Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Filsafat. Show all posts
Showing posts with label Filsafat. Show all posts
Saturday, 17 January 2015

Charles de Montesquieu, Karyanya

Oleh: Isma Farikha Latifatun Nuzulia
Karya-Karya Montesquieu
Lettres Persanes

Pertama kali dipublikasika pada tahun 1721 ketika Montesquieu berusia tiga puluh dua tahun. Buku ini bercerita tentang tiga orang Persia yang bernama Usbek, Rica dan Rhedi; yang mengembara ke Eropa untuk mempelajari gaya hidup dan adat istiadat di Eropa. Pada suatu waktu, Rhedi berhenti di Venice, sedangkan Usbek dan Rica melanjutkan perjalanan ke Paris. Segera setelah keberangkatan mereka, mulailah terjadi dengan cepat surat menyurat antara pengunjung dari Persia ini dengan istri-istri, para pembantu dan teman-teman mereka di Persia, begitu juga surat menyurat antar pengunjung dari Persia ini sendiri.
Buku ini berisi surat-surat tersebut, tepatnya berjumlah 161 surat dan tidak terdapat uraian cerita diantara surat yang satu dan yang lain. Masing-masing surat lebih mirip dengan sebuah karangan singkat yang menggambarkan beberapa subjek seperti dasar pemerintahan, tradisi religius, gaya hidup dari suatu masyarakat; bahkan ada beberapa surat yang datang dari sanak saudara, istri-istri, dan para pembantu tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Persia.


Melalui surat-surat ini, Montesquieu dapat dengan bebas menyindir dan mencemooh dengan tajam Raja dan Gereja dengan berpura-pura seolah-olah pengunjung dari Persia itu yang menulis dan berpendapat demikian. Seperti ketika Usbek berbicara dalam suratnya bahwa ada seorang tukang sulap yang bahkan lebih hebat dari Raja Perancis dengan berkata, “This Magician is called the Pope” dan diteruskan dengan cemoohan lainnya untuk Paus. Pernyataan ini menyebabkan timbulnya kontroversi ketika Montesquieu dicela sebagai seorang “Unbeliever”.
Alur dari sebagian cerita dalam buku ini juga cukup menarik. Ketika Usbek dan Rica menikmati masa pencerahan di Perancis selama tujuh tahun, istri-istri Usbek,selir-selir dan para budaknya semakin merasa resah. Yang terjadi kemudian adalah para istri dan selirnya berselingkuh dengan para budak laki-laki. Dan ketika Usbek mendengar kabar tentang ini dari pembantu kepercayaannya, para wanita dan budak telah menikmati “kebebasan” yang tidak ingin mereka lepas meski melalui kekerasan. Penggalan kisah ini mengusung wacana tentang kebebasan individu dan bagaimana seseorang seharusnya bereaksi menghadapi situasi semacam itu.

Les Considerations sur les causes de la Grandeur et de la decadence des Romains

Karya ini diterbitkan pertama kali tahun 1734 di Amsterdam – sebagaimana karya sebelumnya – dengan tanpa nama, yang kemudian direvisi pada edisi 1748. Karya ini merupakan salah satu karya-karya pertama dari semua usaha untuk memahami setiap jengkal sejarah Romawi.
Sebagian besar karya ini menggunakan kerangka historis, dimulai dengan asal mula Romawi dan diakhiri dengan keruntuhannya. Keterangan yang terdapat pada ju-dulnya mengindikasikan bahwa Montesquieu kurang tertarik untuk memaparkan seja-rah umum Romawi, atau bahkan juga sejarah kejayaan dan keruntuhannya, tetapi le-bih difokuskan pada penjelasan tentang sebab-sebab dari kejayaan dan keruntuhan itu.
Kekuatan Romawi awal mulanya menampakkan diri di bawah kekuasaan Raja-Raja pertama dan mencapai puncaknya dalam bentuk Republik di bawah Pompey (sekitar 65 SM), yang “…completed the splendid work of Rome`s greatness.” Namun ketika korupsi menggerogoti Romawi dari dalam, sistem republik tidak dapat dipertahankan lebih lama dan diganti dengan kerajaan yang memakai kebiasaan dan lembaga-lembaga warisan dari Republik. Karena satu dan lain hal, kerajaan mengalami keruntuhannya di akhir abad ke-4 Masehi.
Kejayaan Romawi mengandung beberapa sebab diantaranya: kebajikan masyarakatnya, sistem konsul, kebijakan senat, kekuasaan rakyat yang terbatas, konsentrasi perang, kemenangan-kemenangan, pembagian harta rampasan, pembagian tanah yang merata, censorship (pemeriksaan), pembagian kekuasaan politik, dan dukungan senat terhadap militer dan terhadap politik luar negeri.
Sedangkan kemunduran Romawi antara lain disebabkan oleh merosotnya kerjasama antara rakyat dan militer, kesenjangan ekonomi dan kekuasaan, hilangnya identitas kewarganegaraan rakyat Romawi, yang kesemuanya membuat Republik ti-dak mungkin dapat dipertahankan. Montesquieu juga mencurahkan perhatiannya pada perkembangan paham atheisme, materialisme, dan hedonisme yang menyebabkan hancurnya moral, agama, patriotisme dan kebajikan masyarakat Romawi.

L`Esprit des Lois/ The Spirit of Laws

Karya terbesar Montesquieu yang terdiri dari tiga puluh satu buku ini diterbitkan pertama kali di Geneva pada tahun 1748. Buku ini menjadi salah satu tonggak terpenting dalam karya Montesquieu dan merupakan puncak dari prestasi gemilang keilmuan Montesquieu. Tetapi apa yang di khawatirkan oleh Montesquieu, bahwa karyanya akan diterima dengan sikap salah paham dan iri hati ternyata terbukti. Baik kaum Jansenis maupun kaum Jesuit menolak dengan keras apa yang mereka pandang sebagai sikap yang lunak dan penerimaan Montesquieu terhadap bunuh diri, riba, perceraian, poligami dan perbudakan dan mereka juga menolak dan mengecam pernyataan Montesquieu bahwa tidak ada moralitas dalam monarkhi seperti Prancis karena ia menjadikan kehormatan (bukan kebajikan) sebagai prinsip pemerintahan monarkhi. Apalagi Montesquieu telah berani menyebut Bayle sebagai orang besar, dan lebih parah lagi, ia menyebut Plato (seorang pagan) sebagai sumber terpenting dalam urusan Agama.
Dalam kata pengantar dan buku pertama, setidaknya Montesquieu memiliki dua sasaran: untuk memahami perbedaan hukum manusia dan hukum dalam kehidupan secara umum, dan memberi sumbangsih dasar bagi terbentuknya pemerintahan yang bijaksana di setiap tempat. Prakata dalam karya The Spirit of Laws menunjukkan semangat utilitarian:”Bukan masalah penting bagi saya bila pikiran orang-orang tercerahkan. Prasangka para pejabat munculnya dari prasangka bangsa. Juga bukan hanya orang banyak yang membutuhkan pencerahan, bila saya berhasil mempengaruhi pihak yang berwenang untuk menambah pengetahuan mengenai apa yang seharusnya mereka kuasai, saya pasti merasa sebagai mahluk yang paling bahagia”. Dari situ jelas bahwa Montesquieu bukan hanya didorong oleh minat praktisnya sebagai seorang anggota Parlemen, namun juga didorong oleh tanggungjawab ilmiahnya atau dengan kata lain, didorong juga oleh minat keilmuan murni.
Kemudian ia beralih pada pengujian struktur politik sebagai penghambat konflik sosial. Menurutnya, setiap pemerintahan memiliki hakikat dan prinsip yang padanya hukum haru dihubungkan. Dan jenis-jenis pemerintahan ia kelompokkan pada tiga golongan besar diantaranya Republik (baik Demokrasi maupun Aristokrasi), Monarki dan Despotisme. Persoalan-persoalan di dalam dan luar pemerintahan-pemerintahan tersebut merupakan subjek masalah yang dipaparkan Montesquieu dalam buku kedua sampai dengan buku ke sepuluh. Pada buku kesebelas sampai tiga belas, Montesquieu menganalisis bentuk pemerintahan dengan kebebasan sebagai prinsipnya. Ia menampilkan Inggris sebagai contoh pemerintahan yang objek langsung dari hukum-hukumnya adalah kebebasan dalam arti hak untuk melakukan sesuatu yang diizinkan hukum. Di bagian ini juga Montesquieu membahas tentang pemisahan kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan yudikatif yang jika disatukan pada orang atau lembaga yang sama maka kekuasaan akan sangat terkonsentrasi dan akan timbul kesewenang-wenangan.
Buku keempat belas sampai delapan belas memaparkan tentang efek keadaan iklim terhadap bentuk-bentuk perbudakan, dan hubungan antara keadaan tanah dan masyarakat primitif. Buku kesembilan belas menjelaskan hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral dan adat suatu bangsa. Buku kedua puluh sampai dua puluh dua menjelaskan hubungan hukum dengan perdagangan. Buku kedua puluh tiga membahas hubungan hukum dengan jumlah penduduk. Buku kedua puluh empat dan dua puluh lima berbicara tentang hubungan hukum dengan agama, dan pada buku kedua puluh enam berisi penyelesaian konflik yang mungkin timbul antar hukum agama (law of religion), hukum kodrat (law of nature), hukum sipil (civil law), hukum politik (political law) dan hukum bangsa-bangsa (law of nations). Pada bagian terakhir, buku kedua puluh tujuh sampai tiga puluh satu, Montesquieu membahas hukum Romawi, Perancis dan Feodal sebagai suplemen tambahan.
Dalam karya ini, Montesquieu memandang hukum sebagai hal yang paling sentral dan paling menentukan tingkah laku manusia. Menurutnya, gagasan tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Setidaknya ada dua faktor penyebab utama yang membentuk General Spirit (watak umum masyarakat) yang sangat menentukan struktur sosial politik masyarakat, yaitu faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang utama adalah iklim, keadaan geografis, dan kepadatan penduduk yang menghasilkan akibat-akibat fisiologi dan mental tertentu. Sedangkan faktor moral antara lain berupa agama, kebiasaan, ekonomi, perdagangan, cara berpikir dan suasana yang tercipta di peradilan negara.
Dan setelah hampir tiga ratus tahun, karya ini masih tetap menjadi salah satu referensi pokok bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia politik dan pemerintahan. Karya ini mengajarkan landasa-landasan mengenai penerapan biaya perkara yang dapat dijumpai dalam Livre XXVIII: De l’origine et des révolutions des lois civiles chez les Français (Asas-usul perubahan hukum kemasyarakatan Perancis), Chapitre XXXV: Des dépens (Biaya Perkara):
Anciennement en France, il n’y avait point de condamnation de dépens en cour laie. La partie qui succombait était assez punie par des condamnations d’amende envers le seigneur et ses pairs. La manière de procéder par le combat judiciaire faisait que, dans les crimes, la partie qui succombait, et qui perdait la vie et les biens, était punie autant qu’elle pouvait l’être; et, dans les autres cas du combat judiciaire, il y avait des amendes quelquefois fixes, quelquefois dépendantes de la volonté du seigneur, qui faisaient assez craindre les événements des procès. Il en était de même dans les affaires qui ne se décidaient que par le combat. Comme c’était le seigneur qui avait les profits principaux, c’était lui aussi qui faisait les principales dépenses, soit pour assembler ses pairs, soit pour les mettre en état de procéder au jugement. D’ailleurs, les affaires finissant sur le lieu même, et toujours presque sur-le-champ, et sans ce nombre infini d’écritures qu’on vit depuis, il n’était pas nécessaire de donner des dépens aux parties.
C’est l’usage des appels qui doit naturellement introduire celui de donner des dépens. Aussi Desfontaines dit-il que, lorsqu’on appelait par loi écrite, c’est-à-dire quand on suivait les nouvelles lois de saint Louis, on donnait des dépens; mais que, dans l’usage ordinaire, qui ne permettait point d’appeler sans fausser, il n’y en avait point; on n’obtenait qu’une amende, et la possession d’an et jour de la chose contestée, si l’affaire était renvoyée au seigneur.

