Koruptor Serakah |
“Semua itu kuncinya cuma satu kang,” sahut Sufi Sudrun
“Apa itu pak?” sahut Bagio ingin tahu.
“Duit,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Siapa saja yang punya duit, maka dia bisa melakukan apa saja, mendapat fasilitas apa saja dan memperoleh apa pun yang diinginkannya. Nah, koruptor itu adalah masuk golongan orang yang punya duit. Jadi dia bisa mendapat fasilitas apa saja, perlakuan istimewa, hukuman spesial, bahkan pemberitaan khusus yang membuatnya beroleh simpati.”
“Tapi itu menyakiti hati orang kecil seperti kita pak.” kata Bagio dengan nada tinggi.
“Masalahnya, orang kecil seperti sampeyan, saya, tetangga-tetangga sampeyan, di negeri ini hanya jadi penonton dari semua sandiwara yang dimainkan orang-orang berduit. Kalau pun kita dilibatkan, paling juga sebagai pemain figuran.”
“Maksud pemain figuran itu apa pak?” tanya Bagio heran.
“Ya kita ikut main dalam sandiwara tapi tidak berperan penting kecuali pada saat-saat tertentu.”
“Wah kita ini tidak pernah ikut-ikut main sandiwara dengan orang-orang bajingan itu. Mereka itu najis bagi kami. Haram kenal dengan orang pencoleng seperti mereka.”
“Tapi faktanya sampeyan ikut main sandiwara.”
“Buktinya apa pak?” sahut Bagio tinggi dengan nada menantang.
“Waktu pemilihan legislatif, pemilihan presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati apa sampeyan tidak memilih alias Golput?” Tanya Sufi Sudrun ketawa.
“Ya milih pak, kalau tidak milih dimarahi pak kades.”
“Apakah sampeyan kenal dengan calon wakil rakyat yang dicalonkan parpol?”
“Ya tidak kenal pak.”
“Kenapa sampeyan milih dia?” sahut Sufi Sudrun memburu,”Tolong sampeyan jawab dengan jujur! Kenapa sampeyan milih orang yang tidak sampeyan kenal untuk menjadi wakil rakyat?”
“Ya dikasi duit Rp 50.000, pak.”
“Nah itu bukti bahwa sampeyan ikut main sandiwara meski sebagai figuran. Kelihatannya memang tidak penting, cuma memasukkan kartu ke kotak suara. Tapi itu sangat penting artinya untuk mendukung pencoleng-pencoleng pengangguran itu menjadi wakil rakyat korup yang membuat undang-undang dan peraturan korup, memilih pejabat korup, dan mensahkan tindakan korup pejabat yang mereka pilih,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Tapi kami hanya diberi Rp 50.000 pak.”
“Rp 50.000 atau Rp 10.000 sama saja,” kata Sufi Sudrun,”Karena yang terpenting, sampeyan sudah memberikan hak suara untuk memilih pencoleng-pemcoleng berdasi itu sebagai wakil sampeyan. Jadi sampeyan tidak bisa cuci tangan dengan mengatakan bahwa sampeyan tidak ikut bermain sandiwara berjudul KORUPTOR MALING PENIPU itu. Sampeyan ikut tanggung jawab di dunia sampai akhirat.”
“Lha kok sampai akhirat pak?” sergah Bagio tidak terima.
“Selama berkali-kali pemilihan wakil rakyat, pilpres, pilgub, pilbup apa sampeyan pernah mendapati orang yang benar dan lurus dalam memenuhi janjinya? Apa sampeyan pernah memilih calon yang tidak memberikan duit?” sahut Sufi Sudrun tangkas.
Bagio diam. Beberapa bentar ia menarik nafas panjang.
“Jadi sebenarnya, sampeyan tahu kalau orang yang sampeyan pilih itu adalah pencoleng bermental maling yang akan menjadi koruptor, tapi sampeyan tidak perduli karena dia telah memberi sampeyan duit,” kata Sufi Sudrun.
Bagio diam. Ia tidak tahu harus melakukan apa dengan kenyataan yang dikatakan Sufi Sudrun.
Dullah yang diam-diam mendengarkan perbincangan Bagio dengan Sufi Sudrun berkomentar dengan heran, ”Masalah demokrasi sekarang ini sudah tidak jelas kang, karena pijakan utamanya duit. Bayangkan, uang triliunan dikeluarkan Negara untuk milih gubernur dan jutaan penduduk dikerahkan untuk memilih gubernur secara demokratis. Eee suara jutaan pemilih itu dipatahkan oleh 7 – 8 orang hakim Mahkamah Konstitusi. Ini demokrasi macam apa?”
