Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Dalam kajian kamis malam bertema Penegakan HAM (Hak Azasi Manusia) di Indonesia yang disampaikan DR Ashobia W Armstrong, teman DR Thomaq al-Bakhili, dipaparkan berbagai fakta menyedihkan tentang belum tegaknya HAM sampai memasuki era global. Berbagai tekanan, tindak kekerasan, tindakan represif, teror, ancaman, dan intimdasi masih menandai berbagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia. “Dalam pandangan negara-negara maju dan beradab,” kata DR Ashobia W Armstrong dengan suara ditekan tinggi,”Indonesia masih tergolong negara yang belum bisa secara konsekuen dan konsisten menegakkan HAM.”
Untuk menunjukkan bagaimana Indonesia sebagai negara pelanggar HAM yang belum berubah dari dekade 1960-an hingga sekarang, sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing yang dibikin sutradara bernama Joshua Oppenheimer diputar. Film itu menampilkan pengakuan seorang algojo penjagal PKI bernama Anwar Congo, preman bioskop Medan, yang memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya dalam membantai PKI.
Menurut DR Ashobia W Armstrong, sewaktu film The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto di Canada, pers Barat menyebut film itu sangat mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar Congo tampak bangga sekali dengan tindakannya. Lalu sambil menjelaskan ini dan itu, DR Ashobia W Armstrong slide tentang kasus Petrus, Marsinah, Wiji Thukul, peristiwa 13-14 Mei 1998, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir. Dan di akhir presentasi, peserta kajian yang terkesan dengan pemaparan DR Ashobia W Armstrong meng-amin-i kebenaran bahwa bangsa dan negara Indonesia adalah belum mencapai keadaan beradab sebagaimana yang sudah dilampaui negara-negara Barat.Untuk menunjukkan bagaimana Indonesia sebagai negara pelanggar HAM yang belum berubah dari dekade 1960-an hingga sekarang, sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing yang dibikin sutradara bernama Joshua Oppenheimer diputar. Film itu menampilkan pengakuan seorang algojo penjagal PKI bernama Anwar Congo, preman bioskop Medan, yang memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya dalam membantai PKI.
Pada saat sesi tanya jawab dibuka, Sufi Sudrun tidak mempertanyakan sesuatu tentang materi yang disampaikan DR Ashobia W Armstrong dan tidak pula meng-amin-i atau menampik pandangan doktor lulusan Chicago itu. Sebaliknya, Sufi Sudrun mempertanyakan hal elementer tentang makna HUMAN RIGHT atau HAK AZASI MANUSIA yang digunakan dalam kajian itu, sebab dalam kajian ilmiah segala sesuatu wajib didasarkan pada paradigma, dogma, doktrin, mitos, dan asumsi dasar yang benar. “Saya mohon Pak Doktor menjelaskan kepada kami semua, apa yang dimaksud HUMAN dan apa pula yang dimaksud RIGHT!” kata Sufi Sudrun serius.
DR Ashobia W Armstrong tertawa sambil geleng-geleng kepala. Setelah diam sejenak, ia menjelaskan makna HUMAN kepada Sufi Sudrun seperti seorang guru menjelaskan sebuah jawaban gampang kepada muridnya yang goblok,”Coba pak, sampeyan buka Kamus bahasa Inggris. Lalu cari kosa kata HUMAN. Di situ sampeyan akan menemukan bahwa arti kata HUMAN adalah manusia. Masa gitu saja tidak tahu,” jawab DR Ashobia W Armstrong dengan nada mengejek.
“Kalau jawaban kamus, itu anak SD juga sudah tahu Pak Doktor,” sahut Sufi Sudrun merendahkan suara,”Yang saya maksud, kata HUMAN itu asal-muasal terminologi dan epistemologi terbentuknya bagaimana? Kenapa dalam konsep HAM atau HUMAN RIGHT orang-orang Barat menggunakan kosa kata HUMAN dan bukan HOMO atau HOMME atau HOMBRE?”
“Wah kalau itu sih, tanya saja pada orang Barat sana kenapa mereka pakai istilah HUMAN dan bukannya HOMO atau HOMME atau HOMBRE,” sahut DR Ashobia W Armstrong ketawa.
“Sebagai doktor, seharusnya sampeyan sangat faham dengan apa yang sampeyan sampaikan mulai kosa kata dasar sampai perkembangannya sebagai sebuah konsep. Kalau masalah keilmuan tidak mengetahui secara mendasar asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrin dari sebuah konsep, itu menunjuk sampeyan sebagai orang terpelajar bermental cargo cult. Seperti kapal cargo, kepala sampeyan hanya memuat segala sesuatu yang dimasukkan dan dimuatkan tanpa sedikit pun memiliki daya kritis. Sampeyan jelas bukan ilmuwan yang memiliki wacana independen karena jiwa dan pikiran sampeyan sudah penuh sesak oleh dogma-dogma, doktrin-doktrin, konsep-konsep, gagasan-gagasan, ide-ide, pandangan-pandangan yang diproduksi oleh Barat.”