Mais, lorsque de nouvelles facilités d’appeler augmentèrent le nombre des appels  ; que, par le fréquent usage de ces appels d’un tribunal à un autre, les parties furent sans cesse transportées hors du lieu de leur séjour; quand l’art nouveau de la procédure multiplia et éternisa les procès; lorsque la science d’éluder les demandes les plus justes se fut raffinée; quand un plaideur sut fuir, uniquement pour se faire suivre; lorsque la demande fut ruineuse, et la défense tranquille; que les raisons se perdirent dans des volumes de paroles et d’écrits; que tout fut plein de suppôts de justice qui ne devaient point rendre la justice; que la mauvaise foi trouva des conseils, là où elle ne trouva pas des appuis; il fallut bien arrêter les plaideurs par la crainte des dépens. Ils durent les payer pour la décision, et pour les moyens qu’ils avaient employés pour l’éluder. Charles le Bel fit là-dessus une ordonnance générale.
Terjemah dalam bahasa Indonesia :
Di masa lalu di Perancis, tidak ada alasan menjatuhkan hukuman mengenai biaya perkara pengadilan. Pihak yang kalah harus dihukum dengan hukuman denda kepada pangeran dan majelisnya. Dari tata cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan setelah masa itu di mana pihak yang kalah dihukum dan dikurangi hak hidup dan kekayaannya, harus dihukum sebanyak mungkin yang ia dapat tanggung: dan dalam hal-hal lain berkenaan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan, ada denda-denda yang kadang-kadang bernilai tetap, dan kadang-kadang tergantung dari kebijaksanaan sang pangeran, yang cukup membuat orang takut akan akibat dari diajukannya gugatan. Hal itu dapat dikatakan sebagai hal-hal yang tidak diputuskan oleh pengadilan. Karena sang pangeran mendapatkan pemasukan terbesar, maka ia juga harus membuat pengeluaran terbesar, apakah dengan cara mengumpulkan majelisnya, atau untuk memungkinkan mereka mengambil putusan. Selain daripada itu, karena sengketa-sengketa pada umumnya ditentukan di tenpat yang sama, dan hampir selalu pada waktu yang sama, dan tanpa pemikiran-pemikiran akademis yang mengikuti sesudahnya, maka tidak ada pentingnya membebankan biaya perkara kepada para pihak.
Kelaziman upaya hukum banding (dan kasasi) secara alamiah mengintrodusir dibebankannya biaya perkara. Oleh karenanya Desfontaines juga mengatakan bahwa “ketika mereka mengajukan upaya hukum menurut hukum tertulis, yaitu, ketika mereka mengikuti hukum baru dari Santo Louis, mereka harus membayar biaya perkara; akan tetapi hal tersebut dalam praktek pada umumnya, yang tidak memperbolehkan mereka mengajukan upaya hukum banding (dan kasasi) tanpa memalsukan putusan, tidak ada biaya perkara yang dibebankan. Mereka hanya dihukum, dan memiliki hak selama satu tahun dan satu hari atas hal yang diperlawankan, jika alasannya disampaikan kepada pangeran.
Akan tetapi, ketika jumlah upaya hukum banding (dan kasai) meningkat dengan adanya fasilitas baru untuk mengajukan upaya hukum banding (dan kasasi) tersebut; ketika dengan seringnya menggunakan upaya hukum banding (dan kasasi) dari satu pengadilan ke pengadilan lain (yang lebih tinggi), para pihak kemudian secara terus menerus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dari tempat kediamannya; ketika metode tata cara persidangan yang baru mulai berlipat ganda dan memperlama jalannya persidangan; ketika seni menginterpretasikan tuntutan-tuntutan yang paling adil mulai disempurnakan; ketika para pihak yang bersengketa mulai belajar dan mengerti cara menangkis atau melawan untuk diikuti pihak lawannya; ketika gugatan-gugatan mudah hancur sedangkan pembelaan diri menjadi begitu mudahnya; ketika argumen-argumen hilang secara keseluruhan kata dan tulisannya; ketika kerajaan mulai dipenuhi segala upaya perongrongan wibawa hukum, yang sama sekali tidak dikenal oleh lembaga peradilan; ketika ketidak-jujuran dan tipu muslihat mendapatkan dukungan di tempat yang tepat di mana ia tidak mendapatkan perlindungan; maka sudah sangat perlu untuk membuat pihak-pihak yang berseengketa menjadi takut akan biaya perkara. Mereka wajib membayar biaya untuk putusan pengadilan dan biaya untuk segala sarana yang mereka gunakan untuk mendapatkannya. Charles yang Baik membuat aturan umum mengenai hal tersebut.
Dalam karyanya “De l’Esprit des Lois”, Livre XXIV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec la religion établie dans chaque pays, considérée dans ses pratiques et en elle-même (Hukum dalam hubungan yang dimilikinnya dengan agama yang hidup dalam setiap negara, dipertimbangkan dalam prakteknya dan pada dirinya sendiri), dan Livre XXV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec l’établissement de la religion de chaque pays et sa police extérieure (Hukum dalam hubungan yang dimilikinya dengan pengajaran agama dan kebijakan eksternalnya), Baron de Montesquieu mengungkapkan pendapatnya berdasarkan observasinya saat itu (dengan melihat sendiri fakta yang ada) bahwa agama Katolik Roma dan Katolik Orthodox (Gereja Katolik yang lahir di Kekaisaran Roma Timur (Byzantium) adalah agama negara Eropa dengan sistem Monarki (Perancis, Kekaisaran Roma Suci, Spanyol, Russia), sedangkan dengan melihat Belanda dan hubungan keluarganya dengan kerajaan Inggris dan para bangsawan Jerman, Baron de Montesquieu menganggap bahwa agama Protestan adalah agama yang tepat bagi negara Eropa dengan sistem pemerintahan Republik.
Karya Montesquieu ini memberikan pilihan alternatif politik yang sangat baik dan mudah untuk diterapkan dalam pemerintahan. Ada tiga butir dalam pemikiran Montesquieu tentang (The Spirit of Laws), yaitu :
1).Hukum serta bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan pemerintah dibagi menjadi tiga macam yaitu : (Republik, Monarki, dan Depotis).
2).Kondisi diatas mempengaruhi gagasannya tentang Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara dalam tiga bentuk yaitu : (Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif).
3).Dua faktor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara fisik dan mental, faktor fisik adalah iklim dan letak geografis yang mengakibatkan munculnya mental tertentu. Faktor moral juga berpengaruh penting terhadap agama, kebiasaan, ekonomi, dan perdagangan.
 Menurut Montesquieu yang tertulis dalam bukunya yaitu "The Spirit of The Laws", menerangkan bahwa jika kekuasaan legislatif digabung dengan eksekutif, maka hal itu dapat mengancam kebebasan warga negara. Karena, jika kedua kekuasaan itu diserahkan pada satu badan, hal ini berpotensi memunculkan produk legislasi (undang-undang) yang tiranik, dan akan bertambah buruk lagi, jika dijalankan secara tiranik. Disitu warga negara tidak akan mendapatkan kebebasan jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif, sebab jika kedua kekuasaan itu disatukan, maka kewenangan para hakim tidak hanya terbatas pada mengadili semata, tetapi juga ikut andil dalam membentuk undang-undang. Penggabungan kekuasaan pada satu organ ini dioastikan akan menghadirkan penyelenggaraan negara yang otoriter, sama halnya, jika kekuasaan yudikatif digabungkan dengan eksekutif, maka hal ini akan berpotensi melahirkan penguasa yang tidak kalah despotik.
Timbul berbagai kecaman dan kritikan tajam yang dtujukan kepada pemerintah dan kondisi sosio-kultual masyarakat Prancis yang berkembang waktu itu, tertuang dalam karyanya antara lain:
1.Terhadap kebiasaan kebuadyaan masyarakt Prancis yang hipokrit (munafik), dia menyebutnya sebagai hipocrity cultural
2.Kritik terhadap kesewenang-wewangan Kaisar Louis XIV dan kekuasaan Paus XIV dan kekuasaan Pua (yahng disebut sebagai tukang sulap)
3.Pada kaum intelektual yang cendurung banyak berkhayal (utopis) tanpa berbuat sesuatu
4.Agama cenderung merupakan depostisme dan otoriterisme dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan public, serta mendorong orang berbuat fatalistic. Menurutnya, walaupun agama tidak ada, keadilan tetap harus diagungkan.
5.Yang paling subversive adalah kritikkannya adalah kritik dia akan perkawinan incest dan poligami yang dilakukan oleh orang Islam
6.Tentang bunuh diri indivu dan politik (kasus Roxane dan bangsa Romawi)
7.Model pemerintahan yang paternal seperti Roma pantas dipertahankan karena pemerintah terbaik adalah yang mengikuti kehendak rakyatnya
8.Montesquieu menetapkan dua prinsip penting dalam teori politik. Pertama semua masyarakat bersandar pada solidatitas kepentingan, kedua adanya suatu masyarakat bebbas hanyalah di atas dasar penggabungan keutamaan warga negara, seperti Rebulik masa lampau.
    Menurut Montesquieu, hukum yang sama telah memicu bangkitnya kejayaan tidak dengan sendirinya menjamin berlangsungnya kejayaan politik itu. Artinya, menurut Montesquieu, Hukum haruslah segera mengikuti gerak zaman dan perubahan materiil dan spirituil dari masyarakat yang bersangkutan. Di penghujung tahun 1734, pada usia 45 tahun, setelah karya-karyanya mengungkapkan sebab-sebab kejatuhan Romawi, Montesquieu mencurahkan dirinya menyusun karangan yang nantinya menjadi The Spirit of Laws. Hanya segelintir orang yang menyangkal bahwa karya ini luar biasa. Panjangnya risalah ini, belum lagi kedalaman isinya, menunjukkan suatu upaya luar biasa. Edisi tahun 1757, mencapai lebih dari seribu halaman dan disebabkan oleh pandangan matanya yang mulai kabur, Montesquieu harus mendiktekan sebagian besar karyanya kepada juru tulis. Lima jilid manuskrip The Law, yang kini dimiliki oleh Bibliotheque Nationale, menunjukkan betapa beratnya pekerjaan itu.
Kedua, sejarah kebesaran dan kejatuhan Romawi (Considations on the greatness and decline of the Romans). Buku yang kedua ini adalah sebuah karangan pendek bersifat sementara yang diterbitkan di Belandatahun 1734, juga secara anonym. Namun, akhirnya bisa beradar secara bebasdi Prancis.Walaupun buku ini kurang terkenal, pembahasannya tentang sejarah kekaisaran Romawi merupakan dokumen sejarah paling lengkap tentang masyarakat politik. Studinya tentang masalah ini membawanya pada konsep yang dikembangkan dalam The Spirit of Laws.

