Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

POST HEGEMONY XXII: Kemerdekaan Bangsa Bukan Kemerdekaan Negara

   Penasaran dengan logo  “68  KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA” dengan satu bendera merah-putih dan tulisan DIRGAHAYU BANGSA INDONESIA serta HUT PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA KE-68 yang terpampang pada spanduk yang digantung di Pesantren Sufi, usai tasyakuran yang diikuti santri dan warga kampung,  Roben, Johnson, Marholi, Mullberrie, Daitya, dan Niswatin mendatangi Guru Sufi. Mereka mempertanyakan ketidak-laziman icon serta tulisan pada spanduk di Pesantren Sufi yang jauh beda dengan spanduk-spanduk yang dipampang di berbagai instansi pemerintah, kantor-kantor, sekolah-sekolah, hotel-hotel, pusat perbelanjaan, tempat-tempat wisata, dan balai desa.      
        Guru Sufi yang sedang menikmati hidangan ketupat sayur bersama para sufi hanya tersenyum ditanya ini dan itu terkait spanduk yang dinilai “nyleneh” itu, dan mempersilahkan para santri itu untuk ikut menyantap hidangan sisa perayaan “Hari Raya Ketupat” 8 Syawal 1434 H. Usai makan-makan, dengan suara datar Guru Sufi bertanya,”Apa yang menurut kalian “nyleneh” dari spanduk itu?” sambil menunjuk spanduk yang tergantung di teras pesantren.
    “Logo bertuliskan 68 KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, Mbah Kyai,” kata Roben minta penjelasan,”Itu yang kami anggap “nyleneh”, Mbah Kyai.”