Tersinggung dengan kritikan Sufi Sudrun, DR Ashobia W Armstrong dengan nafas tersengal-sengal dan mata berkilat-kilat menyalak,”Sampeyan sendiri tahu tidak kenapa Barat menggunakan istilah HUMAN dalam konsep HUMAN RIGHT? Tolong jelaskan sampai tuntas kepada kami yang tidak sehebat sampeyan dalam pengetahuan. Silahkan dijelaskan! Silahkan!”
Sebagai orang pesantrenn yang terbiasa berbeda pendapat dalam ba’tsul masail Sufi Sudrun hanya ketawa. Lalu sambil tersenyum ia menjelaskan bahwa menurut George Ritzer dalam Sociological Theory (1996) yang mengutip pandangan Pierre Bourdieu tentang struktur mental dan pengetahuan yang disebut habitus, konsep Human Right yang disebarkan oleh negara-negara Barat memiliki kaitan dengan “produk internalisasi struktur” dunia sosial bangsa Eropah dalam merasakan, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial mereka, yang dalam teori psiko-analisa Carl Gustaf Jung habitus tersebut mempengaruhi sikap dan tindakan manusia sebagaimana Archetype. Dan archetype bangsa Eropa telah terbentuk oleh legenda-legenda, dongeng-dongeng dan mitologi Arian yang menyatakan bahwa ras mereka – ras bertubuh tinggi, kulit putih, mata biru, hidung mancung, rambut perang – adalah ras keturunan tokoh bernama Manush putera Tuisto sebagaimana ditulis H.R.E. Davidson dalam Gods and Myths of Northern Europe (1982).
“Maksudnya, di dalam Archetype ras Aria-Eropa tersimpan asumsi bawah sadar yang memaknai keberadaan manusia sebagai spesies keturunan tokoh Manush, di mana hal itu tercermin dari kosa kata – kosa kata bahasa Aria-Eropa yang memaknai kata ganti untuk orang atau manusia yang selalu dikaitkan dengan nama Manush, leluhur mereka: Man, Hu-Man, Mensch, Mann, Manusa,” kata Sufi Sudrun menjelaskan. Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Dengan demikian, di alam bawah sadar ras Aria-Eropa tersembunyi keyakinan bahwa ras manusia yang bukan keturunan Manush adalah bukan spesies manusia. Hanya ras yang memiliki tipologi fisik seperti Manush – berperawakan tinggi, berkulit putih, berambut perang, bermata biru, berhidung mancung – yang disebut MAN, MENSCH, HU-MAN, MANUSA itulah manusia atau orang. Yang berkulit warna, rambut hitam dan mata hitam bukanlah orang.”
“Bagaimana sampeyan menganggap kosa kata MANUSA adalah bahasa Aria-Eropa?” sergah DR Ashobia W Armstrong tidak terima.
“Lha kosa kata MANUSA kan dari Bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa Indo-Aria?” kata Sufi Sudrun dengan nada tanya,”MANUSA dari kata MANU dan SA, di mana makhluk pertama yang dianggap leluhur oleh imigran Aria-kaukasian ke India adalah tokoh MANU. Jadi kata MANUSA maknanya ANAK (SA) MANU. Begitulah penduduk asli India dianggap bukan manusia karena keturunan Danawa, Rakshasa, Naga, Lembu, Mahisa, Daitya, Kalakeya...”
DR Ashobia w Armstrong diam dengan dada naik turun. Lalu dengan suara tinggi ia bertanya, ”Lalu apa korelasi hubungan kosa kata HUMAN, MANUSH, MANUSA dalam konsep HUMAN RIGHT menurut sampeyan? Apa sampeyan bisa menjelaskan tentang pengaruh istilah HUMAN dengan pelaksanaan HUMAN RIGHT?”
“Justru dengan penggunaan kosa kata HUMAN, orang-orang Aria-Eropa justru telah melakukan banyak pelanggaran terhadap hak hidup orang-orang dari ras bukan keturunan tokoh Manush. Orang-orang Aria-Eropa selalu terjebak ke dalam standar ganda dalam memaknai Human Right. Fakta sejarah mencatat, kapan dan bagaimana ras Aria-Eropa melakukan ethnic cleansing di berbagai negara di Asia, Afrika, Amerika, Australia, dan bahkan di Eropa sendiri terhadap orang-orang bukan keturunan Manush,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Itu tuduhan serius,” tukas DR Ashobia W Armstrong tidak senang,”Sampeyan bisa membuktikan apa yang sampeyan tuduhkan?”