Treatis on Duties
Pada tahun 1725 ia menyelesaikan karya pentingnya berjudul Treatis on Duties, yang terilhami oleh karya Cicero dan Pufendorf. Sayangnya karya ini telah hilang, kecuali beberapa potongan yang termuat dalam Pensees dan beberapa bagian yang dimasukkan dalam Buku I, Bab I The Spirit Of Laws. Risalah ini menggunakan pendekatan kemutlakan-kemutlakan hukum alam untuk menyerang penekana Hobbes pada hukum positif buatan manusia sebagai satu-satunya tolok ukur keadilan yang syah. Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan suatu karya ringkas, Of Politics, yang mengungkapkan minatnya terhadap peran paham determinisme dalam urusan-urusan manusia. Lebih jauh lagi, dasawarsa tahun 1720-an, juga ditandai dengan selesainya motif-motif apa yang mendorong kegiatan ilmu pengetahuan dan rampungnya suatu risalah mengenai kemakmuran negeri Spanyol yang kemudian dimasukkan dalam Buku XXI The Spirit of Law.

Pengaruh Pemikiran Montesquieu

Pengaruh doktrin Trias Politica begitu dahsyat dalam perubahan iklim konstitusi negara-negara di dunia. Kampanye Trias Politica menimbulkan gejolak revolusi yang memaksa rezim- rezim monarkhi absolut dilucuti hak-hak superioritasnya, seperti yang terjadi di Perancis pada masa revolusi tahun 1789.
Konsep Trias Politica pada perjalanannya banyak diaplikasikan sebagai perangkat penyelenggaraan negara, atau bisa juga dijadikan sebagai parameter atau indikator penilaian terhadap sebuah negara, apakah negara tersebut dapat diklasifikasikan sebagai negara tradisional ataukah negara modern yang menjunjung tinggi falsafah demokratis.
Konsep ini  untuk pertama kalinya dijadikan bahan perumusan negara Amerika Serikat, setelah itu melalui gejolak revolusi terus merayap ke negara-negara Eropa Barat. Kemudian sebagai akibat dari kolonialisme Barat, konsep Trias Politica itu disebarkan luas ke negara-negara di seantero Asia-Afrika.
Di era dewasa ini, hampir dipastikan  semua negara di dunia, tidak ada yang tidak merujuk pada konsep Trias Politica. Walaupun pada pengaplikasian esensinya, tidak menutup kemungkinan didapati praktek pelencengan, maksudnya di dalam rezim tiran sekalipun Trias Politica secara fisik diaplikasikan sebagai kerangka bernegara.
Sangat luar biasa sekali buah pikir Montesquieu ini, dalam kajian ilmiah akademis dapat dipastikan  semua ahli politik dan negara pasti selalu merujuk pada konsep Trias Politica sebagai doktrin pola pembagian kekuasaan yang dinilai sebagai pola sharing power yang  fair  dalam suatu konsep politik negara. Konsep ini seperti tidak terbantahkan lagi dan mungkin sudah menjadi konsep baku dalam urusan pola pembagian kekuasaan, dalam artian tidak membuka kemungkinan kembali untuk munculnya inovasi-inovasi terbaru tentang ide-ide pembagian kekuasaan.                    
Montesquieu dikenal dalam literatur Barat bukan hanya sebagai pemikir dan filosof politik saja, melainkan ia dikategorikan sebagai sosiolog mendahului August Comte. Ia juga seorang sejarawan dan novelis terkemuka di zamannya. Gagasan-gagasannya mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan dunia modern. Karena mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII, maka ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, seperti George Washington dan Thomas Jefferson.
Gagasannya yang paling terkenal yaitu mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini kemudian diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Karya-karya Montesquieu yang monumental adalah mengenai sebab kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman, Letters Persanes, dan Spirit of the Laws yakni karya yang berisi konsep-konsep hukum dan ilmu politik modern.
Di bagian awal buku The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1743, Montesquieu menjelaskan tentang hakikat Roma, ibu kota pemerintahan imperium Romawi. Menurutnya Roma bukanlah sebuah kota (city) dalam pengertian modern yang kita pahami sekarang ini, melainkan sebuah tempat pertemuan umum, di mana tidak terdapat kejelasan tentang siapa yang diperintah dan yang memerintah. Dengan demikian, Roma tidak dapat dijadikan sebagai sebuah model pemerintahan
Bacaan Montesquieu tentang karya-karya Polybius mengajarkannya bahwa sebuah konstitusi (UUD) bisa menyelamatkan suatu negara, apapun bentuk negara tersebut. Konstitusi Republik Romawi misalnya, diyakini telah berhasil mencegah republik itu dari kehancuran total. Karena pengaruh Polybius itulah Montesquieu banyak memberikan perhatian pada paham konstitusionalisme pada zamannya.
Sama halnya Machiavelli, Montesquieu juga mengagumi semangat kebebasan, seni memerintah dan seni perang bangsa Romawi, khususnya keahlian mereka dalam memanipulasi agama dan kebijakan-kebijakan luar negeri untuk digunakan demi kepentingan mereka. Agama misalnya, hanya diperkenankan sejauh ia memperkokoh struktur nilai-nilai kekuasaan negara kota. Agama harus diabdikan demi kebesaran, kesatuan dan kejayaan imperium Romawi. Agama yang tidak memiliki fungsi seperti itu tidak diakui keberadaannya. Akan tetapi, yang membedakan kedua pemikir ini adalah bahwa Machiavelli melihat orang-orang besar yang mengejar kemasyhuran dan kekuasaan sebagai individu yang berperan penting dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Sedangkan Montesquieu tidak percaya bahwa sejarah dibentuk oleh orang-orang besar. Mereka memang membentuk lembaga-lembaga sosial politik, militer, dan lain-lain, tetapi setelah itu, maka individu-individu itulah yang diatur oleh lembaga-lembaga itu.
*) Mahasiswi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya Malang


You have read this article Filsafat with the title Filsafat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/charles-de-montesquieu-karyanya.html. Thanks!
Friday, 16 January 2015

Charles de Montesquieu, Trias Politika

 Oleh: Isma Farikha Latifatul Nuzulia*)

Pemikiran-Pemikiran yang Dihasilkan Montesquieu
Trias Politica
Sejarah Awal Trias Politica

Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di masa Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).


Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah pada keduanya. Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kala itu kerap kali Eropa dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.

