Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Post Hegemony XV: Menggugat Angka-angka Aksiomatik-Hegemonik Hasil Survei dan Quick Count Pilpres

      Selama menonton TV diam-diam Sukiran dan Dullah mencatat sejumlah hasil survei terkait jumlah prosentase hasil pilihan publik terhadap para calon presiden. Anehnya, hasil survei yang dilakukan satu lembaga survei dengan lembaga survei yang lain berbeda hasilnya. Yang lebih aneh, perbedaan hasil survei itu juga terkait dengan stasiun televisi yang menayangkan. Dalam sejumlah pilkada pun, Sukiran dan Dullah dibikin terheran-heran dengan hasil survei yang sepertinya selalu relevan dengan hasil penghitungan quick count dan hasil penghitungan KPU.
    Dalam keheranan dan kebingungan dengan angka-angka statistik hasil survei yang berbeda satu sama lain, Sukiran dan Dullah menemui Sufi tua yang sedang berbincang-bincang dengan Sufi Sudrun dan Sufi Kenthir di teras musholla. “Saya bingung pakde dengan hasil survei lembaga-lembaga yang saling berbeda satu sama lain dalam mensurvei pilpres 2014, baik berbeda responden, hasil survei,  angka statistik, calon presiden, sampai stasiun TV dan media massa yang menyiarkannya,” kata Dullah mengungkapkan kebingungannya dengan aneka survei yang saling klaim paling benar hasilnya.
    “Contoh survei yang membuatmu bingung yang mana?” tanya Sufi tua.