“Sampeyan tahu ketika tahun 1492 Columbus beserta rombongan yang mencari negeri India kesasar ke Kepulauan Bahama? Lalu Columbus bertemu dengan penduduk asli yang mereka kira orang India?”
“Ya semua orang tahu itu.”
“Pernahkah Columbus bertanya kepada penduduk asli itu tentang siapa jati diri mereka?“ kata Sufi Sudrun,”Pernahkah Columbus bertanya apakah mereka bangsa India atau tidak? Tentu tidak. Sejarah mencatat, Columbus dengan semena-mena menyebut penduduk asli itu dengan sebutan Indian seolah-olah mereka adalah orang India. Begitulah, Barat kulit putih menyebut bangsa penghuni benua itu dengan sebutan INDIAN tanpa memberi kesempatan bagi bangsa Navayo, Apache, Commanche, Sioux, Mohican di negerin itu untuk menyebut jati diri mereka. Bahkan sebutan INDIAN itu ditarik terus ke selatan untuk menyebut bangsa INCA, AZTEC, MAYA yang semuanya bukan bangsa INDIA. Bahkan karena anggapan bangsa-bangsa asli itu bukan keturunan Manush yang berarti bukan Manusia, maka sejarah mencatat bagaimana ethnic cleansing terjadi atas bangsa-bangsa itu tanpa sedikit pun rasa bersalah dari keturunan Manush itu.”
DR Ashobia W Armstrong mengatupkan mulut rapat dengan gigi gemeletuik.
“Waktu Barat masuk ke benua kanguru yangb disebut Australia, mereka menemukan ras Papua sebagai penghuni,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Lalu dengan semena-mena mereka menyebut penduduk asli benua itu dengan sebutan ABORIGIN, sebutan yang sangat menghina, yaitu: AB-ORIGIN, setengah orang, setengah makhluk yang diidentikkan dengan AB-NORMAL. Itu sebabnya, tahun 1889 pernah ada undang-undang yang membolehkan berburu Aborigin.”
DR Ashobia W Armstrong menyapu keringat dari keningnya. Ia menahan nafas.
“Yang sama kita ketahui bagaimana orang-orang Jerman keturunan Manush membasmi ras Semit Yahudi selama Nazi berkuasa, di mana Yahudi yang berkulit coklat, rambut keriting, mata hitam asal Jazirah Arab dibasmi dalam jumlah jutaan orang. Lalu orang-orang Belanda membantai besar-besaran bangsa di negeri saya ini tanpa sedikit pun merasa salah apalagi melanggar HUMAN RIGHT, “ kata Sufi Sudrun.
“Jadi simpulan dari diskusi ini apa?” sahut DR Ashobia W Armstrong.
“Kalau yang dimaksud HUMAN RIGHT adalah HAK AZASI untuk keturunan MANUSH tentu kami tolak mentah-mentah karena kami bukan keturunan Manush. Kami tidak mau digolongkan bangsa HOBBIT, ORC, ENT, ONODRIM,TROLL, KURCACI, yang dianggap bukan orang hanya karena bukan keturunan Manush. Termasuk kami menolak teori Darwin digunakan dalam konteks ilmu pengetahuan tentang manusia. Sebab kami tahu, teori itu digunakan oleh Aria-Eropa untuk membenarkan bahwa ras-ras orang di luar keturunan MANUSH adalah keturunan PITHECANTHROPUS ERECTUS – Manusia Kera Berjalan tegak. Sedang Aria-Eropa adalah keturunan manusia Cro-magnon,” kata Sufi Sudrun.
“Apakah itu semua ada hubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM?”
“Tentu ada,” sahut Sufi Sudrun,”Kalau yang dipakai HUMAN RIGHT, maka menyiksa, melakukan tindak kekerasan apalagi membunuh HUMAN keturunan MANUSH akan dianggap melanggar HUMAN RIGHT. Sementara kalau keturunan MANUSH membunuh bangsa bukan keturunan MANUSH, yaitu bangsa kulit berwarna tidak dianggap pelanggaran Human Right,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Faktanya yang berlaku sampai saat ini adalah itu, pak doktor.”
You have read this article Filsafat
with the title Post Hegemony V: Menggugat Konsep HAM Ciptaan Barat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/01/post-hegemony-v-menggugat-konsep-ham.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony V: Menggugat Konsep HAM Ciptaan Barat"
Post a Comment