Pengertian Trias Politica

Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
Dalam bukunya tersebut, dijelaskan bahwa Trias Politika merupakan teori yang mengindikasikan adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak dalam pemerintahan untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pemerintah sehingga hak masyarakat dapat terjamin. Kelly (2011) menyebutkan pula bahwa di antara ketiga lembaga yang memiliki kekuasaan yang berbeda harus ada saling melakukan check and balances, sehingga tidak ada satu lembaga yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari pada lembaga yang lain. Pembagian kekuasaan yang disebutkan Montesquieu antara lain:
 Lembaga legislatif, yang terdiri dari orang-orang tertentu yang dipilih untuk membuat undang-undang, sebagai refleksi dari kedaulatan rakyat, mediator dan komunikator di antara rakyat dan penguasa, dan agretor aspirasi,
Lembaga eksekutif, yakni raja atau di era modern dikenal sebagai presiden yang menjalankan undang-undang, dan
Lembaga yudikatif, yakni lembaga peradilan yang bertugas untuk menegakkan keadilan.
Asumsi dasar yang menjadi penopang lahirnya ide separation of power adalah adanya pemikiran mengenai bahwa kebebasan akan hilang ketika orang yang sama berada dalam satu badan pemerintahan/kerajaan atau satu orang menjalankan tiga kekuasaan dan pemikiran bahwa pelaksanaan lembaga eksekutif dan legislatif yang sama pada satu orang atau satu badan akan mengurangi kebebasan. Oleh karenanya, lahirlah pemikiran mengenai Trias Politika yang berimplikasi pada:
Terjaminnya kebebasan politik bagi rakyat,
Mendeklarasikan kekuatan ilihayah bangsawan dan raja meskipun tetap diakuinya hak istimewa para bangsawan lewat kabinet dua kamar yang saling mengontrol dan mengawasi check and balance, dan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya
Metode terbaik menghindari penyimpangan otoritas.
Dalam pemikiran Montesquieu ini, tidak ada lembaga federatif yang menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain seperti yang diungkapkan Locke sebelumnya. Pasalnya, fungsi lembaga federatif sudah termasuk dalam fungsi lembaga eksekutif. Teori yang diungkapkan Montesquieu ini juga merupakan bentuk penyempurnaan dari teori pemisahan kekuasaan yang sebelumnya telah dijelaskan oleh John Locke. Trias Politika dianggap lebih menjamin hak kebebasan individual, sehingga, di era modern, teorinya dipraktikan oleh negara-negara demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, seperti Amerika Serikat.
 

Konsep Trias Politica
Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris  mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya
           Karya Montesqiueu ini hampir diterapkan di seluruh Negara di dunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoritarian karena tidak adanya  pembagian kekuasaan.
Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.

Konsep-konsep Kekuasaan Legislatif

Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, Undang-undang Migas, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indonesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan.
Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya kasus suap, gratifikasi, korupsi yang dilakukan anggota DPR dan maraknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di tengah  aneka isu politik.

Fungsi-Fungsi Kekuasaan Eksekutif

Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Gouvernment, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris dan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri, demikian pula di Jepang. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian
Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer
Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.

Fungsi-Fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Filosofi  

Gagasan mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan di dunia modern. Ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, antara lain George Washington dan Thomas Jefferson karena pemikirannya mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII. Gagasannya mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan (separation of powers) Negara ke dalam tiga bentuk kekusaan (eksekutif, legislative, dan yudikatif) di terapkan di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat maupun Negara berkembang  seperti Indonesia. Digunakan Teoris Politica oleh para pendiri republik (founding fathers) sebagai sendi konseptual ketatanegaraan kita menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh Montesquieu terhadap mereka.
Esensi dari gagasannya mengenai 3 (tiga), pilar pembagian kekuasaan, atau tiga pilar Supra Struktur Politik dari suatu pemerintahan Negara berkaitan erat dengan kemerdekaan, yakni untuk menjamin adanya kemerdekaan. Kemerdekaan itu bukanlah kemerdekaan sesuka hati yang memberikan hak pada seseorang untuk mengangkat senjata, memaksakan kehendaknya dengan segala kekerasan terhadap yang lain. Masyarakat pada dasarnya harus memiliki hukum, kemerdekaan adalah hak untuk berbuat apa yang dibenarkan dan diizinkan oleh hukum. Makna kemerdekaan bagi Montesquieu adalah bentuk ketentraman hati yang ditimbulkan dari rasa keamanan diri, dimana seseorang tidak merasa takut dihadapan orang lain, pemerintah mengadakan suasana yang demikian. Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya, aspirasi, keinginan, dan gagasan batas tidak keluar dari aturan hukum yang berlaku. Keadaan pemerintah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Rasa aman, ketentraman dan kedamaian itu.
Menurut Montesquieu, hukum sebenarnya memiliki pengertian yang amat luas , bersikap komplek, berkembang, berubah, dan segala hubungannya yang mungkin ada  yang dapat di bayangkan antar manusia adalah hukum. Oleh sebab itu, hukum dalam pengertian yang luas menyebabkan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, maka hukum meliputi juga adat kebiasaan. Ia juga memiliki pebedaan penjelasan secara lebih konkret antara hukum dengan adat, bahwa hukum di pergunakan dalam pengertian yang lebih sempit dekat dengan hukum yang dibuat atau dibentuk dalam masyarakat manusia. Adapun hukum atau undang-undang   alam dengan melihat adanya keteraturan dan susunan yang tetap. Bedanya manusia dengan undang-undang alam adalah terletak kepada kemauan, manusia berkemauan dan dapat mengadakan perubahan, ini dalam undang-undang akan memberikan corak dari aturan yang mengatur dirinya. Maka sifat yang khas manusia itu, melalui fitrah, budi dan akalnya dapat dijumpai  adanya etika politik dan sebagainya. Perbedaan tempat, masa, pengaruh lingkungan iklim, alam lingkungan sekitarnya memainkan peran yang penting untuk lahirnya kelainan kebiasaan, adat-istiadat, hukum dan sifat-sifat pemerintahan dalam setiap negeri.
Hal lain yang juga penting  untuk di kemukakan  dari pandangan tokoh pemikir ini adalah mengenai keadilan. Keadilan merupakan suatu pengertian yang telah ada  lebih dulu sebelum adanya  hukum positif. Manusia harus menyesuaikan diri dengan keadilan dan hukum positif yang sesuai dengan keadilan itu adalah hukum yang benar. Mengenai pembentukan undang-undang yang sesuai bagi negara, dari segi praktis pembentukan udang-undang itu harus mengenal semangat bangsa, yang pembentukannya melihat aspek iklim, agama, hukum yang ada, pendapat, pemikiran tentang pemerintahan serta politik pada umumnya, kebiasanan yang telah berjalan, sikap serta tindak-tanduk manusia. Semua ini akan menentukan bagaimana tipe pemerintahan itu. Pandangan lainnya adalah berkaitan dengan kebebasan, Montesquieu mengagumi semangat kebebasan.
Ia mengagumi pandangan Politik di masa Romawi di mana agama dimanipulasi untuk kepentingan kelanggengan  kekuasaan dan stabilitas politik. Agama itu untuk semata kejayaan, perekat, dan keberlangsungan imperium Romawi. Namun ia mengkritis agama Kristiani, menurutnya agama ini tidak membawa kebajikan moral kepada rakyatnya serta imperium Romawi. Saat Kaisar Konstantin Agung memeluk agama Kristiani dan memperlakukan sebagai agama negara, dalam kenyataannya, agama ni tidak mampu mengubah sifat-sifat kejam serta orang-orang romawi. Kejatuhan Romawi di sebabkan watak mereka yang suka berperang dan membunuh. Mereka demekian besar untuk melakukan penaklukan bangsa-bangsa yang ada di sekitar imperium, menjarah, merampok, menganeksasi wilayah, tanah serta wanita dari negeri yang ditaklukan. Ini memicu kejatuhan imperium, sebab dengan meluasnya wilayah kekuasaan yang pengolahnya di bawah para panglima militer, tampaknya mereka berhasil mengukuhkan pengaruh di wilayah yang ditaklukan dan melemahnya kontrol pemerintahan pusat. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya apa yang dikenal dengan gerakan sentrifugal; terkikisnya loyalitas para panglima dan prajurit terhadap pemerintah pusat, menguatnya pengaruh budaya local, akhirnya adanya keinginan untuk melepaskan diri dari pusat pemerintah.
Mengenai kedudukan paus, Montesquieu melakukan kritik dengan mengatakan Paus telah menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar menyindirnya sebagai “tukang sulap” yang lain. Paus menuntut orang  agar percaya  pada Doktrin Trinitas, Tuhan terdiri atas tiga oknum tetap satu; tiga tetapi satu. Juga doktrin bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembaptisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus.
Montesquieu juga melakukan kritikan kepada agama Islam, melalui karikatur watak Usbek, yang dilukiskan sebagai seorang Muslim ortodoks yang saleh. Islam digambarkan sebagai agama yang membolehkan pemilikan harem. Ia mengkritik praktek itu sebagai despotisme seksual yang seakan diidentikkan dengan agama yang dianut. Akibatnya perempuan tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki kaum lelaki. Despotism dalam bentuk apa pun tetap akan selalu menindas rasionalitas serta kebebasan berpikir serta menyebabkan terjadinya penindasan yang membinasakan kemanusiaan.
Montesquieu mengemukakan alasan mengapa ia membagi ketiga kekuasaaan tersebut karena bersangkut paut dengan apa yang disebut kemerdekaan. Pembagian tersebut adalah untuk menjamin adanya kemerdekaan. Seperti yang dikatakan olehnya: “Apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan. Juga, tidak akan bisa ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislative dan eksekutif. Apabila kekuasaan mengadili ini digabungkan pada kekuasaan legislative, kehidupan dan kemerdekaan kaulan-negara akan dikuasai oleh pengawasan sesuka hati, oleh sebab hakim akan menjadi orang yang membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan pada kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Akan berakhir pulalah segala-galanya apabila orang-orang yang itu juga, ataupun badan yang itu juga (apakah badan ini terdiri dari orang-orang bangsawan atau rakyat banyak) yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu.”