“Ya demokrasi Indonesia liberal, Dul,” kata Sufi Sudrun ketawa.
“Ada lagi kasus-kasus seperti di Kabupaten K, setelah pak bupati menjabat dua periode, penggantinya adalah isterinya yang sama sekali buta ilmu pemerintahan tapi dipilih secara demokratis. Setelah isterinya selesai menjabat, kini anaknya yang maju menjadi bupati. Ini kan demokrasi tapi bernuansa feodalisme lama kan?”
“Itu juga kan yang sekarang ini sedang dijalankan keluarga Ratu Atut? Dengan duit meraih kekuasaan lewat pemilihan yang demokratis,” sahut Sufi Sudrun ketawa.
“Kenapa bisa seperti ini kang? Di mana letak salahnya?”
“Letak salahnya, otak sebagian besar rakyat sudah dihegemoni pandangan-pandangan, ide-ide, gagasan-gagasan, konsep-konsep dogmatik-doktriner bahwa demokrasi adalah segala-galanya. Otak mereka sudah pepat dijejali dogma-doktrin demokrasi. Bahkan dulu, Negara-negara Komunis yang otoriter pun menggunakan nama Republik Demokrasi Rakyat. Hegemoni jiwa dan pikiran, itulah kunci dari semua kejungkira-balikan nilai-nilai alias transvaluasi nilai-nilai yang disebut Friedrich Nietzsche dengan istilah umwertung aller werte itu,” kata Sufi Sudru n ketawa.
“Itukah yang disebut aristocracy of money?”
“Ya kamu sudah tahu kan soal itu?”
penghuni-neraka1“Teorinya sudah tahu kang, tapi faktanya sangat membingungkan. Apakah itu mengindikasikan Negara kita sudah benar-benar menjadi Negara kapitalisme-liberal? Apakah nation-state sudah tidak ada lagi di jaman global sekarang ini?”
“Namanya juga jaman global dengan agenda globalisasi seluruh dunia, mana ada lagi nasionalisme yang merupakan kumpulan dari lokalitas-lokalitas sempit? Bukankah agenda globalisasi itu menghapuskan identitas etnik, bahasa, agama, budaya, dan bahkan territorial Negara? Bukankah semua gagasan, pandangan, wawasan, konsep, ide, dan nilai-nilai nation-state yang beridentitas Pancasila dan UUD 194 sudah diubah seiring reformasi 1998?” kata Sufi Sudrun berkomentar.
“Jadi Indonesia sebagai nation-state sudah tamat di era global ini kang?”
“Sebagai fakta, NKRI sudah tamat dan tinggal menjadi papan nama dan catatan dokumenter. Sebab secara de yure, sejak UUD 1945 diamandemen mulai 1999-2004, NKRI sebagai Nation-state sudah dikubur di bawah reruntuhan cita-cita para founding father. Bahkan MPR 1999-2004, menandai wafatnya Nation-state Indonesia dengan mengabadikan TAP MPR RI No.2 tahun 2003 yang menetapkan Ir Soekarno – proklamator kemerdekaan Bangsa Indonesia – sebagai seorang pengkhianat.”
“Naudzubillah,” sahut Dullah kaget,”Apa benar itu kang?”
“Faktanya begitu,” sahut Sufi Sudrun,”Karena itu Rahmawati menggugat TAP MPR RI itu ke Mahkamah Konstitusi dan sedikit pun tidak digubris oleh MK.”
“Tapi kang, bukankah MPR 1999-2004 itu mayoritas anggotanya dari PDIP? Bukankah itu sama dengan anak – dengan mengatasnamakan kemasyhuran bapak – menumpas bapaknya sendiri?” tanya Dullah terheran-heran.
“Dalam berpolitik ingatlah pada ajaran Machiavelli bahwa apa pun yang dilakukan politikus dalam politik adalah sah. Nah rakyat Indonesia belum sadar tentang fakta Machiavellisme yang sudah berkembang di dalam jiwa dan pikiran orang-orang yang mendudukkan diri sebagai elit politik. Rakyat Indonesia belum sadar bahwa Nation-state sudah tewas, dan yang berkuasa sekarang adalah liberalisme bertopeng nation-state.” kata Sufi Sudrun ketawa pahit.
“Jadi negara kita ini sejatinya pseudo-nationstate, begitukah kang?” tanya Dullah dengan mata merah akan menangis.
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Budaya
with the title Nation-state Tewas Liberalisme Salinrupa jadi Pseudo-Nationstate. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/10/nation-state-tewas-liberalisme.html. Thanks!
No comment for "Nation-state Tewas Liberalisme Salinrupa jadi Pseudo-Nationstate"
Post a Comment