Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Baitullah sebagai perantara atau wujud tuhan |
Setelah tayangan Khazanah usai, salah seorang murid ustadz Dul Wahab mematikan TV dan tanpa ada yang meminta ustadz Dul Wahab berdiri menyampaikan ‘tausiah’ mengomentari tayangan khazanah. Dengan mengutip al-Qur’an surah as-Syu’ara: 11, az-Zumar: 3, al-Ahqaf: 5 – 6, al-Israa’:56 – 57,as-Syu’ara: 70-74, dan an-Naml: 80 sebagaimana tayangan Khazanah, ustadz Dul Wahab tegas menyatakan bahwa semua amaliah yang dilakukan orang-orang yang melakukan doa dengan tawassul tidak saja tertolak melainkan sudah menuju kepada kemusyrikan yang menyesatkan. “Orang-orang yang sudah mati tidak bisa mendengarkan doa-doa orang hidup. Kalau pun Rasul pernah berkata-kata kepada mayat orang kafir Quraisy, maka itu adalah mu’jizat yang hanya dimiliki Rasul,” kata ustadz Dul Wahab.
“Maaf ustadz,” sahut Roben menyela sambil mengacungkan tangan,”Berarti tawassul kepada Rasulullah Saw juga terlarang ya, karena Rasulullah Saw bukan Tuhan?”
“Tepat sekali,” sahut ustadz Dul Wahab tegas,”Semua doa hanya ditujukan kepada Allah. Allah. Allah. Tidak kepada yang lain.”
“Maaf ustadz, apakah orang sholat itu mutlak hanya kepada Allah?” sergah Roben.
“Ingatlash doa iftitah saat kalian memulai sholat: Inna sholaatii wa nusukii wamahyaaya wamamaati lillahi robbil ‘alamiin laa syariika lahu wabidzaalika umirtu wa ana minal muslimiin. Jelas semua ibadah sholat itu untuk Allah dan dihadapkan kepada Allah Robbul ‘alamiin,” sahut ustadz Dul Wahab memberi penjelasan.
“Maaf ustadz,” sahut Roben merendahkan suara,”Apakah waktu duduk tasyahud sampeyan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw?”
“Ya pasti itu,” sahut ustadz Dul Wahab kaget.
“Apakah waktu tasyahud akhir sebelum salam sampeyan membaca sholawat Ibrahimiyyah?”
“Mmm tentu saja.”
“Untuk apa sholawat dibaca dalam sholat? Bukankah sholat itu hanya kepada Allah? Allah? Allah?,” sergah Roben dengan suara tinggi,”Bagaimana ada dua nama manusia disebut-sebut dalam sholat yang hanya kepada Allah? Allah? Alllah? Apakah itu tidak musyrik?”
“O tidak, karena itu yang diajarkan Rasulullah. Jadi apa pun yang diajarkan Rasulullah harus diikuti seratus persen,” kata ustadz Dul Wahab menjelaskan.
“Maaf ustadz,” sahut Marholy menyela,”Bagaimana sampeyan tahu bahwa sholat itu diajarkan oleh Rasulullah Saw? Bukankah jarak kita sekarang ini dengan Rasulullah Saw sudah 1400 tahun? Bagaimana sampeyan bisa mengklaim semua yang sampeyan amalkan itu dari Rasulullah Saw seolah-olah sampeyan pernah ketemu langsung dengan beliau?”
“Ya dari riwayat yang diwariskan sejak sahabat sampai ulama shalafus sholih hingga sampai ke kita sekarang ini,” kata ustadz Dul Wahab.
“Maaf ustadz,” sahut Johnson menyela,”Saya seorang sarjana arkeologi. Saya ingin tahu, apakah kitab-kitab yang anda sebut dari sahabat-sahabat Nabi yang hidup pada abad ke-7 dan ulama shalafus shalih yang hidup pada abad ke-8 dan ke-9 itu anda punya? Soalnya, saya sudah siapkan dana enamratus juta untuk membeli naskah-naskah tua dari abad ke-9 sampai ke-12. Nah apalagi kalau ada yang dari abad ke-7, ke-8, ke-9 tentu akan saya beritahu om saya yang seorang kolektor barang antik yang sudah menyiapkan dana miliaran rupiah.”
“Wah saya tidak punya naskah aslinya, tapi kitab yang saya jadikan rujukan itu dicetak berdasar naskah kuno yang haqq,” sahut ustadz Dul Wahab.
“Menurut saya, naskah yang anda punya adalah cetakan baru berdasar salinan naskah lama sebelumnya, yang naskah itu juga salinan dari naskah yang lebih lama yang disalin dari naskah-naskah yang tidak diketahui lagi mana aslinya. Jadi dengan fakta menunjuk kitab-kitab yang anda jadikan dasar hujjah itu kitab-kitab terbitan baru, kami secara jujur mengatakan tidak mempercayai klaim kebenaran yang anda ajukan untuk mendukung argument-argumen anda khususnya soal tawassul,” kata Johnson.
“Kenapa kamu tidak mempercayai kitab-kitab yang kami jadikan sandaran hujjah?”