*) Isma Farikha Latifatul Nuzulia, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya Malang.

You have read this article Filsafat with the title Filsafat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/charles-de-montesquieu-trias-politika.html. Thanks!
Thursday, 15 January 2015

Charles de Montesquieu, Penggagas Trias Politika

Oleh: Isma  Farikha Latifatun Nuzulia*) 

Biografi Charles de Montesquieu
Montesqiueau yang memiliki nama lengkap Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu, lahir pada 16 Januari 1686 di sebuah puri yang terletak di dekat perkebunan anggur di Bordeaux di daerah barat daya Prancis. Montesquieu lahir pada zaman Raja Louis XIV (1638-1715) di mana pada masa  pemerintahan ini merupakan pemerintahan yang tidak nyaman bagi warga Prancis karena terjadi peperangan mengenai agama dan budaya yang merugikan warga Prancis. Keadaan inilah yang nantinya menimbulkan keingintahuan Montesquieu dalam bidang sosial dan hukum.
Ayah Montesquieu bernama Jacques de Secondat adalah perwira militer yang merupakan keturunan bangsawan. Sedangkan ibunya, Marie Françoise de Pesnel yang merupakan wanita kaya raya, namun sudah meninggal ketika Montesquieu berusia 7 tahun.  Seperti kebiasaan yan berlaku dewasa itu, Montesquieu diasuh oleh gelandangan (pengemis) yang berasal dari desa La Brede. Bahkan tiga tahun pertamanya Montesquieu dirawat dan dibesarkan oleh petani di penggilingan La Brede. Lingkungan inilah yang menyebabkan Mostenquien memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap orang-orang miskin. Bahkan Mostesquieu berbicara layaknya orang kelas bawah yang menggunakan logat Goscan yaitu logat yang kasar dan keras.


Pada tahun 1700 Montesquieu dikirim untuk belajar ke College de Juilly Seine-et-Marne di Meaux, sebuah lembaga Oratorium di dekat Paris yang mengajarkan ilmu-ilmu klasik dan pokok bahasan modern dan ilmiah. Di sini mulai tumbuh keingintahuan Montesquieu terutama di bidang choses Romanies, yang terlihat dari tulisan-tulisan Montesquieu yang mengungkapkan sejarah pada periode Prancis. Kemudian pada tahun 1705 Montesquieu melanjutkan pendidikannya di Universitas Bardeaux pada bidang ilmu Hukum. Ia mengambil hukum karena ia sadar kelak akan menggantikan kedudukan pamannya sebagai president a mortier di Parlemen Bordeaux, karena pamannya tidak memiliki anak. Pada 29 Juli 1708 Montesquieu lulus sebagai wisudawan termuda di bidang hukum di Universitas Bardeaux.
Pada 12 Agustus 1708, Montesqueiu mendapat izin menjalankan praktek hukum, dan pada 14 Agustus 1708 dia diterima sebagai advokat dalam Parlemen Bordeaux. Pada tahun yang sama juga, dia mulai menggunakan gelar “Seigneur de Montesquieu, Baron de La Brede”. Kemudian mulai tahun 1709 sampai 1713 ia menetap di Paris untuk meneruskan studi ilmu hukum dan pelajaran lainnya. Di sinilah dia mulai berkenalan dan bersahabat dengan seorang Pendeta Oratorian, Nicolas Desmolets, yang kemudian berperan besar karena dari pendeta inilah, Montesquieu banyak meminjam buku-buku yang kemudian menjadi sumber bagi karya Spicilige, yang ibaratnya menjadi gudang intelektual tempat Montesquieu menyimpan berbagai pemikirannya mengenai persoalan ilmiah dan sejarah. Montesquieu juga sangat tertarik mengkaji tentang persoalan-persoalan agama dan keyakinan.
Montesquieu menikah dengan Jeanne de Lartigue, yang merupakan seorang protestan yang membawa mahar besar. Mereka dikaruniai tiga orang anak Jean-Baptise (1716), Marie-Chaterine (1717), dan Denise (1727). Garis keturunannya tergolong istimewa, gabungan antara nobless d’eppe dan nobless de robe. Pada tahun 1714 Montesquieu terpilih untuk Academy of Bordeaux. Tahun berikutnya, pada kematian pamannya Jean Baptiste, ia mewarisi jabatan baron penasehat untuk Bordeaux Parlement.
Montesquieu tidak begitu tertarik bekerja pada bidang hukum, namun ia lebih tertarik belajar menulis. Hal  itu terlihat dari dijualnya kantornya sebagai presiden Bordeaux Parlement di tahun 1721, dengan begitu Montesquieu bisa menulis dengan leluasa kembali.  Suksesnya publikasi buku Lettres Persianes (Persian Letters, 1721). Surat Persia adalah pandangan sengit dan menggigit sangat kritis peradaban Eropa dan sopan santun. Dalam buku yang ditulisnya itu Montesquieu menceritakan orang Persia yang pergi ke Eropa kemudian mengkritik Eropa (Prancis) adat dan lembaga. Pesannya adalah bahwa masyarakat berlangsung hanya atas dasar kebajikan dan keadilan, yang berakar pada kebutuhan kerjasama manusia dan penerimaan. Di dalam surat tersebut juga menggambarkan korespondensi antara Usbek dan Rica dengan orang-orang Persia lain di negeri asal mereka yang memuaskan hasrat orang-orang abad kedelapan belas untuk mengetahui Timur dengan adanya penyajian sekilas mengenai kehidupan Poligami di harem-harem Turki. Banyak benih ide dalam Persian Latters ini yang kemudian dikembangkan lebih penuh dalam The Spirit Of Laws, dan pandangan Montesquieu mengenai sifat-sifat les choses humaines juga muncul dengan kekuatan penuh. Meskipun Surat diterbitkan tanpa namanya, itu cepat diakui sebagai karya Montesquieu dan memenangkan persetujuan dari masyarakat dan ketidaksenangan gubernur, Kardinal André Fleury, yang mengangkat keterkenalan Montesquieu ke dalam Akademi Perancis sampai tahun 1728.
Kritik satiris atas politik dan agama Prancis yang menjadi ciri khas pemikiran kaum philosophe pun lebih sering dilakukan oleh Montesquieu, terutama dengan minatnya yang suka membandingkan tipe-tipe kepribadian bangsa dan ketertarikannya yang kuat pada hal-hal yang bersifat asing dan eksotik. Montesquieu juga mengungkapkan dalam karya-karya awalnya, bahwa kebijakan yang muncul dari dalam diri sendiri lebih unggul daripada paksaan pemerintah. Setelah kesuksesan karya Persian Letters, Montesquieu mulai menghabiskan banyak waktunya di Paris. Ia kerap terlibat di Entresol Club, di Salon-Salon Madame de Lambert, Mme Geoffrin, dan Mme de Trencin dan turut serta dalam kelompok Duc de Bourbon, orang nomor dua setelah sang Regent, Duc d’Orleans. Dan di bawah pengaruh masyarakat Paris yang penuh dengan tatakrama, Montesquieu mencoba menulis beberapa karya dengan gaya tinggi, seperti misalnya Temple of Cnibus (1725) yang agak porno, berisi kisah cinta yang lebih dimaksudkan untuk memberikan kesenangan dan bukan untuk mencerahkan akal pikiran.
Montesquieu hanya sedikit merasakan kepuasan dalam menjalankan tugas parlemennya. Ia lebih tertarik dengan gambaran besar ”semangat” hukum daripada transaksi-transaksi harian sidang pengadilan. Kehidupan sebagai magistrat bordelais jelas tidak menarik hatinya. Kutipan terkenal berikut ini dalam karyanya Pensee menunjukkan rasa tidak sukanya pada jabatan yang diwarisinya: ”Tekait dengan profesiku sebagai presiden”. Yang juga menyingkapkan kurangnya antusiasme Montesquieu terhadap tugas-tugas parlemennya adalah usulnya pada 1723 bahwa presidents a mortier tidak harus menghadiri pertemuan-pertemuan parlemen pada waktu sore hari. Pada tahun 1726 Montequieu menjual kursi jabatannya dengan syarat bahwa kedudukan itu akan dikembalikan lagi kepada keluarga Secondat bila pembelinya meninggal dunia. Penjualan itu terlaksana pada Juli 1726, dan pada awal tahun baru Montequieu telah meninggalkan La Brede ke Paris. Pada April 1728, dengan ditemani oleh Waldegrave, keponakan Duke Berwick, Montequieu meninggalkan Prancis menuju kekaisaran Romawi melalui jalur Wina dan kemudian ke Hongaria, Venesia, Milan, Turin, Genoa, Pisa, Florence, Roma, dan Napoli. Pengalaman-pengalamannya di Italia mengembangkan hasratnya akan seni murni, hatinya tergerak oleh karya-karya Raphael.
Ia juga mengamati Republik Venesia dan kesempatan ini konon telah melunakkan minatnya terhadap republik, seperti terlihat dalam Persian Letters. Pada 1729, Montesquieu meninggalkan Italia dan menempuh perjalanan ke utara melalui Jerman Selatan, Rhine, Belanda, dan akhirnya pada 23 Oktober 1729 sampai di Inggris. Begitu di Inggris ia dengan lincah masuk ke kalangan Istana dan kalangan ilmiah, dan lewat persahabatannya dengan Martin Folkes, ia dipilih sebagai anggota Royal Society. Ia menghadiri debat-debat parlemen, membaca buku Craftsman karya Bolingbroke, mulai menulis karya tentang sejarah Romawi, dan menekuni pemikiran-pemikiran Romawi.
Pada Agustus 1731, setelah pergi dari La Brede, Montesquieu kembali pulang melalui Paris ke Prancis baratdaya. Begitu tiba, ia langsung memulai pekerjaan besarnya. Semangat bermain-main dalam Temple of CnidusI untuk sementara ia tinggalkan, dan pekerjaan berat menyusun The Spirit o Laws dimulai. Buah pertama dari apa yang nantinya akan menjadi upaya panjang dan heroik untuk mengungkap rahasia-rahasia les choses humaines adalah karyanya berjudul Considerations on the Causes of the Grandeur of the Romas and Their Decline (1734). Dalam karya ini, Montesquieu menyajikan analisis sebab akibat yang sangat selektif atas faktor-faktor yang terutama telah membuat bangsa Romawi mengalami perkembangan kemakmuran dan kebugaran Politik pada masa Republik dan kemudian faktor-faktor yang menyebabkan kejatuhannya pada periode Kekaisaran.
Menurut Montesquieu Romawi mengalami kejayaan selama penaklukan-penaklukan wilayahnya karena mereka tidak mengabaikan semangat tunggal untuk berbakti tanpa pamrih bagi kesejahteraan umum yang telah menjadi ciri khas kehidupan politik pada masa awal Republik. Pada mulanya, menurut Montesquieu, Romawi merupakan suatu kumpulan yang terjalin erat dengan didukung oleh gambaran idaman potretnya mengenai pemerintahan demokratis dalam Buku II, Bab 4, The Spirit Of Laws. Tetapi begitu hak-hak kewarganegaraan Romawi diperluas kepada semua orang di semenanjung Italia dan begitu para Serdadu Romawi mulai menunjukkan kesetiaan mereka bukan kepada negara melainkan kepada komandan atasan mereka, maka semangat awal yang mendukung kebebasan dan kebesaran Romawi mulai memudar. Menurut Montesquieu, bukan hanya perubahan psikologis dan perubahan wilayah saja yang menyebabkan mundurnya bangsa Romawi. Mentalitas Bangsa Romawi merosot, karena mereka gagal mengubah hukum mereka begitu kejayaan tercapai.
Montesquieu, sama dengan sahabat-sahabat lainnya: Voltaire, Gascon, Montaigne adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Buku bagi mereka adalah seperti sahabat tetapnya. Baginya kesenangan belajar adalah jauh lebih indah dan tetap daripada kesenangan lainnya yang bersifat duniawi dan inderawi yang banyak dicari orang. Pada masa mudanya, ia pernah menyatakan menulis mengenai hal-hal yang mendorong adanya penelitian ilmiah: ”Kecintaan kita untuk belajar hampir merupakan satu-satunya hasrat kita yang abadi. Semua yang lain meninggalkan kita dengan begitu cepat seperti mesin yang menyeret kita pada kehancuran. Pada masa tua, seseorang akan merasakan bahwa jiwa kita adalah bagian yang terpenting, dan seperti rantai-rantai yang mengikatnya, indera-indera kita pun akhirnya rusak”.
Dalam pernyataan tersebut, kita akan merasakan bahwa baginya tidak ada kejemuan dalam membaca. Ia menemukan dunia dan juga dampak dari kegemaran ilmiahnya dengan kerja kerasnya yang berlebihan. Sementara kebanyakan Agama menawarkan sikap santai yang damai bagi para penganutnya, yang bagi Montesquieu dipandangnya sebagai suatu neraka yang sempurna. Hal itu terbuktikan dengan akibat yang dia terima dari kerja kerasnya dalam menyelesaikan The Spirit of Laws : Matanya menjadi masalah terbesar.
Ia menulis kepada Barbot, temannya, di tahun 1742: ”Andai aku tidak gila, aku tidak akan menulis satu barispun. Tetapi yang menghancurkan aku adalah ketika aku membayangkan hal-hal agung yang bisa kulihat seandainya aku masih punya mata”. Ketika karyanya hampir selesai setengah dasawarsa kemudian, rasa lelahnya hampir memuncak. ”Aku merasakan kelelahan yang luar biasa. Aku berniat beristirahat pada hari-hari berikutnya”, tulisnya pada Cerati, sahabatnya yang lain. Juga kepada Barbot, ia menceritakan bagaimana ia menghabiskan delapan jam setiap hari untuk mengerjakan The Spirit of Law dan memandang waktu selebihnya sebagai waktu yang terbuang percuma, dari sinilah ia mempunyai optimisme bahwa apa yang ia kerjakan tidaklah sia-sia: ”Bisa kukatakan bahwa aku tidak percaya bagaimana ada orang yang mau membuang-buang waktunya lantaran hartanya yang berlimpah.” Manuskrip The Spirit of Law yang sekarang ditempatkan di Bibliotheque Nationale mengungkapkan bahwa sebagian besar karya itu telah diselesaikan pada tahun 1743, tetapi ia masih berjuang untuk membubuhkan rincian-rincian, bentuk yang pas dan memoles sesuai dengan yang dia inginkan. Tetapi ia juga merasa takut kalau-kalau karyanya tidak disambut dengan baik.
”Karya ini merupakan buah perenungan seumur hidup, dan mungkin saja dari kerja keras ini, kerja keras dengan maksud-maksud terbaik, kerja keras yang dilakukan untuk manfaat semua orang, saya hanya akan mendapatkan kesengsaraan dan dibalas dengan sikap dungu dan iri hati”. Montesquieu tentu saja menyadari bahwa The Spirit of Law akan menjadi sumbangan utamanya yang terakhir, dan meski begitu ia menampilkan semacam kerendahan hati yang begitu menarik seperti lazim pada diri para pengarang besar. Beberapa bagian terasa begitu menggetarkan ketika Montesquieu mengungkapkan di dalamnya bahwa ia tidak merasa sebagai seorang pengarang yang secara sembrono memandang sempurna karyanya, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa tidak ada karya yang benar-benar selesai dan tidak ada karya yang hasilnya benar-benar memadai seperti yang diharapkan oleh pengarangnya.
”Saya berencana menuangkan ide dalam pembahasan yang lebih dalam dan lebih luas di beberapa bagian karya ini, tetapi saya merasa tidak sanggup melakukannya. Kegiatan membacaku telah melemahkan mataku, dan sepertinya cahaya yang sampai mataku sudah seperti cahaya senja, saat mataku akan menutup selamanya. Saya hampir mencapai saat di mana saya harus mengawali dan mengakhirinya, saat yang menyingkapkan dan menabiri segalanya, saat yang mencampuradukkan rasa getir dan bahagia, saat ketika saya akan kehilangan segala sesuatu kecuali kelemahanku. Dalam keadaan menyedihkan yang kudapati pada diriku, tidaklah mungkin bagiku untuk memberikan sentuhan akhir pada karya ini, dan beribu kali saya hendak membakarnya, jika aku tidak berpikir bahwa akan merupakan hal yang mulia bila kita membuat diri kita bermanfaat bagi manusia hingga hembusan nafas terakhir kita".
Atas semua penolakan dari kaum Jansenis dan Jesuit, Montesquieu menyerang balik dengan rasa kesal dan berapi-api, bahkan sebagian orang memandang bahwa kekuatan tulisannya mencapai titik puncaknya dalam karyanya Defense of The Spirit of Laws (1750) dan juga dalam Responses and Explanations Given to The Faculty of Theology of University of Paris (1752-1754), dua karya yang ditulis sebagai jawaban penolakan terhadap The Spirit of Laws. Kebencian pihak Gereja terus berlangsung meski ia sudah melakukan berbagai upaya untuk itu, dan akhirnya karyanya tetap dimasukkan dalam Indeks pada November 1751. Montesquieu akhirnya bisa lepas dari itu semua empat tahun kemudian, yaitu pada 10 Febuari 1755 saat ia meninggal di Paris. Saat mana kemudian seluruh Prancis mengakui kehilangan salah satu dari Philosophe besar generasi pertama yang beserta Voltaire, telah melakukan banyak hal untuk merumuskan cita-cita pencerahan.
(Bersambung)


