Memaknai ASWAJA dan ASWAJA NUSANTARA
Firqah-2 Berpecah-belah untuk Saling Berperang |
Alamul Huda, dosen syari’ah UIN Maliki Malang mengajak para mahasiswa santri (mantri) Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin membincang lebih dalam mengenai aswaja (Jum’at, 18/04). Mengajak para Mantri (Mahasiswa Santri) Pesantren Global untuk memahami lebih dalam tentang Aswaja, Alamul Huda mengutip Kitab al-Kawakib al-Lamma’ah karya Syaikh Abi Fadl Bin Abdussyakur yang menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal-Jama’ah adalah golongan yang selalu berpedoman kepada Sunnah Nabi Muhammad saw dan jalan para sahabat Nabi Saw dalam hal keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlak dan pensucian hati. Sedangkan dalam ranah sejarah, papar Alamul Huda, lahirnya Aswaja diawali dengan adanya pergulatan intens antara pemikiran doktriner dengan fakta sejarah. “Di wilayah doktrin,” ungkap Alamul Huda, “Kita menemukan adanya perdebatan antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah mengenai status al-Qur’an apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan, kemudian diikuti pula dengan perdebatan dalam memaknai sifat-sifat Allah.”
Perang antar Firqah Memecah-belah Islam |
Pada wilayah sejarah, lanjut Alamul Huda, proses pembentukan Aswaja dimulai sejak terjadinya perang shiffin yang melibatkan Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra dengan Muawiyah. Dalam perang yang sudah dimenangkan Khalifah Ali ra itu, ungkap Alamul Huda, dengan melalui taktik arbitrase (tahkim) golongan Muawiyah berhasil mengalahkan pihak Khalifah Ali ra. Dari sinilah, umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Di antara mereka ada golongan yang mengaku sebagai pengikut setia Ali Bin Abi Thalib ra, yakni golongan syi’ah. Ada juga golongan pendukung Ali Bin Abi Thalib yang membelot karena tidak sepakat dengan tahkim, mereka ini dikenal sebagai golongan khawarij. Di samping kedua golongan itu, masih ada golongan Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah sebagai kehendak Allah. “Yang lain adalah golongan Murji’ah – Qodariyah yang memiliki paham dan keyakinan bahwa segala apa yang terjadi adalah karena perbuatan manusia semata, tanpa adanya campur tangan Tuhan,” ujar Alamul Huda.
Tanpa Perang Walisongo Berdakwah Islamkan Nusantara |
Seiring berjalannya waktu, lanjut Alamul Huda, pandangan Hasan Al-Bashri itu diteruskan oleh generasi-generasi pemikir sesudahnya seperti Imam Abu Hanifah Al-Nu’man, Imam Malik Ibn Anas, Imam Syafi’I Ibn Kullab, Ahmad Ibn Hanbal hingga pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. “Kepada dua ulama’ terakhir inilah – Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi -- permulaan paham Aswaja sering dinisbatkan, meskipun sejatinya benih-benihnya telah tumbuh sejak dahulu yaitu sejak Imam Hasan Bashri,” kata Alamul Huda.
Tentang lahirnya Aswaja yang khas Indonesia, ungkap Alumnus Magister Malaya Universiti Malaysia itu, sangat jelas memiliki kesinambungan dengan alur geneologi, sosial dan politik (geosospol) dengan sejarah Islam Nusantara, di mana peran walisongo sangat besar. Yang penting dicatat dan tidak boleh dilupakan bahwa Walisongo-lah yang membawa dan mengembangkan Islam sehingga mampu membumi di bumi Nusantara ini. “Walisongo telah berhasil melakukan kontekstualisasi ajaran dan paham Aswaja dengan kebudayaan dan tradisi keagamaan masyarakat Indonesia yang telah mengakar dan mendarah daging,” papar Alamul Huda menegaskan.
Sejak masa Walisongo itulah, kata Alamul Huda, paham Aswaja khas Indonesia berkembang sebagaimana termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari bahwa paham Aswaja adalah faham yang dalam ilmu aqidah atau teologi menganut kepada salah satu dari ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari atau Abu Mansyur Al-Maturidi, dalam syari’ah atau fiqih mengikuti salah satu dari Al-Imam Al-Arba’ah (Abu Hanifah, Malik Bin Anas, Muhammad Bin Idris Asy-syafi’I dan Ahmad bin Hanbal), dan dalam tasawuf berkiblat pada salah satu dari dua imam; Junaid Al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Bahkan untuk yang terakhir, dalam tasawuf diakui juga ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh sufi yang lain seperti Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi, Syaikh Abu Hasan as-Syadzily, Syaikh Abdul Qadir al-Jailany, Syaikh Akbar Ibnu Araby, Syaikh Syattari, dan lain-lain. ”Dengan berpegang pada Qonun Asasi di atas, hari ini banyak kita saksikan bagaimana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang moderat dan penuh toleransi terhadap berbagai agama dan aliran keagamaan,” ungkap Alamul Huda mengakhiri ceramahnya.
Diposting oleh Tina Siska Hardiansyah
You have read this article Agama
with the title Memaknai ASWAJA dan ASWAJA NUSANTARA. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/memaknai-aswaja-dan-aswaja-nusantara.html. Thanks!
No comment for "Memaknai ASWAJA dan ASWAJA NUSANTARA"
Post a Comment