“Pesantren ini pernah membentuk sebuah tim,” sahut Johnson menjelaskan,”Tugas tim itu meneliti kebenaran buku Syaikh Idahram yang berjudul ‘MEREKA MEMALSUKAN KITAB-KITAB KARYA ULAMA KLASIK: EPISODE KEBOHONGAN PUBLIK SEKTE SALAFI WAHABI’ terbitan LKiS Jogja tahun 2011. Ternyata apa yang diungkapkan Syaikh Idahram itu benar, bahkan hadits-hadits shahih pun diobrak-abrik untuk disesuaikan dengan faham Salafi Wahabi. Jadi dengan segala hormat, maafkan kami yang tidak percaya dengan uraian anda karena kitab-kitab yang anda jadikan rujukan tidak terjamin kejujuran dan otentisitasnya.”
Ustadz Dul Wahab termangu-mangu dengan wajah diliputi kemarahan. Namun sebelum ia berkata-kata mengungkapkan pembelaan, Sufi Sudrun yang mendengkur tiba-tiba bangun dan berkata lantang,”Aku punya kitab cetakan dari salinan kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi yang berjudul Kasyfu as-Syubuhat. Aku yakin kitab itu otentik dan tidak diubah-ubah isinya.”
“Maaf kang,” sahut Johnson,”Apa isi kitab itu?”
“Biasa, tentang kesesatan orang yang bertawassul dan meminta syafaat, serta amaliah terkutuk orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah, seolah-olah Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi adalah nabi yang punya wewenang menafsirkan al-Qur’an setelah Rasulullah Saw,” jawab Sufi Sudrun.
“Menurut sampeyan, bagaimana dengan tawassul?”
“Wajib bagi mereka yang faham Tauhid tapi haram bagi yang goblok dan buta Tauhid.”
“Lha bagaimana sampeyan bisa berpendapat seperti itu?” sergah Johnson heran.
“Orang goblok, apalagi badui sombong, mengimajinasikan khayalannya bahwa manusia bisa langsung berhubungan dengan Allah, dengan dasar ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara naïf dan konyol,” kata Sufi Sudrun.
“Memangnya manusia tidak bisa berhubungan langsung dengan Allah?” tanya Johnson.
“Kamu yakin al-Qur’an itu Sabda Allah?”
“Haqqul yaqiin, kang,” sahut Johnson.
“Apakah Allah satu saat pernah bersabda langsung kepada manusia, terus sabda itu dicatat dan dibukukan sebagai al-Qur’an? Apakah seperti itu sejarah lahirnya Sabda Allah yang disebut al-Qur’an?” kata Sufi Sudrun dengan suara tinggi.
“Tentu tidak, kang.”
“Apakah Sabda Allah yang disebut al-Qur’an itu sudah berbentuk mushaf yang melayang-layang jatuh dari langit dan diterima Nabi Muhammad Saw di bumi?” tanya Sufi Sudrun.
“Tentu tidak, kang.”
“Nah ustadz,” kata Sufi Sudrun menghadap ke arah ustadz Dul Wahab,”Menurut sampeyan bagaimana Sabda Allah yang disebut al-Qur’an itu bisa sampai kepada manusia?”
“Lewat wahyu yang disampaikan kepada Muhammad Rasulullah,” sahut ustadz Dul Wahab.
“Langsung dari Allah kepada Rasulullah Saw?”
“Tidak, sebagian melalui perantara malaikat Jibril.”
“Sabda Allah itu disampaikan Rasulullah kepada manusia dalam bentuk apa? Maksudnya, apakah dalam bentuk tulisan-tulisan di atas lempengan batu, pelepah kurma, kayu yang dibawa Jibril dan diserahkan kepada Rasulullah?” tanya Sufi Sudrun.
“Tentu tidak seperti itu,” sahut ustadz Dul Wahab.
“Melalui cara apa?” sergah Sufi Sudrun mendesak.
“Dari lisan Muhammad Rasulullah.”
“Sabda Allah, Tuhan seru sekalian alam disampaikan kepada manusia melalui lisan Rasulullah Saw?” tukas Sufi Sudrun dengan suara ditekan tinggi,”Siapakah Muhammad itu? Kenapa dia bisa mewakili Allah bicara kepada manusia? Siapakah sejatinya Muhammad Saw?”
“Wasilaaaah…” seru para santri serentak.
Sufi Sudrun mengacungkan ibu jari sambil berkata keras,”Amaliah ibadah apa pun yang dilakukan orang Islam yang mengaku beriman, tidak akan sampai kepada Allah Roobul Izzati yang tidak bisa didekati pikiran dan pancaindera karena Eksistensi-Nya yang ‘laisa kamitslihi syaiun’, kecuali melalui wasilah (Q.S.Al-Maidah: 35) yang jelas dan terang yang menjadi perantara Tuhan bersabda kepada manusia…dia adalah..”
“Muhammad Rasulullah Saw .” seru para santri serentak.
You have read this article Agama
with the title Bertawassul Wajib atau Haram?. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/10/bertawassul-wajib-atau-haram.html. Thanks!
No comment for "Bertawassul Wajib atau Haram?"
Post a Comment