*) Isma  Farikha Latifatun Nuzulia, adalah mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya.





You have read this article Filsafat / Pendidikan with the title Filsafat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/charles-de-montesquieu-penggagas-trias_15.html. Thanks!
Saturday, 3 May 2014

Pelatihan Sehat Mandiri Dengan Pendekatan Holistic Healing

        Penyembuhan Holistik (Holistic Healing) melalui pendekatan spiritual  yang mulai sering digunakan dalam intervensi medis maupun psikologi oleh banyak praktisi,  menekankan pada upaya peningkatan kualitas kejiwaan pasien dengan harapan dapat mendorong pasien meraih kesembuhan. Salah satu contoh pendekatan ini, antara lain dengan meyakinkan pasien tentang pentingnya aspek kesabaran, keikhlasan, kesyukuran, dan berbuat kebaikan ketika ditimpa cobaan berupa penyakit. Pendekatan spiritual ini bagi masyarakat beragama dinilai tepat untuk meningkatkan potensi kesembuhan pasien.
               Pelatihan Sehat Secara Mandiri yang digelar di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin (30/04) yang salah satu pematerinya adalah Prof dr. H Achmad Husain Asdie, Sp.PD-KEMD disambut antusias oleh para Mantri (mahasiswa-santri) dan warga sekitar. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu mengemukakan lebih memilih untuk meninggalkan pengobatan medis bersifat kimiawi dan memilih model pengobatan Holistic Healing yang bersifat spiritual. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pengalamannya selaku guru besar yang mendapati fakta bagaimana  pengobatan medis kimiawi sesungguhnya memiliki resiko yang sangat tinggi di samping pembiayaan yang nyaris tak terjangkau. “Dalam kenyataan banyak orang sakit akibat faktor psikologis tapi ditangani dengan obat-obat kimiawi sehingga bukan kesembuhan yang diperoleh melainkan kerusakan organ tubuh yang lain,” ujar Prof Asdie memaparkan kekeliruan pendekatan yang merugikan masyarakat itu.