    “Bagian mana yang “nyleneh” menurut kalian?” tanya Guru Sufi memandang tajam Roben.
    “Kalimat KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA dengan satu bendera merah-putih, Mbah Kyai. Itu aneh dan nyleneh, karena setahu kami, semua spanduk menggunakan logo  68 KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA dengan empat bendera merah-putih. Kenapa di sini kata REPUBLIK diganti BANGSA? Bukankah itu aneh dan nyleneh, Mbah Kyai?”
   “Kalian ini termasuk anak-anak bangsa yang “dibodohkan” oleh elit penguasa yang secara sistematis dan sistemik berusaha memutar-balik sejarah dengan menyebar-luaskan dan menanamkan pemikiran dogmatik-indoktrinatif, yang menyihir jiwa dan pikiran anak-anak bangsa agar tidak berpikir kritis dengan melupakan sejarah bangsanya,” sahut Guru Sufi dengan suara tinggi.
    “Maaf Mbah Kyai, kami belum faham penjelasan panjenengan,” sahut Roben.
    “Johnson,” seru Guru Sufi mendaulat,”Tolong kau baca teks proklamasi yang dibaca Soekarno pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945, jam 10.00 di jalan Pegangsaan, Jakarta. Kau hafal kan?”
    “Siap,” sahut Johnson mengucapkan naskah proklamasi,”Kami Bangsa Indonesia. Dengan ini menyetakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama Bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta.”
    “Cukup,” sahut Guru Sufi,”Bagian mana dari naskah proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno itu yang menyebutkan REPUBLIK INDONESIA? Apakah Soekarno-Hatta dalam naskah proklamasi itu menyatakan atas nama pemerintah REPUBLIK INDONESIA?”
    “Wah iya Mbah Kyai,” sergah Roben terlonjak,”Proklamasi kita itu adalah proklamasi KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA dan sekali-kali bukan proklamasi KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA.”
    “Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanya Guru Sufi.
    “Pertama-tama,” jawab Roben tegas, “Teks proklamasi memang menyebutkan bahwa kemerdekaan itu adalahKEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA di mana Soekarno-Hatta mengatas-namakan dirinya sebagai wakil bangsa dan bukan wakil pemerintah REPUBLIK INDONESIA. Yang kedua, REPUBLIK INDONESIA pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945 jam 10.00 itu  belum lahir dan baru lahir sehari kemudian, yaitu pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA dikumandangkan Soekarno-Hatta. Yang ketiga, setahu saya REPUBLIK INDONESIA tidak pernah dijajah. Sedetik pun RI tidak pernah dijajah. Jadi kalau sebuah negara tidak pernah dijajah negara lain, di mana logika warasnya negara itu memproklamasikan kemerdekaannya? Memproklamasikan negara dari jajahan negara mana?”
    Guru Sufi bertepuk tangan diikuti Johnson, Marholi, Daitya, Azumi, Mullberrie, dan para sufi. Beberapa bentar kemudian Guru Sufi berkata dengan nada tanya,”Jadi setiap peringatan PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, yang sepatutnya berhak mendapat ucapan selamat yang menggunakan bahasa Sansekerta DIRGHAHAYU itu BANGSA INDONESIA atau REPUBLIK INDONESIA?”
    Roben, Johnson, Marholi, Azumi, Daitya, Mullberrie, dan Niswatin serentak berseru,”BANGSA INDONESIA, Mbah Kyai. BANGSA INDONESIA yang berhak memperoleh ucapan selamat panjang umur – DIRGAHAYU!”
    “Maaf Mbah Kyai,” sahut Marholi tiba-tiba,”Kenapa orang-orang berusaha memanipulasi fakta sejarah tentang Proklamasi Bangsa kita?”
    “Patuh dan tunduk kepada Negara-negara Kapitalis untuk menjalankan agenda globalisasi.”
    “Agenda globalisasi?” sergah Marholi kaget,”Apa hubungannya Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan agenda globalisasi?”
    “Kalian sudah mafhum kan, bahwa dalam agenda globalisasi itu semua batas definitif Bangsa (Nation), Kebangsaan (Nationality), Negara Bangsa (Nation State), Ideologi Kebangsaan (Nationalism) yang ditandai identitas bahasa, etnik, budaya, agama, dan wilayah teritorial negara sudah tidak ada lagi. Artinya, dalam agenda globalisasi segala sesuatu yang berstatus bangsa dengan berbagai identitas lokalnya harus dihapus. Begitulah, identitas bangsa ditiadakan dalam konsep globalisasi yang menganut konsep A Global Open Society,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan Bangsa, Kebangsaan, Negara Bangsa, dan Ideologi Kebangsaan dianggap kejahatan yang bisa mengganggu agenda globalisasi.”
    “Maaf Mbah Kyai,” sahut Daitya minta penjelasan,”Adakah beda yang esensial antara BANGSA dengan NEGARA? Maksud saya, apakah ada beda yang esensial antara BANGSA INDONESIA dengan NEGARA INDONESIA dalam konteks proklamasi?”
    Guru Sufi tidak menjawab, sebaliknya bertanya,”Adakah beda antara KELUARGAMU dengan RUMAH KELUARGAMU di mana kamu dan keluargamu tinggal?”
    “Ya tentu beda, Mbah Kyai,” sahut Daitya,”Keluarga saya adalah kumpulan manusia yang masih sedarah, sedang rumah keluarga adalah obyek benda bikinan keluarga yang sewaktu-waktu bisa diubah bentuk dan bangunannya sesuai selera.”
    “Seperti itulah beda BANGSA INDONESIA dengan NEGARA REPUBLIK INDONESIA.”
    Marholi manggut-manggut memahami penjelasan Guru Sufi. Sebentar kemudian ia berkata dengan nada tanya,”Berarti semua agenda sistematis dan sistemik itu tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menimbulkan Amnesia Sejarah anak-anak bangsa, di mana anak-anak bangsa tidak lagi menyadari bahwa mereka adalah komunitas bangsa melainkan tinggal menjadi warganegara sebuah negara liberal. Ini pasti pekerjaan para komprador, avonturir-avonturir Neolibs berjiwa kacung, jongos, kuli, babu, centeng, dan begundal asing yang rela melakukan apa saja untuk menyenangkan majikannya.”
    “Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu? Kenapa kau mencurigai para avonturir Neolibs?” tanya Guru Sufi menguji.
     “Karena dalam sistem liberal, keberadaan negara hanya menjadi “penjaga malam” yang tidak diperkenankan ikut campur dalam persaingan warganegara memperebutkan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik. Azas yang dianut pun didasarkan pada konsep aristocracy of money, yang memposisikan warganegara hanya sebagai konsumen dari komoditas-komoditas yang diproduksi negara-negara industri maju. Itu sebabnya, kesadaran sebuah komunitas bangsa atas jati dirinya sebagai bangsa dengan semua identitas lokalnya, dianggap ancaman bagi agenda para kapitalis pemilik modal untuk menjadikan warganegara di berbagai negara sebagai konsumen. Kapitalisme global sadar, komunitas akan menolak semua usaha eksploitasi atas bangsanya,” papar Daitya menyimpulkan.
    “Nah kalau kau sudah sadar, apa yang akan kau lakukan menghadapi agenda globalisasi golongan Neolibs ini?” tanya Guru Sufi memancing.
    “Ya melawan dengan sekuat daya, Mbah Kyai, agar anak-anak bangsa tidak terhegemoni jiwa dan pikirannya dengan manut dan patuh saja menerima pandangan-pandangan, gagasan-gagasan, ide-ide, konsep-konsep, dan nilai-nilai palsu yang secara sistematis dan sistemik disebar-luaskan dan ditanamkan oleh para avonturir Neolibs,” jawab Daitya tegas.
    “Dengan cara apa kau melawan agenda mereka?” tanya Guru Sufi mengejar.
    Daitya tercekat kaget tidak bisa menjawab. Sebentar kemudian ia menuding ke arah spanduk sambil berkata,”Menyadarkan anak-anak bangsa, pertama-tama  dengan membuat spanduk-spanduk kritis dan kreatif  seperti itu,  dengan membuat  pamflet-pamflet, brosur-brosur, facebook, blog, dan website yang komunikatif.” 
     “Apakah engkau yakin usahamu di tengah hedonisme dan narsisme anak-anak bangsa sekarang ini akan berhasil?” tanya Guru Sufi menguji.
    Daitya diam. Ia tidak tahu akan menjawab apa dengan mengetahui fakta terkait kesadaran nasionalisme anak-anak bangsa sebayanya yang sangat menyedihkan. Akhirnya, sekenanya ia menjawab, “Insya Allah, Mbah Kyai.”
    “Wallahu ’alam bishowab,” sahut para sufi serentak.


Posted by Agus Sunyoto



You have read this article Sejarah with the title POST HEGEMONY XXII: Kemerdekaan Bangsa Bukan Kemerdekaan Negara. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/08/post-hegemony-xxii-kemerdekaan-bangsa.html. Thanks!

No comment for "POST HEGEMONY XXII: Kemerdekaan Bangsa Bukan Kemerdekaan Negara"

Post a Comment