    “Lembaga Survei Semprul (LSS) memunculkan lima tokoh nasional berdasar  penilaian kualitas personal sebagai tokoh  yang pantas maju sebagai capres pada Pilpres 2014  adalah Mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani Indrawati, Hidayat Nur Wahid, mengalahkan Megawati, Hatta Rajasa, Prabowo, dan Abu Rizal Bakrie,” kata Dullah.
    “Apanya yang membuatmu keberatan dan  bingung?” tanya Sufi tua.
    “LSS menetapkan lima calon itu berdasar opini 223 responden terpilih (opinion leader), yang menurut hemat saya adalah  responden yang sudah dikenal baik dan bahkan kawan-kawan dekat orang-orang LSS. Penetapan responden itu tidak masuk akal, selain terdiri dari kelompok orang yang sudah dikenal dekat juga tidak seimbang jumlah 223 mewakili pandangan 230 juta penduduk Indonesia,” kata Dullah.
    “Untuk ukuran negara demokrasi berkedaulatan rakyat, menetapkan 223 orang untuk mewakili 230 juta orang itu memang konyol dan tidak bisa diterima nalar,” sahut Sufi tua, “Tapi begitulah, masyarakat dituntut untuk meng-amin-i saja apa yang mereka kemukakan dalam survei itu  sebagai hasil yang ilmiah karena sesuai prosedur survei. Mereka yang tidak menerima hasil survei langsung dituduh goblok, primitif, uneducated, dan hinaan lain.”
    “Tapi pakde,” tukas Sukiran menyela,”Mereka punya alasan 223 orang responden itu  terdiri dari lulusan S-3 dari berbagai latar belakang, pemimpin redaksi media massa, pengusaha nasional, dan purnawirawan jenderal.”
    “Hmm apakah demokrasi bisa dinafikan oleh latar pendidikan, profesi, kekayaan, dan kedudukan seseorang?” kata Sufi tua,”Maksudku, apakah ke-223 orang itu sudah representatif mewakili 230 juta orang? Siapa yang memberi kewenangan ke-223 orang itu sebagai tokoh-tokoh yang representatif mewakili 230 juta orang?”
    “Ya itulah yang bikin heran. Apa kalau sudah lulusan S-3 sudah praktis berhak mewakili masyarakat lulusan SD, SMP. SMA, S-1, S-2, termasuk masyarakat lulusan pesantren?” kata Sukiran bernada tanya.
     “Yang bikin bingung lagi Lembaga Survei Sontoloyo berdasar responden 2.117 orang memunculkan tokoh-tokoh nasional yang berdasar popularitas sebagai yang pantas menjadi capres dalam Pilpres 2014, yaitu Megawati menduduki peringkat pertama yakni 91,6%, disusul Jusuf Kalla 84%,   Wiranto 73,9%,  "Prabowo Subianto 65,9%, Hamengkubuwono X 62%, Ani Yudhoyono 62%, dan Aburizal Bakrie 61,4%,” kata Dullah.
    “Yang sangat membingungkan survei yang saling berbeda itu disiarkan oleh TV dan media massa yang berbeda seolah-olah dirancang oleh the invisible hand yang berbeda sesuai kepentingan,” kata Sukiran.
    “Bagaimana kamu bisa punya prasangka seperti itu?” tanya Sufi tua.
    “Kalau kita menonton TV One dan ANTV, yang diunggulkan dan dicitrakan baik selalu capres ARB sementara kita mafhum siapa pemilik stasiun TV itu. Kalau kita nonton Metro TV, yang diunggulkan dan dicitrakan baik selalu capres SP, yang juga sudah diketahui masyarakat siapa pemilik stasiun TV itu. Begitulah, Kompas TV, JTV,  RCTI, MNC TV, Indosiar dan stasiun-stasiun TV yang lain memunculkan capresnya sendiri,” kata Dullah.
    “Lha kalau kenyataannya sudah seperti itu, bagaimana pakde?” ungkap Sukiran minta pendapat.
    “Ya kita harus kembali kepada aturan awal yang menjadi dasar kita berpikir,” sahut Sufi tua, “Maksudnya, kita kembali kepada ASUMSI DASAR tentang ANGKA, RUMUS, PROSEDUR, STATISTIKA secara Paradigmatik, Dogmatik, dan Doktriner yang disepakati,” kata Sufi tua.
    “Maksudnya bagaimana pakde?” tanya Dullah.
    “Angka-angka itu kan ASUMSI IMAJINER? Maksudnya, angka itu dibentuk oleh imajinasi dan hanya ada dalam pikiran sebagai konsep bersifat isomorfi. Angka-angka baru dianggap riil ketika disepakati sebagai sesuatu yang bersifat eksakta padahal angka-angka tetap saja bersfat imajinatif dan tidak pernah mewujud dalam realitas,” kata Sufi tua.
    “Berarti ANGKA hasil SURVEI juga tidak riil?” tanya Sukiran ingin tahu.
    “Tentu tidak riil, bahkan bisa direkayasa sesuai keinginan mereka yang melakukan survei. Itu sebabnya, hasil survei dari berbagai lembaga tidak pernah bisa sama apalagi survei berlatar politik yang penuh kepentingan. ANGKA hasil SURVEI baru bisa menjadi riil kalau kita sepakat menganggapnya seperti itu,” kata Sufi tua menjelaskan.  
      “Bagaimana dengan Quick Count yang juga manggunakan ANGKA hasil SAMPLE?” tanya Dullah.
    “Darimana ANGKA hasil SAMPLE itu diperoleh?” ungkap Sufi tua,”Apa SAMPLE segelintir orang dengan lingkup daerah pemilihan itu sudah mewakili 230 juta orang penduduk yang tinggal di negara yang terdiri dari 17.000 pulau dan merentang pada tiga satuan waktu, yaitu  WIT, WITA, WIB?”
    “Akhirnya, demokrasi dari rakyat berjumlah 230 juta ini, dengan cara Quick Count hanya diwakili oleh dua-tiga orang dari lembaga yang melakukan Quick Count seolah-olah hasil Quick Count adalah mahabenar tak tersanggah,“ kata Sufi tua.
    “Tapi kita diwajibkan percaya dengan hasil Quick Count, pakde,” kata Sukiran.
    “Siapa yang mewajibkan kita percaya Quick Count dan hasil survei suatu lembaga?”
    “Emm, TV, Koran, Majalah, Website, Blog, dan SMS pakde,” gumam Sukiran.
    “Aduh gobloknya aku,” Dullah menampar keningnya,”Kenapa bisa percaya dengan semua hal yang ditayangkan TV. Bodohnya. Bodohnya. Akalku sudah terhegemoni TV.”
    “Berarti di balik perbedaan hasil SURVEI dan hasil QUICK COUNT itu dilatari oleh semangat kepentingan tertentu, ya pakde?” tanya Sukiran.
    “Prinsipnya sama saja, yaitu semua didasari Semangat..MAJU TAK GENTAR MEMBELA YANG BAYAR!”
Posted by Agus Sunyoto 
You have read this article Filsafat with the title Post Hegemony XV: Menggugat Angka-angka Aksiomatik-Hegemonik Hasil Survei dan Quick Count Pilpres . You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/03/post-hegemony-xv-menggugat-angka-angka.html. Thanks!

No comment for "Post Hegemony XV: Menggugat Angka-angka Aksiomatik-Hegemonik Hasil Survei dan Quick Count Pilpres "

Post a Comment