                  Dalam sistem pengobatan medis kimiawi, ungkap Prof Asdie, ketika ada suatu masalah seperti penyumbatan bagian tertentu pada jaringan syaraf  sehingga darah tidak dapat mengalir dengan lancar, biasanya  akan diatasi dengan cara disuplai dengan cairan kimia yang dapat membuat aliran darah lancar. Atau ketika ada kuman, bakteri dan beberapa jenis virus penyakit, dokter akan menyuntikkan obat kimiawi untuk melumpuhkan virus tersebut. Demikian penyembuhan kimiawi itu  diteruskan sehingga suatu ketika kala terlalu banyak jenis cairan kimia yang masuk ke dalam tubuh, sangat mungkin akan membuat  tubuh collapse. “Kalau dalam pengobatan  alternatif spiritual tidak demikian,” ungkap Prof  Asdie,”Cukup dengan membuka sumbatan jaringan itu,  dengan beberapa cara tradisional sudah bisa diatasi.”      
                Dalam berbagai kasus, ujar Asdie, seringkali, terjadinya penyumbatan jaringan syaraf pada diri seseorang disebabkan oleh karena faktor psikologis seperti pikiran yang tidak tenang, sifat-sifat iri, dengki, marah, tidak ikhlas atas takdir Allah,  dan sikap buruk semacamnya. Sehingga ketika seseorang dalam keadaan marah, benci, cemburu,  dan dendam, itu akan membuat beberapa hormon dalam tubuh naik, dengan akibat otot-otot menegang dan menyebabkan ketidak-seimbangan pada tubuh. “Begitulah faktor emosional bias menjadi penyebab tubuh sakit,” simpul Guru Besar Fakultas Kedokteran Penyakir Dalam UGM itu.
                Pengobatan secara medis sendiri, menurut Asdie, merupakan tataran pengobatan terendah karena yang diobati adalah fisik manusia. Di samping itu, harus melalui proses yang cukup rumit. Belum lagi dengan biaya yang melangit, yang tidak mampu menyentuh golongan masyarakat menengah ke bawah. Ibarat tingkatan ilmu, ujar Asdie,  pengobatan medis masih berada pada tataran ‘ilmul yaqin, belum masuk pada ainul yaqin. Sedangkan pengobatan yang dilakukan oleh dr. Asdie dan tim adalah pengobatan melalui ruhani manusia untuk memasrahkan segalanya hanya kepada Sang Pencipta, Sang Penyembuh segala luka dan lara. Baru setelah ada kepasrahan dan keikhlasan penerimaan dari si penderita, pengobatan akan berlangsung efektif.
                   Selama pelatihan Prof Asdie selain mengarahkan para peserta untuk pasrah dan ikhlas dalam menerima ujian dari Allah berupa penyakit, juga  mengajarkan penggunaan langkah-langkah tertentu dari teraphy ruhani seperti dzikir dan pernafasan. “Bersyukur dan menerima semua penyakit secara ikhlas adalah kunci kesembuhan,” ujar Profesor Asdie mengakhiri pen jelasan diikuti praktek ‘Pijat Getar Syaraf’ yang dipraktikkan oleh Ir Eko Suhartono, ketua Yaskes Telkom Jawa Barat, yang merupakan bagian dari tim Pelatihan Sehat Mandiri kepada warga sekitar pesantren dengan memijat beberapa bagian tubuh seperti tangan, kaki, dan kepala.
Posted by Rina Siska Hardiansyah.


You have read this article Filsafat with the title Filsafat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/pelatihan-sehat-mandiri-dengan_3.html. Thanks!
Sunday, 23 March 2014

Ngaji Jum'at: Why Nations Fail?

      “Meski bukan bahasan baru, namun membahas kondisi dan situasi Negara saat ini menjadi satu hal penting untuk dilakukan warga Negara,”  demikian ungkap  In’am Esha, Dosen Filsafat UIN Maliki mengemukakan pendapatnya dalam ngaji rutin Jum’at malam di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, pecan lalu.
          Para Mantri (mahasiswa santri) manggut-manggut meng-amin-i ungkapan In’am bahwa sebagai warga Negara terlebih mahasiswa yang notabene identik dengan golongan  intelek dan calon generasi penerus bangsa, menjadi sebuah keharusan membincang kondisi bangsa dan Negara Indonesia untuk kemudian dapat mengambil sikap dan  tindakan yang tepat jika terjadi perubahan yang tidak diinginkan. Sebagai acuan bahasan In’am Esha menjadikan  “Why Nations Fail?”, sebuah buku karya Daron Acemoglu dan James Robinson sebagai rujukan. Begitulah, ngaji Jum’at malam itu diisi dengan mengupas buku “Why Nations Fail?” sebagai asupan gizi otak para mantri.
            Dalam konsep bernegara, kita selalu dihadapkan dengan dua kutub ideology yang bersebarangan, yakni kapitalis dan komunis. Namun dalam praktiknya, tidak satu pun Negara yang menganut salah satu dari ideologi besar dunia tersebut secara pure (murni). Selalu ada proses saling mengadopsi satu sama lain dari dua ideology besar tersebut. Oleh karenanya, dalam buku tersebut, dapat dipahami bagaimana Daron Acemoglu dan James Robinson mencoba untuk menyampaikan bahwa exclusive state yang ditandai dengan extractive institution (institusi yang terpisah-pisah) yang sering saling berbenturan satu sama lain  merupakan indikator utama bagaimana sebuah Negara akan mengalami kegagalan.  


              Perubahan kehidupan sosial manusia yang terus bergulir seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi membawa konsekuensi terhadap perubahan-perubahan lain, salah satunya perubahan struktur Negara. “Jika Negara tidak mampu merespon dengan baik perubahan-perubahan tersebut, kegagalan menjadi sebuah keniscayaan,” ungkap In’am menjelaskan.
            Masih menurut buku why nations fail?,  secara garis besar, Negara memiliki dua bentuk, yakni classical state; di mana Negara  masih mempertahankan bentuk pemerintahan klasik/nenek moyang dan cenderung ekslusif terhadap perkembangan zaman dan yang kedua adalah modern state; di mana Negara lebih menganut prinsip open society dengan tidak menafikan dan sedikit banyak mengadopsi beberapa perkembangan dari dunia global hari ini. Dari kedua bentuk Negara tersebut yang paling tepat untuk diterapkan bagi Negara yang tengah berada pada posisi transisi (from classical state to modern state) adalah mengambil posisi tengah. Hal tersebut membuat ingatan kita kembali pada sejarah bangsa Indonesia, di mana saat Negara Barat menyatakan diri sebagai blok barat dan sebaliknya Negara Timur menyatakan diri sebagai blok timur, Ir. Soekarno mewakili Negara Indonesia menyatakan diri sebagai gerakan non-blok yang tidak memihak kedua belah pihak. 
              Dewasa itu tidak mudah mengambil sikap moderat, namun kebijakan Soekarno tersebut terbukti menyelamatkan nasib bangsa dan Negara Indonesia. Sejarah mencatat bagaimana Indonesia tidak mengekor kepada salah satu dari dua kekuatan besar kala itu, karena pemimpin bangsa Indonesia saat itu dengan  gagah berani dan penuh keyakinan diri menunjukkan kepada dunia, “Inilah bangsa Indonesia dengan identitasnya yang jelas: Merdeka, bebas dan berdaulat,” ungkap In’am.
              “Kalau dalam Islam, hal ini senada dengan sebuah hadits Nabi khoirul umuuri ausaatuhaa, bahwa sebaik-baik perkara adalah yang moderat, tengah-tengah, dan yang wajar-wajar saja,” ungkap In’am melanjutkan. Karena itu, generasi Indonesia sekarang diharapkan untuk bersikap moderat yang permisif-selektif dengan tetap mempertahankan dan melestarikan jiwa nasionalisme,” ungkap alumnus UIN Sunan Kalijaga itu pada detik-detik berakhirnya ngaji disambut ekspresi serius dari para mantri 


Posted by Tina Siska Hardiansyah.




You have read this article Filsafat with the title Filsafat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/ngaji-jum-why-nations-fail.html. Thanks!
Thursday, 16 January 2014

Heinz J. Benda dalam Pandangan W.F.Wertheim

         Periode setelah perang dunia telah menyaksikan sebuah perkembangan besar akan beasiswa dari Amerika kepada  Indonesia, yang sebelumnya hanya disediakan secera besar-besaran untuk para petinggi koloni Belanda itu.  Di antara  murid-murid Amerika yang terkemuka dari sejarah indonesia,  sosiologi dan ilmu pengetahuan politik, Harry Benda mendapatkan tempat istimewa, karena kehormatan tertentu dia menciptakan hubungan antra Belanda dan beasiswa luar negri. Kualitas spesial dari dirinya ini mungkin akan dijelaskan sebagian oleh sejarah pribadinya sendiri.  Berikut adalah jurnal yang ditulis oleh W.F Wertheim di Wageningen, 5 Maret 1972.
        Heinz (Jindrich) Benda lahir di Cekoslovakia dari keluarga Yahudi dan meninggal pada 26 Oktober 1971. Ketika ancaman Nazi sudah mendekati perbatasan negaranya, mereka mengirim Heinz muda yang berbakat pergi - sebelum ia mampu menyelesaikan sekolah menengah - ke Hindia Belanda di mana Konsultan Ceko , anti-Nazi yang fanatik, siap untuk menerimanya. Di rumah Pak Stanek, yang merupakan tetangganya di Batavia, mereka  bertemu Heinz, yang segera menurut mereka  adalah orang yang sangat cemerlang dan segera menjadi teman. Dalam waktu dua bulan Heinz dapat berbicara bahasa Belanda dengan lancar, lebih baik dari tuan rumah, yang sudah tinggal di Hindia selama dua puluh tahun, dan pada kenyataannya tanpa aksen apa pun.

