struktur lebih rendah seperti Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Kepala Desa, Kamituwo.”
    “Apakah gubernur jenderal, gubernur, residen, asisten residen pakai pusaka?” tanya Dullah.
    “Binnenlandbestuur tentu tidak pakai,” sahut Dr Tarikh al-Ahlam,”Tapi bupati, wedana, asisten wedana  tetap pakai pusaka. Bahkan semua tanda kekuasaan bupati berupa payung, keris,  tombak maupun ajimat-ajimat lain “wajib” dimiliki sebagai simbol kekuasaan. Begitulah, sepanjang kekuasaan kolonial Belanda sejak 1800 sampai 1942, ditandai keberadaan pusaka-pusaka yang dimiliki inlandschbestuur.”
    “Adakah kekuasaan zaman kuno yang tidak ditopang pusaka?” tanya Dullah.
    “Ada. Dan itu tidak lama,” tukas Dr Tarikh al-Ahlam.
    “Itu pada zaman siapa?”
              “Pajang pasca kekuasaan Sultan Hadiwijaya.”
    “Hah Pajang?”
    “Ya masa Pangeran Benawa,” kata Dr Tarikh al-ahlam. Ia lalu menjelaskan bagaimana setelah Sultan Adiwijaya mangkat  pada 1587, yang menggantikan sebagai Sultan Pajang adalah Arya Pangiri, menantu Sultan Adiwijaya, yang juga kakak ipar Pangeran Benawa. Lalu atas dorongan Sutawijaya yang  jadi adipati Mataram, Pangeran Benawa memberontak merebut kekuasaan. Karena kalah dalam pertempuran, Arya Pangiri tersingkir dari tahta Pajang pada 1588.
    Pada saat tahta Pajang kosong setelah Arya Pangiri kalah, Pangeran Benawa meminta agar Sutawijaya menjadi Sultan Pajang menggantikan Sultan Hadiwijaya karena Sutawijaya adalah anak angkat yang juga lebih  tua usianya. Tapi Sutawijaya menolak. Ia menobatkan Pangeran Benawa sebagai Sultan Pajang, karena Pangeran Benawa adalah putera kandung Sultan Hadiwijaya. “Tetapi dengan alasan sebagai kenang-kenangan dan juga sebagai  penanda bahwa Sutawijaya adalah putera Sultan Hadiwijaya juga, ia meminta agar diperbolehkan membawa pusaka-pusaka peninggalan Sultan Hadiwijaya ke Mataram. Begitulah, tanpa curiga sedikit pun Pangeran Benawa yang masih sangat muda itu mempersilahkan Sutawijaya memboyong pusaka Pajang ke Mataram,” kata Dr Tarikh al-Ahlam menjelaskan.
    “Apa yang terjadi setelah pusaka diboyong ke Mataram?” sergah Dullah penasaran.
    “Pangeran Benawa berkuasa tanpa wibawa,” kata Dr Tarikh al-Ahlam,”Menteri-menteri hanya berkata “sendika dawuh” tetapi tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Administrasi negara kacau, hukum terabaikan, kepatuhan rakyat melemah, kejahatan merajalela, kesengsaraan dan penderitaan rakyat mulai mengintai; Kesultanan Pajang tegak seolah-olah tanpa sultan.”
    “Apa yang dilakukan Pangeran Benawa untuk mengatasi masalah itu?” tanya Dullah.
    “Pangeran Benawa adalah putera Sultan Hadiwijaya, trah Majapahit dari Pengging. Sadar bahwa kekuasaan yang dipegangnya tidak lagi berwibawa, tidak sampai setahun beliau memutuskan untuk meninggalkan tahta. Begitulah, sejarah mencatat bahwa tahun 1589 Pangeran Benawa mengasingkan diri ke Parakan, mendirikan Pesantren Parakan dan menjadi kyai yang menjalani hidup sebagai agamawan. Pangeran Benawa  digantikan oleh Gagak Baning atas kebijakan Sutawijaya. Tapi tahun 1591 Gagak Baning berontak dan ditumpas Sutawijaya. Sutawijaya kemudian mengangkat putera Pangeran Benawa untuk menjadi Adipati Pajang, bawahan Mataram.”     
     “Tragis sekali kisah yang menyangkut kekuasaan,” gumam Dullah menggeleng-gelengkan kepala,”Tapi di tengah tragedi itu masih terselip nilai-nilai ksatria dan keperwiraan. Tanpa perduli betapa berharganya kekuasaan, atas nama harga diri, kehormatan dan jiwa ksatria, Pangeran Benawa mundur dari tahta ketika sadar kekuasaannya sudah tidak berwibawa.”
    “Salut untuk jiwa besar Pangeran Benawa,” sahut Sufi Sudrun menyela,”Semoga keikhlasan beliau yang menyelamatkan banyak jiwa manusia diberi balasan berlimpah oleh Allah. Alfatihah!”
    Para hadirin serentak membaca al-fatihah kepada mendiang Pangeran Benawa yang telah mengikhlaskan jabatan sultan untuk menjadi ulama dengan sebutan Kyayi Parakan. Beberapa jenak setelah itu, Dr Tarikh al-Ahlam berkata,”Untuk era demokrasi seperti sekarang ini, di mana anak-anak orang kampung yang tidak kenal nilai ksatria, keperwiraan, harga diri, kemuliaan, dan keutamaan berkorban untuk kepentingan yang lebih besar tidak bisa diharapkan lagi akan munculnya manusia berjiwa besar seperti Pangeran Benawa. Orang-orang kampung yang datang ke kota untuk mengadu nasib meraih “mukti wibawa” akan merangkul erat kekuasaan yang diraihnya dengan macam-macam cara yang sering tidak terpuji, tidak terhormat, tercela, hina,  dan menjijikkan.”
    “Itu persis Si Gombloh, presiden Republik BBM – Bobok-Bobok Mawon.”
    “Si Gombloh, presiden Republik BBM yang hanya bisa tolah-toleh, lolak-lolok, curhat, tebar pesona, uring-uringan, mewek...”
    “Lha itu kan hampir sama dengan Aung San Suu Kyi.”
    “Kalau sudah kuasa lupa rakyat dan lupa diri.”
    “Wah...”
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Sejarah with the title Harga Diri dan Kemuliaan Pemimpin Berjiwa Ksatria. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/03/harga-diri-dan-kemuliaan-pemimpin.html. Thanks!

No comment for "Harga Diri dan Kemuliaan Pemimpin Berjiwa Ksatria"

Post a Comment