    Sayangnya, Benda tidak dalam posisi mengejar inspirasi intelektualnya. Dia harus mancari penghidupan, dan pada awal Perang Pasifik dia meskipun usianya masih muda tapi dia mendapatkan kepercayaan dari perusahaan dagang Belanda di mana ia bekerja untuk diberi kepercayaan untuk mengelola cabang Semarang dari perusahaan Belanda itu setelah ketuanya dipenjara oleh Jepang. Tetapi akhirnya dia sendiri juga dipenjara di kamp yang sama di Tjimahi di mana  ia menyatakan keinginannya untuk menjatuhkan karir komersialnya setelah perang, meskipun prospeknya yang sangat baik, dan untuk mengejar ambisi akademiknya.
         Dengan energi yang sangat besar Benda menyadari rencananya. Di Selandia Baru ia memperoleh beasiswa pelatihan perguruan tinggi guru, dan sebagai mahasiswa sekolah- guru ia mampu untuk melanjutkan studinya dalam bidang sejarah di Universitas Wellington. Kesempatan itu datang ketika ia mengaku sebagai lulusan siswa Cornell University, di mana ia segera datang ke depan sebagai salah satu orang terkemuka dalam studi Indonesia. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda, Indonesia, Jerman dan Perancis selain bahasa Inggris terbukti menjadi aset besar baginya, dan tema disertasi doktornya, berurusan dengan Islam Indonesia di bawah pendudukan Jepang, lebih atau kurang sesuai dengan pengalaman pribadinya periode itu.
             Melalui pengetahuan yang mendalam mengenai masa  pra-perang masyarakat kolonial pada  satu tangan, dan posisi independen dia di dalamnya sebagai orang luar seperti lainnya, namun  ia mampu menilai secara kritis kebijakan pra-perang Islam  Belanda serta pendekatan yang lebih dinamis dan aktif dengan Islam dari bagian Jepang.
          Disertasinya diterbitkan dengan judul The Crescent and Rising Sun (1958), membuatnya mendapatkan tempat di kalangan kaum muda ahli yang menonjol di Indonesia, setara dengan Clifford Geertz, Ruth T. McVey dan Herbert Feith.
            Sejak saat itu karir academie Harry J. Benda, selanjutnya ia dikenal, sesuai dengan pola umum di Amerika Serikat. Dia diangkat sebagai asisten profesor di University of Rochester, dan kemudian menjadi Profesor di bidang sejarah di Yale University. Meskipun tugas sementara di luar negeri (ia menghabiskan Penelitian satu tahun di Belanda, dan kemudian mendirikan Institute  Studi Asia Tenggara di Singapura, di mana ia adalah Direktur yang pertama) ia terus mempertahankan jabatannya di Universitas Yale sampai akhir hidupnya.
          Sebagai seorang ilmuwan terutama berkaitan dengan sejarah modern Asia Tenggara, Harry J. Benda memiliki waktu dan lagi memperkenalkan pendekatan baru tentang masalah yang membuatnya prihatin.
Bisa  disebutkan beberapa publikasi yang memukul sebagai khas pikirannya yang mandiri. Pada awal tahun enam puluhan ia menerbitkan dua artikel tentang peran intelektual.[1] Dalam makalah yang menganalisis secara kritis tentang ide yang cukup umum di kalangan beberapa ilmuwan politik Barat, yang berpegang bahwa "elit intelektual" adalah orang-orang yang harus memimpin negara non-Barat menuju "modernitas". Benda benar-benar menunjukkan, bahwa di dunia Eropa kasus "perbuatan intelektual sebagai kelas penguasa independen" terbatas pada situasi yang luar biasa, revolusioner. Aturan situasi tersebut  hanya bertahan sebentar, tidak lama lagi  "kenormalan" akan dipulihkan - dan "normalisasi berarti bahwa kekuasaan politik sekali bersekutu erat dengan sumber kontrol sosial lainnya, terutama untuk kekuasaan ekonomi, dan dengan demikian tidak lagi beroperasi dalam ruang hampa."  "kenormalan Sosial .... rupanya tidak memiliki tempat untuk raja-filsuf, hal itu hanya dapat menggunakan layanan dari intelektual sebagai tambahan dalam proses politik ".
            Dalam kasus negara non-barat, Benda tidak mengharapkan perpindahan intelektual yang berkuasa dalam "waktu dekat, bahkan meskipun, seperti yang telah kita lihat, ada sebuah tren yang tampaknya menyerahkan terhadap militer dalam ketidak-intelligensiaan non-Barat ".

             Di negara-negara non Barat, juga, Benda memandang "pemerintahan intelektual" sebagai fase transisi. Menurut pendapatnya,  dia tidak memberi perhatian yang cukup dalam analisis ini untuk konteks internasional di mana "elit",  intelektual atau militer, beroperasi. Ini adalah kekuatan ekonomi dan politik yang dimiliki André Gunder Frank, sejak Harry J. Benda menulis hal di atas,  disebut "metropolis" yang telah mengubah "inteligensia yang berkuasa" di dunia ketiga - tampaknya lebih awal dari Benda siap untuk akui - menjadi hamba "verbalisasi atau ideologisasi kepentingan politik dari kelas lain atau kelompok ", mengutip Benda sekali lagi.
               Kemungkinan Benda secara naluriah merasa bahwa ada beberapa kedatangan singkat dalam pendekatan kepada elite. Pada cetakan ulang dari Bucknell yang dikirim kepadanya ia menulis dengan bercanda: “Kontribusi terakhir saya ke 'Elitisme' - yang Maksudku, terakhir saya!”
            Dalam review Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia Harry J. Benda, tanpa mengangkat masalah intelektual seperti sebelumnya, secara tidak langsung menantang pandangan para elitis, bukan populer di kalangan ilmuwan politik Barat, bahwa itu adalah " pemecah-masalah ", yang "para administrator"nya, adalah orang-orang yang jelas menyediakan kepemimpinan untuk "negara baru". Dia menentang untuk menerapkan "perkembangan model Barat yang utama" ke Indonesia. Namun dengan cemerlangnya dilakukan, "penelitian tersebut berfokus pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan ".
                Penilaian Benda terhadap tren di Indonesia, dalam hal "kontinuitas" dan "perubahan", menyediakan wawasan yang lebih canggih yang lebih dalam di zaman dari era Soekarno daripada yang pada umumnya dipahami oleh rekan Amerika-Nya - atau yang di Australia, dalam hal ini.[2]. Dalam pandangannya, kontribusinya yang paling signifikan kepada Asia Tenggara adalah usaha studinya untuk mensintetiskan sejarah modern dari tempat tersebut secara meluas, laporan interpretatif dari proses kolonialisme Barat, dan penarikan parsial setelah Perang Dunia Kedua.
              Benda membuat gambaran tentang garis cemerlang proyek semacam itu. Makalah ini kaya akan ide-ide asli. Misalnya, penulis berusaha untuk menarik paralel antara penyebaran Islam di beberapa daerah di wilayah kita dan Theravada Buddhisme pada orang lain, dan untuk menghubungkan terutama kedua proses tersebut dengan pedesaan yang lazim kerusuhan, merupakan kontribusi yang sangat signifikan terhadap sosiologi agama. Pada saat yang sama, ia menawarkan change baru bagi  ulama yang memegang peran bahwa masyarakat Asia yang tidak terpengaruh oleh dinamika internasional sampai munculnya penyusup kolonial Barat.
              Akhirnya, dalam A History of Modern Southeast Asia,  Benda mampu untuk mewujudkan mimpinya menganalisa " perkembangan initernal dalam daerah adat masyarakat, khususnya tanggapan beraneka ragam mereka ke 'input' kolonial di zaman modern ". Karya yang telah selesai ini unik karena berhubungan dengan Asia Tenggara secara keseluruhan, tanpa membagi analisis, seperti yang biasanya dilakukan, dalam beberapa bab terpisah dikhususkan untuk berbeda negara atau masyarakat yang tinggal di kawasan ini. Buku ini telah menjadi tonggak dalam literatur sejarah di Asia Tenggara. Dan semua senang dapat mengakui, secara sepintas, bahwa John Bastin, yang telah dikritik dalam edisi awal dari jurnal ini untuk pendekatan Eropa- sentrismenya, dengan demikian telah bekerja sama dalam usaha dari mana semua Eropa-sentrisme absen yang mencolok.
               Heinz J. Benda - sebagaimana ia terus dipanggil - yang memiliki pengecualian waktu yang sulit ketika ia masih muda, menemukan kebahagiaan di tahun-tahun dia di sisi istrinya (yang sama-sama berasal dari Ceko dan memiliki mengalami teror Auschwitz secara pribadi) dan dua anaknya. Saya ragu apakah dalam tahun-tahun terakhir ini Benda senang bisa tinggal di Amerika yang melancarkan perang di Asia Tenggara. Asia yang benar-benar membenci Heinz.
               Dia pernah bercerita tentang beberapa orang Yahudi dari Jerman yang melarikan diri  dari Nazi dan pindah ke Amerika. Ditanya apakah mereka senang di sana, wanita itu menjawab, "Oh ya, kami sangat senang di sini, sangat bahagia .... aber glücklich sind wir nicht ". Kita  memiliki beberapa firasat bahwaHeinz menceritakan kisah itu dengan implikasi tertentu.
                Kita  berharap  bahwa Heinz Benda, yang tidak pernah melupakan latar belakang Eropanya, mungkin  telah bersedia untuk kembali ke Eropa tua yang baik dan menempati kursi W.F.Weretheim   sebagai penggantinya. Namun, terlambat meskipun ia tiba pada scène dari penelitian Indonesia, sebagai semacam meteor cepat meningkat, Benda sangat cepat–sangat terlalu dini - dalam meninggalkannya.


Wageningen, 5 Maret 1972
WF Wertheim





You have read this article Filsafat with the title Filsafat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/01/heinz-j-benda-dalam-pandangan-wfwertheim.html. Thanks!